Suku Sabuai atau Saf way merupakan suku asli pulau seram yang mendiami timur pulau seram. Suku ini terbentuk dari 5 marga yang membentuk Negeri atau Desa Sabuai.
- Sasi pohon adalah tradisi menjaga hutan sampai masa panen. ritual adat ini dibuat agar tidak lagi penebangan kayu secara sembarang oleh perusahan, agar hutan kami tidak rusak.
MULUT NICKODEMUS Ahwalam (60) tampak komat kamit. Bahunya agak membungkuk menunjukan penghormatan. Kaki menyilang di sekitar pohon sambil membakar api yang berasal dari damar. Di sekelilingnya, sejumlah pria terlihat mengenakan karanunu atau kain berang yang diikat di kepala.
“Saya berdoa kepada “Upu Lanite” (Tuhan) dan tete-nene moyang (leluhur) kami agar menjaga hutan kami dan juga pohon-pohon ini,” sebutnya. Doa dipanjatkannya karena banyak pohon telah tumbang oleh perusahan kayu.
Nickodemus adalah ketua Saniri. Ketua dari para tokoh adat di pemerintahan Negeri Sabuai.
Di lokasi Dia duduk saat ini adalah hutan wamlas, yang berada di petuanan desa Sabuai. dibawah pohon ia bersama sejumlah pria Sabuai ini mengadakan ritual tradisi “Sasi Pohon”. Sasi pohon adalah tradisi menjaga hutan sampai masa panen.
“Ritual adat ini kami buat agar tidak lagi penebangan kayu secara sembarang oleh perusahan, agar hutan kami tidak rusak,”katanya, pertengahan desember 2020 lalu.
Beberapa dahan kayu ditanam di sekitar pohon. Ia juga membalutkan kain berang atau kain berang di sekitar dahan kayu yang ditanam. “itu sebagai tanda pohon ini serta pohon-pohon sekitarnya telah di-sasi,”ucapnya.
Sasi adalah bentuk kearifan lokal yang masih terpelihara di Indonesia bagian timur, khususnya di kepulauan Maluku dan tanah Papua.
Sasi sendiri adalah cara mengatur panen sumber daya tertentu (hayati darat maupun laut) dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Tujuannya agar sumber daya dapat tetap lestari, dan tidak diambil secara berlebihan. Larangan sasi memberi waktu yang cukup, agar sumber hayati yang ada di alam dapat memiliki waktu berkembang biak dan memulihkan populasi.
Menurut sejarahnya, sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala. Di Maluku hukum sasi telah menjadi praktik bersama dan menjadi komitmen bersama para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat hingga masyarakat umum. Dengan demikian, tidak aneh jika ada istilah sasi gereja dan sasi mesjid, di luar sasi yang dilakukan secara tradisional.
Demikian sasi dilakukan oleh masyarakat adat Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, agar perusahaan menghentikan melakukan penebangan kayu lebih jauh. Namun penebangan pohon tetap dilakukan.
Tradisi adat yang dilakukan sejak dulu, namun tidak dihargai oleh perusahan CV Sumber Berkat Makmur (SBM), salah satu perusahan perkebunan pala. Meski telah dilarang namun mereka terus menyeroboti hutan adat milik masyarakat sabuai.
Sejarah Sabuai
Sabuai sendiri mempunyai arti lewat air, nama sebenarnya “saf-wai”. Negeri Sabuai memiliki lima Soa, yakni Nisdoam, Yamarua, Patotnem, Ahwalam, dan Titasam.
Dari cerita yang dituturkan oleh ketua Saniri Negeri Sabuai, Ibeng Nisdoam Sabuai, dari cerita para leluhur, berasal dari Maraina. tempat awal manusia alifuru seram tinggal. Maraina adalah tempat pegunungan yang berlokasi di Seram Barat, tepatnya di Kabupaten Seram Bagian Barat. Maraina sendiri dipercaya sebagian besar warga pulau seram dan orang maluku adalah tempat sakral dan awal mula manusia maluku berada.
Dari situlah, para leluhur terpencar dan berpindah-pindah tempat dan akhirnya mendapat tempat yang baru.
“Kehidupan kami mulai dari Nunusaku, jalan ke Sopamaraina, tetapi jalan kita berbagi jalan karena semua jalan sendiri-sendiri,” Ceritanya.
Lokasi hutan yang menjadi sasaran penebangan liar, dahulu menurut Nisdoam merupakan Negeri lama Sabuai. dari situ mereka hidup dengan alam.
“Kita sampai di suatu tempat werinussa itu bernama Yamaliho. Yamaliho kalau diartikan kampung bersuka ria. Kenapa namanya bersuka ria, karena masing-masing bertemu satu sama lainnya. setelah disitu sudah banyak orang, maka tuan tanah dari marga tivok ini tidak ikut bagian. Tuan tanah ini mereka bagikan tempat bagi masyarakat sabuai,”tuturnya.
Sabuai sendiri mempunyai arti Lewat Air, nama sebenarnya Saf Wai. Dan dari situ kami mulai tinggal rumah pertama, bangun rumah pertama itu adalah welihata. Itu berarti rumah pertama dan disitu, hanya menampung tiga marga yaitu marga Nisdoam, Yamarua, dan Patotnem”.
Di pusat Negeri Sabuai yang lama atau Yamaliho, mereka melakukan aktifitas bercocok tanam, dan bekerja layaknya petani saat ini. Saat itu, kehidupan nomaden atau berpindah-pindah akhirnya usai. Mereka sudah menemukan tempat yang aman dan juga untuk bermukim.
“Dari situ kita mulai bermukim itu, belum ada penjajah. Namun setelah penjajah masuk, kami masih ada di situ yakni Yamapna, yang berarti pusat negeri. Dari situ berangsur-angsur kami berada disitu. Tidak ada pekerjaan lain yakni berkebun, menanam sagu dan lainnya. kami tidak mengenal beras waktu itu. Kami hanya berpakaian dari kulit kayu,”tutur tua adat di negeri Sabuai ini.
Kehidupan mereka mulai terusik setelah penjajahan masuk, mulai dari Portugis, Belanda, hingga saat ini Pemerintahan Indonesia. Meski demikian tatanan adat terus dijaga oleh masyarakat adat sabuai. salah satunya menjaga tempat keramat dan juga hutan.
“Selesai Penjajahan Belanda, terus Indonesia merdeka, kami berpindah tempat di salah satu tempat bernama “Lutnam”. Jaraknya 300 meter dari perkampungan disini,”katanya
“Setelah kami menempati tempat itu, kehidupan kami normal, rukun dengan kampung-kampung tetangga. Namun setelah datang perusahan ini membuat kami kecewa karena apa perusahan ini sudah melewati kesepakatan,”sesalnya.
Pertahankan Kampung Lama
Negeri atau Desa sabuai berada di Kecamatan Siwalalat secara administrasi luasnya 847,19 KM bujusangkar. Kecamatan Siwalalat sendiri terdiri menjadi dua belas desa atau negeri, yaitu: Dihil, Liliama, Polin, Tunsai, Lapela, Nayet, Elnusa, Atiahu, Adabai, Naiwel Ahinulin, Abuleta, dan Sabuai.
Berdasarkan data statistik BPS 2020, Desa Sabuai Dalam berpenduduk 314 jiwa dengan 89 kepala keluarga
Negeri atau sebutan desa ini merupakan satu dari dua belas desa yang berada di bawah kecamatan siwalalat, kabupaten seram bagian timur. Sebagian besar mata pencarian masyarakat setempat adalah petani, dan nelayan.
Tak heran hidup warga Sabuai sangat dekat dan bergantung dengan alam. Hutan selalu dijaga dan dihormati, karena merupakan sumber kelangsungan hidup. Di hutan Sabuai juga terdapat sejumlah makam leluhur yang masih dijaga.
Memiliki lima sungai besar yang kerap banjir, mau tidak mau masyarakat adat Sabuai harus berjuang keras mempertahankan hutan mereka dari incaran predator kayu.
Hutan dianggap sebagai pelindung dan peredam amukan air sungai di kala musim penghujan. Mereka sadar, apabila hutan musnah, maka kedepan bencana bakal mengancam kehidupan.
Sejak tahun 2018, kehidupan damai desa kecil ini mulai terusik. Kehadiran CV Sumber Berkat Mandiri (SBM) membuat segala sesuatu berubah. Perusahaan milik Imanuel Quadarusman alias Yongki diam-diam mengincar ratusan batang pohon yang berdiri kokoh memagari desa.
Dengan modal izin lokasi perkebunan, CV Sumber Berkat Mandiri (SBM) yang bergerak dalam usaha perkebunan pala masuk di wilayah ini. Di tahun 2019 mereka mulai buka lahan.
Ia pun mengajukan izin perkebunan pala kepada Dinas Pertanian Kabupaten SBT tahun 2018. Yongki alih-alih menebar janji manis bakal merekrut warga setempat untuk dipekerjakan.
CV SBM mengantongi Izin lokasi yang diterbitkan oleh bupati bernomor 528/64/2018 dengan jenis komoditas pala di Desa Sabuai, Kecamatan Siwalalat seluas 1.183 hektar.
Perusahan itu melebarkan sayapnya dengan mendatangkan 5000 bibit tanaman pala ke Desa Sabuai. Bibit Tanaman Pala ini untuk warga di lokasi perusahan beroperasi. Namun hingga saat ini, bibit tanaman pala itu tak kunjung ditaman di lokasi hutan desa Sabuai, malah hutan kayu yang menjadi sasaran perusahan CV. SBM.
Bermodalkan IPK, alat berat milik Yongki mulai bergerak menumbangkan pohon-pohon yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, hingga masuk ke hutan adat. Dari sinilah petaka itu dimulai.
Tidak tinggal diam, Warga Sabuai berjuang untuk mempertahankan hutan mereka. Dimulai dengan menggelar pertemuan dan mengirimkan surat peringatan, hingga aksi sasi adat hutan dilakukan. Meski demikian perusahan rupanya tak peduli.
Puncak kemarahan warga dengan melakukan aksi unjuk rasa di lokasi camp perusahan CV SBM yang berlokasi di hutan gunung Ahwale. Dari sinilah awal penangkapan 26 warga Sabuai.
Kadis Kehutanan Maluku, Sadli Lie membenarkan izin pemanfaatan kayu (IPK) yang diberikan kepada CV SBM, berdasarkan adanya izin perkebunan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten SBT.
“izin dikeluarkan karena kebetulan lokasi yang diberikan untuk izin perkebunan berada pada areal penggunaan lain (APL) yang di dalamnya ditumbuhi pohon secara alami, sehingga ada pohon itu maka diberikan IPK untuk memback-up hak-hak negara yang terkait pada kayu, berupa provisi sumber daya hutan dan reboisasi,”tuturnya.
Diungkapkan, IPK yang diberikan dua tahap. Tahap pertama, sekitar 300 hektar, dengan jumlah volume yang akan ditebang kurang lebih 24.700 meter kubik, dan pada tahap kedua kurang lebih 415 hektar dengan volume 35 ribu. sehingga total volume yang diberikan pada dua tahap ini kurang lebih 60 ribu.
Berdasarkan data terdokumentasi pada dinas kehutanan terkait dengan realisasi produksi, kata Sadli sampai dengan saat ini baru 17 ribu, berarti hanya 28 persen target realisasi produksi yang diambil dengan tenggang waktu 18 bulan.
***
Hutan Rusak
GELONDONGAN kayu-kayu bertebaran di tepi sungai hutan Ahwale Sabuai. Sebagian berada di tengah sungai. Sebagian lagi hanyut bersama derasnya arus sungai ke arah muara .
Kayu-kayu ini tak terpakai. Menurut warga yang pernah bekerja pada perusahan kayu ini, ukuran yang tak sesuai membuat kayu yang sudah ditebang dibuang begitu saja.
Air sungai tampak kemerahan, tanah bersama sebagian pohon terlihat tumbang di sekitar lereng gunung Ahwale. Lokasi hutan tempat pembalakan kayu. Disitu, sebagian gunung tampak gundul karena tak lagi ada pepohonan.
Tak itu, lokasi tempat keramat milik warga Sabuai juga telah rusak. Tanah dan pohon yang berada disitu juga ikut longsor. “tempat keramat dan negeri lama kami ikut hancur karena pembalakan kayu ini,”tutur Khaleb Yamarua.
Hutan digarap, petak kehidupan sosial mulai berdatangan. Kerusakan hutan, membuat, terjadinya longsor dan juga banjir. Bencana alam ini berimbas pada tanaman umur panjang maupun lahan perkebunan warga setempat. Akibatnya, beberapa tanaman industri rusak karena gagal panen.
Selain banjir, air yang menjadi sumber kehidupan warga sebagai air minum juga ikut tercemar. Sejumlah mata air ikut tertutup tanah longsor.
“Sumber air atau mata air itu sendiri berasal dari hutan Ahwale itu, jadi kalau hutan rusak sudah tentu akan menutup sumber mata air itu sehingga kami kesulitan untuk mengkomsumsi air bersih,”kata Ibeng Nisdoam, tokoh adat Sabuai.
Hutan yang dibabat oleh perusahan membuat bencana kian terus berdatangan bila terjadi musim hujan. Sabuai berada di kaki pegunungan dari lokasi pembalakan kayu. Kondisi ini berdampak saat terjadi banjir dan menerobos masuk ke permukiman melalui sungai Waipulu, yang jaraknya dekat dengan permukiman.
Ahli Pertanian dan Kehutanan Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya, sebelumnya telah mewanti-wanti pembukaan lahan kepada pemerintah. Bahkan Dosen Fakultas Pertanian Unpatti ini juga memberikan warning dampak lingkungan yang akan terjadi bila hutan alam terus dirusaki.
“Dengan membuka atau mengkonversikan hutan alam akan memicu terjadinya erosi, terjadinya banjir, longsor, apalagi perubahan iklim yang kita hadapi saat ini, bahkan akan menimbulkan berbagai penyakit,”bebernya.
Guru besar Universitas Pattimura Ambon ini menjelaskan penebangan kayu secara besar-besaran akan menjadi ancaman bagi masyarakat setempat maupun secara Global.
“Saya ingin menjelaskan kondisi ekosistem maluku dan maluku utara yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang saat ini mengalami ancaman yang luar biasa,” katanya.
Menurut Kastanya, meski luas pulau besar, namun pulau seram dibatasi dengan karaktreristik DAS yang sempit juga pendek.
“Nah kita memiliki Daerah aliran sungai (DAS) sempit dan pendek , kalau wilayah-wilayah ini kita tidak konservasi atau menjaganya itu akan mengalami kehancuran yang sangat cepat. Salah satunya dengan adanya pemanasan global atau pemanasan bumi dari waktu ke waktu mengalami peningkatan dan terjadi perubahan iklim yang sangat cepat dan bisa dirasakan saat ini,”ungkapnya.
*****
Christ Belseran dan Usman Mahu adalah Jurnalis titastory.id Penerima Fellowship Pulitzer Center Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hutan Untuk Asia Tenggara
Discussion about this post