TITASTORY.ID – AWAL Januari 2008, Sihar Sitorus menginjakan kakinya di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Jika dirunut awal Sihar masuk berinvestasi di Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah 2007 silam, Provinsi Maluku dengan bertemu dengan Gubernur Maluku saat itu Karel Albert Ralahalu di Kantor Gubernur Maluku di Ambon dengan misi yang dibawa adalah untuk berinvestasi.
Setelah mendatangi Gubernur, Sihar melanjutkan misinya di Pulau Seram. Ia memboyongi koleganya dari Jakarta dan Ambon menyambangi gedung Siwalima Wahai Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Sihar hadir dalam acara musyawarah perencanaaan pembangunan (Musrembang). Acara tersebut dihadiri oleh perangkat desa dan pemuka masyararakat. Seorang staf perusahaan PT Nusa Ina hadir dalam pertemuan itu membenarkan kehadiran Sihar. “Saya melihat banyak yang hadir dalam pertemuan itu,”ujar Abdul Takandengan, staf PT Nusa Ina Group, 29 Maret 2021.
Saat itu, Wahai merupakan ibukota kecamatan Seram Utara. Desa-desa di Kecamatan Seram Utara Utara Kobi dan Kecamatan Seram Utara Seti saat itu masih dibawah pemerintahan Kecamatan Seram Utara sehingga warga dimobilisasi mengikuti Musrembang di Wahai.
Husein Serang peserta lainnya yang turut hadir saat itu bercerita Sihar menyampaikan keinginannya untuk berinvestasi di bidang perkebunan sawit di Seram Utara. menurutnya, Sihar menjelaskan manfaat yang akan diperoleh masyarakat jika tanah mereka dikelola menjadi kebun sawit, antara lain uang jutaan rupiah per bulan bisa mereka dapatkan. Rapat yang dilangsungkan selama dua jam itu, Sihar juga berjanji perusahaannya akan membantu biaya pendidikan anak-anak pemilik tanah dan merekrut penduduk lokal sebagai kariawan perusahan.
Tak hanya di Desa Wahai, Sihar melanjutkan sosialiosasi investasinya ke Desa Aketernate. Disana Ia juga berjanji membangun dan mensejaterahkan masyarakat setempat. Usai sosialisasi Sihar meninggalkan tim kecil yang bertugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk dikeloloa menjadi kebun sawit.
Ahmad Dani Boyratan, anggota tim dan juga mantan kariawan PT Nusa Ina bercerita Ia bersama rekan tim kecil yang dibentuk Sihar mendekati kepala desa, raja setempat, dan pemuka agama.
Ketua Saniri Aketernate, Abraham Ehmuitam membenarkan pembagian insentif dari PT Nusa Ina Grup saat itu. Ia saat itu tak setuju dengan masuknya investasi PT Nusa Ina. Abraham lebih memilih investasi perkebunan PT. Aketernate, milik Feri Tanaya, pengusaha seorang pengusaha kayu di Ambon. Kata Abraham, ia sempat mendengar adanya pembagian Toyota Avanza dari Nusa Ina pada tahun 2008. “saat itu bersikeras melawan investasi PT Nusa Ina, tapi kepala Desa saat itu lebih memilih Sihar,”kata Abraham, kamis (8/4/2021).
Menurut Abraham, banyak masyarakat menyerahkan lahannya dengan imbalan mobil, uang Rp. 1 juta per hektar. Atau pinjaman hingga Rp.10 juta per keluarga. Dengan iming-iming tersebut , banyak warga menyerahkan lahannya kepada Nusa Ina Group untuk dikelola. Tercatat luas tanah mereka yang dimitrakan mencapai 15 hektar.
Langkah Sihar Sitorus untuk berinvestasi di dataran Seram Utara berjalan mulus setelah berhasil membujuk para pemilik tanah ulayat. Sihar pun membentuk lima perusahan berada di bawah bendera Nusa Ina Group yaitu PT Nusa Ina Aketernate Manise, PT Nusa Ina Kobi Agro Manise, PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise, PT Nusa Ina Agro Tanah Merah Manise, dan PT Nusa Ina Manusela Manise.
Izin perkebunan PT Nusa Ina Group ini dibentuk menjadi lima perusahan pada tanggal 30 september 2009 PT Nusa Ina Kobi Agro Manise dengan nomor 525.26-499 tahun 2009 dipimpin oleh Subuh Hariman Going; PT Nusa Ina Manusela Manise dengan nomor 525.26-500 tahun 2009 dipimpin oleh Ramli Kabau; PT Nusa Ina Kobi Agro Manise dengan nomor 525.26-498 tahun 2009 dipimpin oleh La Ode Arifin; PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise dengan nomor 525.26-501 tahun 2009 dipimpin oleh Soedardjo Sumitro; serta PT Nusa Ina Agro Tanah Merah Manise dengan nomor 525.26-501 tahun 2009, dipimpin oleh Direktur Utama Sihar Sitorus.
Jakaria Fabanyo, warga Desa Kobi mengatakan Sihar saat itu enggan membeli tanah warga. Ia, kata Jakaria hanya ingin lahan milik warga dijual kepada mitra yang bekerja sama dngan PT Nusa Ina.
Jakaria sendiri dipercayakan Sihar mencari warga untuk menjual lahan mereka. Ia bercerita saat yang yang ingin menjual tanahnya langsung kepada perusahan, namun ditolak dengan alasan harus bermitra.
Warga yang terlilit ekonomi kata Jakaria saat itu, langsung menjual tanah mereka kepada sejumlah pembeli yang bermitra dengan PT Nusa Ina Group. Jakaria selain mencari pembeli, namun Ia juga menjual sebagian lahannya kepada seorang pengusaha lokal di Desa Wahai saat itu. “Kami sudah tawakan untuk Nusa Ina saat itu, tapi mereka bilang tidak mau beli tanah, Nusa Ina hanya mau bermitra,” kata Jakaria sambil meniru pernyataan Sihar Sitorus.
Warga pun akhirnya menjual tanah ulayat mereka, kepada para pembeli. Harganya bervariasi. Tanah yang dijual antara 5 sampai 200 hektar. “Setelah dibayar dan dimitrakan, Nusa Ina langsung membuat akta notaris dan peta lahan,” Ujarnya.
Lahan yang dijual kata Jakaria kepada pembeli, langsung diaktakan dengan mengetahui Kepala Desa maupun Badan Saniri adat desa setempat. Setidaknya untuk Kecamatan Seram Utara Kobi dan Kecamatan Seram Utara Seti ada tiga desa, para marga atau pemilik tanah menjual tanahnya kepada sejumlah mitra PT Nusa Ina Group.
Untuk memuluskan langkahnya, Sihar menjadikan tanah kemitraan sebagai modal mengurus izin usaha perkebunan (IUP) ke pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Sesuai dengan ketentuan saat itu, yakni pasal 11 peraturan kementrian pertanian nomor 26 tahun 2007 tentang pedoman Perizinan Perusahan Perkebunan, Pemegang IUP wajib membangun kebun masyarakat seluas 20 persen dari areal kebun yang diusahakan perusahan. Dan salah satu caranya dengan menerapkan system bagi hasil.
PT Nusa Ina mengusulkan izin usaha perkebunan budidaya dan izin usaha izin usaha perkebunan tahun 2009 yang diusulkan. Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah menyetujui 10 ribu hektar kepada PT Nusa Ina Group. Sihar pun melebarkan usaha perkebunannya itu di Kecamatan seram utara. Namun beberapa bulan kemudian, Nusa Ina memohon perluasan area. Bupati Maluku Tengah saat itu, Abdulah Tuasikal menyetujuinya sehingga luas perkebunan sawit Nusa Ina menjadi 40 ribu hektar.
Alih-alih mensejaterahkan masyarakat, Sihar mengabaikan janji-janjinya saat menginjakan kakinya di Kecamatan Seram Utara, awal januari 2008. Kesepakatan yang dibangun oleh Sihar dengan para mitra diabaikan.
Anggota Dewan Perwakilam Rakyat, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini dianggap mengingkari perjanjian dengan masyarakat lokal yang menjadi pemilik tanah. Ditengah jalan Sihar diduga mengubah kesepakatan bagi hasil kebun sawit secara sepihak. berharap mendapat Rp 2 juta per bulan dari tiap hektar tanah yang dipercayakan kepada Sihar, para pemilik tanah hanya memperoleh Rp.70 ribu.
Nusa Ina menggunakan system kemitraan untuk menjalankan bisnis kebun sawit di Maluku Tengah. Mereka mengelola tanah itu dan membagikan hasil perkebunan dengan pembagian 70 : 30. Pemilik tanah akan memperoleh 30 persen dari total hasil kebun.
Abdul Takaendengan, Mantan Kepala Seksi kemitraan PT Nusa Ina mengatakan dari data milik Nusa Ina, mengatakan setidaknya lebih dari 200 orang pemilik tanah yang bermitra dengan perusahan PT Nusa Ina.
“Di dalam melakukan kontrak atau perjanjian dengan PT Nusa Ina ini ada orang per-orang secara pribadi, kalau mitra pribadi mendekati 100 orang. Terus dijelaskan adalah lahan bersertifikat atau lahan transmigrasi itu jumlah orangnya mendekati 200 orang, lalu lembaga yang resmi seperti Gereja Protestan Maluku (GPM) yang luas lahan seluas 1200 hektar, serta para marga dari negeri kobi, negeri maneo, negeri aketernate yang sudah ada akta notarisnya,” kata staf PT Nusa Ina Group, kamis (1/4/2021).
Saat ditanya system bagi hasil, Staf PT Nusa Ina ini menjelaskan sistem bagi hasil 30:70 persen tersebut mulai dengan biaya awal, yakni biaya investasi. Menurutnya Biaya investasi itu diperhitungkan sekitar Rp.46 juta dari nol tanaman hingga berusia lima tahun.
Didalam Rp.46 juta itu dijelaskan Abdulah, dibagi tanggungannya yakni para mitra menanggung 13 persen yaitu sekitar 13 juta lebih yang sisanya sekitar 30 juta sekiat ditanggung perusahan karena perusahan menanggung 70 persen.“Nah itu system di dalam biaya investasi,”jelasnya.
Terkait dengan biaya Eksploitasi Abdulah menjelaskan tanaman yang sudah menghasilkan yaitu biaya panen, biaya pengangkutan buah, biaya umum serta biaya yang lain. Di dalam biaya eksploitasi kata Abdulah, 70 persen ditanggung oleh pihak perusahan dan 30 persen ditanggung oleh para mitra.
“Dari kedua biaya itu kedua terpotong maka bagi hasil bersih, misalnya hasil bersih 1 juta, maka 700 ribu punya perusahan 300 ribu milik mitra atau pemilik lahan atau pemilik kontrak yang ada,”katanya.
Dengan biaya bagi hasil itu, perusahan PT Nusa Ina kembali berjanji akan mengeluarkan kebijakan untuk menaikan harga Rp.70 ribu per hektar menjadi Rp.120 ribu per hektar per bulannya.
“Dari tahun 2015 sampai tahun 2019 masih dengan harga 70 ribu per hektar hasil bersih yang diberikan. Dan dari tahun 2020 sampai 2022 akhir sesuai dengan surat kebijakan yang diberikan pak Sihar naik menjadi 120 ribu per hektar per bulan,”ungkapnya.
Meski begitu, para pemilik tanah yang disebut mitra ini tak mempersoalkan perjanjian yang telah disepakati dengan Sihar. Mereka memilih jalan tengah, meski hanya bayaran murah.
Awalnya proses pembagian hasil sejak 2015 kepada para mitra berjalan lancar, namun seiring berjalannya waktu, masyarakat pemilik lahan di memprotes perusahan PT Nusa Ina lantaran dianggap ingkar janji.
Puncaknya terjadi pada 29 april 2020, terjadi bentrokan antara warga dengan PT Nusa Ina. Insiden ini terjadi terkait pengelolaan lahan masyarakat adat di kedua negeri Kobi dan Negeri Maneo. Blokade palang adat yang dipasang oleh warga dibongkar oleh kariawan perusahan.
Pemalangan dilakukan di lakukan masyarakat adat dusun Siliha, Negeri Maneo, kecamatan Seram Utara Kobi, Maluku Tengah. Masyarakat adat menuntut hak-hak mereka. Pemalangan dilakukan dengan ritual adat. Pihak perusahan menolak klaim warga.
Ahmad Dani Boiratan, Saniri Negeri Maneo menuding perusahan tak punya niat baik menyelesaikan masalah. “Mereka tak menghargai adat, dan melanggar palang adat kami makanya kami marah,”tegas Ahmad Dani. Perusahan kata Ia terkesan mengadu domba warga dan kariawan,”Kata Dani menceritakan peristiwa setahun lalu itu.
Mantan kariawan PT Nusa Ina Agro Kobi Manise ini bersama Raja dan Saniri Maneo saat itu menolak kebijakan yang dilakukan oleh PT Nusa Ina dengan dalil tidak akan membayar kepada mitra dengan alasan lahan masih tumpang tindih. Bersama dengan seorang rekannya Jakaria Fabanyo, Dani memprotes perusahan karena melanggar janji.
“Lahan itu kata pihak perusahan ada bermasalah dengan marga-marga tetangga dengan lain sebagainya, tetapi kenyataannya lahan yang dimiliki orang per orang yang sudah menghasilkan hasilnya, dan sudah di panen, diolah, dijual, dan duitnya itu tidak diberikan yang punya hak,”tuturnya.
Baginya, hingga saat ini ia para mitra sebagai pemilik lahan belum pernah dibayar oleh PT Nusa Ina Group. Olehnya itu marga sebagai pemilik lahan yang bermitra dengan PT. Nusa Ina berpikir bahwa ini merupakan wacana yang tidak baik. “Kita akan bentrok antara marga dengan mitra orang per orang, karena mereka berpikir ini lahan ini milik negeri bukan punya marga,” paparnya.
Koordinator Aksi, Jakaria Fabanyo menceritakan insiden yang terjadi 29 april 2020 lalu akibat perusahan telah mangkir dan dituding membohogi masyarakat adat. Perusahan sendiri kata Jakaria di depan Kapolres saat itu telah akan membayar semua hak mitra dengan marga pemilik lahan. Padahal semuanya itu bohong semua,” tuding Jakaria saat itu.
Jakaria Fabanyo sejak peristiwa itu, telah diberikan kuasa oleh para mitra. Ia ditunjuk sebagai kuasa mitra pasca masalah pembagian hasil yang kian bermasalah oleh PT Nusa Ina Group.
Bagi Jakaria, masalah tumpang tindih lahan sehingga menjadi polemik hanya alasan semata agar perusahan mangkir dari janji-janjinya. Ia menilai perusahan sendiri yang melakukan proses jual beli dengan akta notaries, pengukuran serta pembuatan peta lahan para mitra.
“Dan lebih aneh lagi seperti afdeling 6 tumpang tindih dengan afdeling 1 itu jaraknya terlalu jauh dan puluhan kilo, afdeling 8 bisa tumpang tindih dengan afdeling 12 terlalu jauh jaraknya. Pertanyaan saya yang memberikan tumpang tindih ini siapa perusahan atau penjual ? ”tegas Jakaria saat melakukan aksi pemalangan saat itu.
Tujuan melakukan pemalangan hingga berkali-kali itu, menurut Jakaria agar pemerintah memediasi maslaah tersebut dengan pihak perusahan.
“Perusahan harus bayar itu hak orang, jangan sampai kita marga atau penjual dituntut oleh para mitra yang tadi telah membeli lahan kita. Terus, kita kan sudah jual begini, saya menjaga jangan sampai hal-hal yang timbul ke depan untuk efek-efek yang tidak bagus, seperti terjadi keributan antara kita marga dengan pemerintah negeri padahal itu ulahnya semua dari perusahan sendiri .”pintanya.
Aksi ini bukan pertama kalinya bagi masyarakat adat, setempat. Mereka telah mendatangi perusahan hingga aparat, namun tuntutan mereka tidak dihiraukan.
Buntut aksi unjuk rasa masyarakat adat yang terjadi, Direktur PT Nusa Ina Group, Sihar Sitorus kembali menginjakan kakinya di Pulau Seram. Kedatangan Anggota DPR RI ini akibat tudingan masyarakat kepada dirinya karena dianggap mengingkari janji-janjinya.
Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, melakukan mediasi dengan mendatangkan Bos PT Nusa Ina bertemu dengan para pemilik lahan perkebunan sawit, yang berlangsung di kantor bupati Maluku Tengah, jumat (6/11/2020) tahun lalu.
Pertemuan yang dimediasi oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Maluku tengah ini juga menghadirkan pemerintah tiga Negeri lokasi perkebunan kelapa sawit, yakni Kepala Pemerintahn Negeri Maneo, Negeri Aketernate, serta Negeri Kobi.
Dalam pertemuan Sihar Sitorus bersedia membayar harga lahan pemilik warga dari tiga pemerintahan Negeri yakni Negeri Kobi, Maneo, dan Aketernate.
Sihar juga menolak membayar bagi hasil produksi diluar kesepakatan yang telah dibuat pada tahun 2007-2008 silam. Penolakan ini menyusul terjadinya klaim kepemilikan lahan yang menghambat pengembangan perkebunan yang dikelola. Akhirnya pada pertemuan tersebut, PT Nusa Ina Group menyetujui memenuhi hak pemegang ulayat tiga petuanan negeri tersebut sesuai kesepakatan yang diambil sebelumnya.
Sesuai perjanjian awal tahun 2008, Sihar berjanji akan membayarkan bagi hasil 30 persen kepada pemilik hak ulayat masyarakat di tiga negeri itu.
“Jadi dari pertama kali kita datang berinvestasi dan bertemu dengan pemilik petuanan pada tahun 2007-2008, telah dibuat kesepakatan kemitraan. Kami bersepakat bagi hasil 70 persen untuk perusahaan dan 30 persen untuk pemegang hak ulayat,” tandas Sitorus.
Menurut Sitorus, perlu dipahami bagi hasil ini bisa terjadi apabila lahan yang sudah ditanam dan diproduksi memenuhi persyaratan-persyaratan teknis. Intinya perusahaan akan membayarkan bagi hasil tersebut kepada pihak yang melukan perjanjian dengan pihak pertama.
Sitorus mengungkapkan semenjak awal beroperasi hingga beberapa tahun belakangan, sebagian bagi hasil telah diserahkan kepada pihak pertama (tiga negeri). Dan bagi hasil selanjutnya sempat terhambat karena ada persoalan klaim tanah yang bukan dari pihak pertama tapi dari oknum-oknum tertentu yang telah mengkalim telah beli tanah.
“Tentunya, ada sebagian yang sudah menerima bagi hasil diserahkan kepada petuanan dan tentu ada sebagian yang belum menerima bagi hasil. Yang belum itu karena kami menghadapi dan melihat permasalahan-permasalahan yang ada salah satunya soal klaim tanah,” tandasnya.
Sitorus mengatakan bagi hasil hanya bisa diserahkan kepada pemilik hak ulayat baik itu Pemerintah dan Saniri Negeri Aketernate, Maneo dan Kobi.
Ia menjelaskan ada dua landasan yang dipegang PT Nusa Ina dalam hal membayar bagi hasil ini. Pertama, landasan undang-undang yakni batasan orang per orang untuk memiliki suatu area. Kemudian kedua, pihak perusahaan hanya bisa berurusan dengan pemilik petuanan dalam hal ini Saniri dan Pemerintah Negeri.
“Jadi kita tidak bisa melayani pihak lain di luar itu. Pastinya akan tumpang tindih. Makanya dikesempatan ini kami duduk bersama-sama mengurai dan menyelesaikan masalah yang terjadi dengan pihak pertama itu,” paparnya.
Sihar pun enggan menyebutkan warga yang lahannya dimitrakan kepada PT Nusa Ina Group saat ini. Namun politisi PDI-Perjuangan ini akan menyelesaikan pembayaran kepada para warga pemilik hak ulayat sesuai akta notaris dengan PT Nusa Ina.
Lalu bagaimana surat perjanjian yang telah dibuat dalam akta notaris antara Sihar Sitorus dengan warga pembeli lahan atau sebut saja mita perusahan. Sihar sendiri dalam beberapa pernyataan dalam pertemuan itu, akan membayar kebijakan bagi hasil kepada para mitra yang telah bekerja sama dengan PT Nusa Ina. Namun mitra yang disebutkannya itu tidak jelas alias mengambang.
Jurnalis titastory.id menerima sejumlah dokumen perjanjian kerja sama antara Sihar Sitorus dengan pembeli lahan, salah satunya Samsudin Maelan, warga desa Wahai yang memitrakan lahan seluas 10 hektar kepada PT Nusa Ina Group tertanggal 3 maret 2008 dalam sebuah akta notaris.
Selain akta notaris, sebuah dokumen berupa kwitansi dari perusahan Nusa Ina Group juga terlihat proses pembayaran lahan dari pihak Nusa Ina kepada Samsudin Maelan atas kebijajakan bagi hasil periode februari 2017 sampai dengan desember 2017 dengan luas 8,5 hektar. Kwitansi tersebut ditandatangani oleh Raja atau Kepala Pemerintahan Negeri Kobi Djuanaidi Fabanyo saat itu.
Pada tanggal 7 september 2018 Samsudin Maelan sebagai mitra perusahan juga menerima pembayaran kebijakan bagi hasil dengan lahan seluas 8,5 hektar periode januari dan juli 2018 yang langsung dikeluarkan oleh Managemen PT Nusa Ina Group.
Kebijakan bagi hasil kepada mitra ini dilakukan setelah melalui proses panjang dan kesepakatan kedua belah pihak yang diakta notariskan. Tak hanya itu sebuah peta lahan milik mitra juga dibuat oleh perusahan milik Sihar Sitorus, yang langsung diketahui oleh Kepala Pemerintahan lokasi lahan itu berada.
Herman Kohunusa Kepala Dusun Kobisadar, warga yang turut menjual lahannya kepada mitra perusahan PT Nusa Ina mengatakan tidak lagi mempermasalahkan lahan yang telah dijualnya. Ia bahkan dengan rela menjual lahannya itu kepada para pembeli, karena terlilit kebutuhan mendadak saat itu.
“Saat rapat 2007 lalu saya menawarkan untuk pak Sihar tanah saya akan jual kepada Nusa Ina, tapi ia tidak mau. Saya bilang kalau begitu dikontrakan saja, ia juga menolak. lantas kami mau jual kemana,”kata Herman saat ditemui dirumahnya, sabtu (3/4/2021).
Setelah ditolak kata Herman, Sihar saat itu memberikan solusi kepada Ia dan masyarakat lainnya saat itu agar bisa menjual lahan mereka kepada pembeli yang bermitra dengan PT Nusa Ina. “Itu yang pak Sihar Sitorus bilang. Saya langsung menjual lahan saya kepada beberapa pembeli yang saat itu bermitra dengan perusahan karena memang kebutuhan,”tuturnya.
Mengetahui pihak Pemerintah Negeri petuanan, lahan milik Herman akhirnya dijual kepada mitra PT Nusa Ina. Pihak Nusa Ina saat itu, tak banyak membahas batas penjualan kepada mitra, namun legal lahan yang dijual oleh warga itu sendiri.
Bahkan Pernyataan Sihar dalam pertemuannya dengan Forkopimda Maluku tengah dan juga Kepala pemerintahan pada tiga negeri dengan tegas mengatakan tidak akan membayar pemilik lahan yang berasal dari luar ketiga Negeri tersebut dengan alasan karena memiliki luas lahan yang bertetangan dengan peraturan perundang-undangan. Ia menyebut akan membayar kepada pemilik lahan alias marga. Lalu bagaimana dengan surat perjanjian dan janji kepada para mitra yang lahanya telah dibuat badan hukum melalui akta notaris ?
Masihkah Sihar Berkilah dengan janji-janjinya tersebut, agar tahapan pembayaran kebijakan bagi hasil tidak dilakukan ?
“Yang biking saya sebagai mitra resah itu begini, awal 2021 ini yakni 23 bulan belum dibayar. Ada teman-teman saya dari awal tanam yang sama sekali belum dibayar. Kita ini mitra jadi sudah diterima sekian tahun ada yang belum sama sekali dan beragam, jadi tolonglah Pak Sihar untuk tepati janji-janjinya ? Pinta Husein Serang, seorang pensiunan PT. POS Indonesia yang menjadi mitra PT Nusaina Group.
Adu Domba
Ratusan warga sejak pukul 08.00, rabu (7/4/2021) pagi berbaris antri di depan balai pertemuan Desa Kobi, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Warga yang mengantri untuk menerima upah bagi hasil dari PT Nusa Ina.
Pembagian tak hanya dilakukan Pemerintah Negeri (desa) Kobi, Pemerintah Negeri Maneo juga turut menyalurkan pembagian dana dari Pihak Perusahan PT Nusaina Group. Sama dengan negeri Kobi, warga Maneo juga mendatangi balai Negeri untuk mengambil dana tersebut.
Pembagian dana bagi hasil dari Pihak PT Nusaina Group oleh Desa Maneo dan Kobi dilakukan selama dua hari yakni dari tanggal 7–9 april 2021. Pembagian tersebut disaksikan langsung oleh pihak manajemen perusahan PT Nusa Ina Group.
Sebelumnya perusahan telah menyerahkan dana bagi hasil mitra kepada kedua Negeri, Maneo dan Kobi. Dana ini serahkan perusahan melalui rekening kedua negeri setempat. Totalnya Rp.4.589.816.392. Dana ini merupakan kebijakan bagi hasil bagi para mitra perusahan selama 5 tahun, 2015 sampai 2020.
Negeri Maneo sendiri menerima Rp.2.300.000.000 serta Negeri Kobi Rp.2.289.816.392. dana pembagian ini dari hasil kesepakatan akan dibagikan kepada para mitra. Mitra sendiri merupakan warga yang memiliki lahan petuanan pada kedua negeri tersebut.
Bagi hasil ini sesuai kesepakatan bersama Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal, pemerintah tiga negeri dan pihak perusahaan tahun yang dihadiri langsung Sihar Sitorus, direktur utama PT. Nusa Ina Group, tahun 2020 di kantor Bupati Maluku tengah.
Lalu mengapa dana bagi hasil dibagikan kepada seluruh warga. Mereka yang namanya tidak tercantum dalam akta perjanjian mitra dengan perusahan sebagai pemilik lahan ?
Sebuah video amatir berdurasi 1 menit 18 detik memperlihatkan Bupati Maluku Tengah, Tuasikal Abua saat melakukan komunikasi dengan managemen perusahan HRD PT Nusa Ina Group, Hidayat Wadjo melalui via telepon.
Dalam komunikasi tersebut Bupati Tuasikal meminta secara tegas pihak PT Nusa Ina segera memenuhi janji-janji untuk membayar uang bagi hasil para mitra.
“Bupati sudah menelpon HRD di depan kami. Saat kami menemui bupati di kebunnya. Dan ketika di konfirmasi, Alhidayat Wajo sendiri mengatakan kepada bupati, bahwa pihak perusahaan akan secepatnya selesaikan pembagian hak mitra,” ungkap Husen Serang mitra perusahan PT Nusa Ina.
Mendengar jawaban pihak perusahaan, kata Husein, Bupati menanyakan waktu penyelesaiannya. ”Kira-kira kapan pak Hidayat mau selesaikan hak mitra yang pak Dayat sudah janjikan kepada saya, tanya Bupati,” tanya Bupati seperti ditirukan Husen.
“Iya, agar saya juga tidak terbebani mitra. Setiap saat laporan kepada saya. Temui saya. Tagih janji mereka nanti seolah-olah saya yang mempersulit mereka. Padahal itu ada di pihak perusahaan,” Ungkap Abua Tuasikal kepada HRD Nusa Ina yang perbincangannya di rekam video berdurasi 1 Menit 18 detik itu.
Pasca perbincangan antara Bupati Tuasikal dengan HRD PT Nusa Ina, pihak mitra langsung menemui managemen perusahan untuk menagih janji.
“Saya dengan beberapa rekan perwakilan mitra juga hari itu, langsung bertemu pak Alhidayat Wajo selaku HRD di kantornya. Hidayat mengatakan pihak perusahaan sudah lepas tangan dan pihak negeri yang akan mengurusi proses kemitraan,” Kata Husen yang sempat mengutip pembicaraannya dengan Alhidayat Wajo saat bertemu di kantor Nusa Ina Siliha pada Rabu, (7/4) pekan lalu.
HRD PT Nusa Ina kata Husen, juga menyampaikan dana pembagian hasil sudah diserahkan kepada kedua Negeri. Untuk mendapatkan dana tersebut, kami disuruh mendatangi kepala Pemerintahan setempat dengan melampirkan surat perjanjian kemitraan kemitraan agar dana tersebut bisa diserahkan.
“Saat pembagian, saya ke Negeri Kobi membawa dokumen kemitraan untuk mengambil uang. Namun pihak mereka menolak dengan alasan surat tidak sah Ilegal” Ungkap Husen serang.
Menurut dia, semua dokumen kepemilikan tanah sudah di lampirkan. Hanya saja pihak Negeri tetap menolak dengan alasan tidak sah. Padahal semua dokumen kepemilikan tanah sudah disahkan oleh pemerintah Negeri Kobi.
“Yang paleing kesal lagi HRD itu, dia sudah bohongi kita mitra, bupati maluku tengah juga ditipu juga, ngakunya dibayar kepada kita mitra yang hadir dengan bupati saat, ternyata bukan hanya kita mitra yang ditipu, Bupati saja ditipu lalu kita orang kampung bodoh begini mau jadi apa,”paparnya.
Tindakan Alhidayat Wajo, kata dia, dapat mengadu domba mitra dengan pihak pemerintah negeri. Dia menuding HRD berbohong kepada warga sebagai mitra, juga Bupati Malteng.
“Saudara Alhidayat wajo sudah berbohong kepada kami sebagai pemilik lahan dan pak Bupati juga dibohongi,” kata Husen.
Bagi Husein, berbagai perjanjian yang dilegalkan melalui surat akta notaries merupakan bukti hukum antar Ia sebagai mitra dengan perusahan PT. Nusa Ina Group saat itu. untuk itu ia bersama para mitranya akan terus menagih janji Direktur Utama sihar Sitorus.
“Kami sadar bahwa itu hak kami apapun itu kami akan kejar dan tuntut karena jelas-jelas oleh oknum perusahan atau HRD kita telah berulang kali ditipu. Dan saya sendiri pribadi sangat heran ya, perusahan seenaknya tanpa mitra tahu sudah mengatur sehingga pembayaran ini ke desa, kita mitra tidak pernah bermitra dengan desa, kita bermitra dengan perusahan. Apakah langkah yang diambil ini benar tindakan atau langkah ini, saya kira ini sudah melanggar aturan,” tuturnya.
Kepala Kecamatan Seram Utara timur Kobi, Didik ketika dikonfirmasi terkait pembagian bagi hasil ke mitra, mengaku tidak dilibatkan. Ia mengaku dirinya tidak ada pemberitahuan dari pihak negeri Kobi. Sementara Berbeda dengan Negeri Maneo, kata Camat Kobi ini sempat dilaporkan. Meski begitu, untuk data masuk menurut Camat belum ada laporan secara administrasi dari kedua negeri terkait pelaksanaan pembagian dana bagi hasil tersebut.
“Setelah pelaksanaan pembagian uang di negeri Kobi dan maneo saya di telpon oleh pak bupati. Beliau marah-marah, Bahwa kenapa tidak di ketahui oleh camat, jawab saya tidak tau. Karena tidak ada pemberitahuan,” ungkapnya.
Bahkan Bupati kata Camat Seram Utara Timur Kobi ini, Bupati langsung memerintahkannya untuk menemui Kepala Pemerintahan negeri Kobi dan Maneo untuk melakukan klarifikasi terkait penyaluran uang tersebut.
“Data dari negeri tidak ada dari perusahaan terkait data kemitraan pun tidak di serahkan. Saya sendiri belum dapat data dari pihak perusahaan terkait pembagian hak mitra dan dari kedua negeri juga tidak pemberitahuan ke saya,” pungkas Camat.
Wakil Bupati Maluku Tengah, Marlatu Leleury menyayangkan pembagian dana bagi hasil kebijakan PT Nusa tersebut. Saat ini kata Marlatu, Pemerintah Maluku Tengah, telah mengutus petugas untuk bertemu Direktur Nusa Ina di Jakarta.
“Untuk masalah pembagian uang mitra, kami sudah mengirim petugas untuk bertemu dengan pimpinan PT Nusa Ina di Jakarta, mungkin setelah itu mereka kembali dan kita diskusikan,” kata Marlatu Leleury, jumat (18/4/2020).
Wakil Bupati Maluku Tengah ini menyesalkan pembayaran yang dilakukan oleh para Pemerintah Negeri, tanpa berkordinasi dengan Pemerintah Kecamatan maupun Kabupaten setempat. Padahal menurut Marlatu, saat pertemuan dengan pimpinan Nusa Ina Sihar Sitorus telah berjanji untuk melakukan pembayaran kepada mereka yang disebut mitra PT Nusa Ina Group.
“Untuk kesepakatan dengan Pak Sihar Sitorus sendiri harus jatuh atau dibayar kepada yang punya tanah atau mitra itu sendiri,”pungkasnya.
Meski demikian nasi telah menjadi bubur. Dana bagi hasil dari PT Nusa Ina Group kepada pemilik perusahan telah dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat di dua Negeri, yakni Kobi dan Maneo.
Jika perusahan PT Nusa Ina bersikeras tidak berniat membayar kepada mitra yang memiliki legalitas hukum, maka setidaknya PT Nusa Ina membayar kepada pemilik lahan yakni marga yang memiliki hak ulayat.
“Kalau Sihar Sitorus tidak mau bayar kepada mitra atau kami selaku pembeli dan pemilik sah lahan itu, maka seharusnya bayar kepada penjual awal atau masyarakat adat pemilik ulayat atas tanah-tanah itu,” papar Wiryananda Mulasimadhi alias Wiseng seorang mitra PT Nusa Ina.
Dikatakan Wiseng, Perusahan milik Sihar itu hanya untuk mengalihkan isu dan mengadu domba Pemerintah Negeri dengan para mitra yang sudah jelas-jelas memiliki legalitas hukum.
“Alasannya cuma karena dia mau mensejaterahkan masyarakat lokal, lalu kita para mitra ini sejaterahkan siapa? semuanya juga untuk masyarakat, untuk Desa atau Negeri, kita beli juga dengan uang sesuai permintaan Nusa Ina,” tegas pengusaha alat pancing dan kebutuhan bahan pokok di Negeri Wahai Seram Utara itu.
Wiseng dan keluarga, menurut Sihar dalam pertemuan dengan Forkompinda Maluku tengah bersama Pemerintah Negeri adalah masyarakat yang tidak memiliki hak ulayat. Mereka sendiri, membeli ribuan tanah milik warga setempat.
PT Nusa Ina sendiri enggan membayar tanah adat yang diduga dikuasai Wiseng dan keluarganya karena telah melanggar perundang-undangan dan aturan berlaku. Wiseng bersama kerabatnya menguasai lahan 4.130 hektar tanah milik masyarakat adat di sejumlah desa, di Kecamatan Seram Utara.
“Kalau mau adil ya adil semua, bukan saya saja. PT Nusa Ina sampai sekarang membayar, pihak berwenang dengan ribuan hektar lahan antara lain Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), ada oknum pejabat TNI, serta pejabat di Kabupaten ini,”tandasnya.
Lalu apa kata Nusa Ina ?
Dalam surat hak jawab dari PT Nusa Ina Group, menjelaskan pertemuan dengan Pemda Kabupaten Maluku Tengah bersama pemilik petuanan pada akhir 2020 telah dijawab dengan penyerahan dana bagi hasil kepada pemilik petuanan (petuanan negeri kobi,maneo, dan aketernate selaku pemilik lahan ulayat.
Terkait dengan janji berupa akta notaries, Nusa Ina menyebutkan perusahan mendapat penyerahan lahan ulayat dari pihak petuanan negeri sejak tahun 2008 sehingga, bupati maluku tengah saat itu Abdulah Tuasikal memberikan izin usaha Perkebunan (IUP) kepada Nusa Ina Group.
“Bahwa Nusaina Group bermitra dengan petuanan negeri selaku pemilik lahan ulayat sehingga Nusa Ina Group membayar bagi hasil kemitraan di atas lahan ulayat kepada petuanan negeri. Tulis Hidayat Wadjo, HRD Nusa Ina Group dalam surat hak perusahan Nusa Ina.
“Bahwa Nusaina group pernah membuat perjanjian dengan mitra, yang awalnya pimpinan Nusaina mengira bahwa tanah dati atau lahan yang dimitrakan tersebut berada di luar lahan ulayat seperti lahan-lahan transmigrasi, namun pada tahun 2016 ketika Nusaina akan melakukan bagi hasil ditemukan fakta di lapangan bahwa tanah dati atau tanah lahan yang dimitrakan tersebut ternyata berada diatas tanah lahan ulayat petuanan negeri Maneo dan Petuanan Negeri Aketernate dan selanjutnya petuanan negeri Kobi, petuanan negeri Maneo, dan petuanan negeri Aketernate meminta kepada Nusaina agar bagi hasil tanaman yang ada di atas lahan ulayat diberikan kepada petuanan negeri yang berhak,”tambah Alhidayat Wajo.
Wajo mengatakan soal kemitraan Nusaina dengan masyarakat di luar lahan ulayat petuanan negeri tentunya mengacu kepada Undang-undang yang mengatur batasan luas lahan dan domisili untuk kepemilikan perorangan.
Untuk hak para mitra yang sempat dijanjikan dan menganggap perusahan mengadomba negeri dengan para mitra, perusahan Nusaina membantah dan melakukan klarifikasi bahwa Nusaina Group telah melakukan hasil kepada petuanan Negeri selaku mitra pemilik lahan ulayat dan petuanan Negeri telah menerima bagi hasil tersebut.
Nusaina juga menjelaskan bahwa tatanan adat di pulau seram ternyata hanya mengenal lahan ulayat adalah milik komunal petuanan Negeri. Dengan demikian istilah adu domba tidak ada karena pelaksanaan bagi hasil tanaman di atas lahan ulayat milik petuanan negeri yang dibayarkan kepada petuanan negeri sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.
Ditanya terkait pembagian uang kepada masyarakat, terkait dengan uang mitra atau income desa, Nusaina enggan berkomentar dan menjawab tidak tahu menahu tentang pembagian uang oleh siapa dan kepada pihak mana.
Perampasan Lahan
Dugaan perampasan oleh perusahan perkebunan sawit PT Nusa Ina Group di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Perampasan lahan warga ini berdampak pada ruang hidup masyarakat yang semakin sempit untuk berkebun.
Warga Negeri Aketernate sudah 12 tahun memperjuangkan lahan mereka yang saat ini digunakan PT Nusa Ina Agro Tanah Merah Manise, anak cabang dari PT Nusa Ina Group.
Kasus ini bagi warga Aketernate adalah penyerobotan dan perampasan lahan. Mereka beberapa kali melaporkan kepada pihak perusahan maupun Lembaga GPM yang merupakan mitra perusahan.
Saat ini luas lahan yang ditanami oleh perusahan PT Nusa Ina Agro Tanah Merah berjumlah 1.206 hektar. Dari jumlah itu, sebanyak 556 hektar lahan milik masyarakat adat diduga diseroboti oleh perusahan maupun mitra.
Abraham Ehmuitam Ketua Saniri Negeri Aketernate, mengungkapkan protes penyerobotan lahan masyarakat sampai saat ini tidak dihiraukan kedua belah pihak baik PT Nusa Ina Agro Tanah Merah maupun Lembaga Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM).
Ia sesalkan perusahan telah melakukan penanaman, hingga produksi kelapa sawit tanpa melakukan koordinasi dengan masyarakat setempat.
Abraham menuturkan, langkah penyelesaian telah ditempuh secara kekeluargaan kepada kedua belah pihak, namun hingga kini belum ditanggapi secara serius. Bahkan saat pembagian hasil, mitra dari perusahan enggan berkordinasi dengan masyarakat.
Diketahui, Sinode GPM, wadah terbesar dari Gereja-gereja protestan di Maluku dan Maluku Utara. Keterlibatan dalam proses dugaan penyerobotan lahan masyarakat negeri Aketernate berawal dari hibah masyarakat setempat untuk perkebunan jemaat (jamaah).
Abraham menceritakan Negeri (desa) Aketernate melalui Saniri dan Raja telah menyerahkan tanah seluas 650 hektar kepada pihak gereja untuk berkebun. Tanah yang diserahkan atas dasar kesepakatan bersama pada tahun 1974, tanpa menggunakan sertifikat tanah.
“Tanah ini diserahkan tahun 1974 dari Kepala Desa dan Saniri Desa yakni Anton Wahakayam dengan Yonathan Balkewang dengan luas 650 hektar tapi tanah itu tidak terukur hanya pada saat itu orang tua kami hanya tunjuk-tunjuk saja bahwa batas disitu dan gunung ini dan sungai ini, itu pada tahun 1974,” tuturnya.
Untuk Penyerahan kedua kata Abraham pada tahun 1979. Jumlahnya hampir mencapai 10 ribu hektar. Namun dengan tahun 1974 akhirnya pihak GPM mitra kepada PT Nusa Ina. Namun penyerahan kedua, pihak marga maupun membantah telah menterahkan tanah tersebut.
“Jumlah semua tanah yang diserahkan dari tahun 1974 kepada GPM berjumlah 650 hektar, tahun 1979 berjumlah 10 ribu hektar, jadi total yang diserahkan itu ada sekitar 10 ribu lebih hanya tanah yang terukur di dalam lokasi perusahan yang sekarang terolah berjumlah 1.206 hektar yang didalamnya ada tanah-tanah marga yang sampai saat ini masih memperjuangkan,”paparnya.
Dengan jumlah lahan yang sudah ditanami kelapa sawit oleh perusahan PT Nusa Ina, namun pembagian hasil tidak pernah dirasakan oleh masyarakat pemilik lahan.
Dianggap masalah internal, perusahan tetap menunaikan kewajiban mereka kepada GPM sebagai mitra mereka dengan harga fantastis setiap bulannya.
Menurut Abraham pihak Sinode GPM sebagai mitra sempat melakukan pembayaran dengan system bagi hasil. Namun kata dia, tidak tepat sasaran karena pihak marga sebagai pemilik lahan tidak mendapat hak mereka.
“Setelah mediasi mereka menyampaikan bahwa dari Sinode dari total hasil 5 miliar 2 ratus juta, sinode dapat 30 persen, sementara 70 persen diberikan kepada klasis. Jadi Klasis dapat 70, aketernate dapat 20, Wahakayam dapat 20 persen sementara marga tidak mendapat hak mereka sebagai pemilik tanah,”ujarnya.
Sebelumnya pemilik lahan telah melakukan protes kepada PT Nusa Ina Group agar tidak menyeroboti lahan petuanan mereka, namun para pemilik lahan yang memprotes diamankan oleh aparat keamanan karena dianggap menghalangi pekerjaan perusahaan.
“Sempat kita palang saat alat berat membongkar lahan tanpa izin pemilik lahan, yakni marga Eputi dan marga-marga lain dari Desa Kobi dan Pasahari. Karena tanah-tanah tersebut bukan marga Eputi saja tapi dalam tanah tersebut terdapat juga ada warga beragama Kristen dan islam bersamaan,” tandasnya.
Abraham pun berharap, pihak perusahan dan mitra tidak sewenang-wenang menggunakan lahan dan tetap melaksanakan kewajiban untuk melunasi lahan milik warga yang telah diseroboti selama 12 tahun itu.
Frets Maitimu Kerabat Abraham juga mengakui pernah dihadang oleh aparat keamanan saat melakukan pemalangan lahan yang akan digusur perusahan. Menurutnya pembabatan hutan adat milik mereka tanpa proses perizinan dari masyarakat setempat. Perusahan berdalih lahan tersebut adalah milik mitra Sinode GPM.
“Waktu kita datang ada penebangan, ada yang sudah gusur. Kami bertanya, siapa yang suruh gusur ? Kata mereka tanah ini sudah milik PT Nusa Ina. Yang bingungnya kami siapa yang menyerahkan tanah tersebut. sampai hari ini kami tidak tahu, dan perusahan juga tidak ada niat baik untuk bertanya masalah tersebut,”beber Frets mengingat peristiwa saat itu.
Dengan pengetahuan terbatas, Frets bersama pemililk lahan saat itu akhirnya meminta bantuan kepada lembaga adat saniri Negeri untuk mengembalikan tanah tersebut, namun hingga kini lahan tersebut belum bisa dikembalikan.
Akibat perampasan lahan masayarakat setempat, saat ini ruang untuk bercocok tanam begitu sempit. Warga mengeluh aktifitas berkebun mereka kian terhimpit gegara perkebunan kelapa sawit.
“Kalau tanaman-tanaman yang diserobot perusahan itu ada, seperti sagu, kelapa, pohon-pohon semua digusur semua tanpa pemberitahuan atau pemberian dari marga. Sebagian tanaman warga juga saat ini diseroboti oleh perusahan perkebunan sawit,”tandasnya.
Sementara itu Nusaina menanggapi penyerobotan lahan menjelaskan Nusaina tidak dalam kapasitas menanggapi informasi yang belum tentu benar dan jelas. “silahkan bertanya kepada GPM dan masyarakat dimaksud,”jawab HRD Nusaina Group, Alhidayat Wajo
*****
Artikel ini Merupakan Fellowship Penulis Dari Mongabay Indonesia Tentang “Tata Kelola Kebun Sawit di Indonesia: Peluang dan Tantangan.”
Discussion about this post