- Beberapa orang pekerja sedang memasukkan tanaman cabutan yang diambil dari hutan alam ke dalam polybac untuk dibudidaya (disemai) di desa Maratanajaya, Kecamatan Maba Tengah.
- Sejak akhir 2022, PT. Kirana Cakrawala telah melakukan penanaman untuk Hutan Tanaman Industri yang kini menjadi Hutan Tanaman Energi.
- Rencana pemanfaatan untuk Hutan Tanaman Industri untuk tujuan Hutan Tanaman Energi dinilai menjadi ancaman baru bagi hutan Maluku Utara dan hanya memperkaya para konglomerat.
- Walhi Maluku Utara menilai upaya merubah kondisi hutan dengan jenis tumbuhan monokultur, akan ada pengrusakan pada ekosistem yang dampaknya bukan mengurangi emisi tetapi memperparah kondisi yang ada saat ini.
- Peneliti menilai konsep forest to bioenergy tidak sesuai dengan kondisi wilayah Maluku Utara. Akan lebih baik ketika digunakan konsep Coconut to bioenergy.
titastory.id, ternate -Berawal dari sebuah dialog nasional, pada Kamis (28/1/2021), secara terbuka Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya memberi dukungan terhadap kebijakan Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan mendorong pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk bioenergi atau yang dikenal sebagai “Hutan Tanaman Energi (HTE).”
Pada saat yang sama, Menteri LHK mengatakan telah terdapat potensi-potensi terkait HTI untuk bioenergi, diantaranya terdapat 14 unit usaha dengan luas alokasi untuk tanaman energi seluas 156,032 hektar. Terdapat juga 18 unit usaha di 10 provinsi yang berkomitmen mengembangkan bioenergy.
Tujuan pengembangan HTE adalah untuk memenuhi target penurunan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29 persen, hingga 41 persen. Namun kebijakan terkait dengan HTI yang menyediakan bahan baku untuk produksi biomassa di Maluku Utara, -yang merupakan provinsi dengan banyak pulau-pulau kecil, pun dinilai akan mendorong peningkatan deforestasi di provinsi kelautan ini.
Dalam kunjungan kerja Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ke Kepulauan Tidore, Maluku Utara pada 2019. F.X. Sutijastoto, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM kala itu berencana akan melakukan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di pulau Halmahera.
Kapasitas yang ada sebesar 40 Megawatt (MW) pembangkit diesel menggunakan sistem sewa, yang biaya pembangkitan sangat mahal, yaitu mencapai lebih dari 4.000/kwh.
Dia mengatakan kapasitas pembangkit yang ada, dinilai berisiko karena tidak memiliki cadangan ketika ada kerusakan. Sehingga adanya ketersediaan potensi bioenergi, PLTBm yang direncanakan bakal disiapkan di Desa Oba, Kota Tidore Kepulauan, akan mampu untuk menjadi back-up tambahan. Namun, hingga saat ini PLTBm Sofifi belum melakukan aktivitas.
“Sebelumnya konsep HTI dikenal sebagai aktivitas penebangan kayu dari hutan alam yang dilakukan oleh perusahaan untuk kebutuhan bahan baku industri, seperti tripleks dan material untuk bahan furniture dan lainnya,” jelas Sutijastoto saat itu.
Di jalan masuk menuju salah satu daerah Transmigrasi, Desa Maratanajaya, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur, Maluku Utara, terdapat kantor PT Kirana Cakrawala. Siang itu (6/08/024), Obert Siregar, koordinator lapangan perusahaan, bersama seorang pekerja sedang sedang memindah tanaman cabutan ke dalam polybag untuk dibudidaya pada lokasi persemaian yang berjarak sekitar 50 meter dari kantor PT Kirana Cakrawala.
“Untuk saat ini kita masih beres-beres karena sebelumnya kan sempat pasif. Kalau kita disini fokusnya untuk menghasilkan bahan baku. Untuk proses penanaman sampai tebang, HTI sendiri membutuhkan waktu sekitar 8 sampai 10 tahun untuk usia produktif,” katanya.
Perusahaan itu sendiri sudah beroperasi sejak tahun 1990-an lewat izin Menteri Kehutanan bernomor 184/Kpts-II/1997. Perusahaan yang melakukan produksi kayu dari hutan alam ini sempat pasif pada 2013. Aktivitas PT Kirana Cakrawala ini lalu berlanjut kembali setelah adanya SK Nomor: 936/MENLHK/SETJEN/HPL.0/10/2021.
“Saat ini ada ada sekitar 16 orang pekerja yang beraktivitas di lapangan, saya sendiri masuk dalam bagian pemadam kebakaran, dua bagian lainnya itu, bagian perencanaan dan persemaian,” jelas Nikodemus Banggai, seorang pekerja persemaian yang direkrut dari warga desa setempat. Dia bilang rencana proses produksi akan dimulai pada 2025.
Nikodemus sebut ada beberapa jenis kayu yang ada di persemaian, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jabon (Neolamarckia cadamba), dan binuang (Octomeles sumatrana) sebagai tanaman prioritas.
Untuk eksploitasi dari hutan alam, dia sebut ada beberapa jenis kayu yang menjadi target produksi seperti merbau (Intsia bijuga), matoa (Pometia pinnata), kenari (Canarium sp.), bintangur (Calophyllum sp.), meranti (Shorea sp.), nyatoh (Palaquium rostratum), dan kayu hutan lainnya.
“Kalau wood pellet sudah jalan, akan diekspor ke Jepang. PT Kirana Cakrawala yang produksi, dan nanti Sumber Graha Maluku yang menjual. Setiap pengiriman, sekitar 10 ribu ton,” jelas Arif Budiantoro (54) salah seorang manajer perusahaan menyebut.
Deforestasi dan Pentingnya Memahami Ekologi Pulau Kecil Data riset Forest Watch Indonesia, menyebut luas tutupan hutan Maluku Utara adalah 2,361,723.33 hektar dan terus mengalami penyusutan setiap tahunnya. Menurut FWI “pada tahun 2017-2021 sekitar 237,515.42 hektar kawasan hutan mengalami deforestasi”. Hal ini juga disebabkan karena sejak 1990-an aktivitas HTI telah banyak beroperasi di wilayah Maluku Utara.
Mencermati tingginya deforestasi yang terjadi, Faisal Ratuela selaku Direktur Walhi Maluku Utara menyebut kebijakan HTE berpotensi akan semakin mendegradasi lingkungan hutan yang ada, khususnya di pulau-pulau kecil.
Dia mencontohkan, wilayah-wilayah yang dulunya adalah kawasan hutan alam yang kemudian dijadikan pusat-pusat produksi HTI sekarang menjadi langganan banjir. Seperti yang terjadi di Desa Mafa, Gane Timur, Halmahera Selatan.
“Itu salah satu wilayah bekas HTI, dalam satu tahun ada dua kali banjir karena tidak ada kekuatan daya tampung pada daerah resapan air,” sebut Faisal.
Meski ditujukan untuk memenuhi nilai keekonomian penyediaan tenaga listrik, penggunaan kayu untuk biomassa, alih-alih bakal mengurangi emisi gas rumah kaca, malah akan semakin mendorong laju deforestasi yang ada.
Dari publikasi Forest Watch Indonesia mengungkap solusi transisi energi yang berasas ekonomi kerakyatan pun tak terjawab. Pada akhirnya industri biomassa kayu bakal didominasi oleh oligarki lama. Contohnya PT Kirana Cakrawala, yang merupakan anak perusahaan Sumber Graha Maluku yang berada di bawah lingkup group Sampoerna Kayu.
Menanggapi rencana pengendalian perubahan iklim yang berkaitan dengan transisi energi, Guru Besar bidang Perencanaan dan Sumberdaya Hutan di Universitas Pattimura menyebut , rencana pengembangan industri tanaman energi di wilayah kepulauan harus benar-benar direncanakan matang.
“Bicara tentang Halmahera maka harus diketahui bahwa wilayah itu adalah bagian-bagian kecil yang terbentuk dalam satu luasan yang besar,” jelas Agus lewat sambungan telepon (26/08/2024).
Kepulauan Maluku, jelasnya, memiliki karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sempit dan pendek. Wilayah itu dibatasi oleh punggung bukit yang ketika dicurahi air hujan akan mengalir ke sungai-sungai utama.
DAS seperti di Halmahera secara keseluruhan dalam bentuk geografis seperti itu, memiliki DAS yang sempit dan pendek. Jadi DAS seperti adalah ciri khas daerah pulau-pulau kecil. Selama ini tidak diperhatikan dalam rencana-rencana pembangunan, sekarang mulai dirasakan dampaknya,” sambungnya.
Agus menyebut, perubahan hutan alam menjadi HTI monokultur berarti kawasan itu akan dikonversi terlebih dahulu, baru akan dilakukan penanaman kembali. Akibatnya akan terjadi kehilangan keragaman hayati, perubahan pada siklus air pada DAS yang sempit, serta akan terjadi lepasan emisi.
“Kalau kita punya wilayah hutan yang punya biodiversitas atau sumber daya hayati yang tinggi kemudian dikonversi menjadi hutan tanaman yang monokultur, punya resiko yang sangat besar dan itu sudah terjadi dimana-mana,” terangnya.
“Harusnya” Kata Agus, ada studi kelayakan yang berfokus untuk menghitung konsekuensi yang bakal terjadi akibat dari pengembangan hutan tanaman itu. Sudah harus dibatasi aktivitas yang melakukan konversi hutan.”
Agus menyarankan, alih-alih mengeksploitasi hutan alam, maka bauran energi terbarukan di Maluku bisa diperoleh dari pemanfaatan energi terbarukan yang lain, seperti energi matahari, angin, gelombang laut, maupun mikro hidro. “Ini terutama dalam upaya-upaya pengendalian perubahan iklim,” pungkasnya.
Kelapa, Potensi Bahan Baku Bioenergi di Maluku Utara
Siang itu di bawah rindangnya pepohonan kelapa yang berjejeran dengan rapi di ujung Desa Minamin, kecamatan Ekor, Halmahera Timur.
Artones Ambeua (52), seorang petani kelapa, bersama beberapa anaknya tengah mengumpulkan kelapa kering di kebun kelapa miliknya.
Dalam sekali panen, dia bisa mengumpulkan kelapa sebanyak sepuluh ribu buah kelapa kering.
“Kalau torang (kita) disini memang jadikan kelapa sebagai hasil utama, sekali kumpul (panen) bisa sampai puluhan ribu buah. Tergantung berapa luas dusun (kebun) kelapa,” ujarnya (5/08/2024).
Artones menyebutkan untuk satu buah kelapa biasanya dijual kepada pengepul di desa Ekorino dengan harga Rp 1.300 per buah. “Ya sudah lumayan karena bisa sampai tiga belas, bahkan bisa empat belas juta. Bisa penuhi kebutuhan anak yang sementara kuliah,” katanya sambil tersenyum.
Dalam penelitiannya tentang energi baru terbarukan, Muhammad Syukri Nur menyebut pemikiran tentang forest to bioenergy maupun plantation to bioenergy, harus memperhatikan sisi kearifan, dengan melihat situasi dan kondisi wilayah setempat.
“Perlu ada kearifan; yaitu mampu melihat situasi dan kondisi wilayah setempat. Yang mana, bisa memberikan manfaat lebih banyak terhadap daerah tersebut,” ujar Syukri.
M. Syukri menjelaskan, kalau di Maluku Utara tidak sesuai ketika digunakan konsep forest to bioenergy, akan lebih cocok digunakan coconut to bioenergy, dia percaya karena sumber dayanya melimpah.
“Dengan begitu akan memberikan nilai ekonomi langsung kepada masyarakat paling bawah dengan jangkauan yang lebih besar. Sementara kalau forest to bioenergy, lebih mengarah kepada pengusaha yang memiliki modal besar.”
Kelapa sendiri di Maluku Utara berlimpah. Ada sekitar 200 ribuan hektar luas lahan kelapa. Industri kelapa sendiri mampu menghasilkan bahan pangan, bahan pakan untuk ternak, material serat fiber. Sementara biochar dari tempurung kelapa dapat dijadikan sebagai black pellet maupun arang aktif yang harganya lumayan bagus.
“Kelapa menjadi solusi paling ideal untuk industri green energy di wilayah itu (Maluku Utara). Sehingga mampu menghidupkan industri-industri lain, di sisi lain tidak perlu mengandalkan bahan bakar diesel yang mahal,” tutupnya. (**)
Liputan ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), melalui program Forest Watch Journalist Fellowship tahun 2024.
Discussion about this post