- Kehadiran Perusahaan Geothermal di Kabupaten Buru, tepatnya di Desa Wapsalit, Kecamatan Lolong Guba dengan tujuan eksploitasi panas bumi demi kebutuhan energi listrik tidak diterima masyarakat adat Kabupaten Buru.
- Sejumlah aksi penolakan telah dilakukan, sebab warga masyarakat sudah tahu dampak buruk dari eksploitasi panas bumi oleh pihak perusahaan yang melakukan penambangan.
- Bentuk penolakan yang pertama karena pemilik lahan dari Soa Behuku menyayangkan sikap Pemerintah Kabupaten dan perusahaan yang tidak melakukan sosialisasi, komunikasi dengan masyarakat adat khusus pemilik lahan sebelum beraktivitas.
- Tersirat bahwa jabatan adat Matlea Gewagit diketahui masyarakat adat pulau Buru. Dan mereka tahu bahwa Titar Pito Soar Pa adalah tempat yang menjadi identitas masyarakat di Pulau Buru.
- Panas Bumi bukan solusi satu satunya untuk penyediaan kelistrikan di Kabupaten Buru. Masyarakat merasa aman dan nyaman hidup dengan Solar Cell yang mengandalkan energi surya untuk keperluan hari- hari sebab listrik yang bersumber dari PLN sering padam.
- Di Kabupaten Buru sebanyak 12 Puskesmas justru mengandalkan Solar Cell untuk proses pelayanan kesehatan, lagi lagi karena listrik sering padam.
- JATAM menekankan, proyek geothermal di Desa Wapsalit, Kabupaten Buru mestilah dievaluasi karena sesuai amanat UU masyarakat berhak atas hidup aman dan sehat.
- Dosen Politeknik Negeri Ambon menerangkan bahwa solar cell adalah energi terbarukan yang melimpah dan ramah lingkungan.
titaStory.id,namlea, – “Apakah panas bumi itu penting ? demikian dilontarkan Slamet Behuku mengawali wawancara di rumahnya, Jumat, (26/7/2024).
Terlihat menahan geram sosok pria yang dihormati oleh masyarakat adat Buru ini mulai menerangkan tentang masuknya perusahaan PT Ormat Wapsalit sambil mengambil sebilah pisau dan membela buah pinang.
Membelakangi tembok rumah yang belum diplester, Slamet Behuku mulai bicara soal aktivitas di lokasi penambangan panas bumi (geothermal) di Desa Wapsalit, Kabupaten Lolong Guba, Kabupaten Buru
“ Ini barang, panas bumi ini dia tidak jelas, panas bumi itu tidak terlalu penting, justru akan membuat susah banyak orang, “ kata Slamet Behuku sosok yang dalam kedudukan adat disebut Matlea Gegawit Titar Pito.
Dia bilang, Pemerintah Kabupaten Buru dan Perusahaan PT Ormat Wapsalit yang melakukan eksplorasi di tanah Titar Pito wajib melakukan pertemuan dan sosialisasi dengan masyarakat adat Titar Pito, khusus 7 marga atau 7 Soa.
“ Jangan main masuk sesuka hati, lalu menggusur dan merusak. Mestinya ditanya dahulu itu lahan milik siapa?, milik marga apa?. “ ucap Behuku.
Kembali menegaskan, “Apakah Panas Bumi itu penting ?
Dia mengulas, sebelum listrik PLN masuk ke Desa Waeflan, tempat tinggalnya warga pernah menggunakan energi tenaga surya atau solar cell. Dan masih ada masyarakat yang menggunakannya.
“ Yang kami tahu energi surya atau mengandalkan sinar matahari. Dan sejumlah warga yang masih menggunakannya, walaupun sudah ada listrik dari PLN. Mengapa tidak dipakai saja, lebih aman ketimbang panas bumi, itu kan membahayakan “ ucap Behuku seraya membuang ludah ke luar pintu rumahnya.
Stel, kemeja batik dan efutin , Behuku menerangkan teknologi solar cell lebih mudah digunakan dan ramah lingkungan.
“Berbeda dengan panas bumi, “terangnya,” banyak bapak bapak (orang orang dihormati-red) yang bilang panas bumi merugikan untuk tanah, udara dan air. Jadi kami sudah mulai paham,” terangnya.
Terus berkata, dia menekankan akibat masuknya perusahaan PT Ormat Wapsalit, perusahaan penambangan panas bumi kehidupan masyarakat adat di Pulau Buru mulai terusik. Benih benih konflik kepentingan mulai muncul, sehingga jabatan adat seakan dimanipulasi.
“ Saya contohkan dalam jabatan adat di Pulau Buru, jabatannya sebagai kepala adat, namun mengakui sebagai penguasa dataran tinggi sehingga mereka inilah yang membuka ruang agar perusahaan bisa masuk ke lokasi milik warga dan beraktivitas. Itu tindakan yang berlebihan. Nah situasi ini pun memicu konflik di antara masyarakat adat.
“ Jadi kondisinya sebagian besar masyarakat adat menolak aktivitas penambangan panas bumi, sebab itu tidak penting, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Kalau yang mau menerima itu karena mereka mau uang saja, “ tekannya.
“ Tanya dolo (dahulu) areal itu sapa (siapa) punya, suku ap punya,” tekannya.
Karena dunia sekarang ini banyak orang adat hanya mau uang saja, namun tidak tahu seluk beluk dampak kedepannya.
“ Jang Cuma mau uang saja, lalu mau ambil orang punya, lalu salah paham dan jadi masalah sesama orang adat,“ ungkap Matlea Gewagit.
Dia bilang, panas bumi ini punya efek sangat banyak, dan ini informasi ini kami dapat dari mahasiswa, LSM saat melakukan advokasi.
“ Katong (kita) ini awalnya seng (tidak) tahu, tetapi ada yang sudah kasi tahu apa efek nya,’’ tuturnya.
Menurutnya, lebih baik pakai tenaga surya, karena masyarakat adat sudah paham dan sudah tahu karena pernah menggunakan sebelum listrik PLN ada.
Senada dengan itu, pemuda adat Kabupaten Buru, Soni Behuku menekan sebagian besar masyarakat adat Soar Pito Soar Pa tidak terima dengan investasi PT Ormat Wapsalit.
“Hadirnya PT Ormat Geothermal ini bukan memberikan solusi namun menciptakan potensi konflik sosial antar masyarakat adat,” tekan Soni.
Tawaran pemerintah soal hadirnya perusahaan tambang geothermal ini dalam kaitan dengan penyediaan listrik, menurutnya tidak ada keterbukaan soal dampaknya.
Yang disampaikan yang baik baik saja, padahal geothermal atau panas bumi inikan memiliki dampak kerugian juga, jangan karena kami orang kampung lalu kami seakan di tipu,” ucap Soni.
Dia juga menyinggung tentang salah satu program strategis yaitu pembangunan bendungan Waeapo. Itu juga dalam kaitan dengan penyediaan pasokan listrik. Letaknya tidak begitu jauh dengan lokasi penambangan panas bumi.
“ Ini menjadi pertanyaan besar masyarakat adat, kalau sudah ada bendungan atau waduk untuk kepentingan pasokan listrik untuk apa ada lagi PT Ormat Wapsalit,” tegasnya.
“Jika harus memilih, baik bendungan dan panas bumi tetap memiliki efek untuk manusia maupun lingkungan. Berbeda dengan energi surya atau solar cell. Kan tidak merusak lingkungan. Kalau dibangun instalasi skala besar bisa menyediakan pasokan listrik di Kabupaten Buru,” ujarnya.
Simpulnya, pemuda lulusan salah satu perguruan tinggi di Sulawesi ini meminta agar aktivitas penambangan panas bumi wajib ditinggalkan dan segera melakukan rehabilitasi kawasan yang sudah digusur untuk proses eksploitasi.
Dia menekankan penggunaan listrik yang bersumber dari geothermal (panas panas bumi) di Kabupaten Buru bukanlah solusi.
Esensial bahwa lahan yang kini telah dimasuki dan dirusak itu adalah tempat sakral masyarakat di Pulau Buru, yang tentunya tindakan untuk mengizinkan masuknya perusahaan tersebut adalah bentuk penghinaan atas budaya orang Buru.
“ Saya minta prospeknya ditinggalkan, karena penolakan akan terus dilakukan, jangan karena kebijakan pemerintah lalu mengabaikan hak- hak kami sebagai masyarakat adat. Jangan menciptakan konflik sosial, jangan bujuk kami dengan uang. “ tekanya tegas.
Energi listrik telah menjadi kebutuhan primer. Namun tantangan yang dihadapi adalah makin bertambahnya populasi manusia dengan segala kebutuhan sehingga kebutuhan listrik kian bertambah.
Di Pulau Buru pasokan listrik dari rasio penyediaan listrik telah ada pada angka 92,59 persen dari sumber tenaga diesel. Yang berarti kebutuhan pasokan listrik di Pulau dengan dua kabupaten itu masih tersisah 7,41 persen tahun 2023.
Syaiful Ali, Manager Komunikasi & TJSL PlN UIW MMU, saat diwawancarai via handphone, jumat (26/07/2024) menjelaskan dalam hitungan PLN, pasokan listrik di Pulau Buru, Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan dari 100 persen rasio elektrifikasi atau persentase kebutuhan listrik di Pulau Buru, PLN baru memenuhi 92,59 persen di Tahun 2023.
Kalau dirincikan, dari 89 desa yang ada di Pulau Buru, baru 75 desa yang sudah dan enam desa belum. Enam desa tersebut adalah Desa Wamkana, Batu Tulis, Waituren, Waihaka, Waewali dan Sialale.
Dikatakan, enam desa ini kenapa belum terlistriki, dan direncanakan tahun ini, karena ada kendala di lapangan yaitu akses jalan yang belum disiapkan oleh Pemerintah Daerah. Karena belum ada akses jalan banyak pohon pohon liar yang tumbuh.
Kendala yang berikut adalah pohon pohon produktif milik masyarakat tidak direlakan untuk ditebang.
“ Itu kondisinya, selain tidak ada akses jalan, pohon produktif masyarakat tidak rela untuk ditebang untuk pemasangan jaringan,” ucapnya.
Sehingga ada ada jaringan listrik yang telah dibangun di antara enam desa itu kembali rusak karena pohon tumbang sehingga jaringan yang telah dibangun harus diperbaiki kembali agar bisa dioperasikan.
“ Jadi ada pengusaha yang baru membangun usahanya dan belum menghasilkan sudah rusak usahanya karena tidak ada pasokan listrik,” jelasnya.
Dia mengakui persoalan kelistrikan adalah tanggung jawab PLN namun akses pendukung lainnya jua mesti dipersiapkan salah satunya akses jalan dan kerelaan masyarakat untuk menebang tanaman atau pohon produktif atau yang menghasilkan.
Ketika ditanya soal kawasan yang berada di luar enam desa yang belum teraliri listrik seperti di Desa Waengapan, Lele, Nafrua yang berada di Daerah Administrasi Kecamatan Lolong Guba, kemudian di Desa Waemite, Desa Waereman dan Desa Wasi, yang ada di Kecamatan Fena Leisela, Ali menerangkan, bahwa skala pemenuhan listrik di Pulau Buru ada dalam perhitungan skala desa, bukan skala dusun.
“ Jadi kita hitung per desa, tidak per dusun, sehingga rasio penyediaan kelistrikan di Pulau Buru masih ada pada angka 92,59 persen,” tegas Ali.
Diperhadapkan dengan kondisi ini dan dorongan untuk menggunakan sumber energi terbarukan nol karbon dan salah satu sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan energi surya atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
Di sejumlah wilayah di Pulau Buru, tepatnya di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku masih ada masyarakat yang belum menikmati listrik. Ada kelompok masyarakat yang hidup dengan penerangan pelita. Pelita adalah wadah yang diisi dengan minyak tanah diberikan sumbu lalu di bakar untuk menerangi ruangan, termasuk menggunakan getah dari pohon damar.
Di Kantor Desa Waeflan, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru masih terpasang panel Solar Cell. Panel ini digunakan saat listrik PLN padam. Selain untuk menerangi kantor, warga di desa itu menggunakan untuk memasok setrum ke baterai atau aki dengan cara dicas.
Sunoto, Pejabat Kepala Desa Waeflan kepada titaStor.id, kamis (25/07/2024) di ruang kerjanya mengatakan panel surya yang dipasang di Kantornya sudah ada sejak lima tahun lalu. Kini dipergunakan untuk penerangan kantor jika lampu PLN padam.
“ Memang tidak bisa digunakan untuk kepentingan perlengkapan elektronik perkantoran, namun setidaknya panel ini sering digunakan untuk penerangan jika listrik PLN padam, karena kalau sekali padam lama waktunya untuk menyala. “ ujarnya.
Sunoto juga menyampaikan, panel yang ada di kantor desa kini digunakan masyarakat, termasuk masyarakat yang daerahnya belum teraliri listrik. Panelnya tenaga surya digunakan untuk pengisian daya pada aki atau baterai dengan cara dicas.
“Lebih banyak yang menggunakan itu warga yang belum memiliki aliran listrik, mereka datang dari kampung mereka dan mengecas aki atau baterai untuk penerangan, termasuk petani daun kayu putih yang kerap kali memasak daun kayu putih, “ ungkapnya.
Aki berfungsi sebagai sumber listrik dengan daya sistem elektronik dan bisa menghidupkan lampu, kipas, radio, dan lain-lain.
Di Desa Waeflan telah ada aliran listrik PLN namun solar cell masih digunakan. Warga disana menyampaikan untuk mengurangi biaya saat pembayaran rekening listrik PLN.
“ Ini lebih hemat, efektif selama panelnya berfungsi ini yang dipakai kalau untuk ngecas aki alat semprot. Kalau gunakan listrik PLN untuk pengecasan saat bayar rekening listrik mahal. Demikian disampaikan Paidi, petani sayur di Desa Waeflan.
Dia menerangkan panel surya miliknya telah menemani keluarganya selama 5 tahun. Di rumahnya belum teraliri listrik, sekalipun di atas atap rumahnya ada bentangan kabel listrik.
Dia mengakui telah meminta untuk melakukan pemasangan namun belum ada respons.
“ Malas juga dibilang ke PLN tetapi tak ada respons, saya malah terbantu dengan panel surya ini. “ katanya sambil menunjuk sebuah benda berbentuk empat persegi yang di taman sama tinggi dengan atap rumahnya.
Diwawancarai, Paidi menerangkan dengan menggunakan Aki yang telah diisi aliran listrik dari panel surya bisa menerangi rumahnya.
Saya menggunakan Aki 6 Ampere dan bisa digunakan satu malam Jika akinya Amperenya lebih besar pasti bisa digunakan dalam waktu yang lama.
Dirinya mengakui, para tetangganya telah terpasang aliran listrik PLN, dan ketika lampu padam, kadang hanya rumahnya yang memiliki cahaya, karena dia memiliki panel surya.
“ Ya kadang kalau mati lampu tetangga saya sering datang bersantai sambil menunggu lampu PLN menyala. “ lugasnya sambil tersenyum.
Paidi menyampaikan selain untuk penerangan panel miliknya ini juga digunakan untuk pengisian energi pada alat semprot sayur miliknya.
“ Alat semprot itu membutuhkan tenaga listrik, batre nya itu di cas, dan saya gunakan panel ini. Tidak perlu perangkat lain karena di panelnya sudah DC dan AC,” jelasnya.
Ancelma Nurlatu, Ibu Rumah Tangga di Desa Persiapan Waeflan Baru menerangkan panel tenaga surya (solar cell) yang ada di rumahnya telah digunakan selama 14 tahun, yakni sejak tahun 2010. Kendati aliran setrumnya sudah mulai lemah, namun masih bisa digunakan.
“ Sudah lama digunakan, setrumnya sudah mulai kurang, biasa kami cas Aki 1 jam sudah full, kini harus menunggu hingga 2 sampai tiga jam,” ungkap Ancelma.
Dia menerangkan di rumahnya telah dipasang listrik PLN, namun dia tetap menggunakan aliran setrum dari solar sel untuk melakukan pengisian baterai atau aki termasuk baterai handphone dan sebagainya.
“Kalau pakai listrik PLN untuk cas aki, nanti katong (kita) bayar listrik mahal. Kalau pakai cas bayar listrik bisa ratusan ribu. Kalau katong ada pakai aki dari tenaga surya ini bayar listrik puluhan ribu saja,” tukas Ancelma.
Dilansir dari sunenergy.id, dalam skala besar panel surya atau solar cell disebut Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTS adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan energi dari radiasi matahari untuk menghasilkan energi menggunakan panel surya fotovoltaik sebagai komponen utama yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dan dapat digunakan untuk kebutuhan listrik hari hari.
“Arus listrik yang dihasilkan oleh panel surya fotovoltaik. Arus listriknya searah (DC) sehingga untuk mengkonversi dibutuhkan komponen lainnya yang disebut inverter. Inverter memiliki kegunaan untuk mengkonversi arus listrik searah (DC) menjadi arus listrik bolak-balik (AC), “ jelas jurnal ini.
Solusi Penyediaan Energi Listrik Ramah Lingkungan (PLTS)
Lory Marcus Parera, S.T., M.T., IPU, Dosen Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri (Poltek) Ambon kepada titaStory.id, selasa (30/7/2024) melalui telepon genggam menjelaskan, salah satu bentuk energi yang banyak dipergunakan di dunia adalah energi listrik, dan merupakan kebutuhan dasar manusia. Listrik dapat dibangkitkan melalui berbagai sumber energi yang berbeda baik menggunakan sumber energi fosil (seperti minyak bumi, batubara, dan gas-alam) maupun sumber energi terbarukan (seperti matahari, hidro, angin, panas bumi dan biomassa) yang disebut energi terbarukan.
Mengapa energi terbarukan?
Parera bilang, banyak alasan mengapa energi terbarukan menjadi pilihan. Diantaranya relatif tidak mahal, bersifat netral karbon, tidak menimbulkan polusi, sehingga mendapatkan dukungan baik pemerintah maupun swasta untuk menggantikan solusi energi tidak terbarukan. Ada banyak sumber-sumber energi utama dan digolongkan menjadi dua kelompok besar yakni, (1)Energi konvensional, yaitu energi yang diambil dari sumber yang hanya tersedia dalam jumlah terbatas di bumi dan tidak dapat diregenerasi. Sumber-sumber energi ini akan berakhir cepat atau lambat dan berbahaya bagi lingkungan. Contoh PLTD, PLTU. (2) Energi terbarukan, adalah energi yang dihasilkan dari sumber alami seperti matahari, angin, dan air dan dapat dihasilkan lagi. Sumber akan selalu tersedia dan tidak merugikan lingkungan
Menerangkan lebih lanjut, implementasi teknologi ini masyarakat pedesaan bisa memberikan peluang kemandirian masyarakat perdesaan untuk mengelola dan mengupayakan kebutuhan energi mereka sendiri beserta solusinya.
“Dalam beberapa tahun terakhir, Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) mengambil peranan penting dalam meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah pedesaan di Indonesia. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) dan sejumlah institusi lain termasuk sektor swasta, telah berusaha meningkatkan kualitas dan keandalan instalasi sistem PLTS dengan kualitas yang baik dapat merupakan kunci penting dalam keandalan dan berkelanjutan sistem PLTS “ jelas Parera.
Mengenal Energi Solar
Ketua Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Ambon ini juga menyampaikan energi yang dipancarkan oleh matahari yang mencapai bumi setiap menit akan cukup untuk memenuhi kebutuhan energi seluruh penduduk manusia di planet kita selama satu tahun.
“Setiap hari, kita menggunakan tenaga surya, misal untuk mengeringkan pakaian atau mengeringkan hasil panen. Tenaga surya juga bisa dimanfaatkan dengan cara-cara lain, “ ungkap Pria diketahui adalah Ketua Tim Pokja NZMATES dan Politeknik Negeri Ambon dalam kaitan dengan pengembangan energi baru terbarukan di Maluku.
Menurutnya, sel surya disebut dengan Sel Fotovoltaik yang mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik secara langsung. Matahari bisa menjadi sumber energi yang sempurna untuk menyediakan tenaga listrik yang diperlukan di seluruh dunia.
“Sayangnya energi yang berasal dari matahari tidak bersifat homogen. Nilai segeranya tidak saja bergantung kepada cuaca setiap hari, namun berubah-ubah sepanjang tahun.
“Artinya, energi yang tersedia untuk mengoperasikan peralatan listrik juga akan berubah-ubah. Setiap hari matahari terbit di timur, dan ketika semakin meninggi di langit, maka volume energinya meningkat hingga mencapai puncaknya pada tengah hari (setengah rotasi antara terbit dan terbenam),” paparnya.
Setelah itu “katanya,” pada saat matahari bergerak ke arah barat, energi yang tersedia berkurang. Iradiasi harian disebut waktu puncak matahari. Jumlah waktu puncak matahari puncak untuk hari adalah jumlah waktu dimana energi 1 kW/m akan memberikan sebuah jumlah yang ekuivalen untuk total energi hari tersebut.
Waktu puncak matahari (Peak Sun Hours (PSH) diperlukan untuk mengukur sistem surya dengan benar.
Lanjut, nilai irradiance (radiasi) matahari maksimum digunakan dalam perancangan sistem untuk menentukan tingkat puncak input energi memasuki sistem matahari. Jika penyimpanan dimasukkan ke dalam perancangan sistem, maka penting untuk mengetahui variasi irradiance matahari selama periode tersebut untuk mengoptimalkan desain sistem.
“Kita perlu mengetahui berapa banyak tenaga surya telah tertangkap oleh modul surya selama kurun waktu seperti hari, minggu atau tahun.Inilah yang disebut dengan radiasi matahari atau irradiation,” terang sosok yang dikenal sebagai Trainer PLTS (O&M) yang sudah malang melintang di sejumlah Kabupaten di Maluku ini.
Dengan memfokuskan bagian ini,” katanya,” semua pemanfaatan tenaga surya, seperti penggunaan energi cahaya matahari, orientasi peralatan yang digunakan untuk mengkonversi atau menyerap energi dari matahari sangatlah penting dalam menggunakan modul surya fotovoltaik (PV) yang mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik.
Dosen mata kuliah energi baru terbarukan ini juga mengungkapkan, jumlah energi listrik yang dihasilkan oleh modul PV bergantung kepada tenaga surya yang tersedia, dan yang sangat khusus, bergantung kepada arah modul surya terhadap matahari. Jika modul surya dipasang di selatan ekuator, maka harus menghadap utara dan sebaliknya.
Cara kerja PV
Secara spesifik, Parera menjelaskan, Sel Fotovoltaik (PV) pada umumnya dapat bekerja apabila menerima cahaya foton dari matahari dan cahaya foton tersebut diterima oleh sel surya dimana pada sel surya dapat mengkonversikan energi foton menjadi energi listrik. Proses pengubahan atau konversi cahaya matahari menjadi listrik ini dimungkinkan karena bahan material yang menyusun sel surya fotovoltaik berupa semikonduktor.
“Sel surya tersusun dari dua lapisan semikonduktor dengan muatan yang berbeda. Lapisan atas sel surya bermuatan negatif (n) sedangkan lapisan bawahnya bermuatan positif (p), “ pungkasnya.
Dia juga bilang ada dua jenis utama Teknologi PLTS. Yaitu (1) Photovoltaic (PV): Teknologi PV surya menangkap cahaya matahari (Foton) untuk menghasilkan tenaga listrik, (2)Tenaga Surya Terkonsentrasi / Concentrated Solar Power (CSP): memanfaatkan panas matahari (dipantulkan menggunakan cermin / heliostat) dan menggunakannya untuk menghasilkan energi termal yang menggerakkan pemanas atau turbin.
Energi dari sinar Matahari “ tuturnya”, ditangkap oleh Sel Foltovotaik dan dikonversi menjadi energi listrik arus searah (DC), Kemudian di Inverter diubah ke arus bolak balik (AC) untuk disalurkan ke Beban/ Peralatan listrik. Dalam PLTS kita kenal Cell, Module, Panel/String, Array.
Dirinya optimis, PLTS memiliki potensi yang besar. Karena banyak masyarakat yang ingin mengintegrasikan energi listrik konvensional yang terhubung dengan jaringan listrik nasional dengan energi surya.
“Selain diminati di skala perumahan, kedepannya akan digunakan dalam skala industri atau pabrik, residensial, komersial, dan lainnya, “ ujar Parera.
Dia pun memprediksi, kedepan biaya listrik akan meningkat seiring makin kurangnya sumber energi. Hampir semua wilayah di Indonesia menggunakan bahan bakar batu bara dan minyak. Tingginya kebutuhan dan kurangnya bahan baku akan berdampak pada tingginya permintaan harga listrik sehingga akan berdampak pada ekonomi masyarakat.
Sementara itu saat ditanyakan soal, pasokan kebutuhan listrik menggunakan PLTS, dirinya menyampaikan secara spesifik di Pulau Buru dirinya belum bisa menjelaskan karena perlu ada kepastian soal jumlah pelanggan, namun secara teori bisa dengan analisis kebutuhan harian.
“Kebutuhan beban harian dalam artian pemakaian energi listrik per hari per jam. Jadi semisal beban lampu philips 10 watt 5 buah, durasi menyala 12 jam maka 10x5x12 hasilnya 600 Wh, “ ujarnya.
Dia menambahkan, beban harian merujuk pada jumlah total konsumsi listrik yang terjadi dalam satu hari di suatu area atau sistem tertentu dan mencakup seluruh konsumsi listrik dari berbagai sektor, baik rumah tangga, industri, komersial, dan publik.
“ Beban harian sangat penting untuk pengelolaan jaringan listrik karena membantu operator mengetahui puncak penggunaan energi, merencanakan distribusi, dan mengoptimalkan efisiensi sistem tenaga listrik,” tutupnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Yulianis Rahim yang dikonfirmasi titastory.id, via WhatsApp, Jumat (26/07/2024) menyampaikan solar sel merupakan program dari Kementerian Kesehatan RI.
Digalakkannya program pemasangan solar cell pada Puskesmas kata Rahim karena banyak daerah, khusus daerah terpencil yang sering mengeluhkan padamnya lampu.
Menurutnya, Puskesmas adalah instansi penting pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dan banyak berada di kawasan terpencil.
“ Iya Solar itu program dari Kementerian Kesehatan RI. Karena banyak daerah yang mengeluh sering mati lampu, terutama daerah- daerah terpencil.
Dirinya menerangkan di Kabupaten Buru terdapat 13 Puskesmas, dan sudah 12 Puskesmas telah dipasang perangkat solar cell atap.
“Sudah 12 Puskesmas yang sudah dipasang solar cell, hanya 1 Puskesmas yang belum,” jawabnya.
Dia menyebutkan Puskesmas yang telah dipasang solar cell adalah Puskesmas Namlea, Puskesmas Savanajaya, Puskesmas Mako, Puskesmas Sawa, Puskesmas Waplau, Puskesmas Lolong Guba, Puskesmas Waelo, Puskesmas Air Buaya,Puskesmas Wamlana, Puskesmas Bara, Puskesmas Kayeli dan Puskesmas Ilath. Semetara satu puskesmas yang belum terpasang adalah Puskesmas Waegrahe.
Dia menerangkan belasan puskesmas yang telah dipasang solar cell memiliki daya pasokan listrik sebesar adalah 10 KwH.
Jadi dengan pasokan listrik yang besar inilah maka pelayanan di Puskesmas akan berjalan maksimal dan para tenaga kesehatan tak perlu lagi khawatir di saat mati lampu.
“ Selain karena adanya keluhan sering padam lampu dari PLN, solar cell atau tenaga surya ini juga adalah cara menghemat biaya listrik. “ katanya.
Di tahun 2023 silam, mantan Penjabat Bupati Buru. Djalaludin Salampessy pernah meresmikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Puskesmas di Desa Wanakerta Kecamatan Lolong Guba yang didanai dengan Dana Alokasi Khusus ( DAK ) 2023 oleh Kementrian Kesehatan.
Saat dikonfirmasi, mantan penjabat Bupati ini menerangkan semua Puskesmas di Kabupaten Buru telah dipasang perlengkapan solar cell.
“ Semua Puskesmas telah dipasang, dan umumnya menggunakan DAK Kementerian Kesehatan,” singkatnya.
Dia juga menyampaikan,untuk mendukung penggunaan energi baru dan terbarukan, pemerintah telah mulai menggunakan energi surya untuk melistriki fasilitas publik untuk menerangi kawasan luar ruangan tujuannya untuk menghemat anggaran.
Halnya dilansir dari https://ebtke.esdm.go.id/post, pemerintah telah mendorong penggunaan energi surya sebagai pilihan dan menjadi prioritas.
Artikel ini juga menjelaskan tentang posisi Indonesia yang telah berkomitmen di dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan target sebesar 29% pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri (target sektor energi sebesar 314jt ton CO2) dan target sebesar 41% dengan bantuan internasional. Pembangunan sektor energi baru dan terbarukan merupakan salah satu aksi mitigasi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendukung energi yang berkelanjutan.
Dalam kaitan dengan itu, lagi lagi Soni Behuku, menerangkan, pemanfaatan sumber sumber energi baru terbarukan untuk pemenuhan ketersediaan listrik yang ramah lingkungan itu sangat diperlukan.
Sehingga, “kata Soni”, geothermal atau panas bumi di Desa Wapsalit bukan solusi tepat . Alasan utamanya karena lokasi eksploitasi adalah kawasan keramat yang merupakan identitas masyarakat di pulau Buru.
Alasan yang berikut, bahwa di Kabupaten Buru sedang ada pengembangan listrik tenaga air, dan prospeknya adalah pembangunan bendungan Waeapo.
“ Seolah ada tumpah tindih kegiatan, jika sudah ada prospek bendungan Waeapo untuk kegiatan kelistrikan untuk apalagi geothermal?, apakah se urgen itu kebutuhan listrik di Pulau Buru?” tanya Soni.
Dia menyampaikan masuknya PT Ormat telah mengakibatkan adanya konflik sosial antara masyarakat adat. Sementara pemerintah dan pihak perusahaan tidak memiliki solusi penyelesaian alias pembiaran.
Dia pun menerangkan, pendaratan sebuah kegiatan mestilah dimulai dengan sosialisasi atau kajian apakah cocok untuk masyarakat atau berdampak pada alam dan lingkungan atau tidak.
“ Saya berpendapat untuk Kabupaten Buru yang lebih cocok digunakan itu adalah pembangkit listrik tenaga surya. Karena di Kabupaten Buru panas lebih banyak dari hujan, “ ungkapnya.
Katanya, hamparan pohon daun kayu putih yang luas, dan merupakan lahan kritis adalah ciri alami bahwa pembangkit tenaga listrik di Kabupaten Buru itu sangat tepat.
Halaman 25, Jurnal Kementerian Sosial, Pedoman Prototipe Energi Terbarukan Tenaga Surya di Puskesmas menjelaskan, keunggulan utama pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah tidak bergantung pada lokasi di mana sumber energi berada. Berbeda halnya dengan geothermal dan air yang sangat bergantung pada lokasi sumber energi berada sehingga listrik dan pembangkitan kedua sumber energi tersebut membutuhkan infrastruktur memadai untuk menjangkau daerah- daerah yang membutuhkan.
Di Indonesia Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) umumnya memiliki lama penyiraman sinar matahari selama 5 jam. Dan untuk skala rumah tangga telah digunakan khususnya daerah- daerah terpencil.
Dijelaskan juga pada Bab 2, halaman 29 bahwa PLTS adalah satu pembangkit listrik sederhana dan mudah di pasang di rumah/puskesmas sehingga PLTS merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan listrik yang ramah akan lingkungan.
Sebagai daerah tropis PLTS banyak diminati, dan bisa digunakan untuk keperluan apa saja dan di mana saja. Persediaannya tanpa batas, nyaris tak ada dampak buruknya terhadap lingkungan dibandingkan bahan bakar lainnya.
Elvis Hukunala (32), tokoh Agama di Desa Waengapan, via handphone, 28/7/2024 menerangkan pada tahun 2017 ada bantuan lampu tenaga surya oleh Kementerian. Kondisinya perangkat lampu dengan tenaga surya tersebut rata rata sudah rusak.
Baterainya rusak, tidak lagi menyimpan arus listrik. Baterainya berukuran kecil. Saat masih berfungsi mampu bertahan selama 24 jam dalam penerangan.
“ Kendala kerusakan ada di Batre Nya saja,” ungkap Elvis.
Dia pun menerangkan persoalan pengisian juga kadang dipengaruhi cuaca panas. Namun demikian sejak tahun 2017 hingga tahun 2021 peralatan itu masih sempat dipakai, setelah itu karena rusak lalu ditinggalkan.
Dia juga mengakui di desanya listrik PLN belum aktif, sekalipun sudah ada pemasangan jaringan berupa tiang dan kabel.
Ketika ditanya mengapa belum disambung ke rumah warga, dirinya mengatakan hal itu belum dapat dipastikan.
Dilansir dari liputan6.com tahun 2017 Kepala Unit Pengendalian dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon Laksmono Himawan saat itu mengatakan, Pemasangan LTSHE menyasar desa-desa yang belum menikmati listrik. Dengan harapan, dapat menambah tingkat pemerataan listrik (rasio elektrifikasi) di Indonesia.
Menjelaskan, Pulau Buru terdiri dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Buru Selatan dengan jumlah penerima 875 rumah tangga dan Buru Selatan 311 rumah tangga.
Untuk Kabupaten Buru terdiri dari Kecamatan Lolong Guba di Desa Waengapan 100 keluarga, Lele 105 keluarga dan Nafrua 278 keluarga. Kecamatan Fena Leisela, Desa Waemite 136 keluarga, Desa Waereman 182 keluarga dan Wasi 74 keluarga.
Kabupaten Buru Selatan terdiri dari Kecamatan Namrole, dimana Desa Waenalut 98 keluarga, Wamkana 23 keluarga, Namrinat 83 keluarga, Labuang 83 keluarga dan Waenono 24 keluarga.
Berkaitan dengan efektif dan layaknya penggunaan solar cell, Pengurus Yayasan Harapan Bangsa Lentera Mandiri (HBLM) Petrus Panaka, yang diwawancarai media ini menerangkan HBLM dalam menyukseskan program “Terangi Desaku” ditahun 2019 telah melakukan pemasangan puluhan instalasi Solar Cell Lighting di sejumlah desa di Kawasan Danau Rana, yakni salah satu kecamatan yang berjarak Puluhan Kilometer dari pusat Kota Pulau Buru.
Dia menerangkan karena pentingnya akses penerangan, pihaknya telah melakukan pemasangan Solar Cell Lighting di rumah penduduk, walaupun tidak semuanya. Di mana tiap desa di pasang 5 Solar Cell Lighting. Yang diutamakan adalah Pastori (rumah tinggal pendeta kristen)
“ Lima tahun lalu harganya paket solar cell 4-5 juta, namun kini harganya sudah terjangkau dan berada di bawa 1 jutaan rupiah. Ini cocok untuk kawasan yang belum teraliri listrik dan susah dalam jangkauan,” tegasnya saat di konfirmasi via handphone, kamis (25/07/2024).
Geothermal di Pulau Buru
Dalam kaitan dengan penyediaan energi terbarukan, geothermal atau panas bumi merupakan satu dari sekian banyak cara untuk mendapatkan sumber energi baru sehingga ketergantungan sumber energi fosil bisa ditinggalkan.
Namun demikian, investasi pengembangan geothermal di Indonesia terhalang dan semua wilayah yang menyimpan potensi geothermal belum dapat difungsikan akibat terhalang dengan regulasi hukum di Indonesia.
Geothermal didefinisikan sebagai aktivitas pertambangan (Undang-Undang No. 27/2003) implikasinya berupa larangan dilarang untuk tidak dilaksanakan di wilayah hutan lindung dan area konservasi (Undang-Undang No. 41/1999), walaupun faktanya aktivitas-aktivitas tambang geothermal hanya memberikan dampak kecil pada lingkungan (dibandingkan aktivitas-aktivitas pertambangan yang lain).
Di Indonesia 80% cadangan geothermal Indonesia terletak di hutan lindung dan area konservasi, sehingga mustahil untuk memanfaatkan potensi ini.
Karena alasan itu, diduga kuat eksplorasi geothermal di Desa Wapsalit, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru pun dilirik.
Di kawasan tersebut bukan merupakan kawasan konservasi atau hutan lindung. Namun di kawasan tersebut adalah milik masyarakat adat Soar Pito Soar Pa atau Titar Pito.
Sejak masuknya PT Ormat Wapsalit di kawasan Desa Wapsalit ada sejumlah pertanyaan pun bermunculan tentang apakah penambangan panas bumi ini menguntungkan atau merugikan. Dua pertanyaan besar ini belum terjawab hingga saat ini.
Saat eksploitasi, masyarakat di Desa Wapsalit takut dengan ledakan disertai getaran yang merambat hingga ke rumah penduduk yang jaraknya hanya 700 meter dari permukiman. Akibatnya sempat warga mengungsi ke tengah hutan.
Karena ketidakpuasan masyarakat pun melayangkan protes. Masyarakat butuh transparansi pengelolaan di lokasi pengeboran, soal siapa yang mengizinkan.
Secara khusus, kawasan pertambangan oleh PT Ormat Wapsalit adalah kawasan adat dan merupakan situs adat masyarakat Soar Pito Soar Pa yang dipandang sebagai asal mula lahirnya masyarakat adat Pulau Buru dataran tinggi, situsnya adalah berupa gunung, yang dibawahnya adalah air Waekdam yang dipahami sebagai air keramat.
Pemanfaatan lokasi adat sebagai titik bor inilah bakal berpotensi pada konflik sosial khususnya konflik antar masyarakat adat karena titik bor adalah kawasan sakral.
Potensi yang kedua adalah pada upaya pembebasan lahan, di mana umumnya tanah di Pulau Buru adalah milik marga, dan memiliki kaitan dengan nilai pembebasan lahan.
Potensi relokasi bakal terjadi, karena jarak titik pengeboran dengan pemukiman diperkirakan berjarak 700 meter.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) diketahui telah mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menghentikan izin eksplorasi panas bumi. Hal mana sesuai riset yang dilakukan terhadap peta 356 prospek tambang panas-bumi di jalur Cincin Api Indonesia, menurut mereka, berisiko bencana.
Hingga saat ini Kementerian ESDM telah menghasilkan peta 356 prospek tambang panas-bumi di jalur Cincin Api Indonesia, ada 64 di antaranya sedang dalam proses penambangan.
Juru Kampanye Jatam, Alfarhat, menyebutkan berkali-kali kecelakaan terjadi di proyek panas bumi. Demikian penjelasannya di Betahita.id yang dilansir media ini.
“Penambangan dan ekstraksi panas-bumi untuk menghasilkan daya listrik telah puluhan kali terbukti menyebabkan gempa picuan dan tidak bisa diabaikan bahayanya yang masuk skala kegempaan di atas,” ucap Alfarhat yang dilansir.
Di Mataloko, Flores, operasi PT PLN Geothermal memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.
Petaka akibat aktivitas penambangan panas bumi sudah terjadi di banyak tempat, namun protes warga justru dijawab dengan intimidasi. Menurutnya pemerintah justru melindungi investor dan operator meski masyarakat mengalami dampak buruknya. Kekerasan fisik, intimidasi, pelecehan, hingga kriminalisasi.
Padahal tak jarang, warga lokal justru terpaksa mengungsi dari kampung-ruang hidupnya, sebagai terjadi di Desa Wapsalit, Pulau Buru, Maluku akibat pengeboran panas bumi oleh PT Ormat Geothermal.
Geothermal adalah isu, yang tentunya hampir semua masyarakat di Kabupaten Buru, lebih khusus warga yang berdekatan dengan daerah tambang. Pengetahuan warga adat ini setelah dilakukan adanya advokasi dari sejumlah mahasiswa dan LSM, bahkan pemberitaan media yang mengangkat isu ini. Masyarakat sadar dengan efek negatif proyek geothermal yakni mengurangi kualitas air, emisi udara, penggunaan lahan dan hal hal lain yang bersentuhan masalah sosial.
Dampak Geothermal
Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil dalam diwawancarai menjelaskan hal pertama yang kerap kali ditemui saat melakukan riset, umumnya proses penambangan dilakukan secara diam diam. Yang dijelaskan ke warga itu yang baik baik saja. Tidak Pernah ada informasi seimbang tentang bahannya.
Yang kedua, dalam kaitan dengan bahaya penambangan panas bumi berdampak ke semua multidimensi karena karakteristik panas bumi dia rakus air. Dia butuh air yang begitu banyak untuk proses menciptakan uap.
“Kan sistem kerjanya kalau kita lihat dia pasti mengebor panas dan juga mengebor mata air bersamaan. Jadi air dan sumber mata air itu akan bersamaan akan disubsidikan ke sumber panas yang akan menjadi uang untuk memutar turbin untuk menghasilkan listrik,” ungkap Jamil.
” Jadi betul betul air dari sumber mata air itu disedot untuk dipanaskan menjadi uap. Jika dipanaskan kan air itu hilang, nah itu yang akan terjadi, ” jelasnya.
Selain itu, kebutuhan air yang luar biasa besarnya adalah untuk mendinginkan mesin. Jadi air itu dialirkan terus menerus untuk mendinginkan mesin, air sebagai pendingin.
“Nah tentu air digunakan untuk menyiram mesin yang panas air sebagian hilang, sebagian menguap dan sebagian lagi dialirkan dalam kondisi panas ke sungai -sungai.
Dampaknya apa kalau dialirkan ke sungai sungai dalam kondisi panas? semua makhluk hidup di sungai itu mati. Cacing, ikan, sumber hara tanah mati, bahkan air yang mengalir juga mengandung zat berbahaya sebagai hasil pemanasan di logam.
Yang ketiga.” ucapnya,” dia rakus lahan. Memang betul panas bumi kalau mengebor hanya 10 x 20 meter, tetapi lahan izinnya pasti luas. Ratusan hektare, ribuan hektare. mengapa begitu? karena begitulah luasan lahan yang pasti akan terganggu kalau nanti airnya habis.
Keempat, dia membunuh (panas bumi ini). Ada yang namanya H2S atau gas buang amonia. Ini kalau tidak dikelola atau manajemen tidak baik, bocor, pasti akan menyebabkan orang sakit, menderita penyakit bahkan meninggal dunia.
Dia pun menyampaikan tentang yang dibilang paling bagus teknologinya, atau yang paling bagus di Indonesia seperti panas bumi di Dieng, bahkan di Merapi terbukti gagal, bocor H2S, ada orang yang meninggal.
” Gas buang amonia menyebar lewat udara dan tidak ada batasnya karena tidak ada yang bisa membendung,” ucapnya.
Kelima bahaya panas bumi, kalau ada rumah warga di situ pakai atap senk atau ada kendaraan di sana seperti motor, mobil, sepeda dan gerobak atau peralatan yang terbuat dari besi, siap siap saja mereka tiap tahun akan mengganti itu barang.
Karena dia menciptakan hujan asap, hujan asap menciptakan karat. Itu terjadi di Ulumbu, NTT. Di sana atap sekolah diganti tiap tahun, padahal dulunya atap sekolah diganti tiap lima tahun.
“Nah ketika mereka pakai atas yang bukan dari senk, namun tetap menggunakan paku, apa yang terjadi atapnya terangkat saat datangnya angin. Nah hujan asap ini juga berdampak ke manusia seperti penyakit kulit,” tuturnya.
Kemudian, atau yang ke enam bahaya yang biasa kami temukan adalah gempa. Jadi panas bumi,” katanya lagi”, ini bisa menyebabkan gempa picuan, yaitu gempa yang tercipta dari hasil mengebor bumi. Selain itu terjadi juga penurunan tanah atau likuifaksi.
“Nah itu hasil yang kami temui, dan hasil riset Jatam dari bahayanya panas bumi ini, ” ungkapnya.
Dalam kaitan dengan penambangan geothermal di Pulau Buru layak dan tidaknya diteruskan ada pada masyarakat yang tertuang dalam Undang- Undang dimana masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Artinya kalau itu berbahaya bagi keselamatan masyarakat harus ditinjau ulang, dievaluasi, lalu ternyata tidak layak ya wajib dihentikan, ” harapnya.
Lalu yang berikut, ” tandasnya,” dalam setiap perencanaan proyek yang begitu besar seperti panas bumi itu wajib melibatkan masyarakat, kalau tidak melibatkan masyarakat dalam dimintai pendapatnya, artinya telah terjadi pelanggaran hukum di situ.
” Artinya itu harus dihentikan sekarang. Dan dievaluasi segera, tidak boleh beroperasi dengan cara diam diam seperti itu, “ tutupnya. (**)
Artikel ini didukung oleh AJI Indonesia – Deutsche Welle bertema “Let’s Talk About Climate, Training Program for Journalists”
Discussion about this post