Oleh : Sutarsih [Pulau Buru,Maluku]
BIBIRNYA sedikit gemetar. Matanya terlihat berkaca. Tak lama menetes air matanya membasahi wajah Sugeng Hayati Koangit perempuan asal Desa Savana Jaya, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Tangis haru saat perempuan paruh baya ini menceritakan kisahnya menjadi anak dari para penyintas 65. Mereka adalah perempuan perempuan dari Desa Savana Jaya. Basis cam pengasingan Unit IV tahanan politik, dari pulau Jawa yang dibuang ke pulau Buru sekitar tahun 1969 silam.
Siang itu sabtu, 13 agustus 2022, saya berkesempatan mengunjungi Desa Savana Jaya. Tujuannya menemui Sugeng Hayati Koangit atau biasa disapa Sugeng (52). Dia adalah anak dari pasangan Koangit Iswani dan Iswarati. Mereka merupakan satu dari ratusan keluarga penyintas 65 yang memilih untuk tidak kembali ke Jawa dan menetap di Pulau Buru pada tahun 1979. Mereka trauma juga takut didiskriminasi oleh masyarakat di lingkungan asal mereka.
Sugeng bercerita tentang Ayahnya, Koangit Iswani, dulu sempat ditahan di Nusa Kambangan, Jawa Tengah, sebelum akhirnya dibuang ke pulau Buru pada tahun 1969. Saat itu ayahnya bersama Tahanan Politik (Tapol) lainya. Jumlahnya sekitar 12.000 orang. Mereka ditahan karena dituduh menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekalipun keluarganya tidak membenarkan tuduhan itu, tapi apalah daya ayahnya telah lebih dulu ditangkap, dan stigma sebagai keluarga PKI itupun kemudian mulai melekat sampai saat ini.
Sebagai anak penyintas, Sugeng diharuskan oleh sang ayah untuk tetap mengenyam Pendidikan. Saat itu usianya masih belia sekitar usia 9 tahun. “Saya lupa umur saya waktu itu” ujar Sugeng.
Dia bilang harus melanjutkan jenjang pendidikan SMA yang hanya ada satu pada massa itu. Sebelum diterima sebagai siswi, Sugeng sempat diminta untuk memberikan sampul D kepada pihak sekolah. Sampul D yang dimaksud adalah surat yang menerangkan bahwa dirinya merupakan anak dari keluarga penyintas. Dengan kode PKI di salah satu bagian surat. Sugeng akhirnya meminta ayahnya untuk mengurus surat tersebut dan memasukannya sebagai salah satu syarat agar bisa diterima sebagai siswa. belakangan baru dia mengerti surat yang diminta sekolah.
“Ya. Minder ada waktu itu, karena merasa dibedakan, tapi saya ingat betul nasehat bapak. Beliau katakan, kalau mau sukses, gak boleh lemah. Gak boleh takut. karena masih ada Allah,” kata Sugeng menirukan nasehat ayahnya saat itu.
Perempuan paruh baya ini bilang, selama menjadi murid, dia membuktikan prestasinya dan mendapatkan banyak dukungan dari teman-temannya bahkan Guru. Secara tidak langsung, stigma yang sebelumnya menjadi pudar. Saat itu dai mulai sadar bahwa menghapus diskriminasi dan stigma, ternyata bisa dilakukan dengan banyak cara termasuk menjukan potensi agar tidak dianggap terbuang.
Sering Difitnah
Waktu terus berjalan. Sugeng pun bisa melewati massa belajarnya di tingkat Pendidikan SMA. Dia berencana memperbaiki ekonomi keluarga mereka. Tahun 1999, Sugeng memutuskan untuk terjun ke dunia politik dengan mencalonkan diri lewat partai cetusan Soekarno. Dia akhirnya terpilih menjadi wakil rakyat pada pencalonan saat itu.
Perjalanan menjadi anggota DPRD di Kabupaten Buru, menjadikan perempuan dengan latar belakang keluarga penyintas, diakuinya mendapat banyak hambatan. Berbagai penolakan, fitnah terus dialamatkan kepadanya.
“Mereka mengatai saya, kamu itu tidak seharusnya ada disini. Bahkan ideologi dan nasionalisme saya turut dipertanyakan pada saat itu, didemo dengan mengatakan bahwa PDI, Partai yang menaungi saya pada waktu itu sudah disusupi dan jadi sarangnya PKI, tapi saya tetap sabar karena ingat nasehat bapak untuk,”ungkapnya.
Bahkan, ketika Dia sudah resmi menjadi anggota DPRD, diskriminasi itu masih terus ada. Dia ingat saat itu puluhan mahasiswa demonstrasi di kantor DPRD. Sugeng yang kala itu sudah menjabat sebagai wakil ketua Dewan langsung menyambut para pendemo. Namun sayang, hal menyakitkan kembali terjadi, dihadapan banyak orang, para pendemo justru mengatai Sugeng anak PKI sehingga tidak layak ada di lembaga itu. Penyataan itu diikuti beberapa kalimat negatif lainnya.
Hal itu tentu sangat menyakiti hati perempuan 52 tahun itu. Namun Dia masih bernasib baik karena rekan sesama anggota DPRD banyak memberikan penguatan.
“Mungkin mereka belum tahu tentang aturan”. Dalam hati saya berfikir, saya mewakili anak-anak korban penyintas, jadi apa yang saya lakukan harus sesuatu yang tidak mempermalukan mereka”
Ditopang teman sesama Anggota Dewan saat itu membuat saya kuat. Saya yakin, dengan melakukan hal positif, mereka juga akan mengerti dan tidak akan melakukan hal yang sama lagi terhadap saya ataupun anak para penyitas lainnya”
Dengan banyaknya diskriminasi yang Sugeng terima selama menjadi anggota dewan, Dia berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Perempuan asal Jawa Barat ini aktif memperjuangkan kesetaraan hak bagi para penyintas, namun upayanya bukan saja untuk kalangan tertentu terutama dalam mendapatkan berbagai bantuan, tapi juga masyarakat umum yang berhak menerima.
Selain aktif mengupayakan kesetaraan hak melalui tindakan langsung sebagai anggota Dewan, Sugeng juga banyak merangkul para generasi penyintas dengan mengajarkan rasa percaya diri.
“Dalam perjuangan ini saya ingin mengubah atau memotivasi kepada anak penyintas bahwa mereka juga bisa menjadi seseorang yang berguna untuk Daerah dan Negara, bukan karena dicap sebagai anak peretas lalu tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya menyesali hidup, saya ingin mereka optimis”
Sugeng Hayati Koangit adalah perempuan pertama dari kalangan penyintas yang berani terjun dan berkiprah didunia politik pada tahun 1999, bahkan berhasil menduduki kursi DPRD Kabupaten selama dua periode dan kursi DPRD Provinsi selama satu periode. Bekalnya hanya dua. Nasehat sang ayah dan buku undang-undang yang selalu dibawa kemanapun pergi.
Melalui perjuangannya ini, Sugeng ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa tidak seharusnya ada diskriminasi dan stigma buruk terhadap para keluarga penyitas. Mereka layak untuk setara tanpa embel-embel negatif.
Lebih dari 50 tahun mereka sudah merasakan sulitnya menanggung penderitaan atas kesalahan yang tidak mereka ketahui. Apalagi jika dosa itu harus ditanggung oleh anak cucu.
“Ini adalah upaya terkecil kami yang bisa kami lakukan agar bisa dipandang positif masyarakat,” tuturnya
Berjuang Perbaiki Nama Keluarga
Berbeda dengan Sugeng Hayati Koangit. Upaya menghilangkan stigma dan menyuarakan kesamaan hak bagi keluarga penyintas 65 juga dilakukan Sudarsini (55).
Perempuan asal Jawa Barat ini memposisikan dirinya sebagai perpanjangan tangan dari beberapa lembaga kemanusiaan. Sudarsini berupaya menjadi jembatan antara keluarga penyintas dengan Lembaga-lembaga tersebut untuk mendapatkan hak pemulihan sebagai warga Negara Indonesia.
Sama seperti Sugeng, Sudarsini juga anak bekas tahanan politik 65. Berbagai perlakuan diskriminatif dan pandangan negatif juga pernah Dia alami. Namun hal itu tak membuatnya pupus harapan. Suhartini sendiri merupakan ASN di salah satu Sekolah Negeri yang ada di desanya.
Berbagai upaya telah disuarakan Suhartini. Bahkan didukung dengan banyak terekspos dan diberitakan, akhirnya sekitar tahun 2012 lalu Yayasan LAPPAN Maluku dan AJAR (Asian Justice and Rights) langsung melakukan kunjungan ke Desa Savana Jaya. Kedua Lembaga ini datang untuk melihat dan mendengar langsung apa yang dialami oleh para penyintas dan keluarganya.
Saat itu, Suhartini kemudian diminta mengumpulkan seluruh keluarga penyitas mulai dari istri dan anak anak. Dalam kesempatan itu mereka diminta mengisahkan tentang apa yang mereka alami selama menjadi keluarga penyintas.
Awalnya tidak ada yang berani bercerita mengisahkan massa lalu mereka yang sulit, namun Sudarsini kemudian berupaya membuka kesadaran berfikir mereka dan perlahan mulai ada yang berani untuk bersuara.
Masa-masa itu sempat menjadi momen sedih saat para keluarga penyitas yang sebelumnya takut, kemudian mendapat kesempatan untuk mencurahkan isi hati dan sejarah kelam yang pernah dialami. Mereka secara bebas bercerita tanpa adanya batasan.
“Ketika ada yang bertanya, kita jawab saja. Kita gak bisa menutup-nutupi, cerita supaya plong. Karena masyarakat harus tahu, bahwa tidak semua Tapol itu PKI. Lebih banyak yang korban. Paradigma itu harus diubah jadi harus ada yang bersuara,” tutur Sudarsini sembari duduk di atas sofa mengenakan kerudung merah muda khas-nya.
Dia bilang, saat itu mereka yang berasal dari keluarga penyitas mengharapkan beberapa perhatian, mulai dari kesehatan hingga penghapusan kode khusus pada Akta Nikah, KTP hingga Kartu Keluarga.
Bantuan Lembaga Kemanusiaan
Proses mendapatkan bantuan melalui Yayasan LAPPAN dan JAR dibantu Komnas HAM berjalan cukup lama. Barulah pada tahun 2014-2015, LPSK memberikan bantuan kepada puluhan penyintas untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis selama satu tahun dan harus diperpanjang setiap 6 bulan sekali. Begitu juga dengan penyintas yang Akta Nikah atau KTP-nya terdapat kode khusus, pada akhirnya berhasil diperbaharui.
Usaha yang dilakukan Sudarsini mulai bisa dirasakan keluarga para penyintas kala itu. Memang tidak semua merasakan jerih payahnya mendapatkan kesetaraan dan merubah pandangan buruk masyarakat, namun hal-hal kecil itu telah melahirkan kepercayaan yang terus terpupuk menjadi semangat dan keberanian generasi para penyintas sampai sekarang.
Untuk membantu kesejahteraan keluarga penyintas lainnya, Dia masih terus berupaya mendapatkan bantuan dalam bentuk finansial dan sembako baik dari pemerintah atau lembaga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
“Kita masih terus mengharapkan ada perhatian kesehatan untuk para korban yang sudah sepuh, jumlahnya sekarang tinggal beberapa orang saja, kasian kondisinya”
Disisi lain, karena bantuan kesehatan untuk para penyintas hanya berjalan 1 tahun, pada akhir 2015 lalu, para penyintas dan keluarganya tidak lagi menerima bantuan kesehatan serupa sampai sekarang. Sudarsini telah berusaha meyakinkan para donator. Dia juga telah mengupayakan bantuan yang dibutuhkan untuk para keluarga penyintas, namun gagal.
Perjuangan Sudarsini lainnya yang masih belum dirasakan sampai saat ini yaitu pemulihan nama baik para korban yang menjadi tahanan politik 65.
“Harus ada pengakuan dari pemerintah tentang status kita. Memang ada yang benar-benar PKI tapi ada juga yang korban. Yang harus pemerintah perjelas, mana yang PKI dan mana yang hanya menjadi korban fitnah. Saya yakin, nama kita akan baik jika kita menunjukan hal positif di masyarakat” (bersambung)
Artikel ini merupakan beasiswa peliputan “Perempuan Berdaya Di Media” yang digelar oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos Dalam Kemitraan Program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.
Discussion about this post