Liputan ini terselenggara atas dukungan:
beasiswa liputan oleh SEJUK dan Internews
SORE itu terlihat ramai di halaman Masjid At-Taubah, kompleks Islamic Center Ambon, Rabu, 16 September lalu. Ada sekitar dua puluhan anak bermain enggo lari, sebutan permainan tradisional warga setempat.Tanah lapang seluas 100 meter itu sudah lama menjadi tempat bermain anak-anak.
Di sisi kanan bangunan Masjid, seorang laki-laki berbadan tinggi terlihat berdiri di depan gunungan sampah yang ditimbun usai pembersihan areal Masjid. Tangan kirinya memegang sekop, tangan kanannya diangkat, sembari memberi kode kepada seorang rekannya yang tengah menarik gerobak sampah menuju ke arahnya. Warna bajunya yang kuning menyala membuat ia mencolok di keramaian.
Sudah hampir dua pekan Halim Silawane membersihkan areal Masjid, lantaran pandemik dan pemberlakuan PSBB di Ambon, usaha salon miliknya terpaksa tutup karena sepi pelanggan. Ini bukan aktivitasbaru baginya, setelah dua tahun dipercaya warga menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT) di desanya, Halim rutin memungut sampah, bahkan ia berkeliling pemukimanmengangkut sampah sambil mendorong gerobak dan membuangnya hingga ke tempat pembuangan akhir. Aktivitas itu ia lakukan antara pukul 02.00 WIT dini hari hingga menjelang subuh.
Meski menjaga kebersihan adalah tanggung jawab setiap warga, namun kebiasaan itu masih jauh dari harapan, masih banyak warga yang belum peduli soal sampah, atau paling tidak membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.
Menurut Lurah Waihaong, Quraizin Tuhuteru, berkeliling memungut sampah merupakan inisiatif Halim, meski itu adalah tugas sebagai Ketua RT, namun tidak semua ketua turun langsung untuk mengerjakan hal tersebut. “Ada 14 RT di kelurahan Waihaong, tapi dari sekian banyak itu Halim yang jadi teladan, saya bahkan berani mengatakan itu di hadapan Wali Kota Ambon,” kata Quraizin.
Quraizin tidak mempermasalahkan bagaiamana latar belakang Halim, yang ia tahu pria 48 tahun itu selalu berinisiatif melakukan pekerjaan itu, meski mesti masuk ke dalam selokan. Dalam kesehariannya, Halim juga merupakan Ketua Gaya Warna Lentera (GWL) Maluku. GWL merupakan kelompok LGBT yang berbasis di Ambon, ada sekitar 300-an anggota tersebar di seluruh kabupaten kota di Maluku, sementara di Ambon berjumlah sekitar 150 anggota.
“Saya tidak lihat siapa dia, yang saya lihat dia itu disiplin, komitmen dan bertanggung jawab ” ungkapnya.
Halim tergolong beruntung karena dipercaya sebagai Ketua RT. Namun dia mengakui masih banyak tanggapan miring dari masyarakat ihwal keberadaan kelompok LGBT, baik secara verbal ataupun non-verbal bahkan secara hukum.
Semisal pada medio Januari 2018, dua orang transpuan terlibat cekcok hingga berujung ke kepolisian. Saat melapor, mereka justru dicecar pertanyaan tidak senonoh oleh aparat yang bertugas. Parahnya lagi proses itu direkam secara sengaja dan tersebar di sosial media. Bahkan salah satu akun youtube mengunggah ulang dan sudah ditonton sebanyak 666.000 kali per Agustus 2020. Kasus itu berlalu begitu saja.
Cerita lainnya adalah yang baru-baru ini terjadi, seorang transpuan juga mengalami kekerasan verbal di kawasan Kebun Cengkeh.
“Kita ambil contoh kejadian di kantor polisi tempo lalu, itu hanya sebagian kecil, seharusnya aparat lebih fokus pada kasusnya apa, ini malah tanya pakai bra atau tidak? Belum lagi kasus-kasus lain yang tidak tampak,” cerita Halim.
Prosedur pemeriksaan tersangka maupun saksi telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang khususnya tindak hukum pidana. Diantaranya, Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Kapolri No 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Kerja penyidik bukan suatu tontonan tapi seharusnya mengerjakan tugasnya sesuai dengan prosedur pemeriksaan, dalam konstitusi menjamin persamaan warga negara di depan hukum.” Kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Maluku, Benediktus Sarkol.
Madina Mansyur, Ketua Lembaga Pengabdian Pemuda Bangsa (LP2B), mengatakan, pilihan identitas gender berbeda dianggap tabu bagi masyarakat, hal itu menimbulkan stigma sehingga memungkinkan berbagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM.
“Secara sosial barangkali kita sama-sama manusia, tapi masyarakat awam belum banyak yang menerima keadaan atau pilihan gender mereka,” kata Madina
Di Ambon, Maluku, jangankan masyarakat yang lebih ramah, kepedulian pemerintah kepada kelompok komunitas LGBT juga menjadi permasalahan. Terutama di dunia kerja baik di pemerintahan maupun swasta. Sebagian besar LGBT menyembunyikan identitasnya demi mendapat pekerjaan. Rata-rata kelompok itu bekerja di salon, karena hanya ini pekerjaan yang dapat mereka lakukan tanpa harus mendapat tekanan.
“Kalau mereka berkualitas dan keterampilan mendukung kenapa tidak? mereka hanya dilihat sebelah mata sehingga menjustifiksi kepada semua. Diskriminasi di dunia kerja, akhirnya muncul gejolak batin, ya larinya ke dunia salon agar bisa berekspresi.”
*****
Sulitnya akses kesehatan bagi ODHA di masa Pandemi
TATAPAN matanya tampak kosong ketika duduk di kursi kayu persegi panjang, tubuhnya dengan kami berhadap-hadapan. Sesekali tatapan itu tertuju ke arah langit-langit rumah. seperti sedang berfikir sesuatu. Dia juga tak banyak bicara, kecuali saat ditanya Madina, pendamping dari LP2B saat melakukan konseling. Sekitar pukul 18.30, Rabu 23, September jadwal NM (34) seorang transpuan ODHA menjalani konseling di rumahnya.
“Masih minum, rutin” katanya sambil menganggukan kepala saat mejawab. NM positif HIV sejak 2006 silam. Menurut Madina, NM adalah sosok yang terbuka sebelum ia dinyatakan positif HIV, namun ia berubah jadi penyendiri. Butuh waktu kurang lebih tiga bulan melakukan pendekatan dengan NM, kala itu ia datang ke salon milik NM untuk membujuknya agar mau berobat. NM akhirnya setuju dengan catatan tak boleh ada orang lain yang tahu.
Ia punya kekhawatiran, temanserta pelanggan salonnya kabur. Dia kini masih menjalani terapi antiretroviral (ARV), terapi ini merupakan kombinasi obat antiretroviral agar memperlambat HIV berkembang biak dan menyebar di dalam tubuh, sekaligus memperkuat sistem imun tubuh.Kendati belum bisa disembuhkan jenis obat ini menyebabkan orang yang terinveksi HIV dapat menjalani hidup lebih lama.
Kini ia melakoni aktivitasnya seperti biasa walaupun tidak turun tangan melayani pelanggan di salon, dia punya seorang kawan yang membantunya. Kata NM, dari usaha salonnya dia bisa bertahan hidup. Alasan terbesarnya adalah keluarga yang mendukungnya. “Mama yang bantu beta (saya) selama melewati kritis,” ungkapnya.
Menurut Direktur Rumah Beta, Evilin Theresa, stigma dan diskriminasi bagi ODHA dan ODHIV di Ambon berasal dari lingkungan tempat dimana mereka tinggal. Apalagi bagi individu LGBT ODHA ataupun ODHIV, kadang kala diskriminasi justru datang dari sesama komunitas LGBT. Karena itulah mereka cenderung enggan membuka diri untuk menerima pengobatan.
“Diskriminasi paling banyak diterima oleh pekerja seks dan LGBT yang ODHA, disbanding ODHA yang heteroseksual, seperti diskriminasi berulang. Stigmanya negatif,” ujar Evi
Padahal melalui data Kementerian Kesehatan tahun 2019 menyebutkan, ODHA tertinggi adalah ibu rumah tangga dengan jumlah 16.844 jiwa. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan pekerja seks dan LGBT yang sering kali mendapat stigma sebagai HIV, sebesar. 3.499 orang.
Sejak Covid-19 mewabah di Ambon dan pemberlakuan PSBB dimulai sempat ada kecemasan baik NM maupun lembaga-lembaga yang berkonsentrasi melakukan advokasi kepada ODHA. Kecemasan itu terkait kelangkaan obat, pemerintah daerah melaui dinas terkait pun mengakalinya dengan mengurangi jumlah ARV. Jika biasanya orang dengan HIV mendapat satu botol setiap bulan, kini ARV jenis Tenovir, Lamivudin dan Efavirenz diberikan sebanyak 10 butir setiap dua minggu sekali. “Agak sulit, tapi syukur daripada tidak ada,” katanya.
Sedangkan pemeriksaan CD4 atau tes kekebalan tubuh dan Viral load (HIV RNA) sementara ditiadakan. Tes Viral load ini dilakukan tiap tiga sampai enam bulan sekali untuk mengetahui jumlah virus HIV dalam darah pada orang yang mendapatkan ARV.
RSUD Haulussy satu-satunya rumah sakit yang melayani tes CD4 dan Viral load secara gratis, sedangkan laboratorium klinik swasta yang ada di Ambon juga serupa, tidak beroperasi.
“Di RSU gratis karena covid jadi tutup. Mau ambil obat pun dibatasi. Kalau biasanya selama hari kerja, sekarang hanya hari senin dan kamis,” katanya.
Baru-baru ini, LP2B dan Rumah Beta yang menangani ODHA meminta bantuan pengadaan masker, pembersih tangan juga obat antiretroviral (ARV) bagi ODHA yang mereka tangani. Permohonanan bantuan dalam bentuk proposal itu sebelumnya sudah disetujui, namun tak dinyana, dibatalkan begitu saja oleh pemerintah.
“Awalnya sudah disetujui, lalu tiba-tiba kami ditelepon dan dibatalkan, tidak ada alasan yang jelas,” katanya.
GWL, LP2B dan Rumah Beta ini berjejaring untuk melakukan advokasi serta pendampingan bagi kelompok minoritas agar pemenuhan hak-hak mereka terpenuhi. Khusus untuk ODHA, lembaga-lembaga ini bekerja dan memastikan layanan ARV itu terpenuhi.
Saat ini, LP2B tengah menangani tujuh kasus ODHA, Rumah Beta ada Sembilan orang. Sementara pendampingan secara mental diserahkan ke lembaga lain yang spesifik menangani masalah pisikologi.
Rumah Beta bertugas memberikan pelatihan kewirausahaan dan kreatifitas menulis bagi ODHA agar berdaya saing, lebih percaya diri dan tidak minder. Pada 1 Desember 2019, bertepatan dengan hari AIDS sedunia Rumah Beta meluncurkan buku berjudul kami baik-baik saja, suara ODHA di Maluku hasil kerjasama dengan Clerry Cleffy Institute. Buku tersebut menceritakan kisah ODHA yang bertahan hidup dan berjuang melawan diskriminasi.
Sudah lima kasus ODHA meninggal dunia sejak akhir November 2019 hingga Agustus 2020 karena kesulitan pengobatan, masalah lain ialah mereka merasa enggan ke pusat layanan kesehatan karena khawatir dikucilkan masyarakat.
“Kami sebagai perpanjangan tangan untuk memastikan mereka mendapat keadilan, kan sudah diatur dalam UU dan merupakan tanggung jawan negara. Kalau tidak didorong pemerintah tutup mata,” kata Madina.
Di sisi lain, maraknya pemberitaan media makin memperburuk dan menjustifikasi mereka yang memiliki identitas gender berbeda kerap melakukan kejahatan. Media hanya menampilkan sisi negatif kelompok LGBT, padahal ada banyak perkara positif yang luput dari pandangan media.
Tidak banyak yang mengetahui perkumpulan ini sering melakukan kegiatan amal. Jelang hari raya Natal tahun lalu, GWL menggelar bakti sosial di Panti Jompo Ina Kaka, kawasan Passo, Kecamatan Baguala. Mereka memberikan layanan potong rambut gratis berdonasi dan menggelar panggung hiburan bagi para lansia di sana. Pasalnya, mereka ingin berbagi kebahagiaan untuk para penghuni panti yang tidak berkesempatan merayakan natal bersama keluarga.
“Selalu yang ditampilkan media yang buruk-buruk saja, kalau ada perkelahian pasti yang dituduh itu waria,” katanya.
Kegiatan ini melibatkan dua komunitas agama berbeda, baik Islam maupun Kristen meski kebanyakan anggota beragama Islam, mereka dengan senang hati berbagi. Sama halnya ketika Idul Fitri tiba, anggota yang non muslim mengirimkan kue untuk merayakan hari raya dan turut menyumbang donasi.
Alasannya, menghormati hubungan antar sesama manusia tanpa melihat latar belakang agama, ekonomi. Perbedaan semacam itu tidak berlaku dalam kelompoknya. Sebab, kata dia, manusia sama di mata tuhan.
“Dalam organisasi kami sering berkomunikasi soal toleransi, kalau dilihat dari pergaulan kami tidak memandang latar belakang ekonomi, agama dan penampilan. Walaupun dia dari kalangan biasa katong (kita) saling merangkul,” ujar Halim sambil menutup pembicaraan.
*****
Discussion about this post