KECAMATAN Aru Selatan secara administratif luas wilayahnya 833,12 km, terbagi menjadi lima belas desa. Sesuai data BPS kabupaten kepulauan Aru, kecamatan Aru Selatan dalam angka tahun 2021 menerbitkan terdapat lima belas desa yang berada di Pulau Trangan berada di Pesisir Pantai dan bukan pesisir (dataran tinggi). Dua diantara 15 desa adalah Desa Marafenfen dan Desa Popjetur yang memiliki letak geografis bukan di Pesisir pulau.
Berdasarkan data statistik BPS 2021, Desa Marafenfen berpenduduk 361 jiwa. Jumlah ini lebih kecil dari jumlah penduduk Kecamatan Aru Selatan sebanyak 7.497 jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020.
Marafenfen adalah Desa yang penduduknya pada urutan kesepuluh sedikit dibandingkan dengan Desa Kalar-kalar dengan jumlah penduduk terbanyak dengan jumlah 1.180 jiwa.
Mayoritas warga Desa Marafenfen menggantungkan hidup dari bekerja sebagai petani dan nelayan.
Sektor Pertanian merupakan sektor ekonomi utama yang menunjang kehidupan masyarakat di Kecamatan Aru Selatan terutama pertanian Palawija dan Perikanan.
Keseluruhan luas daratan Kecamatan Aru Selatan sebesar 833,12 km2, yang digunakan sebagai pemukiman dan tempat usaha adalah sebesar 0,385 km2, sisanya digunakan untuk areal pertanian (pertanian,perkebunan, dan kehutanan).
Komoditi pertanian yang ditanam oleh masyarakat di Aru Selatan adalah padi ladang dengan luas areal 1 hektar dan produksi mencapai 20 kwintal; jagung 4 hektar, dengan luas panen 2 hektar dan produksi mencapai 60 kwintal;ketela pohon 13 hektar dengan luas panen 9 hektar dan produksi mencapai 270 kwintal; ketela rambat 9 hektar dengan luas panen 7 hektar dan produksi mencapai 10,50 kwintal; umbi-umbian lainnya 3 hektar dengan luas panen 1 hektar dan hasil produksi 10 kwintal; serta komuditi kacang tanah dan kacang-kacangan lainnya.
Sementara sub sektor perikanan meskipun sangat besar kontribusinya di kecamatan Aru Selatan namun masih di dominasi oleh nelayan tradisional.
Hal itu terlihat dari perahu yang digunakan, yang sebagian besar perahu tak bermotor sebanyak 442 unit, dan alat penangkapan ikan utama yang digunakan yaitu jarring insang sebanyak 83 unit.
Untuk Desa Marafenfen sendiri dari data BPS memiliki luas desa 6.600 Hektar, dengan penggunaan lahan untuk bangunan 1,6 hektar serta areal pertanian yang dipakai adalah 6,598,4 hektar.
Dengan modal izin pakai lokasi, pihak TNI Angkatan Laut melakukan pembangunan bandara dan fasilitas lainnya mulai masuk di wilayah ini. Di tahun 1992 mereka mulai buka lahan untuk membangun bandara.
Pihak TNI-AL mengantongi izin dari Pemerintah Provinsi Maluku saat itu, melalui Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 tanggal 22 Januari 1992.
Menurut TNI AL, adapun pertimbangan pembebasan tanah tersebut melalui panitia pembebasan tanah Dati II Maluku Tenggara (Malra) pada tahun 1991 yang terdiri dari Instansi terkait yang diketuai Kepala BPN Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), dimana saat itu Kepulauan Aru masih dibawah administrasi Kabupaten Maluku Tenggara (Malra).
Pihak TNI AL mengklaim Pembebasan lahan diawali dengan pelepasan hak atas tanah oleh Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Desa Marafenfen dengan surat pernyataan pelepasan tanggal 20 Agustus 1991.
“TNI AL sudah menindaklanjuti pelepasan hak sesuai rekomendasi panitia pembebasan tanah Dati II Kab. Maluku Tenggara dan keinginan Persekutuan Masyarakat adat desa Marafenfen,”kata Komendan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) IX Ambon, Brigjen Marinir TNI Said Latuconsina dalam rilisnya pada selasa, 16 september 2021.
Dalam proses sengketa tanah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)sebetulnya telah bersama-sama mengawal proses sengketa lahan komunitas masyarakat adat Maranfenfen sejak 30an tahun itu.
AMAN memandang adanya dugaan tindakan pelanggran hukum yang dilakukan pemerintah Daerah pada saat itu di tahun 1991 silam. Namun langkah inisiatif dari komunitas masyarakat adat Marafenfen dengan menempuh jalur hukum dengan melakukan gugatan di pengadilan Negeri Dobo, Kepulauan Aru.
“Jadi akibat perbuatan melawan hukum itu merugikan komunitas masyarakat adat Marafenfen, lalu mereka ajukan komplein. Sebenarnya kompleinya sudah mereka lakukan sudah lama, dan baru beberapa bulan terakhir ini baru mereka ajukan gugatan ke pengadilan Negeri Dobo, karena itulah mekanisme di Negara ini, karena semua sudah ditempuh jalur-jalur di luar hukum,”kata Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sabtu 25 september 2021.
AMAN kata Rukka, berpendapat masyarakat sebenarnya sudah cukup kuat dan mempunyai kedaulatan tersendiri, sehingga mereka bisa mengatur komunitasnya, dan mengatur hubungan dengan pihak luar.
AMAN berpendapat keberadaan Masyarakat Adat telah diakui dan dihormati oleh Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Namun, pada kenyataannya, negara selama ini telah absen melaksanakan mandat konstitusi itu dan justru kini terdapat 32 peraturan perundang-undangan sektoral yang digunakan untuk melegalisasi perampasan wilayah adat serta menciptakan pengakuan bersyarat yang panjang dan rumit bagi Masyarakat Adat, termasuk pembentukkan Peraturan Daerah (Perda) (UU No. 41 Tahun 1999) dan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014). Maka, Masyarakat Adat di Indonesia termasuk komunitas masyarakat adat Marafenfen di Kepulauan Aru Maluku terus mengalami pemiskinan dan perampasan wilayah adat yang disertai dengan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.
Rukka berpendapat masyarakat Adat seringkali menjadi sasaran atas tindakan yang cenderung rasis, diskriminatif, mengeksklusi, membatasi, serta melekatkan stigma dan stereotipe. Hal itu juga termasuk pada tindakan birokrasi dan peraturan perundang-undangan yang sektoral, parsial, tumpang tindih, bertingkat, dan membatasi.
“AMAN tetap mengawal saja, kira-kira begitu,”kata Rukka. Kita tetap kawal karena itu komunitas kita, komunitas AMAN menjadi kewajiban, kita pantau, kita kawal, dan kalau ada kebutuhan-kebutuhan yang perlu menurut masyarakat perlu minta bantuan ke pengurus AMAN itu nanti kita cari jalan keluarnya.”
Kini “guna” keadilan ditegakan, tentunya AMAN dan masyarakat adat berharap hakim dapat memberikan putusan yang adil kepada masyarakat Marafenfen.
Wendry Bothmir, warga Maranfefen mengatakan masuknya pembangunan bandara dan fasilitas lainnya berdampak pada kehidupan masyarakat setempat. Di mana, ruang gerak masyarakat dibatasi oleh aktivitas perkebunan.
Wendry menggambarakan bagaimana kawasan tersebut mempunyai peran penting sebagai habitat berbagai satwa yang sebagaian endemic hanya ada di Aru.
“Jadi gambaran tentang Marfenfen sebelum Angkatan Laut masuk rusa itu seperti hama ribuan ekor berkeliaran di hutan itu kadang-kadang masuk kampung. Rusa punya tempat hidup itu di padang Savana,”kata Wendry. Kemudian kicauan burung cendrawasih,kakatua hitam, kakatua merah, kakatua putih, kakatua hijau,wallet, bahkan kanguru juga sudah mulai punah dan sulit ditemukan”
Sejak dulu, di sanalah masyarakat adat melakukan tradisi ritual tordauk di mana padang savana menjadi lokasi ritual adat. Di tempat itu ditemukan sejumlah satwa seperti rusa, dan babi yang beranak pinak disitu.
“Jadi tiap tahun itu ada acara bakar alang-alang. Jadi ada alang-alang kecil dan alang-alang besar yang terakhir itu tordauk itu,”kata Pemuda Marafenfen ini. “Jadi nanti alang-alang di pinggir kampung selesai dulu baru puncaknya di tordauk”.
Tradisi bakar alang-alang menurutnya, semacam mendaur ulang. Sebab, dari bulan September hingga November, menurut Wendry, alang-alang yang berada di padang sudah matang atau tua.
“Itu perburuan yang melibatkan sejumlah kampung di Aru Selatan,”kata Wendry. Ada sebagian wilayah itu,ilalang yang sudah dikavling (diperuntukan untuk adat)-yang dibakar dan dijadikan area perburuan. Jadi saat dibakar, rusa itu keluar lalu mereka menangkap gunakan panah. Itu setiap tahun ada dan ritual itu sudah ada sejak zaman leluhur.”
Ketika persoalan sengketa lahan terjadi bersamaan dengan kendaraan yang diduga terkait dengan urusan pembangunan bandara, Wendry dan masyarakat adat setempat menyadari tentang jumlah rusa-rusa yang jumlahnya kian sedikit. Mereka menduga ada banyak dari hewan itu yang mati karena ditabrak truk serta diburu tanpa adanya aturan adat menggunakan senjata organik oleh bukan masyarakat adat.
Komendan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) IX Ambon, Brigjen Marinir TNI Said Latuconsina dalam rilisnya pada selasa, 16 september 2021 membantah Lanudal dan Pangkalan TNI AL (Lanal) Aru menutup aktivitas ritual adat masyarakat Desa Marafenfen.
“Jika ada yang mengatakan demikian siapa, kapan dan dimana agar dapat menunjukkan bukti. Kita berharap adik-adik Mahasiswa tidak terprovokasi dan menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan,”kata Brigjen Marinir TNI Said Latuconsina.
Ia bilang, selama ini masyarakat Marafenfen hidup berdampingan dan bersosialisasi secara baik dengan Lanal Aru di Marafenfen.
“Bahkan Lanal Aru/Lanudal sering memberikan bantuan pengobatan kepada masyarakat yang sakit serta dukungan kendaraan truk sesuai tujuan masyarakat sekitar,”ungkapnya. (Bersambung)
*****
Discussion about this post