TITASTORY.ID – TINGGAL menghitung hari, tepat bulan oktober 2021 ritual adat tordauk digelar. Warga di Kecamatan Aru Selatan, siap menanti ritual leluhur mereka. Demikian juga Marga Gaelagoy, salah satu marga yang mempunyai andil dalam ritual setahun sekali itu di Desa Marafenfen.
Frans Gaelogoy (76), Ketua adat dari marga Gaelogoy tengah menatap ritual adat leluhurnya itu. Frans mulai mempersiapkan rapat kecil dengan beberapa warga kampung Marafenfen.
Sore itu, jumat 24 september 2021, Frans nampak merapikan pakaian serta asesoris ritual di rumahnya. Beberapa warga yang menjalankan ritual juga ada di situ. Mereka nampak akan berdiskusi. Sebagian dari warga ini bertugas mengambil pelepah kelapa untuk membakar alang-alang, berburu rusa. Sebagian lagi perempuan yang mempersiapkan bekal. Mereka harus melakukan ritual dengan memakai pakaian, topi, serta asesoris adat.
“Itu sudah ditetapkan, orangnya dengan pakaian kebesaran adat itu lalu setelah dia bakar. Maka semua warga ikut bakar ramai-ramai. Jadi buruan untuk hari itu dibagi rata semua yang hadir,”tutur Frans Gaelogoy, dikutip Wendry Gaelogoy, seorang pemuda yang juga ada disitu.
Sambil duduk di serambi rumahnya, dihadapan tiga warga ia sedikit menghela nafas, sembari berkata pesimis dengan tradisi yang mungkin sepi. Ia mengeluh karena ritual oleh leluhurnya itu mungkin gagal seperti tahun sebelumnya karena hanya dilaksanakan oleh setiap marga saja.
Bagi pria 76 tahun ini, ritual tordauk sangat penting bagi masyarakat adat di Aru Selatan. Selain melakukan perburuan hewan, namun tradisi ini juga menyatukan dan mempererat masyarakat antar desa-desa di Pulau Trangan Aru Selatan.
Namun, Ia bilang sejak pembangunan bandara masuk di Marafenfen, alih-alih membawa kesejahteraan dan bikin nasib warga tambah baik, kehadirannya malah datang membawa nestapa.
Frans kata Wendy, resah karena sejak masuknya TNI AL beberapa kali ritual adat tidak bisa dilaksanakan secara maksimal.
Sudah dua tahun berturut-turut, ritual bakar ilalang oleh masyarakat di Aru Selatan, tidak berjalan baik disebabkan hewan buruan mulai sedikit.
“Tahun lalu dan sebelumnya hanya libatkan marga di desa saja, dan tidak dilakukan “Tordauk” bersama-sama karena tidak ada kata kesepakatan,”kata Frans Gaelogoy, ketua adat Marafenfen.
Perburuan di Padang Ilalang
Frans menceritakan sejarah rirual Tordauk yang dinantikan masyarakat Aru Selatan sekitar bulan September atau oktober.
Ia merunut pada bulan depan mereka melaksanakan ritual Toudauk yakni perburuan rusa- Cervus timorensis mollucensis, babi Sus sacrofa dan tikus yang dengan sangat meriah.
“Jangan membayangkan tikus rumah Rattus rattus atau tikus sawah Rattus argentiventer. Tikus yang diburu oleh masyarakat Aru Selatan adalah berbeda yakni Echimipera rufescens. Sosoknya lebih besar sehingga karkas juga lebih banyak,”ucapnya.
Ia menceritakan, perburuan dengan cara itu di lakukan dengan cara membakar alang-alang yang menjadi habitat aneka satwa.
Menurut data BPS Kabupaten tahun 2021, Padang savana menghampar di wilayah Aru Selatan. Luasnya mencapai 29,17 ribu hectare. Oleh karena itu ke mana pun mata memandang yang tampak hanya hamparan ilalang imperata cylindrical.
Bentang alam kepulauan Aru sangat beragam salah satunya hutan bakau di sekeliling pesisir laksana cincin hijau seluas 150 ribu hectare dan hutan alam. Ekosistem mangrove yang menjadi benteng alami pesisir dari ancaman abrasi.
Selain itu ada pula batuan karang dari proses pengangkatan dasar laut akibat gerak tektonik. Sampai tahun 2018 telah terindentifikasi 832 pulau di kepulauan Aru.
Lanskap hutan hujan tropis dataran rendah menutup hampir 75 % Kepulauan Aru menyimpan keragaman hayati yang khas. Hutan dataran rendah berperan sebagai penyedia kebutuhan masyarakat sekaligus habitat satwa. Di area itu mereka melangsungkan ritual tordouk.
Para tetua marga dari pemilik petuanan di lokasi tordauk lazimnya memutuskan waktu penyelenggaraan ritual tahunan itu yang berlangsung selama dua hari. Mereka bermusyawarah dengan masyarakat untuk menentukan waktu ritual.
Gaelogoy, sendiri merupakan marga yang berasal dari Desa Marafenfen yang dipercayakan sebagai tetua adat. Lainnya adalah marga Bothmir.
Secara harafiah tordouk menurut Frans Gaelogoy berarti ayam berkokok. Warga setempat percaya ada dua putri yang terlambat ketika ayam berkokok. Keduanya berubah wujud menjadi bukit yaitu Setlanin dan Mamasel. Di sekitar area itulah kemudian disebut tordouk dan berlangsung kegiatan berburu bersama secara turun temurun.
Ketika perburuan berlangsung hampir seluruh warga desa ikut termasuk perempuan dan anak-anak. Kaum lelaki membawa perlengkapan berburu seperti tombak, parang, dan panah untuk memburu satwa di padang ilalang. Sementara kaum perempuan membawa perlengkapan tidur dan memasak. Harap mahfum mereka bermalam di lokasi perburuan dan mengolah langsung hasil buruan dan menikmati bersama.
Pelaksanaan tradisi itu hanya sekali dalam setahun, ketika akhir musim kemarau sebelum musim hujan datang. Tordouk merupakan puncak kegiatan berburu. Di lain waktu sebelum tordauk dilaksanakan, ada juga kegiatan perburuan di lokasi alang-alang kecil yang ada di setiap desa.
Di Aru Selatan terdapat sembilan desa antara lain Marafenfen, Popjetur, Gaimar, Laininir, Feruni, Ngaiguli, dan Fatural. Lokasi pembakaran di beberapa titik alang-alang kecil itulah yang kemudian akan mempersempit ruang gerak beragam satwa.
Ketika api menjalar –pada akhir kemarau daun ilalang mongering sehingga mudah terbakar-ruang gerak aneka satwa itu menyempit. Satawa yang lolos dari perburuan di lokasi alang-alang kecil akan bergerak ke alang-alang tordouk. Barulah kemudian dilakukan pembakaran alang-alang besar tordouk.
Di padang ilalang itu riuh suara masyarakat mengejar dan mengepung rusa, babi hutan, dan tikus hutan. Sesekali teriakan atau komando. Mereka memburu aneka satwa itu mengumpulkan seluruh satwa buruan dan membagi rata kepada seluruh warga yang terlibat dalam tradisi itu. para pemburu dan keluarga mengolah hasil buruan dan menikmatinya bersama-sama.
Membakar alang-alang cara turun-temurun dalam berburu karena efisien untuk menggiring satwa buruan. Sejatinya ritual itu juga berperan untuk menjaga keseimbangan alam. Masyarakat kepualauan Aru menghargai lingkungan dan alam dengan merawat kearifan lokal seperti tordauk. Ritual ini juga mengandung norma, nilai, dan acara adat. Disisi lain mereka mereka mengenal tradisi sasi-tata cara adat untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hasil bumi termasuk di hutan atau padang ilalang.
Pada prinsipnya sasi merupakan larangan bagi masyarakat untuk mengambil hasil bumi berupa aneka satwa, tanaman pangan, atau hasil laut di wilayah dan waktu tertentu.
Masyarakat Aru mengenal dua jenis sasi yaitu sasi adat dan sasi agama. Landasan sasi adat berupa aturan yang berasal dari kepercayaan terhadap leluhur. Sementara itu sasi agama berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan.
Ketika belum waktunya menggelar acara berburu bersama tordauk, masyarakat dilarang melakukan perburuan dan bakar ilalang di lokasi tordouk. Oleh karena itu, tordouk hanya dilakukan hanya berlangsung sekali setahun untuk mengontrol populasi satwa. Artinya antara tordauk dan sasi itu saling melengkapi agar membentuk keseimbangan alam. Secara tidak langsung, tordouk mengontrol populasi agar tidak berlebih. Di sisi lain sasi justru bentuk konservasi untuk melindungi satwa di aru Selatan.
Hingga hari ini mereka masih menggunakan sasi secara menyeluruh untuk menjaga keseimbangan alam. Pantas masyarakat yang melanggar sasi mendapatkan sanksi adat dan hukuman langsung.
Mereka percaya pelanggar sasi berupa bencana seperti rakit atau kematian. Itulah sebabnnya warga pun patuh pada aturan leluhur. Sanksi lainnya membayar denda sebagai symbol pembayaran dalam bentuk harta.
Selain itu masyarakat meyakini membakar alang-alang menumbuhkan rumput baru untuk pakan satwa yang hidup disana. Rumput yang menjadi pakan satwa akan tumbuh.
22 januari 1992, lahan ulayat masyarakat adat Desa Marafenfen dikuasai pihak TNI Angkatan Laut. Selama 29 tahun lebih masyarakat Desa Marafenfen berupaya mencari keadilan atas tanah mereka.
Berbagai cara telah ditempuh masyarakat adat Marafenfen untuk berjuang atas lahan seluas 698 ribu hektar kepada TNI AL, BPN, dan Pemerintah Provinsi.
Oca Gaelogoy, seorang perempuan asal Desa Marafenfen merunut pembangunan bandara TNI AL di petuanan Desa Marafenfen berawal dari kedatangan sejumlah aparat TNI Angkatan Laut menggunakan helicopter, tahun 1991 silam.
“Saya dengar dari Mama do, Kakak saya,”kata Oca mengutip cerita dari mendiang Dolfintje Gaelogoy atau akrab disapa mama Do, perempuan Maysrakat Adat dari Marafenfen.”(Kala itu) bapak saya juga mama Do lagi di kusu-kusu(Padang Sabana)lalu ada helicopter mendarat. Aparat TNI tanya sama bapak saya, di mana kampung Marafenfen. Lalu almarhum bapak saya menunjuk arah perkampungan, kemudian mereka berbalik,”tutur Oca Gaelogoy, adik perempuan mendiang mama Do, jumat (24/3/2021).
Beberapa hari kemudian kata Oca mereka mendatangi Pusat Desa Marafenfen dan diadakan pertemuan. Ia bilang, setelah pertemuan sejumlah (aparat) TNI AL langsung ke lokasi untuk membuat patok batas.
Lanjutan kisahnya, setelah dipatok lokasi yang diinginkan, sejumlah aparat TNI AL ini baru kasih tahu masyarakat termasuk lapor diri di kepala Desa. Kemudian setelah itu, mereka kembali ke Jakarta, lalu datang lagi membawa sebuah surat dan menyuruh kepala Desa tandatangan.
“Kami (masyarakat) kaget bahwa sudah dibuat patok di lahan itu (lokasi bandara-red), namun kami tidak bisa berbuat banyak,”ungkap Perempuan dengan jabatan pendeta ini.
Ia menerangkan, faktor berseragam militer lengkap dan dilengkapi senjata saat itu membuat warga merasa takut sehingga mengiyakan proses pelepasan lahan dilaksanakan.
“Jadi ya situasi waktu itu jaman orde baru, masyarakat setempat lihat loreng saja sangat takut. Jadi akhirnya apa yang dilakukan oleh Kolonel Salinding”. Jadi bukan sekedar minta izin tapi sudah buat patok tanah sekian hektar katanya untuk pertahanan keamanan Negara,”tambahnya.
Sejak saat itu, warga dilarang untuk melintasi lokasi yang telah dikapling oleh mereka (TNI-AL). Masyarakat kata Oca mulai kesulitan untuk melakukan aktivitas pertanian termasuk berkebun. Mereka pun berembuk mulai memprotes atas lahan itu.
“Jadi sejak Angkatan Laut masuk dengan cara yang tidak resmi atau tidak sah, lalu ada sikap dari masyarakat membentuk tim untuk berangkat ke Jakarta,”kata Pendeta Oca ini.
Saat itu, warga mulai membentuk dua tim untuk ketemu dengan pimpinan TNI AL di Jakarta. Namun itu tidak diterima.
“Jadi tim pertama berangkat tahun 1992 dan tim kedua berangkat tahun 1994. Tetapi tidak diterima. Mereka akhirnya sempat ketemu dengan KOMNAS HAM,”jelas Oca mengingat peristiwa 29 tahun lalu.
Gagal menemui pimpinan TNI AL di Jakarta, perwakilan masyarakat akhirnya bertemu KOMNAS HAM dan diterima Baharudin Loppa, selaku Sekjen.
“Menurut mendiang mama Do, usai pertemuan Sekjen menyurati panglima ABRI untuk minta kalau boleh diselesaikan, sebab kalau tidak diselaikan akan menjadi bom waktu dikemudian hari dan membutuhkan energy yang luar besarnya, dan itu seperti terjadi sekarang,”kata Oca mengutip pernyataan mendiang Mama Do kakaknya saat mempimpin warga ke Jakarta 1994 silam.
Dari situ, perjuangan panjang masyarakat untuk mengembalikan hak ulayat terus dilakukan hingga saat ini.
“Jadi perjuangan terus kami lakukan dari masyarakat Marafenfen, Ayah Saya, Kaka Saya Mendiang Mama Do, dan saat ini di pengadilan negeri Dobo. Semoga Negara adil terhadap kami masyarakat adat,”harapnya. (Bersambung)
*****
Discussion about this post