Oleh: Sutarsih [Pulau Buru, Maluku]
CERITA tentang lain tentang perempuan penyintas tragedi 65 di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku adalah Suhartini. Dari beberapa perempuan yang berhasil ditemui, kisah hidup Suhartini yang sangat menyentuh. Suhartini Lahir sebagai anak sulung dari pasangan Rabimin Siswo Pranoto dan Ngabinem. Ayahnya Rabimin adalah seorang guru.
Sedari awal saat Panoto Ayah Suhartini berpamitan berangkat ke sekolah untuk mengajar. Hari itu tidak ada perasaan apapun, rutinitas masih sama seperti hari biasa. Sampai pada waktu sore ayahnya tak kunjung pulang. Selang beberapa waktu barulah ibu dari Suhartini mendapat kabar tentang ayahnya yang telah ditahan karena dituduh sebagai PKI.
Sejak saat itulah keluarga Suhartini mulai hidup dalam stigma buruk masyarakat. Dirinya yang saat itu masih berusia 6 tahun mulai diserang dan difitnah dari teman-temannya di sekolah. Karena depresi karena terus dipojokan oleh teman-temannya, Suhartini akhirnya setop sekolah. Saat dibangku kelas 3 Sekolah Dasar.
“Bapak kamu ditahan to, bapakmu PKI to. Teman teman bilang Begitu, saya malu jadi saya gak mau sekolah”. Tutur Harti mengingat peristiwa kelam saat itu.
Makan Kulit Ubi
Perlakuan serupa juga diterima oleh ibu dan 4 orang adiknya. Tak kuat dengan berbagai hinaan, fitnaan serta sulitnya mendapatkan makanan pada masa itu karena stigma sebagai keluarga PKI membuat Ibu dari Suhartini terpaksa membawa dia dan dua orang adiknya pindah ke Gunung Kidul untuk tinggal bersama nenek dari ibu mereka. Sedangkan dua orang adik lainnya tetap tinggal bersama nenek dari ayah di Yogja.
Sambil menangis, Suhartini mengisahkan sejarah kelam, saat keluarganya terpaksa mengkonsumsi kulit ubi kayu karena tidak ada makanan. Dia menggambarkan sulitnya kondisi ekonomi yang dihadapi setelah ayahnya ditangkap tanpa tahu kesalahan apa yang dilakukan.
“Ibu saya hanya buruh maton (membersihkan gulma padi), ya kehidupan saat itu yo sulit, makan kurang-kurang. Pernah saya makan, mama saya sakit. Saya juga sakit. Karena gak punya apa apa. Mama saya ini cari kulit kasbi yang kering, terus ditumbu dan dimasak, ya pahit sekali, itu saya bilang mama, kalau begini dibelikan ikan asin biar gak pahit.. sudah dibelikan ikan asin tapi yo tetep pait wong kulit kasbi,”Ujar harti sambil sesekali mengusap air mata di wajahnya.
Dicap PKI dan Perampok Tanah
Tahun 1969, Ayah Suhartini yang saat itu ditahan di Nusa Kembangan dikabarkan dibuang ke Pulau Buru bersama Tahanan Politik lainnya. Tahun 1972 ibunya mendapat panggilan untuk menyusul dan tinggal bersama ayahnya di Pulau Buru. Barulah pada tahun 1974 Suhartini memberanikan diri untuk menyusul.
“Dulu tahun 72 setelah bapak di buang ke Pulau Buru, bapak kirim surat, katanya datang kesini, disini makanan banyak, nanti kamu juga bapak sekolahkan. Tapi karena waktu itu ditakut-takuti katanya nanti naik kapal nanti kamu di buang di laut, jadi saya jadi takut. Nanti di tahun 74 baru saya berani nyusul,”ucap Dia.
Di Pulau Buru Suhartini akhirnya kembali melajutkan sekolah pada jenjang kelas 3 SD. Setelah lulus Dia kemudian menikah dengan sesama tahanan yang merupakan teman ayahnya. Saat itu para tahanan sudah mendapatkan jatah tanah untuk ditinggali dan lahan untuk dijadikan ladang atau sawah namun masih berstatus pinjam pakai.
Tanah itu sekarang sudah menjadi hak bersertifikat yang legal secara hukum bersamaan setelah pemerintah membuat program tarnsmigrasi ke pulau Buru sekitar tahun 1979-1980. Setiap eks Tapol yang memilih menetap dan bergabung bersama para transmigran kemudian mendapat jatah tanah 1 hektar untuk tempat tinggal, 1 hektar untuk ladang dan 1 hektar untuk sawah.
Namun beberapa tahun terakhir, tanah yang sudah menjadi hak milik beberapa warga termasuk Suhartini kembali dipermasalahkan oleh masyarakat pribumi. Dengan mengatasnamakan sebagai keluarga bupati, mereka menklaim bahwa lahan yang ditanami adalah tanah mereka, hal tersebut sempat menjadi polemik hingga dibahas ke majelis Desa.
“Kita dibilang, dasar orang PKI, pendatang, perampok. Sedih. Tapi saya lawan. Kita sampaikan ke mereka, tanah yang dikasih pemerintah itu tidak setara dengan apa yang kita lakukan selama menjadi tahanan. Harus membuka lahan, menebang pohon, semuanya dilakukan dengan manual jadi jangan sudutkan kita dengan mengatai kami perampok”
Sampai sekarang pun saling klaim tanah masih terus dialami Suhartini dan sejumlah warga penyintas lainnya. Ada yang tetap mengolah lahannya, ada juga yang memutuskan mengalah dan membiarkan lahanya di tanami oleh pribumi. Dengan harapan tidak ada lagi permasalahan lebih jauh.
Tak banyak yang bisa dilakukan Suhartini saat ini untuk memperbaiki nama keluarga dan anak cucunya. Saat ini yang hanya dilakukan Suhatini hanya membangun kepercayaan diri untuk tetap bersuara. Dia berencana untuk membangun kesadaran dan keyakinan agar masyarakat umum tahu, bahwa inilah yang terjadi dan dialami keluarganya dan warga lain yang menjadi korban tragedi 65.
“Saya ingin tidak ada lagi ucapan “Anak PKI” bahkan sampai kepada anak cucu kelak”
Jadi Guru Honorer
Kisah lainnya juga menimpa seorang guru honorer diKabupaten Buru, Maluku. Namanya Tiwi Sulasti (44). Seorang guru dengan status honorer pada salah satu sekolah negeri di Kabupaten Buru. Dia ditugaskan untuk menjadi guru kelas untuk mengajar murid kelas 1 Sekolah Dasar.
Dengan raut wajah sedih dirinya mengisahkan bagaimana status sebagai anak penyintas mempengaruhi karirnya sebagai seorang guru.
Saat tahun ajaran baru, sekolah tentu memiliki banyak calon murid yang siap masuk sebagai murid baru. Akan ada interaksi awal antara guru, murid dan orang tua tentunya. Momen inilah yang kadang membuat kekhawatiran berulang bagi Tiwi selaku guru, yang akan dipercayakan mendidik murid murid baru tersebut.
Setiap tahunnya ada saja orang tua yang baru mendaftarkan anaknya ke sekolah. Mereka selalu mempertanyakan cara Tiwi mendidik anak anak. Para orang tua kata Tiwi menduga bahwa Dia akan mengajar tidak sesuai karena ia merupakan anak penyintas.
“Setiap tahun ajaran baru pasti ada dari orang tua murid khawatir dan mempertanyakan cara saya mengajar dan mendidik anak anak. Sebagai pendidik saya tidak ingin membedakan siapapun dan mengajarkan hal yang buruk kepada anak didik”
Cara Mengajar Diprotes
Pesimisme para orang tua murid seiring waktu berjalan kendor saat melihat langsung cara Tiwi dalam mengajar murid-muridnya. Dia menjadi salah satu guru yang akrab dengan semua murid, bukan saja selama proses belajar mengajar tapi juga saat di rumah.
Cerita lainnya yang pernah dialami Tiwi adalah dirinya pernah dihina sebagai anak PKI. Saat itu salah satu murid disabilitasnya dibuli oleh kaka kelasnya sepulang sekolah tanpa sepengatahuannya. Peristiwa itu berkembang dikalangan para guru di sekolah lain.
“Mereka tuduh saya gak mampu lihat anak didik. Saya dibilang dasar anak PKI. Sungguh mendengar tiga huruf itu saya nelangsa, memang saya dari keluarga Tapol tapi belum tentu PKI, tapi kenapa tiga huruf itu selalu diungkit. Saya mengajar iklas, dan tidak tebang pilih,” tutur Tiwi sembari mengusap air mata di wajahnya.
Sebagai seorang Guru, dari penyintas korban 65. Tiwi, ingin berusaha menunjukan hal positiv terhadap semua pihak termasuk orang tua murid. Agar tidak ada pengkotak-kotakan antara keluarga penyintas dan masayarakt umum. Ia ingin sama sama diberi kesempatan tanpa kecurigaan untuk membangun dan memajukan daerah tempat ia mengabdi.
Uji Kesabaran
Saat itu pagi menjelang siang, jumat pukul 10.26 WIT, Lasinem yang sudah sepuh bersama seorang anak dan cicitnya sedang duduk sembari menonton film marsha and the bear, serial animasi yang menjadi tontonan favorit anak anak jaman sekarang. Cicitnya yang merupakan bocah laki laki berumur sekitar 1 tahun lebih itu serius menatap tayangan yang muncul dilayar tv tabung berukuran 14 inc sambil melantai. Sementara nenek Lasinem dan anaknya duduk bersama pada kursi berwarna hitam berukuran 1 meter yang sudah mulai lapuk.
Nenek Lasinem adalah istri dari seorang tahanan tapol 65 bernama Senen. Almarhum Senen suaminya meninggal akibat sakit pada februari 2022 lalu. Senen meninggalkan nenek Lasinem seorang diri yang kini tinggal bersama anak ketiganya di rumah sederhana miliknya.
Keluarga nenek Lasinem sejak dulu memang hidup dalam serba kekurangan. Kehidupan sebagai penyintas 65 yang sulit membuat keluarganya tidak ingin mengharap sesuatu yang lebih. Apalagi menuntut untuk bisa mendapat bantuan dari banyak pihak.
Nenek Lasinem cerita tentang nama keluarganya yang pernah terdaftar sebagai penerima bantuan rumah semi permanen senilai Rp15 juta. “Program ini ada saat bapak masih hidup”.
Dia dan suaminya berniat menggunakan uang tersebut untuk merenovasi rumahnya yang reot dan nyaris roboh. Dinding rumah yang terbuat dari papan dan kayu juga sudah mulai keropos. Hari berganti bulan setelah informasi itu, mereka tak lagi mendapat kabar tentang kapan pastinya bantuan itu tiba.
Sayangnya, kabar tak sedap datang. Lasinem mendapat kabar beberapa warga di desanya, Savana Jaya, telah menerima bantuan rumah, sementara dia sama sekali tidak mendapat kabar apapun.
“Saya sama bapak itu tahu kalau bantuan rumah sudah keluar itu dari orang-orang, wong sudah ada yang bangun rumah juga,”ucapnya.
Sempat terbesit kecurigaan di keluarganya karena yakin namanya masuk dalam daftar penerima. Namun nenek Lasinem dan Almarhum suaminya memilih untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Beberapa waktu kemudian, barulah ada yang menyampaikan, jika keluarganya memang masuk dalam daftar penerima bantuan, tetapi kabarnya anak dari nenek senen sendiri yang tidak mau menerima bantuan tersebut sehingga bantuan itu kemudian dialihkan kepada warga lain.
“Sudah berapa bulan dari saat bantuan itu turun, ada yang bilang ke saya katanya keluarga saya sebenarnya dapat bantuan tapi anak saya yang gak mau ambil. Saya kaget, lah wong rumah kami saja begini kok bisa bisanya kita gak mau terima bantuan. Dulu waktu dengar kabarnya saja kita sudah senang sekali. Tapi kita gak mau ribut. Ya sudah mungkin belum rejeki”
Meski diterpa banyak hambatan, namun nenek Lasinem tidak mau berfikir negatif apalagi sampai mengira penyebab ia tak mendapat bantuan adalah karena latar belakang keluarganya yang langsung sebagai Tapol.
Saat ini nenek Lasinem hanya menggantungkan hidupnya dari hasil sawahnya yang disewahkan kepada orang lain. Luas lahannya juga tidak sampai 1 ha. Dari hasil uang itu, Lasinem bisabertahan hidup bersama keluarganya. Dia menerima sekitar 3 karung beras berukuran 50 kg itu pun baru bisa diperoleh setelah musim panen tiba setiap 3 sampai 4 bulan sekali.
“Kadang saya terima bantuan juga dari Lembaga kemanusiaan yang disalurkan melalui ibu Sudarsin , berupa sembako atau bantuan tunai,”ujarnya.
Apa Kata Komnas HAM?
Situasi penegakan hukum kasus pelanggaran HAM di indonesia terutama untuk pelanggaran HAM berat dimassa lalu masih belum terlalu menunjukan perkembangan yang signifikan. Ada banyak kasus HAM masa lalu yang tak kunjung diproses oleh aparat penegak hukum. Belum lagi berbagai pelanggaran yang baru dimasukan oleh para korban, menambah deretan kasus semakin menumpuk.
Komnas HAM hingga kini terus menerima banyak laporan terhadap kasus pelanggaran HAM 65. Belum lagi pengajuan surat untuk mendapat bantuan pemulihan hak-hak para korban. Namun, kasus-kasus yang telah dilaporkan banyak belum tertangani.
“Proses penanganan tidak sederhana membuat para korban harus ekstra bersabar menunggu hasil yang diharapkan, kata Pelaksana Tugas Kepala KOMNAS HAM Perwakilan Maluku, Djuliyati Toisuta, di Ambon.
Contoh kecil, dijelaskan Yuli seperti para korban 65 di Pulau Buru, KOMNAS HAM Perwakilan Maluku telah menerima pengajuan permohonan surat keterangan korban pelanggaran HAM berat, dari para korban kasus 65 pulau Buru sekitar tahun 2021 hingga 2022. Hingga kini sekarang pun masih terus melalui sejumlah proses oleh komnas HAM untuk selanjutkan di berikan kepada LPSK.
“Kami telah menerima pengajuan permohonan surat keterangan korban pelanggaran ham berat dari para penyintas kasus 65 di pulau Buru. Kami juga sudah melakukan verifikasi langsung ke para korban dan keluarganya, selanjutnya hasil tersebut akan kami kirimkan ke Komnas HAM RI untuk kemudian merekomendasikan para korban mendapatkan hak pemulihan, yang biasanya diberikan melalui LPSK,” cetus Djuliyati Toisuta.
LPSK menurutnya adalah lembaga yang fungsinya memberikan bantuan perlindungan hingga penjamin Kesehatan. Sampai tahun 2020, dipaparkan Yuli, LPSK telah memberikan bantuan kepada para korban kasus 65 yang mengalami pelanggaran HAM berat masa lalu dengan total lebih dari 3.800 korban.
“Bantuan yang diberikan adalah bantuan medis, rehabilitasi, psikologi dan psikososial”
Meski ada banyak penyediaan bantuan yang bisa diberikan, Toisuta mengatakan tidak semua korban bisa merasakan langsung dampak positif dari bantuan tersebut.
“Sesunguhnya bantuan yang sebenarnya diharapkan oeh mereka para korban kasus 65 adalah pemulihan hak, salah satunya adalah pemulihan nama para penyintas yang menjadi korban fitnah 65 yang sampai saat ini masih belum jelas”
Keputusan Presiden
Jelang HUT kemerdekaan RI ke 76 selasa (16/8/2022), Presiden Joko Widodo kembali mengesahkan Keputusan Presiden (Kepres) tentang penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial. Keputusan ini yang disampaikan Presiden dalam pidatonya di Gedung MPR, menyebabkan perdebatan kusir dikalangan aktivis dan pegiat HAM termasuk dikalangan para korban kasus 65.
Kehadiran Keppres ini melahirkan pertanyaan besar berbagai pihak, apakah ini menjadi hadiah bagi para korban 65 atau upaya meningkatkan impunitas bagi para pelaku pelanggaran. Hingga kini belum ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut, apalagi sampai mengakses secara langsung Keppres paham ini untuk bisa menelaah lebih dalam.
Namun dari Draf Keppres yang beredar, dikabarkan adanya pembentukan tim paham yang berpotensi melanggengkan Impunitas serta pemutihan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas terselesaikan oleh Pemerintah.
“Saya ingin menekankan, bahwa semua korban dari kasus 65 pada hakekatnya menginginkan penyelesaian, dan harus betul adil, jangan sampai justru penyelesaian yang digagas oleh Presiden ini justru akan melanggengkan impunitas,” tutur Bedjo Untung ketua YPKP 65.
Lahirnya Keppres tersebut dinilai sebagai bukti ketidakmampuan pemerintah Jokowi dalam menuntaskan persoalan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan dinilai melanggar mandat UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang harusnya bisa dipatuhi dalam penyelesaian kasus pelanggaarah HAM berat secara Yudisial dan bermuara pada keberlanjutan ke proses pengadilan HAM bagi pelaku pelanggaran.
“Saya menolak apabila Keppres ini hanya bagi bagi sembako dan bantuan kesehatan, tapi kami tidak mendapatkan rehabilitasi, kebenaran tidak diungkap, peraturan-peraturan warisan Orde Baru masih tetap ada, itu juga tidak ada artinya”
Persoalan berikutnya bahwa dalam pembentukan Tim Paham tidak diberi mandat pencarian kebenaran dalam memenuhi hak para korban dan publik (Right to The Truth) yang menjadi dasar layak tidaknya suatu peristiwa dapat dibawa ke proses pengadilan HAM (Yudisial) atau hanya perlu melalui jalur Non Yudisial.
“Bagaimana mungkin kita akan melakukan tuntutan Rehabilitasi ataukah Kompensasi apabila ini belum dibuka selebar lebarnya, harus ada jaminan bahwa Negara akan memberikan keadilan dan kebenaran. Saya mendesak bapak Presiden bisa mengeluarkan suatu keputusan katakanlah rehabilitasi umum kepada seluruh korban, tidak distigma lagi dan peraturan perundang-undangan hasil produksi Orde Baru itu harus dibubarkan, ini baru adil,” tegasnya. (selesai)
Artikel ini merupakan beasiswa peliputan “Perempuan Berdaya Di Media” yang digelar oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos Dalam Kemitraan Program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.
Discussion about this post