SELASA 18 februari 2020, sekitar pukul 10.00 WIT mungkin adalah sejarah dan hari yang tidak bisa dilupakan oleh sebagian warga Desa Sabuai. Hari itu sejumlah polisi menggeruduk desa yang berada di Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Provinsi Maluku.
Sejumlah Polisi datang dari jalur darat arah kota Kecamatan, Desa Atiahu. Mereka datang bersenjata lengkap. Dua puluh enam warga Sabuai pun dibawa ke Mapolsek Werinama di Kecamatan Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur.
Jika dirunut, cerita itu bermula beberapa hari sebelumnya, Khaleb Yamarua (21), seorang pemuda desa Sabuai yang mengabarkan penangkapan yang dilakukan oleh polisi atas laporan komisaris CV Sumber Berkat Makmur (SBM), Imanuel Quadarusman.
Dari sinilah Khaleb menceritakan peristiwa kelam yang menimpa ia bersama dua puluh lima warga Sabuai, pertengahan februari lalu.
Saat didatangi titastory, Khaleb Yamarua, tampak sibuk mengikat kain berang merah (kain adat) pada kepalanya. Terlihat beberapa asesoris peralatan adat yang dipakai melingkari badannya yang setengah terlanjang. Dia sementara bersiap meninjau camp perusahan CV SBM yang berada di gunung Ahwalam, jumat 18 desember 2020. Khaleb ditemani kerabatnya, Stefanus Ahwalam dan belasan warga Sabuai.
Khaleb dan Stefanus ditetapkan menjadi tersangka, dalam kasus pengrusakan alat berat milik CV.SBM, senin 17 februari 2020 lalu.
Keduanya, saat ini masih berstatus sebagai tersangka oleh Polres Seram Bagian Timur. Namun tidak mendekam dipenjara. Mereka bersatus tahanan rumah dan wajib lapor.
Bersama Stefanus dan puluhan pemuda Sabuai, Khaleb melanjutkan perjalanan mereka ke Camp CV SBM yang kini tak beroperasi.
Tak banyak yang bisa berdiri didepan untuk menentang ketidakadilan dan berjuang membela hutan adat yang telah digenerasikan turun temurun. Bahkan lumrah bagi masyarakat adat untuk berjuang mempertahankan tanah yang memberikan mereka makan dan minum.
Khaleb dan Stefanus mampu berjuang untuk memperjuangkan dan melindungi hutan adat dari perusahan kayu.
Khaleb Yamarua tengah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon. Saat ini Ia berada pada semester enam. Mahasiswa Fakultas hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon ini sudah tiga tahun menginjakan kakinya di bangku perkuliahan fakultas hukum.
Perjuangan mempertahankan hutan adat membuat Ia, beberapa bulan tidak fokus untuk belajar. Apalagi pasca ditetapkan sebagai tersangka bersama kerabatnya Stefanus.
“Terhadap peristiwa saat itu tentunya sangat menyita aktivitas saya sebagai mahasiswa yang baru kuliah di fakultas hukum Unpatti Ambon. Saya harus wajib lapor dan itu harus membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga saya harus mengorbankan kuliah saya,”kata Khaleb.
Meski begitu kata Khaleb tidak membuatnya untuk menyerah dan berjuang hutan adat yang dititipkan leluhurnya itu.
Khaleb tak sendiri Ia didampingi kakaknya, Josua Ahwalam. Khaleb adik kandung dari Yosua. Mereka kembaran. Tanggal lahir hingga tahun juga sama, yakni 29 April 1999. Hanya berbeda selisih jam.
Josua, lebih memilih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan. Sementara Khaleb lebih memilih kuliah di fakultas Hukum.
Keduanya, selama tiga tahun belajar giat. Selain memburu aktifitas perkuliahan agar cepat selesai, mereka juga terlilit dengan keuangan. Kondisi itu yang memacu kedua kakak beradik ini menyelesaikan kuliah mereka di Ambon.
Tahun 2020, semuanya berubah. Tepat tanggal 14 februari 2020, Khaleb harus pulang ke kampungnya, desa Sabuai.
Khaleb dipanggil oleh kerabat serta warga Desa Sabuai untuk berdialog. Mereka merencanakan memprotes perusahan kayu yang telah beroperasi di hutan mereka. Proses pembalakan kayu telah dilakukan sejak 2019 oleh perusahan CV. Sumber Berkat Makmur (SBM).
Khaleb bersama warga sudah bertekad untuk mengusir perusahan yang dipimpin oleh Imanuel Quadarusman, CV SBM. Niat ini sudah lama dilakukan mereka. Sejak tahun 2019 lalu.
Singkat cerita bendera perang terpasang. Aksi mereka tak bisa lagi dibendung, karena merasa hutan mereka telah rusak dan hancur. Selain itu, saat hujan kampung mereka diterjang banjir.
Bagi Khaleb, aksi yang dilakukan mereka bagian dari upaya mempertahankan ruang hidup mereka begitu berat. Ia menceritakan peristiwa yang berujung penangkapan. Peristiwa pertengah februari lalu itu dianggap sebagai perjuangan pertahankan hidup mereka.
“Jadi, awalnya itu ada tiga lahan yang kemudian kita berikan tapi pada faktanya perusahan melakukan tindakan penyerobotan,”jelasnya.
Lanjutan kisahnya, tindakan pengrusakan terhadap peralatan perusahan merupakan tindakan sebab akibat.
“Pengrusakan yang kita lakukan di lokasi hutan gunung ahlawe itu merupakan kemarahan, rasa kekecewaan dari kami masyarakat Sabuai,”tambah Khaleb.
Apa yang dilakukan oleh pemuda dan warga sabuai, menurut Khaleb adalah wajar lantaran telah dilakukan larangan kepada pihak perusahan maupun aparat kepolisian melalui surat.
“Ada beberapa bentuk larangan dalam hal ini pemalangan sebanyak tiga kali telah kita lakukan bahkan hutan tersebut telah disasi oleh kami,”ucapnya.
Menurut Khaleb ketahuan menyeroboti lahan dan hutan adat, warga bahkan telah membuat sasi adat.
“Larangan yang kemudian kita lakukan itu, berawal dari bulan mei 2019, kira-kira tanggal 9 dan tanggal 11 mei. Kemudian prosesi adatnya tanggal 7 juni. Bahkan perkara ini sudah kami laporkan ke Polda Maluku. Pada tanggal 6 agustus 2019, namun pada faktanya tidak ada perkembangan perkara yang pasti,” urai Khaleb.
Khaleb juga menyesalkan laporan masyarakat yang tak dihiraukan oleh pihak Polda Maluku. Padahal 2019 aduan itu telah dimasukan. Namun tak ditanggapi
“Rentetan peristiwa kemarin itu, merupakan akumulasi dari kekecewaan, kemarahan kami, pemalangan kami di tidak diindahkan bahkan laporan polisi kami juga tidak ada perkembangan perkara yang pasti. Dari 26 yang ditangkap, 2 orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya [Khaleb Yamarua], Albert Nisdoam, Nehemia Nisdoam, Yehas Patotnem, Yesriel Patotnem, Saul Patotnem, Santos Patotnem, Hendrik Patotnem (siswa), Frans Yamarua, Roni Yamarua, Noce Yamarua, Ais Ahwalam, Nico Ahwalam, Anus Ahwalam, Yopi Ahwalam, Alfian Ahwalam.
Kemudian, Nus Ahwalam, Amo Titasam, Jemmy Titasam, Yeheskel Titasam, Nahor Titasam (siswa), Moretz Titasam, Benny Sopacua, chak Lesiela. Dua orang, Saya [Khaleb Yamarua] dan Stefanus Ahwalam dan, jadi tersangka,” jelas Khaleb menuturkan nama-nama yang ditangkap saat itu jadi tersangka.
“Saya berbesar hati meski ditetapkan tersangka. Dari penetapan tersangka ini juga kami dikenakan wajib lapor, sewaktu-waktu ada kepentingan untuk penyidikan maka kami harus datang di Polres Seram Timur,”tandasnya.
“Olehnya itu, tindakan perusahan yang merusak hutan kami maka sampai titik darah penghabisan pun kami akan lawan atas tindakan-tindakan perampasan ruang hidup terhadap masyarakat hukum adat sabuai,”tegas ia sambil menutup wawancaranya.
Kasus penahanan warga adat, menjadi perhatian di tingkat nasional. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Komnas HAM Provinsi Maluku menyurati Polda Maluku untuk membebaskan warga Sabuai.
Hasilnya, Ketua Komnas HAM mengirimkan surat ke Polda Maluku dan Polres mempertanyakan penahanan 26 warga ini. Dari Amnesty International juga memberikan dukungan dengan menghubungi Kapolda Maluku.
Bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 2020, 10 desember, Khaleb meminta agar Pemerintah Daerah dapat menghargai hak masyarakat adat di Maluku, khususnya di Sabuai untuk memperjuangkan hutan dan tanah adat mereka.
Cerita yang sama datang dari Stefanus Ahawallam. Pemuda negeri Sabuai. Ia adalah kerabat Khaleb dan Josua. Mereka keluarga dekat.
Cerita Stefanus tak berbeda jauh dengan kerabatnya Khaleb. Mereka berjuang mempertahankan hutan adat. Ditangkap. Bahkan ditetapkan sebagai tersangka oleh komisaris CV SBM hingga saat ini.
Stefanus bercerita tentang aksi pemalangan dan pengrusakan alat berat milik CV. Sumber Berkat Makmur (SBM) berakhir penahanan 26 orang masyarakat adat Sabuai, kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur dipolisikan perusahan CV. Sumber Berkat Makmur (SBM).
“Kami semua ditangkap di Sabuai dan dibawa menuju Polsek Werinama untuk dilakukan pemeriksaan, itu atas laporan dari pimpinan perusahan CV SBM, Imanuel Quadarusman.
Diceritakan, dari 26 warga yang diperiksa, 3 warga telah dizinkan pulang ke rumah mereka masing-masing. Ketiga warga ini adalah anak-anak dan masih sekolah.
“Seingat saya kami di periksa di Mapolsek Werinama, hari kamis 20 februari 2020. Kami diperlakukan tidak wajar dan dikriminalisasi,”kata Stefanus sembari mengingat peristiwa pertengahan februari 2020 lalu.
Josua Ahwalam, saudara kembar Khaleb turut berjuang atas penyerobotan hutan adat mereka. Meski harus beda lokasi. Semangat Ia tak surut.
Diceritakan Josua, peristiwa pertengahan februari 2020 itu memeras tenaga dan juga pikiran untuk menyuarakan ketidakadilan di Negerinya.
“Setelah saya mendapatkan informasi dari Sabuai, saudara saya Khaleb dan ke-25 warga Sabuai ditahan, maka saya kemudian berkordinasi dengan teman-teman aktivis mahasiswa dari berbagai daerah kemudian merencanakan aksi,”ucapnya, sabtu 12 desember 2020.
Ihwal, di kamar kontrakan seluas 3 kali 4 meter, Josua menggelar rapat koordinasi untuk aksi demonstrasi saat itu.
“Kami melakukan koordinasi pada tanggal 27 februari 2020. Aksi tersebut jalan di tiga tempat yakni kantor DPRD Provinsi Maluku, kantor gubernur Maluku, dan juga Markas Polda Maluku,”katanya. Perjuangan yang tak kenal lelah, meski harus jalan dari satu kantor ke kantor yang lain.
Tak sampai disitu, Josua bersama para aktivis mahasiswa lainnya terus melakukan pengawalan terhadap janji DPRD Maluku.
“Kami melakukan audiensi. Didalam pertemuan itu, Komisaris SBM memaparkan kesalahan-kesalahan yang dibuat pertama dan mengakui bahwa apa yang sudah dilakukan itu adalah salah,”katanya sembari mengingat peristiwa itu.
Setelah pertemuan itu, Josua tak penah lagi mendengarkan informasi. Namun semangat untuk melakukan aksi terus dilakukan oleh ia. Meski terkadang harus membagi waktu dengan aktivitas perkuliahan.
Semangat perjuangan untuk tanah kelahiran dan juga hutan leluhurnya, terkadang membuat Josua harus berkorban. Kuliahnya sempat terhenti kata Josua. Ia harus berkosentrasi membuat gerakan aksi demontrasi.
“Sekitar dua minggu dalam upaya mempersiapkan gerakan demonstrasi untuk memprotes pembalakan hutan. Itu membuat saya tidak kuliah selama tiga minggu,” tambahnya.
Meski begitu, kata anak ketujuh dari pasangan Melkisedek Yamarua (Almarhum) dan Agustina Yamarua/Ahwalam ini tidak mematahkan semangatnya untuk berjuang di kota ambon.
Bagi Josua, hutan harus dijaga, karena merupakan sumber kehidupan. Tak hanya bagi Sabuai, Pulau Seram, bahkan Maluku, namun bagi dunia karena menjaga oksigen tetap terjaga.
“Prinsipnya hutan itu merupakan sumber kehidupan dan hal itu harus dijaga oleh kita sebagai pemuda adat, sebagai generasi adat dalam praktek kehidupan kita sehari-hari.
Perjuangan Masyarakat adat sabuai mempertahankan hutan adat, akhirnya membuahkan hasil. Tak terkecuali para pemuda.
Meski harus melewati perjuangan yang tak sedikit, namun pemuda Sabuai mendapat angin segar dengan ditetapkannya Komisaris Utama CV SBM, Imanuel Quadarusman alias Yongki.
Maret 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Wilayah Maluku Papua, akhirnya menetapkan Komisaris PT SBM, Imanuel Quadarusman sebagai tersangka pelaku illegal logging. Dia ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Maluku pada Rabu, 18 maret 2020.
Barang bukti yang diamankan yaitu 1 unit alat berat loader merek Komatsu, 2 unit bulldozer merek Caterpillar, dan 25 batang kayu bulat gelondongan dengan berbagai jenis dan ukuran. Kayu gelondongan itu diduga hasil dari illegal logging CV. SBM, di Desa Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku.
Foto Utama : Puluhan Masyarakat Adat Sabuai Mendatangi Camp Perusahan CV Sumber Berkat Makmur (SBM) di Hutan Gunung Siwe Sabuai. Terlihat Ratusan Gelondongan Kayu telah ditebang CV SBM berada di sekitar camp perusahan.
*****
Belseran Christ Adalah Jurnalis TITASTORY.ID Penerima Fellowship dari Yayasan EcoNusa Dengan Judul “Perjuangan Pemuda Selamatkan Hutan Adat Sabuai Pulau Seram”.
Discussion about this post