BOKUMU menggeleng lemah. Bibirnya bergetar. Dia tertunduk sambil memejamkan matanya di makam Nuhu, sepupunya yang meninggal dunia karena sakit di penjara 15 juli 2019 silam. Sesekali bibirnya bergetar sambil merapal doa.
Air Mata tak mampu Bokum tahan. Beberapa kali menetes. Dia mengusapnya, meski coba menutupi dengan balutan masker di wajahnya.
“Damailah Dalam Pelukan Semesta, Nuhu Akejira”. Begitulah tulisan yang tertera di batu Nisa Nuhu. Keheningan dan kesedihan terasa seketika.
Rabu, 9 februari 2022, Saya, Syaiful Madjid, seorang sosiolog yang meneliti tentang O Hongana Manyawa dan Supriadi seorang staf AMAN Maluku Utara menemani Bokum berziarah ke makam Nuhu yang berada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ternate.
Bokum saat masih di penjara telah berjanji, akan mengunjungi kuburan Nuhu. Ia baru memenuhi itu sepekan setelah Ia bebas.
“Tadi itu dia berdoa untuk Nuhu agar tenang di alam mereka. Terus dia berjanji akan balik lagi dan membawa Nuhu ke Hutan mereka,” kata Syaiful yang paham akan bahasa yang disampaikan Bokum saat itu.
Syaiful bilang, Bokum sedih karena sebelumnya mereka telah berjanji untuk sama-sama pulang ke Ake Jira dan menjaga tanah leluhur yang telah ditinggalkan lama.
“Waktu di penjara di pernah bilang untuk Nuhu, kalua setelah bebas mereka akan pulang menjaga tanah leluhur mereka”
Satu jam berada di tempat peristirahatan Nuhu. Hari telah senja. Waktu menunjukan pukul 05.30 waktu Indonesia timur. Kami bergegas meninggalkan TPU itu untuk pulang ke tempat tinggal sementara Bokum di kantor AMAN, ternate. Saya lihat Bokum begitu syok dengan kepergian saudara sepupunya itu.
Sejak dibebaskan pada senin tanggal 24 januari 2022, Bokumu berada di kantor Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku Utara di Ternate. Bersama Supriadi dan Masri seorang aktivis lingkungan, kami tinggal bersama hampir dua bulan. Tentu saja, tak mudah baginya untuk mengenali kepribadian kami. Itu perlu waktu. Namun seiring berjalannya waktu Ia bisa menyesuaikan dan lebih akrab dengan kami. Demikian juga dengan saya. Kami pun menjalani hari-hari kami bersama dengan bercanda. Dimata saya Bokum orang yang baik. Ia tekun. Semangat belajar. Dia bilang pernah belajar, sewaktu masih di penjara.
Hidup selama hampir dua bulan dengannya bagiku, stigma disandang Bokum bersama komunitasnya harus dipertanyakan, karena berbanding terbalik dengan kehidupan mereka.
Syaiful Majid, peneliti dan Sosiolog Universitas Mumamadiah Ternate, mengatakan, Bokum dan Nuhu dikenalnya sejak lama. Ia pernah tinggal bersama mereka saat penelitian di Ake Jira. Syaiful punya panggilan khusus di sana, Ahi. Istilah panggilan akrab mereka. Artinya saudara mengaku karena dianggap saudara.
“Semua yang ada di hutan Halteng dan Haltim itu memanggil sebutan saya Ahi. Bukan sobat. Kalau sobat itu cuma panggilan. Tapi kalau saya dipanggil Ahi,”katanya.
Syaiful turut mendampingi kasus Bokum dan Nuhu dan menjadi bagian dari tim penasehat hukum. Ia sempat kecewa dengan putusan hakim yang menetapkan mereka sebagai tersangka atas tuduhan pembunuhan di Waci, Halmahera Timur.
“Dia lapor ke saya. Dia sampaikan bahwa saya (Bokum) sudah paket A. Saya ketawa. Saya tanya Paket A maksudnya? Dong ajar saya batulis dan mereka ajar saya membaca. Dia jawab jawab par kita bagitu,” kata Syaiful meniru pembicaraan mereka februari 2022 lalu.
Tak puas, Ahi mencoba menanyakan seorang sipir di lapas. Mereka, kata Ahi mengiyakan Iya Pak bahwa Bokum diajarkan untuk menulis dan membaca.
Dikatakan Syaiful, jika dilihat dari muatan kecerdasan mereka lebih cerdas karena di dalam memori mereka belum terisi penuh sehingga mudah dicerna ajarannya.
“Cepat sekali. Itu terbukti dengan saya mengajarkan paman mereka Alekana. Saya pernah bawa ke Jakarta. itu saya ajar secara manual, tapi cepat sekali memahami. Sampai dia tahu baca tulis. Jadi kalau memang dari segi kecerdasan mereka lebih cerdas. Ya mungkin karena makanan, daging, umbi-umbian itu jadi protein dan karbohidratnya luar biasa karena tinggi. Jadi untuk ukuran kecerdasan luar biasa”
“Kalau mereka kita uji ingatan itu memang kita kalah. Contoh kasus, cara menunjukan tanda di hutan. Kalau mereka itu ingatannya sangat kuat sekali. Ini tanda ini, dari sini ke sini dilarang masuk”
Itu artinya, menurut Syaiful, dari sisi pemahaman tentang menjaga hutan itu mereka lebih arif dari manusia yang sudah terpelajar. Salah satu contoh kasus, istilahnya itu Madedengo, cara member tanda di hutan baginya menjadi bukti fisik dari mereka bahwa di wilayah ini, komunitas ini menjadi pemiliknya jadi jika ada buruan ke komunitas lain mereka kembali. Itu artinya hewan yang diburu seperti babi, rusa sudah menjadi milik komunitas yang lain.
“Itu luar biasa ingatan mereka. Dan itu tidak dilupakan setiap turunan. Karena itu pembagian satuan yang saya bilang. Pembagian satuan hutan,” jelasnya.
Sebelum tinggal di Kantor AMAN Ternate, Bokum tinggal di rumah Sofyan, salah satu pegawai Lapas Kelas II A Ternate. Dua hari setelah bebas, Ia harus tinggal di rumah dinas Sofyan yang berdekatan dengan Lapas Kelas IIA Ternate.
Maharani Caroline, pendamping hukumnya harus mengambil langkah untuk menitipkannya di rumah Sofyan. Kondisi tersebut lantaran sebelum melangkah dan menghirup udara bebas, Bokum didatangi oleh orang tidak dikenal (OTK). Mereka mengajak berinisiatif untuk menjemput Bokum pulang.
Saya menerima sebuah pesan kecil melalui Whatshapp dari Rani. Dia bilang selepas bebas, Bokum tengah diajak oleh seorang oknum Polisi dan juga renannya. Rani juga meneruskan 3 foto yang menerangkan keberadaan dia. seorang pria yang diketahui adalah Doni. Dia adalah perwira menengah polisi di Polda Maluku Utara.
Dengan lengan panjang putih, Doni sempat berfoto dengan Bokum dan dua petugas Lapas Ternate.
“Di samping Bokum itu Polisi dari Halteng (Halmahera Tengah) yang mo (mau) bawa Bokum. Saya nda Kase” tulis Rani pada pesan yang dikirimkan kepada saya.
Saat itu, Rani bertugas di luar kota (ternate-red). Dia masih menjalani agenda persidangan di Manado, Sulawesi Utara. Rani meminta Faris Bobero untuk menjemput Bokum di Lapas. Faris adalah seorang wartawan media online di Ternate. Ia juga penulis. Menulis buku tentang orang Halmahera, yang di dalamnya terangkum orang Tobelo Dalam.
“Saya suruh tanya kepentingan apa dia mau jemput Bokum,” kata Rani dalam pesannya kepada saya. Akhirnya Bokum kami titip di rumahnya pak Sofyan pegawai Lapas,” tambahnya.
Doni sendiri adalah perwira menengah di Polda Maluku Utara. Saat itu dia adalah Kasat Intel di Mapolres Halmahera Timur. Bokum dan Nuhu pernah menjalani pemeriksaan hingga ditetapkan sebagai tersangka oleh di Mapolres Halmahera Timur kala itu.
Meski begitu, kata Faris raut wajah Bokum tetap ceria saat berfoto dengan Doni. Raut wajahnya gembira karena akan menghirup udara bebas. Ia berpakaian necis. Setelan kemeja putih berlengan panjang serta topi yang menutupi helai rambutnya yang Panjang. Matanya berbinar memancarkan senyuman yang terhalang oleh balutan masker di mulutnya.
Bersama rekan sejawatnya yang menjemput di Lembaga Permasayarakatan Masayarakat (Lapas) Kelas II A Ternate, Bokum melenggang keluar lapas dengan disambut gembira.
Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara satu dari beberapa orang yang menyambut bebasnya Bokum. Munadi bilang masa tahanan Bokum lebih cepat dari vonis yang ditetapkan oleh hakim, 15 tahun penjara.
Mestinya, Bokum bebas bersama sepupunya Nuhu, sayangnya Nuhu meninggal karena sakit saat menjalani masa tahanan tahun 2019 lalu.
Setelah bebas, Bokum akhirnya dititipkan di rumah Sofyan, seorang petugas Lapas. Sofyan adalah kerabat dari Syaiful Majid. Peneliti yang banyak mendampingi Bokum dan komunitasnya di Ake Jira. Karena punya kedekatan dengan Sofyan, terutama saat mendampingi Bokum bercocok tanam, akhirnya Bokum tinggal selama dua hari dengannya.
Gagal menjemput Bokum saat hari kebebasannya, Doni dan seorang rekan pengusaha kembali mendatangi rumah Sofyan yang berada tak jauh dari Lapas. Rani mendapat informasi itu. Dia mencium rencana dari oknum polisi itu. Saya bersama Supriadi staf AMAN diajak untuk menemui Bokum di rumah Sofyan. Rani berinisitif untuk menjemput Bokum untuk tinggal di Kantor AMAN.
Tak lama kami sampai di kediaman ruman Sofyan. Kami melihat beberapa pria yang duduk di teras depan rumah Sofyan. Satu diantaranya adalah Doni. Perwira Polisi di Polda Maluku Utara. Nama lengkapnya adalah Iptu Dornik D Jini. Ia pernah bertugas sebagai Kasat Intelkam di Polres Halmahera Timur. Usai menjabat sebagai Kasat Intelkam di Halmahera Timur, Iptu Dornik juga pernah menjabat sebagai Kasat Intelkam Halmahera Tengah.
Jabatan baru Iptu Dornik Kasat Intelkam di Halmahera Timur menjadi Kasat Intelkam Halmahera Tengah berdasarkan Telegram Kapolda Malut Nomor: Kep/31/VII/2020 tanggal 24 juli 2020 dengan menggantikan Kasat Inltem Halteng yang lama, Iptu Abner Aleksander yang berganti tempat menjadi Kasat Intelkam di Halmahera Timur. Namun jabatan Dornik hanya bertahan satu tahun di Halmahera Tengah, Ia kemudian dipromosi sebagai Panit III Subdit 3 Ditintelkam Polda Maluku Utara. Ia naik jabatan menjadi AKP.
Jabatannya tak bertahan lama sebagai Panit III Subdit 3 Ditintelkam Polda Maluku Utara, AKP Dornik kembali dimutasikan oleh Kapolda Maluku Utara Irjen Midi Siswoko yang tertuang dalam surat Telegram Kapolda Nomor: ST/2476/XI/KEP/2022/R0 SDM dan ST/2476/XI/KEP/2022/RO SDM tertanggal 19 november 2022. Dornik yang sebelumnya menjabat sebagai Panit III Subdit 3 Ditintelkam Polda Maluku Utara dipromosikan menjadi Kabagops Polres Halmahera Timur.
Dornik tampak kaget melihat kedatangan rombongan kami. Dia bersama seorang rekan lainnya tengah duduk dengan Bokum di teras rumah. Rani pun menghampiri mereka.
Rani sebagai pendamping hukum saat itu melancarkan beberapa pertanyaan kepada mereka tentang keberadaan dan juga keinginan untuk menemui Bokum.
“Apa kepentingan bapak-bapak ini untuk mau menemui Bokum,” tanya Rani kepada dua pria itu.
“Kami hanya ingin melihat Bokum, kebetulan saya adalah ketua perkumpulan masyarakat adat Jailolo Halmahera Barat, jadi saya prihatin saja dengan Bokum” jawab Doni atas pertanyaan Rani.
Dia bilang dia prihatin dengan Bokum dan juga masyarakat Tobelo Dalam karena bagian dari masyarakat adat di Pulau Halmahera.
Dia berharap bisa membawa pulang Bokum agar bisa berkumpul dengan keluarganya. Saat dipenjara dia juga sudah meminta izin kepada salah satu rekan Bokum agar bisa dibawa.
Mengenai permintaan itu untuk membawa pulang Bokum langsung dibantah oleh Rani.
Rani bilang, Bokum sejak di penjara hingga bebas, masih berada dibawah pengawasannya selaku pendamping hukum. Dari pernyataannya, Doni dan seorang rekannya sempat tidak setuju. Ia bahkan menghubungi seorang rekannya, agar bisa memuluskan niat mereka. Namanya Viktor. Dia mantan narapidana. Ia pernah satu ruangan dengan Bokum di penjara. Meski telah meyakinkan Rani, namun Bokum tak dizinkan untuk dibawa oleh kedua orang tersebut. Setelah bebas, Viktor menghibahkan telepon genggamnya kepada Bokum seraya, untuk memperlancar komunikasi mereka.
“Ini Vicktor yang kasih dia hp pe kita, supaya bisa batelpon. Dia juga suka batelpon suka batanya kita di mana,” kata Bokum saat ditanyakan Rani soal hp yang dipegangnya saat itu.
Namun hp yang dihibahkan kepada Bokum oleh Victor, membuat Dia selalu diawasi. Bokum pun merasa tak nyaman, karena harus penuhi janji Victor.
Kepada Syaiful dan Rani, Bokum mengaku telah diiming-imingi oleh Viktor dan rekannya Doni sejumlah uang. Bahkan mereka dengan berniat membuat buku tabungan kepada dirinya. Meski dia tak tahu tujuan pembuatan buku tabungan itu.
“Dong mau buat kita pe buku tabungan, janji nanti mau setiap bulan isi kita pe uang,” kata Bokum kepada Syaiful dan Rani. Viktor dan Doni menjanjikan untuk membuka buku tabungan dan akan mengisi setiap bulan.
Pasca penjemputan di kediaman Sofyan, Bokum langsung diamankan untuk tinggal di Kantor AMAN hampir dua bulan.
Rani bilang Bokum akan tinggal di Kediaman Kantor AMAN usai keluar dari Lapas. Bokum akan tinggal sembari menunggu keputusannya kapan kembali ke hutan.
“Kita akan berdiskusi dengan Bokum, apakah dia ingin pulang langsung ke Ake Jira atau masih menetap di Halmahera,”kata Syaiful akhir januari 2022 lalu”
Bokum bersama komunitasnya saat ini mendiami wilayah hutan Ake Jira, sebuah wilayah bagian dari administrasi Trans SP III, Desa Woejarana, Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah. Komunitasnya biasa disebut bagian dari suku Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa. Orang luar menyebut mereka dengan sebutan orang Togutil.
Dia bersama sepupunya dipenjara karena vonis pembunuhan dua warga Desa Waci, Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur. Mereka dituduh membunuh Masud Matoa dan anak Marlan Matoa di perbatasan hutan Desa Waci dan Desa Dote.
Ketuk palu hakim atas kasus yang menimpa Nuhu dan Bokum mendapat sorotan. Keduanya membatah melakukan pembunuhan, meski diabaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim di pengadilan Tidore.
Keterangan Saksi
Bokum serta sepupunya Nuhu berakhir di penjara berawal dari tuduhan yang dialamatkan kepada mereka pada tanggal 3 juli 2014 silam.
Berdasarkan pengadilan dengan nomor: 42/Pid.Sus/2015/PN.Sos Pengadilan Negeri Soasio Tidore dengan terdakwa Nuhu dan Bokum bahwa pada awalnya Marlan Martoa bersama-sama dengan korban Martoa, bersama para saksi antara lain Abutalib Bakir, Jabanur Bakir, Kifli Jafar dan Abjan Bakir masuk ke Kawasan hutan Waci, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur dengan tujuan mencari kayu gaharusebagai bahan dasar membuat minyak wangi. Saat masuk hutan mereka membekali diri dengan bekal masak seperti sembako.
Namun usaha mereka gagal setelah 5 hari mengembara di hutan Waci untuk mencari kayu gaharu. Mereka memutuskan akhirnya untuk pulang. Dalam perjalanan keenam orang warga Waci ini berpapasan para terdakwa yang tak lain adalah Bokum dan Nuhu. Selain itu ada empat orang rekan terdakwa yang tidak diketahui identitasnya. Mereka dituduh oleh para saksi karena diduga mempunyai ciri-ciri yang sama, berjangggut, berjambang tebal, rambut terikat lurus tampak kusut, ada panjangnya sebahu, dan ada yang tidak terlalu panjang. Mereka juga menurut saksi mengenakan cawat atau sabeba pakaian adat orang suku, juga mengenakan anak panah dan parang berukuran panjang.
Melihat para terdakwa para korban dan saksi sontak mecoba lari untuk menyelamatkan diri. Berdasarkan dokumen persidangan yang merujuk pada berkas acara pemeriksaan (BAP) Polres Halmahera Timur menyebut korban Marlan Matoa dianiaya oleh para terdakwa yang disebut suku terasing.
Para saksi dan korban sempat melarikan diri menyeberangi kali. Seorang diantaranya bernama Abjan Bakir disebutkan terkenan panah. Tak diketahui arah panah dan dilepaskan oleh siapa. Marlan setelah terjatuh dengan posisi tertelungkup di tanah tanpa diketahui penyebabnya. Korban diketahui dianiaya oleh para terdakwa hingga meninggal dunia.
Berniat menolong anaknya Marlan yang sudah tak berdaya, tiga anak panah kembali tertancap mengenai kaki kanannya, bagian bokong, serta bagian dada. Seketika korban langsung terjatuh sambil menggendong anaknya Marlan.
Abu Talib Bakir, Jabanur Bakir, dan Abjan Bakir yang saat itu coba menyelamatkan diri juga terkena panah yang tidak diketahui asalnya dari mana. Saat itu Bakir juga mendengar jeritan kesakitan dari korban Masud Matoa dari arah belakang. Ketiganya berhasil menyelamatkan diri dan bersembunyi di tebing. Mereka bersembunyi dalam kondisi terluka selama beberapa hari di hutan Waci dan mencari bantuan dari warga lainnya. Mereka kembali ke Desa Waci untuk mencari pertolongan. Korban akhirnya ditemukan beberapa hari kemudian tengah mengapung di Kali Waci. Kondisi keduanya telah membengkak dan telah membusuk. Peristiwa itu membuat geger warga Desa Waci. Kasus ini langsung dilaporkan ke Polres Halmahera Timur.
Guna proses penyelidikan pada tanggal 5 maret 2015, dilakukan otopsi gali kubur (ekshumasi) terhadap jenazah korban Masud Watoa oleh Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, Instalasi Kedokteran Forensik dan dituangkan dalam Visum et Repertum.
Meski dalam hasil visum di temukan tanda-tanda kasus kekerasan namun saat itu polisi belum menemukan jejak para pelaku. Diketahui dari keterangan para saksi, mereka menuding orang suku di hutan sebagai pelakunya. Sementara warga dan keluarga korban terus mendesak polisi agar, pelakunya ditangkap secepatnya. Mereka kawatir kejadian yang sama kembali berulang.
Menurut penasehat hukum terdakwa, Maharani Caroline, Bokum dan Nuhu ditetapkan sebagai tersangka atas dasar keterangan saksi-saksi hanya murujuk foto-foto mereka yang beredar di internet. Dari situ polisi mulai mencocokan keterangan saksi dengan ciri-ciri yang sama pada waktu kejadian.
“Kalau saya dengar, karena saya saat itu belum berproses saat mereka di polisi adalah, itu ada fotonya ada di Google jadi menentukan mereka jadi tersangka itu dengan memperlihatkan foto yang mereka akses di internet. Jadi itu yang ditunjukan kepada korban dan saksi-saksi dari foto-foto yang ada di internet itu. dan mereka bilang itu”
Saksi kata Rani membeber ciri-ciri pelaku merujuk pada foto yang beredar di internet seperti: memiliki rambut panjang, berkumis dan bercambang, namun juga yang tidak, tidak memakai baju, hanya mengenakan cawat saja. Terus keenam suku terasing itu semuanya menyerang.
Namun yang anehnya, dalam keterangan saksi pada dokumen pengadilan disebutkan bahwa saksi baru mengetahui kesamaan pelaku setelah foto terdakwa diperlihatkan penyidik.
Saksi lainnya, adalah Abu Talib Bakir. Keterangannya dianggap janggal dari saksi lainnya. Ia menyebut dapat mengenali wajah terdakwa namun Ia tidak tahu namanya. Abu Talib juga bisa membedakan antara para terdakwa dengan orang-orang suku terasing lainnya meski mereka memiliki ciri-ciri fisik yang hampir sama. Namun terkadang dalam keterangan Abu Talib bertentangan satu dengan lainnya. Ia menyebut baru pertama kali bertemu dengan orang suku Togutil. Sementara dalam keterangan lainnya Ia menyebut mengetahui dengan pasti bahwa mereka adalah orang-orang suku togutil melalui ciri-ciri yang hanya memakai cawat saja. Ciri-ciri dari para terdakwa kata Abu Talib masih sama pada saat rekannya pertama kali bertemu dengan mereka di hutan.
Keterangan lainnya dari Abdul Talib adalah korban saja yang mendapatkan kayu gaharu, sementara dia bersama saksi lainnya tidak. Sedangkan pada keterangan sebelumnya kepada penyidik keenam orang asal Waci ini tidak mendapat kayu Gaharu setelah 5 (lima) hari mengembara di hutan, dan mereka akhirnya pulang.
Keterangan lainnya dari Basir Bakir, saksi keempat dalam pembunuhan dua rekannya ini mengatakan awalnya Ia bertemu dengan Abjan Baki, Abu Talib Bakir, dan Jabanur Umar pada tanggal 12 juli 2014 sekitar pukul 07.00 wit, bertempat di sekitar kebun kali Toi, belakang Desa Waci, dimana ketiga orang tersebut dari mencari kayu gaharu di hutan dan saat itu Abjan bakir mengatakan bahwa Masud Watoa dan Marla Watoa telah dibunuh oleh orang hutan (suku terasing).
Dalam kesaksiannya Basir menerangkan, Ia sering masuk keluar hutan Waci akan tetapi akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang-orang suku terasing.
Ahmad Yani saksi lainnya yang bekerja di PT SPU Project Weda Bay Nickel di bagian Enviro (lingkungan) PT Weda Bay Nikel. Lokasi perusahaan berada di sekitar hutan Ake Jira. Ia adalah seorang kontraktor yang bekerja sejak tahun 2010.
“Tempat saya bekerja di area Ake jira, lokasi project Weda Bay Nickel ada di belakang Haltim di wilayah Ekor Trans, masuk wilayah Halmahera Timur. Saya bertugas di Halmahera Timur, Maba, namun saya juga pernah ke Weda karena induk perusahaanya di Weda,” demikian keterangan Ahmad Yani dalam dokumen putusan persidangan yang merujuk pada berkas acara pemeriksaan (BAP) Polres Halmahera Timur.
Ahmad sendiri selain di devisi lingkungan namun Dia juga kerap membantu membagikan logistik kepada orang Tobelo Dalam yang berada di sekitar Ake Jira. Logistik yang disalurkan berupa beras, ikan kaleng, mie instan, minyak goreng, sabun cuci, dan kelapa tua kepada terdakwa dan keluarga mereka.
Dia juga sempat mendistribusikan logistik pada bulan September 2014. Mereka kata Ahmad dalam keterangannya juga sering datang mengambil jatahnya. Bahkan Bokum dan Nuhu juga dikatakan seringkali berkunjung ke tempat kerjanya.
“Saya tidak tahu rumah Bokum dan Nuhu, namun yang saya tahu area sekitaran Ia bekerja”
Dia menyebut, Bokum dan Nuhu juga sering berkelompok, dan sering memakai kaos bola. Mereka tidak telanjang lagi.
Ahmad bilang sejak tahun 2011 sering kali mendata komunitas Bokum. Jumlahnya ada 4 orang yaitu Mustika, Nuhu, Bokum, dan Yakuta. Pada tahun 2012, Mustika meninggal dan digantikan Wakudo. Pada tahun 2014 ditambah 1 (satu) orang lagi namanya Elia.
“Jadi totalnya ada 5 (lima) orang yang berkunjung ke camp”
Para terdakwa menurut Ahmad juga datang seringkali membawa kulit kayu, pala hutan, hasil buruan seperti daging babi dan daging rusa. Mereka kata Ahmad juga tidak pernah membawa senjata mereka apabila datang ke camp perusahaan.
Dia juga membantah bahwa sejak mengenal Bokum dan Nuhu, tidak pernah melihat mereka membawa kayu gaharu. Sementara parang yang dipakai mereka tersebut merupakan pemberian orang kampung dan juga karyawan yang digunakan untuk berkebun karena mereka berkebun di Ake Jira.
“Soal Manyele, pernah mendengar, namun hanya sebagai ungkapan kegembiraan,” kata Ahmad dalam keterangannya.
Oti saksi meringankan lainnya, dalam keterangannya menyebutkan pada hari selasa, 1 juli 2014 ia masuk ke hutan Ake Jira untuk bekerja untuk menebang kayu milik Yustus Regang, seorang Babinsa. Ia bekerja biasanya dari hari rabu sampai sabtu. Pada hari rabu 2 juli 2014 ia menyebut bertemu dengan para terdakwa, Bokum dan Nuhu. Mereka sempat membantu Ia bekerja mengangkat dan mengatur kayu.
“Pada tanggal 5 juli 2015, hari sabtu mereka meminta izin untuk pergi ke camp perusahaan Weda Bay Nickel. Tetapi mereka kembali pada hari minggu 6 juli untuk membantu saya bekerja. Kemudian lanjut pada hari senin sampai dengan hari jumat”
Ia juga menyebut jarak antara perkampungan dengan hutan Ake Jira tempat ia bekerja menebang pohon sekitar satu hari perjalanan. Mereka kata Oti, tinggal dengannya pada saat di hutan namun sering juga mereka turun ke kampung.
Ia bilang, Bokum dan Nuhu saat itu berada bersamanya selama dua minggu di hutan untuk menebang kayu.
“Mereka selalu bersama saya. Pada tanggal 5 juli 2014, mereka kembali ke camp perusahaan dan pada tanggal 6 juli 2014 mereka kembali ke hutan untuk membantu saya bekerja sampai tanggal 11 juli 2014. Kemudian mereka pamit untuk berangkat ke kali Falajawa untuk melihat jerat.
Ia pun menegaskan belum pernah ke hutan Waci karena jaraknya sangat jauh.
Untuk anak panah dan busur yang dituduhkan kepada para terdakwa, dia mengatakan belum pernah melihat mereka membawa busur dan anak panah. Biasanya, katanya Bokum dan Nuhu hanya membawa parang.
“Tanggal 1 Juli 2014 saya bersama dengan Babinsa saja, nanti hari rabu tanggal 2 juli 2014 Bokum dan Nuhu datang dan kami bekerja dari pagi sampai malam. Mereka juga membawa beras dan ikan kaleng setelah kembali dari camp perusahaan Weda Bay Nickel pada tanggal 6 juli 2014,” bebernya.
Setelah itu, mereka kembali bekerja sampai tanggal 11 juli 2014. Dan pada tanggal tersebut keduanya sempat balik dan melihat jeratnya dan sempat bertemu dengan orang-orang Lukolamo.
Keterangan senada juga disampaikan oleh Yotam Tarima. Ia adalah petani yang tinggal di Dusun Lukulamo, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah. Dia menjelaskan, 11 juli 2014 bersama 23 orang lainnya mencari kayu di sekitar hutan Ake Jira. Dalam perjalanan mereka sempat bertemu dengan empat orang yaitu, Babinsa, Oti, dan dua terdakwa yakni Bokum dan Nuhu.
Mereka menurutnya sedang menebang kayu. Dia bilang mereka sempat makan bersama. Setelah itu Bokum dan Nuhu pamit untuk melihat jerat yang mereka pasang. Mereka kembali dengan hasil buruan babi. Mereka kemudian makan bersama.
Sejak saat itu, Dia bersama rekan lainnya menginap hingga 14 juli 2014.
“Paginya kami keluar hutan dan mereka berdua Bokum dan Nuhu ikut bersama kami”
Oti juga bilang sebelum bertemu dengannya, Dia melihat keduanya tidak telanjang dan tengah memakai baju dan topi. Saat bersama Ia juga melihat keduanya membantu Babinsa untuk mengumpulkan dan menyusun kayu.
Ferdianus juga dihadirkan sebagai saksi dalam dokumen putusan persidangan yang merujuk pada berkas acara pemeriksaan (BAP) Polres Halmahera Timur. Demikian juga Yustus Rengan, Babinsa di Halmahera Tengah. Ia dimintai keterangan sehubungan dengan masalah menghilangkan nyawa yang terjadi di Waci.
Dia menceritakan saat itu selasa, 1 juli 2014, bersama dengan Oti, salah satu rekannya masuk ke hutan untuk menebang kayu yang nantinya digunakan untuk membangun rumahnya. Paginya, pada tanggal 2 juli 2014 bersama Oti mereka mulai bekerja.
Mendengar bunyi mesin pemotong kayu/senso, Dia bilang Nuhu dan Bokum menghampirinya. Mereka pun bergotong royong untuk menyelesaikan penebangan pohon sampai hari sabtu, 5 juli 2014.
“Bokum dan Nuhu sempat meminta izin pada tanggal 5 juli 2014 untuk pergi ke camp Weda Bay Nikel. Katanya untuk mengambil jatah makanan mereka. Setelah itu mereka kembali ke tempat kami bekerja pada hari minggu tanggal 6 juni 2014 dengan membawa beras dan ikan kaleng. Bawaan tersebut kemudian di masak untuk kami bekerja”
Tanggal 7 juli 2014, bersama dengan Oti dan juga kedua terdakwa mereka mulai bekerja hingga hari jumat, 11 juli 2014. Dia sempat bercerita tentang kedatangan orang Lukulamo yang berjumlah 23 orang. Mereka ikut bergabung bersama Bokum dan Nuhu. Sedangkan Yustus, harus keluar hutan karena perbekalan habis.
Sejak tanggal 7 juli 2014 sampai 11 juli 2014, Yustus bilang keduanya selalu bersama dengannya. Mereka tidak pernah pergi tanpa pamit. Saat bertemu juga, keduanya kerap memakai kaos bola tidak seperti yang diceritakan orang luar bahwa mereka hanya menggunakan cawat. Bahkan belum pernah sekalipun mereka membawa senjata tajam apapun saat bertemu. Bahkan Dia bilang jarak antar perkampungan dengan tempatnya menebang kayu membutuhkan satu hari perjalanan.
Sebagai imbalan untuk pekerjaan mereka, Yustus mengatakan terdakwa hanya meminta imbalan tali untuk memasang jerat. Lainnya adalah baterei untuk senter.
Yustus juga menceritakan menjadi saksi meringankan untuk kedua terdakwa meski yang menjadi korban adalah keluarganya.
“Saya bersikeras karena memang saat itu saya bersama mereka di hutan. Selain itu saya saat itu juga sementara masa persiapan pensiun (MPP), makanya saya mengambil kayu untuk keperluan rumah. Itu juga bukan wilayah tempat tugas saya. Karena saya bertugas di Kodim Tobelo dan masih aktif sebagai anggota TNI,”
Kejanggalan Tuduhan
Meski para saksi dalam persidangan telah membantah adanya tuduhan kepada Bokum dan Nuhu, namun polisi tetap bergerak menangkap keduanya yang saat itu tengah beristirahat di rumah, Oti Maliong, saksi lainnya di Desa Woejarana, Maret 2015.
Dari keterangan Ahmad Yani, seorang kariawan PT Weda Bay Nickel (WBN) yang terlampir dalam dokumen putusan persidangan, merujuk pada berkas acara pemeriksaan (BAP) Polres Halmahera Timur, dia mengatakan belum pernah melihat para terdakwa (Bokum dan Nuhu), mengenakan cawat atau sabeba (pakaian terbuat dari kulit kayu) karena mereka telah berpakaian layaknya orang modern. Selain itu mereka kata Ahmad juga tidak pernah terlibat masalah.
Soal aparat Polres Haltim datang dengan tujuan melakukan pengejaran untuk pelaksanaan tugas pengejaran tersangka kasus pembunuhan Waci tahap II serta pelaksanaan secara tertutup.
“Mereka menyamar dengan alasan cari batu akik dan kayu gaharu serta melakukan pendekatan secara persussif terhadap Bokum dan Nuhu saat itu,” jelasnya.
Besoknya, kata Ahmad, Bokum datang sedangkan Nuhu tidak karena sakit. Namun saat itu tidak dilakukan penangkapan.
“Besoknya lagi Yakuta, Wakudu, dan Elia datang, mereka tidu bersama dengan anggota polisi Bernama Iwan Ahmad selama tiga malam, kemudian polisi dan Bokum pulang. Saat itu juga tidak dilakukan penangkapan”
Ia menceritakan, sebelum pulang, di buat perjanjian untuk mereka bertemu kembali di tempat biasanya. Dua minggu kemudian, kata Ahmad, para terdakwa datang. Namun anggota polisi Iwan Ahmad tersebut tidak datang bersama tim, sehingga karena tidak menepati janji yang disepakati Bokum dan Nuhu juga tidak datang.
Seminggu kemudian mereka ditangkap. Keduanya tak melawan. Namun polisi tetap memukul Nuhu dengan senjata di pinggangnya. Di kantor polisi keduanya dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan di hutan Waci, Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur.
Menurut Oti, rekan terdakwa penangkapan mereka sendiri saat berada di rumahnya. Saat itu mereka lagi tidur bermalam. Kemudian ditangkap. Nuhu, katanya saat itu sempat mengalami tendangan di rusuknya. Dia terus dipukul dengan senjata,” kata Rani meniru pernyataan Oti selaku saksi meringankan terdakwa.
Dalam pembelaaanya tim penasehat hukum para terdakwa mengajukan pembelaan (pledoi) yang secara dicermati menilai kedua tersangka dihadirkan ke persidangan adalah akibat kelalaian penyidik Polisi dari Polres Halmahera Timur untuk mencari dan mengungkap siapa sebenarnya pelaku pembunuhan di Hutan Waci. Akibatnya polisi melimpahkan kesalahan kepada kedua terdakwa karena kedua terdakwa adalah masyarakat suku Togutil yang masih kental melekat pada diri mereka ciri-cirinya seperti rambut gondrong dan berjambang.
Rani bilang, kedua terdakwa lebih mudah ditangkap karena foto mereka telah tersebar di internet. Selain itu. kedua terdakwa sudah berinterksi dengan orang di luar komunitas mereka, dari pada pelaku yang sebenarnya.
Dari keterangan saksi menurut Rani telah merincikan bahwa oknum polisi dari satuan Polres Haltim (Bripka Iwan Ahmad). Polisi tersebut adalah anak kandung dari penerjemah bahasa Tobelo Dalam saat di pengadilan. Iwan katanya, tidak memiliki keyakinan untuk menangkap kedua terdakwa, setelah dia mengenal kedua terdakwa saat menginap bersama di camp Weda Bay Nikel.
Ungkapannya “tidak mungkin mereka pelaku, mereka terlalu polos” menunjukan keraguan dalam Iwan. Padahal kalau dia yakin bahwa kedua terdakwa adalah pelaku pembunuhan, seharusnya dia sudah bisa menangkap dan membawa mereka berdua untuk di proses. Begitu pula saat dia mengajak kedua terdakwa bertemu di suatu tempat. Kurang lebih sepekan setelah pertemuan mereka di Weda Bay Nickel, justru Bripka Iwan tidak menepati janjinya. Sedangkan kedua terdakwa datang. Bokum dan Nuhu baru bisa ditangkap namun disitu tak terlihat Bripka Iwan.
“Hingga persidangan di gelar, kita belum juga menemukan motif apa yang melatarbelakangi terjadinya penyerangan dan pembunuhan”
Dalam Pledoi itu penasehat hukum juga telah membantah Bokum dan Nuhu adalah pelaku pembunuhan. Menurut mereka sangatlah tidak masuk akal jika mereka masih berkeliaran di desa-desa, datang ke camp Weda Bay Nikel untuk mengambil jatah sembako, bahkan masih bepergian ke desa Ekor mengunjungi anak salah satu terdakwa Nuhu.
Dari keterangan para saksi Abu Talib Bakir, Abjan Bakir, dan Kifli Jafar yang mengatakan mereka hafal betul wajah kedua pelaku penyerangan serta pembunuhan di hutan Kali Waci karena mereka melihat kedua terdakwa dalam jarak 5-8 meter. Sementara dari jam 12.30 sampai jam 17.00 sore, bagi tim penasehat keterangan yang disampaikan penuh rekayasa dan janggal.
“Bagaimana mungkin para saksi baru pertama kali bertemu dalam hutan dengan terdakwa saat kejadian, menghafal betul wajah kedua terdakwa, padahal menurut keterangan ketiga saksi, mereka baru pertama kali bertemu dengan rombongan suku togutil yang jumlahnya ada 6 orang.
“Saksi dan teman-temannya langsung lari, alangkah naifnya saksi menjelaskan hanya menghafal wajah terdakwa sementara wajah keempat orang lainnya dikenal saksi”
Maharani menyebut bukti-bukti dan keterangan saksi gagal.
Soal persidangan menurut Maharani, tidak adil, karena pengadilan dalam hal ini jaksa penuntut umum (JPU) menghadirikan seorang penerjemah bahasa.
“Nah penerjemah bahasa yang dihadirkan dalam kasus ini itu bahasanya banyak sekali berbeda. Karena itu bahasa tobelo pesisir dan bahasa mereka tobelo dalam itu beda. Katanya bahasa Tobelo dalam itu lebih halus, sementara penerjemah yang dihadirikan oleh JPU tidak bisa menerjemahkan dengan baik dalam kasus ini. Beberapa kali dia tidak bisa menerjemahkan pernyataan Bokum dan Nuhu,” ungkapnya.
Saat itu, kata Rani, telah mengajukan kepada hakim agar percakapan yang dibicarakan dalam persidangan harus juga diterjemahkan dalam bahasa Tobelo Dalam agar para terdakwa juga bisa mengerti apa yang sedang dibahas.
“Waktu itu kalau tidak salah majelis keberatan karena dia bilang hal itu akan lama. Tapi menurut saya kita harus adil, karena yang kita sidangkan dan perbincangkan di ruang sidang ini adalah nasib mereka berdua ini, sehingga mereka harus tahu kita lagi bicara apa di sini, tapi mereka tidak mendapat hak itu,” sesalnya.
Penasehat Hukum ini bilang JPU sempat menghadirkan saksi, namun Bokum dan Nuhu sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Berbeda dengan saksi ahli yang dihadirkan oleh dia, ketika memberikan keterangan ternyata konek dan bisa dimengerti dan sama. Mereka juga mengerti bahasa.
“Padahal saksi-saksi yang kita hadirkan dalam kesehariannya juga berbicara dalam bahasa Indonesia itu apa, karena belum diterjemahkan. Sementara berbeda dengan penerjemahan yang dihadirkan oleh polisi atau JPU sendiri mereka tidak sama sekali mengerti bahasa ahli itu,” tandasnya.
“Kalau ahli yang kita hadirkan saat itu adalah ahli yang melakukan penelitian di komunitas itu. nah kedua ahli ini juga tahu persis bahwa mereka sudah lama dan bertemu dengan Bokum dan Nuhu di dalam hutan ketika mereka masuk untuk melakukan penelitian, mereka yang selalu jadi menerjemah bagi peneliti yang mau masuk hutan”
Syaiful Madjid, Peneliti sekaligus Sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhamadyah Ternate, Maluku Utara, menjelaskan tak menyangka Bokum dan Nuhu ditangkap. Informasi penangkapan ini pun dia dengar dari beberapa teman pemerhati hutan.
“Saya juga kaget, alasan apa? Setelah diketahui mereka terlibat kasus pembunuhan di Waci.
Syaiful mendampingi kasus Bokum dan Nuhu dan menjadi bagian dari tim penasehat hukum. Ia kecewa dengan putusan hakim kepada keduanya.
Dengan berbagai pertimbangan ilmiah yang Ia pelajari, Syaiful bilang keduanya tempat tinggalnya di Ake Jira. Rentan waktu Ake Jira ke Waci itu sangat jauh sekali.
“Kalau lihat di peta itu sangat jauh. Saya juga menjadi saksi ahli di dalam sidang mereka. Semua yang kita buktikan itu diabaikan oleh hakim. Kasus dimana bokum berada di tanggal pembunuhan itu juga diabaikan,” sesalnya.
Syaiful mengatakan Dia kecewa karena sudah berbagai bukti dihadirkan namun diabaikan oleh hakim. Apalagi pengacara mereka, Ibu Maharani dan tim pendamping hukum bagaimana sangat kecewa karena bukti-bukti dalam hal menolak pembunuhan itu diabaikan.
“Akhirnya Bokum Nuhu itu menjadi tersangka dan saya anggap tak lepas dari pengabaian bukti dari kita itu salah satunya”
Mantan Dekan Fakultas Sosial Universitas Muhamadiah Ternate ini mengatakan, dengan berbagai cara Ia telah buktikan baik dari sisi akademis, praktisi namun itu juga tidak dihiraukan oleh pengadilan.
Namun, Bokum dengan tulus dan lapang dada menjalani hukuman tersebut. Bagi Syaiful, ini adalah wujud dari ketaatan warga untuk menjalankan hukuman sebenarnya. Itu membuktikan bahwa dari mainstream mereka, sampai dia dihukum pun dia tidak pernah mengaku dia membunuh.
“Sampai beberapa tahun saya telusuri, saya kalau sering mengunjungi dia saya sering tanya “Bokum Ngana (kamu) yang membunuh dia? Bokum jawab saya tara pernah bunuh orang di Waci”
Peneliti O Hongana Manyawa ini bilang terus menerus bertanya sampai beberapa saat yang lalu sebelum Bokum bebas. Dia, kata Saiful begitu santai dan tidak pernah menganggap ada kasus yang di jalani.
“Memang sakit pahitnya itu awal proses sidang saja yang kita kendalanya banyak, tetapi sejak menjalankan hukuman di lembaga saya anggap tidak ada kendala. Kendala awal itu saat masuk lembaga itu persoalan makan”
Awalnya itu di Tidore, kata Syaiful petugas memberikan nasi dan lauk pauk lainnya namun mereka tidak makan.
“Saat itu saat saya waktu sempat berkunjung dan bilang di pegawai lembaga saya minta kalau Bokum dan Nuhu jangan kasih nasi rebus batata (ubi jalar), kasbi (ubi batang), atau di sini bilang bête karena itu makanan mereka kalau kasih ikan lebih baik ngoni (kamu) kasih ayam, atau daging, bakar biasa begitu saja itu pasti mereka makan”
Tetapi setelah itu mereka menjalani pelan-pelan. Mereka juga terbiasa untuk makan nasi, makan ayam, makan kambing, itu awal dari situ.
Dia bilang kalau beras memang sudah kenal sejak kehadiran perusahaan WBN karena WBN sudah memperkenalkan cara makan, cara memasak nasi dan lainnya. Namun katanya itu hanya sesaat, sekali-sekali saja.
Tapi baginya makanan pokok mereka adalah umbi-umbian. Beras itu ada waktunya baru dimasak. Sementara tiap harinya itu harus umbi-umbian seperti kasbi, batata istilah di sini, bête, itu harus setiap hari itu kendala awal masuk di Lapas. Setelah itu tidak ada kendala lagi enjoy sampai dibebaskan kemarin. Dia enjoy malah.
Untuk membunuh bagi Syaiful jika kondisi terdesak bagi mereka. Apa itu mempertahankan hasil buruan, tempat dianggap keramat, maupun pasangan mereka (istri). Dia bilang ada beberapa kasus di hutan, yang dikenal dengan tradisi Magora atau merampas.
“Jadi sebagai contoh ada teman saya Alekana, istrinya dirampas oleh komunitas Dote. Jadi dia bilang saya: Ahi saya mau cari saya pe Ahieme (saya punya bini). Saya bilang ngana cari di mana. Dia jawab saya cari di hutan, kalau ke Dote saya bunuh pe dorang di Dote. Saya bilang jangan lagi, tra usah sudah pi di Dote, ngana badiam di sini sudah,” tutur Syaiful saat itu.
Jadi kasus membunuh dan dibunuh kata peneliti UMU ini telah dianggap biasa oleh komunitas mereka, salah satunya seperti tradisi Magora.
“Itu membunuh kalau tradisi Magora itu. merampas istri orang. Itu didapat dari adu kekuatan dan saling membunuh, siapa kuat dia dapat. Itu dianggap biasa di hutan. Tapi kalau kita di luar dianggap luar biasa. Itu contoh kasus”
Disinggung tingkat kejujuran komunitas Bokum dan Nuhu, Syaiful mengaku orang di luar komunitas kalah dengan sifat mereka. tingkat kejujuran mereka itu baginya sangat luar biasa.
“Ada orang Tobelo bilang begini: Tongona Tongona, Tongohi Tongohi artinya kamu punya kamu punya, saya punya saya punya. Itu tingkat kejujuran. Salah satu bentuknya. Misalnya ini milik orang lain kamu simpan disitu tidak pernah disentuh misalnya itu tingkat kejujuran mereka. janji satu bulan langit”
“Biasanya mereka berjanji pakai langit bulan tanggal atau bulan. Janji untuk bertemu esok harinya misalnya, kata Syaiful mereka pasti tepati. Namun jika tidak datang, pastilah adalah tanda atau alasan kuat dari orang Tobelo Dalam ini. Inilah tingkat kejujuran mereka yang sangat besar”
Yang kedua sebagai peneliti yang melakukan penelitian sejak tahun 1994, Dia bilang, untuk mengukur kejujuran mereka apalagi soal membunuh. Tradisi membunuh misalnya, kalau mereka membunuh maka tentu mereka akan katakan bunuh. Itu tingkat kejujurannya mereka. Jika dia tidak membunuh maka dia bilang dia tidak membunuh.
Peneliti lainnya, Syarifudin Abdurahman, Antropolog Universitas Khairun Ternate, dia bilang antara mereka saling membunuh dan saling menyerang jika ada tradisi yang dilanggar.
“Mereka juga membunuh kalau merampas atau magora istri orang lain. Ini bisa terjadi karena sebaran mereka di Halmahera perempuannya sangat sedikit. Dari 21 kelompok atau mata rumah, terbanyak di Halmahera Timur dengan 14 mata rumah. Halmahera Tengah 6 mata rumah dan satu mata rumah di Payahe, Tidore Kepulauan”
Bagi Syaiful, Dia telah menelusuri tempat tinggal orang Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa kecuali di Kawasan Dote Weda. Di sana Dia tak bisa sampai.
“Karena istri penunjuk jalan (Alekan) untuk saya direbut oleh orang Dote. Banyak contoh orang luar mencari kayu gaharu dan bertemu mereka juga tidak ada tindakan apapun,”
Menurut dia, setiap membunuh ada kode fisik di anggota tubuh mereka. Misalnya, ada ikatan rambut (konde).
“Petunjuk jalan saya saat itu bernama Alekan miliki enam konde di kepala, itu artinya mereka sudah membunuh enam orang di dalam hutan. Dia mengakui siapa saja dan di mana saja dia bunuh antar sesama kelompok mereka,” kata Syaiful.
Kasus yang melibatkan O Hongana Manyawa, menurutnya ada sebab akibat seperti masalah adat, perempuan, atau merampas barang milik mereka.
Sapaan menurut Sosiolog dan Antropolog di Maluku Utara ini, membunuh dianggap tradisi buat mereka sejak ribuan tahun. Dan bagi orang luar, membunuh dianggap melanggar. Sementara itu adalah tradisi dan budaya mereka. Namun itu tidak dilakukan setiap saat jika mereka saling membunuh.
“Kalau mereka membunuh, itu dikatakan membunuh. Beda dengan kita orang luar, kalau mengukur tingkat kejujuran dalam hal ini tidak pernah mengaku tapi kalau mereka pasti mereka mengaku. Itulah kejujuran mereka”
Dari segi janji, kata Syaiful mereka selalu menepati janji. Itu artinya tingkat kejujuran mereka sangat tinggi.
“Milik saya dan milik orang lain. Tongona Tongona, milik kamu. Tongohi Tongohi milik saya. Itu dia bisa bedakan mana milik saya, mana milik orang lain. Itu untuk mengukur kejujuran salah satunya. Jadi kalau ukuran kejujuran saya menilai mereka sangat luar biasa,” jelasnya.
Dia mencontohkan, banyak kasus di Desa Dodaga Halmahera Timur, tak kala kasus itu diungkap. Waktu itu mereka berpikir haji itu sebagai Dimono atau pemimpin sehingga dibunuh. Polisi sempat kesulitan mencari pelakunya, namun orang di sekitar hutan Dodaga dan sekitarnya itu bertanya kepada sesame komunitas mereka agar mau jujur.
“Siapa yang bunuh orang ini orang jawa. Dan yang membunuh itu angkat tangan. “saya”. Jawab pelaku yang membunuh. Sampai sekarang orangnya masih hidup di Dodaga. Dia pernah di penjara di Tidore”
Berkaitan dengan kasus pembunuhan di Waci yang diduga dilakukan oleh Bokum dan Nuhu, kerabat mereka Alekana juga membantah tuduhan tersebut. Ia membatah keterlibatan kedaunya karena tak pernah membunuh.
“Pertanyaan saya kepada bokum dan Nuhu itu sering saya tanya terus. Saya dan Alekano itu tanya terus. Memang ngoni yang bunuh, dia jawab saya tidak pernah membunuh. Bukan menyangkal tapi katakan dengan sejujurnya bahwa mereka tidak membunuh. Mereka bilang Ake Jira Waci terlalu jauh’” terangnya.
Kasus pembunuhan yang melibatkan Bokum dan Nuhu, secara akademik menurut Syaiful harus tahu Bokum posisinya di mana. Sedangkan, Dia bilang sehari sebelum pembunuhan Bokum berada di Ake Jira.
“Apa memang satu hari dia sampai di Waci, kan tidak mungkin”.
Almarhum Babinsa di Lelilef, kata Syaiful merupakan itu saksi hidup saat itu. saat itu dia mau Masa persiapan pensiun dari TNI.
“Saat itu dia TNI ya, jadi dia butuh kayu untuk bikin rumah yang dampingi dia siapa, Bokum dan Nuhu. Yang angkat kayu dari hutan ke kali itu siapa, Bokum dan Nuhu dan Yakuta yang angkat kayu itu. Lalu ini pun diabaikan dalam sidang,” tegas Syaiful sesali putusan pengadilan hakim saat itu.
“Jarak Akejira ke Waci kata Syaiful sangatlah jauh. Tidak mungkin dalam waktu satu hari mereka sudah ada di Waci. itu sangkahan kepada mereka karena dianggap pembunuh itu. Saya sering tanya BAP itu. Saya anggap cacat karena translate bahasanya itu beda karena yang menerjemahkan bahasa mereka itu adalah orang tidak paham tentang bahasa Tobelo Dalam. cara membuat BAP saya anggap itu cacat sebenarnya. Tapi itu tidak jadi ukuran di dalam siding,” kesalnya.
Padahal beda dialek mereka, menurut Syaiful dengan bahasa pantai berbeda. Dari sisi bahasa memang bahasa Tobelo, namun ada ungkapan-ungkapan yang beda, ada kata-kata yang berbeda arti.
“Bahasa kamu bisa dipahami, tetapi bahas mereka tidak dipahami. Itu bedanya disitu”
Kalau bahasa pantai, Syaiful menjelaskan dapat dipahami oleh orang Tobelo dalam. Namun orang pantai untuk menerjemahkan bahasa Tobelo Dalam Togutil ini mereka tidak banyak pahami.
“Karena memang dialeknya berbeda. Misalnya kata goreng. Goreng tidak ada dalam kata di orang Tobelo dalam karena di sana istilahnya goreng itu tidak ada. Kalau bakar atau rebus ada. Karena pekerjaan mereka Cuma dua itu, bakar dan rebus. Sehingga kata goreng tidak ada dalam ungkapan bahasa mereka. Itu contoh kasus itu. Seperti gahi atau garam. Kalau di Tobelo Dalam Ogau jadi sudah beda. Bahasanya juga beda, dialek. Padahal itu garam itu makanya saya bilang salah penafsiran bahasa. Saya anggap BAP-nya itu cacat sebenarnya tapi itu diabaikan dalam sidang,” bebernya.
Dari penamaan suku Togutil sendiri, ahli yang melakukan penelitian orang Tobelo Dalam sejak tahun 1994 di Daerah Wasilei, Halmahera Timur kemudian di Ake Jira perbatasan Halmahera Timur dan Halmahera Tengah ini mengatakan, dari penamaan nama suku Togutil berasal dari orang luar untuk mereka (orang dalam hutan). Kata Togutil berasal dari dua kata bahasa Tobelo yaitu: Otau yang artinya rumah dan Gutili yang artinya Obat.
Jika memang suku Togutil itu sebelumnya memakai sabeba atau cawat namun Ia bilang saat ini mereka hampir sebagaian besar sudah memakai baju.
Sosiolog UMU Ternate ini menjelaskan pengelompokan dari suku togutil ini berdasarkan kawasan. Di kabupaten Halmahera Tengah ada 7 (tujuh) suku. Masing-masing komunitas orang dalam hutan tidak bisa saling berbenturan/bersinggungan mengenai wilayah mereka karena ada tanda yang dihargai/dihormati. Namun apabila di suatu wilayah yang penghuninya masih ada hubungan keluarga dengan wilayah lain maka masih bisa melebarkan wilayahnya ke wilayah komunitas yang lain.
Dari tiga sebaran lokasi terbesar kata Syaiful, ada di Halmahera Timur dengan 14 titik kawasan, Halmahera Tengah ada enam Kawasan dan Tidore kepulauan ada satu titik kawasan di Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata. Mereka semua pecahan kelompok di Ake Jira.
Syaiful juga menggambarkan ciri khas orang Tobelo Dalam yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Pagu, Modode, dan Boi. Masing-masing menurutnya memiliki ciiri khas.
“Jadi kalau orang ingin masuk di suatu wilayah harus memberikan tanda (ma Ulo/tanda ingin masuk), ada tanda berupa suara atau potongan daun”
Menyinggung soal “Manyele”, peneliti O Hongana Manyawa ini merupakan tanda kegembiraan, cakalele juga dikenal dalam adat suku togutil. Manyele menurutnya bukan untuk seruan peperangan. “Kalau untuk peperangan namanya “Hotu ye” yang berarti atur serangan.
Stigma Buruk
Safrudin Abdurahman, seorang sosiolog dan juga Antropolog di Universitas Khairun Ternate stigma pembunuhan kepada O Hongana Manyawa ini tak berdasar. Pengalamannya bertahun-tahun meneliti, sangat paham dengan kehidupan dan tradisi mereka.
Soal sebutan Togutil, misal, mereka di dalam hutan tidak paham jika mereka disebut Togutil. Yang mereka tahu orang yang tinggal di hutan biasanya disebut O Hongana Manayawa. Menurutnya ada tiga kategori kelompok. Masih nomaden, sudah menetap, dan menetap sementara. Menetap sementara kata Syarifudin, karena mereka tinggal di suatu kawasan, satu atau dua tahun. Dan jika ada kejadian tiba-tiba seperti kematian atau wabah penyakit kemudian mereka akan berpindah. Yang hidup nomaden katanya lebih memilih menghirup udara segar di hutan. Mereka ini biasanya hidup satu dua bulan di satu titik atau kawasan hutan kemudian berpindah.
Kelompok ini juga biasanya menerima stereotipe jelek, jahat, pembunuh, hingga dianggap sebagai tuna budaya atau orang tidak berbudaya. Padahal, katanya semua manusia yang hidup itu pasti berbudaya. Stigma lain seperti sebut orang Tobelo dalam sebagai orang yang jarang mandi temperamen dan hal-hal buruk.
Soal stigma sebagai pembunuh, Dia bilang, alasan membunuh itu karena kejadian luar biasa, ada- hal-hal serius, dan sesama orang Tobelo Dalam, bukan dari luar.
Berkaca dari kasus pembunuhan 2013, jika orang O Hongana Manyawa yang lakukan pembunuhan maka ketika ada petugas yang masuk mencari pelaku, pasti tidak ada orang di kawasan itu. Mereka akan lari.
Malah, berbeda dengan kasus yang terjadi belakan ini dan mereka dituduh. Saat petugas datang, malah ada yang minta rokok dan lain-lain. Mereka malah bingung dengan kejadian itu.
“Membunuh itu karena ada kejadian luar biasa. Misal, karena merampas pasangan atau istri orang atau melanggar janji serta tradisi. Saling membunuh juga antar kelompok mereka sendiri bukan dengan orang luar,” kata Syarifudin.
Dalam kasus Bokum dan Nuhu, yang dipenjara karena kasus pembunuhan di Waci, Halmahera Timur hingga kini sulit dibuktikan secara pasti mereka pelaku atau bukan.
“Orang luar (O Berera Manyawa) mencurigai mereka. Mereka juga mewaspadai orang luar. Secara interaksi sosial sebenarnya ada tekanan.
Syarifudin yang juga merupakan konsultan pemeberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) pernah melakukan pemberdayaan di Kabupaten Halmahera Timur, di Kecamatan Wasile Timur, Wasile Utara, dan Maba Utara. Program tersebut adalah program dari Kementrian Sosial yang bertujuan untuk memberdayakan Komunitas Adat Terpencil, salah satu programnya adalah pembuatan rumah.
“Di Kabupaten Halmahera Timur saja sudah ada 14 lokasi, sedangkan yang belum diberdayakan sekitar 21 kelompok. Ia sebut, sebelumnya orang-orang Togutil itu awalnya nomaden atau berpindah-pindah namun saat ini mereka sudah semi nomaden, artinya mereka berpindah namun mereka tetap kembali ke tempat semula.
“Pada saat orang suku Togutil masih nomaden, mereka belum terbuka, namun setelah masuknya program-program pemerintah Tahun 1969 seperti pemberdayaan ini, mereka mulai terbuka dan berinteraksi dengan orang luar”
Ngigoro Dulada, salah satu keturunan Tobelo dalam yang kini mendiami Buli, Halmahera Timur. Ia lahir di Maleobohuku lokasi yang kini bernama Tofubleweng. Meski sejak usianya 7 tahun Ngigoro sudah tak tidak lagi di sana. Ia memutuskan hidup di pesisir bersama ibu dan juga ayah sambungya. Kepindahan itu setelah ayahnya Dulada meninggal tahun 1970-an.
Ngigoro menceritakan kejadian pembunuhan di Waci. Bokum dan Nuhu di tuduh sebagai pembunuh. Ngigoro bilang pernah hadir di pengadilan sebagai saksi untuk Bokum dan Nuhu. Selain bisa berbahasa Tobelo, Ngigoro juga fasih berbahasa Indonesia. Ia sempat mengenyam Pendidikan dasar namun tidak tamat.
Pria berusia 57 tahun ini merupakan sepupu Bokum dan Nuhu, yang tinggal di Ake Jira saat itu sedangkan Waci dan Akejira itu jarak sangat jauh. Jadi kejadian ampir satu tahun penangkapan Bokum. Sedangkan Bokum ini bukan di Waci tapi di Ake jira.
Saat ditangkap, Bokum sempat dibohongi oleh beberapa petugas polisi, Ngigoro bilang Bokum untuk saya katanya mereka mau bawa dia jalan-jalan ke Ternate, padahal pigi (pergi) itu langsung masuk penjara.
Ngigoro ikut jadi saksi untuk Bokum dan Nuhu selama menjalani persidangan. Ia bantah tuduhan terdadap dua kerabatnya itu. Ia meyakini, keduanya bukan pelaku pembunuhan seperti dituduhkan. Baginya, lokasi menuju Waci sangat sulit bagi Komunitas Ake Jira. Menurutnya, setiap komunitas sudah dibatasi wilayah untuk tinggal dan berburu. Dalam melintasi batas wilayah berburu tanpa izin pemilik kawasan itu maka bisa terjadi perang. Konsekuensinya adalah akan dibunuh.
“Torang punya budaya di hutan itu, torang tara bisa ganggu wilayah berburu orang Tobelo dalam yang lain. Kalau torang ganggu wilayah yang lain itu torang antar (berikan) nyawa. Begitu selama ini torang sampe sekarang,” kata Ngigoro.
Orang Tobelo Dalam kata Ngigoro punya batas antar kelompok yang mereka sebut madedengo. Aturan adat dan batas wilayah ini membuat mereka jarang berinteraksi.
Selain itu menurutnya, jarak menuju hutan Waci, tempat peristiwa terjadi membutuhkan waktu berhari-hari. Di daerah itu juga terdapat suku Tobelo Dalam Woesopen-salah satu komunitas yang mendiami daerah di wilayah hutan Waci dan sekitarnya.
“Jadi tara masuk akal kalau Komunitas di Ake Jira Bokum dan Nuhu ke sana hanya untuk ambil kayu Gaharu, karena masih banyak juga di sekitar Ake Jira dan sekitarnya,” pungkasnya.
Pasca penangkapan Bokum dan Nuhu, kata Ngigoro istri dan keluarga mereka mulai menyinkir dari Ake Jira. Mereka terpaksa hidup berpindah-pindah karena wilayah Ake Jira mulai tergusur. Nawaite istri Bokum kata Ngoigoro terpaksa menjadi tulang punggung bagi kedua anaknya dan ibunya sepeninggal Bokum. Bokum dulunya merupakan tulang punggung keluarga untuk berburu dan meramu di lingkaran komunitas Tobelo Dalam telah ditangkap. Mereka terkadang kata Ngigoro terdesak memenuhi kebutuhan pangan dan terpaksa keluar hutan.
Munadi Kilkoda Ketua AMAN Maluku Utara bilang, pada umumnya mereka dituduh sebagai pelaku tindakan kejahatan. Dalam beberapa kasus misalnya ada kejadian yang berulang kali. Ada pembunuhan di hutan Halmahera, lalu tuduhan dengan menyasar ke kelompok Tobelo Dalam padahal fakta-fakta yang dimiliki juga tidak kuat untuk menjastis mereka sebagai pelaku itu. Ini katanya yang seringkali dilakukan.
Kedua adalah, ia mengatakan masyarakat umum kerap menyebut Orang Tobelo dalam sebagai suku terasing sehingga ada pendekatan-pendekatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk merumahkan mereka.
Memang katanya ini sudah dilakukan sejak tahun 1982 dan proses merumahkan orang togutil ini masih dilakukan sampai hari ini.
Ketiga adalah Orang Tobelo Dalam menghadapi tekanan yang lebih besar dengan masuknya operasi tambang, kemudian kelompok ini disingkirkan dari tempatnya. Misalnya yang dihadapi oleh orang Tobelo Dalam yang ada di Ake Jira.
Ia menjelaskan, sejak dulu Ake Jira dikenal tempat tinggal orang Tobelo Dalam, namun saat ini mereka disingkirkan dari areal tersebut untuk kepentingan investasi besar. Tanpa mereka mendapat perhatian dapat pengakuan terhadap keberadaan mereka di wilayah tersebut.
“Jadi mereka dianggap sebagai pengganggu atau benalu kalau di diamkan disitu, jadi harus disingkirkan,” ujarnya.
Kelompok Tobelo Dalam ini menurutnya adalah kelompok yang rentan dan tentunya harus diberikan perhatian khusus yang lebih kepada mereka, karena praktis tidak ada yang bisa mereka lakukan ketika menghadapi situasi yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Munadi mengatakan, dalam beberapa kasus dan yang dituduhnya adalah orang Tobelo Dalam. AMAN kata Munadi telah berupaya melakukan pendampingan sejak awal.
“Seperti kasus yang dialami oleh Bokum dan Nuhu. Tidak ada yang datang melakukan pembelaaan selain AMAN, dari mulai mereka ditangkap. Disidangkan di Pengadilan sampai lahir keputusan itu kita yang dampingi mereka sampai proses yang lain,”
Kasus yang lain kata Munadi, misalnya, ada kelompok yang dituduh dalam kasus kejadian itu yang melakukan pembelaaan secara terbuka.
“Misalnya ada komentar polisi bahwa pelakunya adalah orang Togutil itu coba meluruskan opini yang dibuat oleh polisi yang menjustis mereka sebagai pelaku,” lanjutnya.
Ia bilang beberapa kasus yang mereka tahu saja, selalu diabaikan oleh penegak hukum apalagi yang disembunyikan. Ini tentu akan menguras energi yang tidak sedikit untuk mengawal kasus-kasus seperti ini.
Ia berharap Bokum bisa kembali ke tempat asalnya dan bisa bersama-sama dengan keluarganya kembali. Ini katanya sudah delapan tahun lebih Bokum berada di tahanan dan baru dibebaskan.
Harapan kata anggota DPRD Halmahera Tengah ini, Bokum bisa kembali dan berkumpul bersama-sama dengan keluarganya. Ia berharap juga cara berpikir Bokum tidak sama dengan kelompok masyarakat lain yang menginginkan wilayah itu dijual.
“Tempat tinggal Bokum itu menjadi rebutan banyak orang karena di situ ada tambang Nikel dan orang ingin berebut tanah di situ untuk jual belikan kepada pihak perusahaan, karena itu kita berharap Bokum bisa datang dan memberi pengertian kepada saudanya yang berada di sana untuk bisa mempertahankan wilayah itun dari ancaman yang datang di wilayah tersebut,” harapnya.
Yang lain misalnya kita berharap Pemerintah bisa melakukan teguran langsung, bisa melakukan perlindungan langsung kepada ruang hidup Bokum dan keluarganya. Selain itu jangan semua wilayah Akejira semua bisa ditambang karena masih ada manusia yang hidup di situ yang memiliki hak untuk hidup sehingga tidak seenaknya wilayah itu ditambang untuk kepuasan para pemodal-pemodal besar.
“Yang kita tegaskan itu wilayah Ake Jira dan Kao Rahai, Kali Mein dan Ake Sangadji itu merupakan ruang hidup Bokum dan keluarganya itu tolong dilindungi, jangan mereka terus diganggu untuk kepentingan penambangan di wilayah tersebut,” harapnya. (Bersambung)
Tulisan ini merupakan salah satu pemenang Data Journalism Hackathon 2022 yang diselenggarakan Indonesia Data Journalism Network.
Naskah: Christ Belseran
Layout: Taqi
Desain Media Sosial: Dzatmiati Sari
Discussion about this post