-
Sawah di Desa Woejerana Kobe Kulo, terkepung tambang nikel. Desa ini dulunya merupakan lumbung pangan di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku. Beras yang telah diolah didistribusikan ke Weda Ibukota Kabupaten dan Kabupaten lainnya di Maluku Utara
KASDI tampak lesu. Dia duduk di beranda teras rumahnya yang beratap senk dan berdinding papan. Kasdi baru saja membersihkan kebun yang tak jauh dari Desa. Di situ juga ada istrinya, Siti yang terbaring lemas di kasur. Siti memang sudah sepekan ini sakit. Semenjak padi mereka gagal panen karena banjir, kondisi kesehatannya menurun.
Kasdi bilang mereka sempat drop karena kerja kerasnya sia-sia dan tidak ada hasil. Padahal dari hasil jual padi itulah, akan membantu mereka memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Guratan wajahnya yang keriput, dan bibir yang sedikit gemetar saat bicara, gambaran nyata usianya semakin menua. Pria ini tak bisa menyembunyikan kekesalan bercampur kesedihannya.
Harapan besar untuk nikmati panen, namun harapannya pupus. Beberapa kali benih padi yang ditanam rusak karena diterjang banjir. Tak hanya itu ikan yang dipelihara dalam tambak juga rusak. Sebagian hanyut dan sebagian mati.
Kasdi bilang berubah total setelah kehadiran tambang. Mereka yang dulu hidupnya berkecukupan, jadi sulit. “Setelah ini tambang operasi malah tidak dapat apa apa, cuma imbas yang kita terima,” kata Kasdi dengan emosi.
Aktivitas pertambangan di hulu dan sekitaran Desa Woejerana berdampak bagi perekonomian mereka. Tak hanya gagal panen karena terlibas banjir dari hutan yang hilang, tanaman pertanian dan juga holtikultura yang mereka tanam tak bisa dinikmati alias rusak. Banjir membawa lumpur hingga padi mereka penuhi oleh sedimentasi lumpur. Belum lagi tak ada perhatian dari pemerintah kepada mereka. Sedang perusahaan yang beraktivitas enggan membayar ganti rugi tanaman-tanaman mereka yang rusak.
“Tolong instansi terkait, tolong memperhatikan masyarakat di Woejerana ini, karena desa ini dan berada disektar tambang Weda Bay Nikel (WBN), sejak masuk di sini, tidak ada pengertian dengan masyarakat kecil ini. Saya masyarakat kecil ini belum pernah dibantu seperak pun dari perusahan Weda Bay Nikel,” kata pria kelahiran 1936 asal Kendal ini.
Kasdi, adalah pria kelahiran 1936 asal Kendal, Jawa Tengah. Pada tahun 1991 ikut transmigrasi dari Jawa Tengah ke Halmahera, Provinsi Maluku saat itu. Kasdi beberapa kali pindah sebelum tinggal dan menetap di Desa Woejerana.
“Jadi kita dikirim ke Maluku pada tahun 1991 ditempatkan di lokasi Ekor sekarang Halmahera Timur, baru di Ekor cuma satu tahun karena lokasinya tidak bisa dihuni Transmigrasi, jadi tanah gersang, banyak batu, biking sumur saja sampai 30 Meter ngga keluar air. Jadi Alhamdulilah, jadi Pak Habibi datang saya mohon dipindahkan ke luar Ekor,” kata Kasdi ceritakan peristiwa saat itu.
Pria berusia 86 tahun ini bilang sempat dipindahkan ke Wairoro, Kecamatan Weda Selatan. Di Wairoro Kasdi bersama keluarganya tinggal selama 11 Tahun. Sebelas tahun tinggal di Wairoro, pada tahun 2003 Kasdi kembali dipindahkan ke Kobekulo lokasi saat ini.
“Pada awal kita datang tahun 2003 di SP 2, sekarang nama Desa Woejerana. Selama di Kobekulo (Kulo Jaya) awal-awal waktu belum ada perusahaan waktu itu biasa-biasa bertani berjalan lancarlah. Namanya lokasi baru hidup masyarakat trans kan itu susah, tapi lama-lama kan dibenahi jadi layak, lama lama bisa jadi kota,” kata pria beranak lima ini.
Setelah tambang nikel datang, apa yang mereka bangun seakan hilang. Kini warga malah sengsara. Mereka hanya menerima dampak buruk dan taka da perhatian dari pemerintah sama sekali.
Desa Woejerana berjarak kurang lebih 38 km dari Ibu Kota Weda, Kabupaten Halmahera Tengah. Desa ini dihuni 256 kepala keluarga. Sebagian besar warga ini adalah transmigrasi dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar penduduk desa ini Sebagian besar bersuku Jawa, baik Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagian lagi berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Bali.
Mereka adalah masyarakat keturunan Jawa dan NTB yang ikut dalam program transmigrasi pemerintahan Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto pada tahun 1991 di Halmahera, yang saat itu masih dibawah pemerintah Provinsi Maluku. Sejak saat itu para transmigran mulai menyesuaikan kehidupan dengan penduduk asli di Weda Tengah.
Dulunya, Desa Woejerana merupakan satu dari beberapa desa di Kecamatan Weda Tengah yang menyokong ketersediaan pangan di Halmahera Tengah dan beberapa Kabupaten di Provinsi Maluku Utara.
Di desa ini sebagian penduduk berprofesi sebagai petani yang telah mengubah kawasan tersebut menjadi lahan pertanian produktif kala itu.
Hutan dan semak belukar kala itu masih menjadi lahan kosong mereka bersihkan menjadi tanah yang subur. Berkat kerja keras warga, Desa Woejerana menjadi salah satu produsen padi di Halmahera Maluku Utara.
Data dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Halmahera Tengah Luas Kabupaten Halmahera Tengah tercatat 8.381,48 km2 (daratan 2.276,86 km2, lautan 6.104,65 km2). Sekitar 73 % wilayah kabupaten Halmahera tengah merupakan lautan. Sedangkan 27 % merupakan daratan.
Secara geografi Kecamatan Weda Tengah terletak diantara 0°23’ – 0°39’ Lintang Utara dan 127°46’ – 128°04’ Bujur Timur. Luas Kecamatan Weda Tengah tercatat 491,97 km², atau sekitar 21,61 % dari total luas kabupaten Halmahera Tengah.
Berdasarkan data dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Halmahera Tengah, jumlah penduduk saat Desa Woejerana adalah 450 jiwa. Terdiri dari 256 laki-laki dan 194 perempuan. Sementara Desa tetangga transmigrasi lainnya adalah Desa Kulo Jaya berjumlah 343 jiwa. Dan Desa Woekop berjumlah 651 jiwa.
Sementara secara keseluruhan, jumlah penduduk Kecamatan Weda Tengah tahun 2021 adalah 10.099 jiwa yang terdiri dari 6.094 jiwa laki-laki dan 4.005 jiwa perempuan. Desa lelilef merupakan desa dengan jumlah penduduk terbanyak yakni sebesar 3.639 jiwa sedangkan Desa Kulo Jaya merupakan desa dengan jumlah penduduk terkecil yakni 343 jiwa.
Ditemani oleh Hernemus Takuling, seorang petani asal Desa Lelilef Sawai, saya menyempatkan waktu untuk mengunjungi satuan pemukiman 2 Trans Kobe, Desa Woejerana.
Siang itu, kami tiba di Desa Woejerana tepat pukul 12.15 WIT.
Nemu nama panggilan Hernemus menemani saya untuk bertemu dengan perangkat Desa. Namun mereka tak berada di tempat. Akhirnya kami terpaksa harus menemui satu per satu petani di rumah mereka.
Desa ini kata warga sekitar kian tidak terawat pasca diterjang banjir pada pertengahan 2020 dan 2021 lalu. Semak belukar tampak tumbuh lebat di kolam sawah. Saya juga lihat beberapa saluran irigasi sudah rusak. Warga bilang, hal yang sama karena diterjang banjir kala itu.
Dulu sebelum diterjang banjir, Kasdi punya sawah beberapa petak. Ukurannya 100 x 100 meter. Kalau hasil bagus cadangan gabahnya cukup untuk makan keluarga setahun. Sisanya bisa dijual ke pengepul.
“Jadi kita minta dengan sangat, pemerintah yang ada kaitan dengan masyarakat ini tolong perhatikan”
Dulu kata Kasdi, Desa ini mandiri beras bahkan hasil berlebih dan dijual ke pusat Ibu Kota Kabupaten Weda bahkan disuplay beberapa kabupaten. Mereka tak kaya, namun sejahtera.
Pemerintah kata Kasdi juga berjanji agar Desa ini akan dikembangkan menjadi lumbung pangan di Indonesia Timur, karena hasil panennya yang melimpah. Lambat laun lahan pertanian tak terurus karena tertimpa bencana.
Petani di Desa Woejerana cukup membantu ketersediaan beras di Halmahera Tengah, khususnya di kecamatan Weda Tengah dan Kecamatan Weda Utara.
Petaka banjir yang terjadi pada 6 september 2021 lalu menyisakan jejak pahit bagi Kasdi dan warga Desa Woejerana.
Sebelum banjir melanda desa mereka, cuaca buruk dan hujan tak setop. Dia dan istrinya cemas. Ia berkeputusan untuk menyelamatkan tanaman padinya, dengan menimbun tanah agar air tak masuk. Namun itu tak sempat dilakukannya karena hujan begitu deras. Kasdi pasrah.
“Banjir terjadi yang saya ingat sekitar pukul 02.00 dan surut pada sekitaran pukul 05.00. Namun banjir bandang susulan terjadi pada pukul 07.00 pagi sehingga merendam seluruh desa,” tutur Kasdi mengingat peristiwa saat itu.
Akibatnya Kasdi tak sempat mengevakuasi barang-barang milik mereka. Ia bilang banjir tersebut merupakan luapan dari air kali Saloi dan Sungai Ake Jira.
“Banjir besar sampai rumah hanyut, sapi hanyut, terus sawah itu pedihnya tenggelam, berasnya macam tanah. itu saya laporkan ke instansi terkait pak, mulai dari lingkungan hidup, sampai di DPR. Itu pun satu orang pun yang respon,” sesalnya.
Mereka, kata Dia sulit bertemu bupati. Sedang lapor instansi lain terkait musibah itu juga tak ada respons. Akhirnya, gabah yang siap dijual ikut rusak.
“Sudah seperti tanah itu apakah bisa dimakan, itu toh pemerintah tidak punya perhatian sama sekali terus bagaimana pak selanjutnya apa kita ini ditembak sekalian biar mati dari pada kita tunggu -tunggu hasilnya tidak jelas, nah ini pak kesusahan orang kecil di sini begini”
Dia bilang dulunya, banjir tak pernah separah itu, hanya sebatas bibir sungai dan tidak tidak meluap, namun pasca aktivitas beberapa perusahaan tambang di hulu sungai Akejira, ia menduga jadi penyebab banjir bandang.
“Ini saya datang sejak tahun 1991 di Halmahera, tapi untuk di Weda Halmahera Tengah tahun 2001 banjir memang terjadi, tapi tidak separah dua tahun belakangan ini. Ini sudah sangat parah”
Tak hanya 2021, banjir parah juga menerjang desa mereka pada 2020. Kala itu, rumah dan lahan pertanian tergenang. Tanaman pun rusak.
Kasdi tak sendiri, petani lainnya juga alami nasib yang sama. Namanya Dhaman, transmigran asal Lombok, Kecamatan Gerung, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia cerita kondisi setelah tambang datang, banjir, dan gagal panen.
Dharman tiba pada tahun 2002, di Desa Woejerana Halmahera Tengah, sebagai transmigran. Bersama dengan puluhan warga lainnya mereka dilepaskan Gubernur NTB saat itu, Sri Gede.
Gagal Panen
Setelah Tambang Masuk tahun 2007, Dharman bilang para petani di Desa-desa transmigrasi terus menerus gagal panen. Penyebabnya adalah banjir. Banyaknya lumpur dan material bebatuan masuk dan merusak tanaman padi mereka.
Dulu, ia bilang meski banjir namun airnya jernih, namun saat ini air yang terlihat berwarna coklat kehitam-hitaman.
Sejak tiba di Woejerana, padi tahun 2002 dan 2003, padi yang ditanam pada lahan setengah hektar dipanen tak kurang dari 3-4 ton, namun saat ini, turun drastis sampai 200 kilo.
Kebanyakan biaya yang masuk dari hasil gabah padi tidak seimbang dengan pendapatan yang mereka keluarkan untuk menanam padi.
“Kita jual dan makan sendiri sudah, karena dulukan nda ada pasar, karena perjalanan jauh, sampai tahun 2021 begitu terus jalannya. Jembatan saja sampai 3-4 tahun baru jadi”
Saat itu pria asal NTB ini bilang, akibat banjir Ia mengalami kerugian hingga 2 hektar.
Warga petani katanya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah banjir, dia dan petani lainnya tidak mendapat ganti rugi dari perusahaan tambang yang melakukan aktivitas bongkar lahan.
“Tidak ada hasil, nol sama sekali. Jadi kita ganti rugi. Kalau diganti kan meringankan petani”
Kalau pun ganti rugi kata Dharman itu hanya berupa bantuan sembako dari Pemerintah Desa dan BPBD Kabupaten. Sebagian juga dari Tekindo.
“Kalau di sini, Beras tiga kilo, mie instan tujuh bungkus dan air mineral lima botol. Hanya itu aja. Selama saya disini, di Weda Bay Nikel tidak bantu kalau terjadi bencana,” katanya.
Mereka berharap Presiden Joko Widodo turun langsung melihat kondisi warga transmigrant di SP2, SP 1, SP 4, SP 3. Mereka yang dulunya swasembada beras, berubah drastis setelah banjir melanda desa-desa mereka.
Selain bersawah, Dhaman juga menanam rica (cabai), singkong, jagung. Ia bilang karena tanahnya subur, tanam apapun hasilnya baik.
“Sekarang itu sampai nda bisa kita makan, apakah sebabnya tambang, apakah dari mana? Kita minta sama pak Jokowi supaya turun sendiri liat masyarakat SP2 Desa Woejerana”
Setelah banjir tak hanya padi yang sulit ditanam, sayur mayur juga pernah dia coba namun gagal. Faktornya adalah sedimen lumpur saat terjadinya banjir.
“Kita tanam sayur saja kena lumpur waktu banjir kalau hujan besar. Kita pelihara ikan, kolam pun hanyut. kita pelihara 10.000 ekor, sisa 3000 ribu mungkin hanyut saat banjir”
Dharman dan keluarganya untuk kesekian kalinya dipaksa bersabar karena kehilangan sumber kehidupan mereka. Nila yang mereka jadwalkan panen pada bulan desember 2021 juga gagal karena terbawa banjir.
Padahal dibutuhkan proses Panjang merawat ikan dengan ongkos tak murah. Mulai dari pemupukan pada kolam untuk menyuburkan lumut, pemberian pakan ikan, hingga obat penahan rasa lapar.
Dharman bilang, dalam sehari ia biasa memberi makan dua kali. Untuk kebutuhan pakan ikan dalam sebulan, katanya dibutuhkan sekitar 4-5 karung pakan berukuran 30 Kilogram seharga Rp450.000 per karung. Belum lagi obat penahan rasa lapar Rp800.000 per liter. Untuk panen ikan empat bulan sekali. Naas, banjir datang. Dia merugi hingga puluhan juta rupiah.
Memang dulu, Dharman bilang pernah ada penyaluran bantuan sapi dari Pemerintah. Namun kondisi lingkungan tak seperti dulu lagi katanya.
“Pemerintah juga sempat salurkan kita traktor, itik, entah itu dari provinsi atau dari Kabupaten, tapi yang saya ingat itu kita dapat sapi dua kali. Pada tahun 2002 satu kali, baru-baru ini satu kali, 2022. Jadi dua kali,” tuturnya.
Padahal butuh waktu bertahun-tahun kata Dharman, untuk berjuang mengolah usaha tambak ikan maupun mengolah lahan di Woejerana menjadi tanah yang subur untuk pertanian.
Namun sejak masuknya sejumlah perusahan tambang, kehidupan masyarakat di desa tersebut mulai terusik dengan aktivitas pertambangan PT Weda Bay Nikel, PT Tekindo yang merupakan sub kontraktor dari PT IWIP. Mereka mengoperasikan pertambangan di hulu desa mereka.
Perusahaan itu mulai membuka jalur pertambangan. Pembangunan jalan menimbulkan masalah bagi masyarakat beberapa desa Weda tengah, termasuk Woejerana. Sawah bahkan perkampungan mereka terendam saat datangnya hujan.
Kondisi itu membuat sebagian warga tak bisa bertahan. Mereka terpaksa melepas lahan. Namun berbeda dengan Dharman dan Kasdi memilih bertahan ketimbang menyerahkan lahannya kepada perusahaan tambang.
Meski beberapa kali Ia protes, namun perusahaan bergeming dan tetap mengeruk lahan hijau di utara perkampungan mereka.
Lahan dari pantauan kamera udara tergerus oleh tambang. Dimana perusahaan tambang lainnya, PT Tekindo telah memulai operasi pengerukan tanah di bagian utara desa tersebut.
Perusahaan-perusahaan tambang terus mengeruk tanah dan menumbangkan pepohonan di sekeliling des aitu. Kini, 80 persen lahan pertanian Desa Woejerana tak bisa digunakan lagi karena telah rusak. Desa ini dikelilingi konsensi tambang yang masih aktif di utara dan timur.
Dharman berharap kepada Presiden Joko Widodo agar bisa melihat masalah yang dihadapi mereka saat ini.
“Itu Harapan saya, supaya Bapak Jokowi ke sini,” harap pria kelahiran NTB ini.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Tengah Yusmar Ohorella, menampik persoalan yang terjadi di Kecamatan Weda Tengah.
Yusmar bilang, transmigrasi Kobe memang dalam pendekatan Dinas Pertanian memang sering terjadi banjir. Saat ini, Dinas Pertanian katanya fokus ke desa Woekob untuk dijadikan lahan pertanian tanaman padi.
Dia bilang, Desa Woejerana dulunya merupakan lumbung pangan, Yusmar bilang tetapi sebagian wilayah masuk dalam pelepasan lahan untuk IWIP. Dengan gampangnya dia bilang, daerah-daerah sudah terdampak banjir ini tidak lagi dimanfaatkan untuk lahan pertanian.
Dia klaim banyak program ketahanan pangan Dinas Pertanian ke Desa Woejerana, tetapi saat ini desa itu desa itu dikelilingi pertambangan beberapa perusahaan. Bagaimana nasib warga yang hidup di dalamnya seakan tak jadi perhitungan pemerintah.
“Dibelakangnya ada wilayah pertambangan sehingga kita lagi fokus ke desa Transmigrasi yang di belakang Desa Woejerana namanya Desa Woekob,” katanya. “Untuk padi trans Kobe kami akan fokuskan di Kulo Jaya,” tambahnya.
Dari data Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Tengah, kata Yusmar, pada tahun 2020 jumlah hasil panen padi di Desa Woejerana mencapai 147,28 ton. Namun tahun 2021 panen petani turun drastis menjadi 81 Ton karena banjir sehingga merusak tanaman para petani.
Untuk daerah-daerah transmigrasi yang lain, Yusmar bilang akan tetap di dorong. Pada tahun 2020 itu dengan kucuran dana hampir Rp6 miliar lebih dengan covid-19, kabupaten mendorong kegiatan optimalisasi lahan jadi hasil produksinya 4000an ton.
“Indikatif lahan 280 hektar yang lahannya diolah”
Saat ini, kata Yusmar, Dinas Pertanian tetap mendorong untuk memberikan bibit tanaman pangan dan wilayah-wilayah Transmigrasi yang berada di Weda Selatan seperti di Desa Wairoro.
Dinas Pertanian juga berencana akan membagi zona dengan hadirnya perusahaan, maka permintaan perusahaan sangat tinggi.
“Petaninya kadang lari yang tadinya padi lari ke tanaman hortikultura dan buah sehingga kita akan mengusulkan ke Bupati sehingga wilayah-wilayah yang saat ini dilakukan kegiatan padi itu tetap dipertahankan untuk kegiatan padi dan wilayah tertentu untuk dimanfaatkan untuk kegiatan hortikultura dan buah”
Bahkan, Yusmar bilang saat ini Dinas Pertanian telah berkomunikasi untuk memediasi kepentingan petani terkait dengan hasil-hasil mereka bisa suplay ke perusahaan.
“Alhamdulilah, komunikasi itu PT IWIP sangat merespon karena bagi kami petani selama ini menanam tapi tidak tahu ke mana, ini yang mau dipasarkan sehingga kadang petani itu senin rabu, karena tanam mau dikemanakan,” katanya.
Setelah berkomunikasi dengan PT IWIP, katanya, mereka juga melakukan roadshow untuk menyampaikan informasi kepada seluruh petani untuk menanam dan kerja sama dengan PT IWIP.
“Kita akan pertemuan di empat desa yang ada di wilayah Weda Selatan, Loleo, Salobar, Sosomu untuk mensosialisasikan yang kami lakukan dengan PT IWIP. Jadi lokasinya seluruh Halmahera Tengah,” terangnya.
Perusahaan tambang kata dia juga meminta pasokan pangan dalam sepekan 8 ton. Terdiri dari jenis sayur-sayuran dan buah.
“Nanti disepakati petani-petani wilayah mana yang siap baru kita bagikan. Weda selatan ini sekian ton, weda sekian ton dengan jenis-jenis sayur dan buahnya digabung baru dibawa ke PT IWIP,” katanya.
Berdasarkan program Presiden Jokowi lewat Kementrian Pertanian, dipastikan bantuan bantuan bibit padi akan didistribusikan ke petani yang ada di Halmahera Tengah.
“Dalam setahun bisa empat kali tanam. Tapi karena kita masih tergendala dengan irigasi karena petani kita di Weda tengah ini masih mengharapkan tanah hujan jadi kita bantu melalui sumur bor karena irigasinya maklum lah jadi kita hanya minta bantuan 150 hektar untuk bantuan kementrian tahun ini, itu benihnya NPIP 400 ton, saat ini kita siapkan penerima CPCN,” imbuhnya.
Namun, dari pantauan di lapangan dan juga pengakuan para petani padi, lokasi yang dulunya dijadikan sebagai lumbung pangan kini lahannya telah rusak dan hancur akibat banjir.
Tak hanya nasib petani sawah yang terancam karena aktivitas pertambangan nikel, namun hal yang sama juga dialami oleh penduduk lokal yang berada di Weda Tengah dan juga Weda Utara. Desa-desa lingkar tambang seperti Lelilef Sawai, Lelilef Waibulan, Gemaf serta Sagea tanaman pangan mereka juga terancam.
Maks Sigoro, warga Desa Gemaf, merupakan korban alih fungsi lahan pertambangan. Dia yang paling keras menolak kehadiran sejumlah tambang di Desanya.
Maks selalu mempertahankan lahannya. Dia selalu menolak saat ditawari perusahaan tambang. Baginya, tanah merupakan warisan untuk kehidupan anak cucu kedepan.
Namun, saat ini tanah dan juga kebun miliknya masuk dalam konsesi pertambangan. Selain itu kebun-kebun warga yang berdekatan dengan kebunnya telah dijual ke perusahaan. Meski begitiu, Maks tetap mempertahankan tanah dan kebun miliknya.
Pria berusia 51 tahun ini bilang, sebagian besar tanah-tanah warga sudah diukur oleh perusahaan. Sebagian telah selesai namun belum ada pembayaran oleh perusahaan.
“Misalnya tanah saya yang ada di daerah Ake Sake telah diukur oleh perusahaan, belum diberikan despensasi ganti rugi lahannya. Tanah (kebun) saya yang ada di Ake Sake perusahaan mengukur dan telah menggusurnya, dari tahun 2018 sampai saat ini belum terbayar”
Dia mengatakan pihak perusahaan pernah mendatanginya, untuk melakukan pengukuran tanah miliknya yang berada di Fabukelo.
Dengan tegas Dia menolak dengan alasan pernah tertipu sebelumnya. Maks tidak terima tanah dan kebun dijual ke perusahaan. Kala itu anaknya menjadi korban dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Pemutusan Hubungan Kerja terhadap anak saya itu, merupakan salah satu cara atau strategi, untuk melemahkan saya agar bisa melepaskan kebun tersebut dengan harga yang murah yaitu; Rp8.000-9.000 per meter,” imbuhnya.
Mereka pihak perusahaan, kata Maks, berulang kali mendatanginya dengan maksud untuk menjual tanahnya.
“Mereka bilang “Om serahkan tanah di perusahaan, nanti kami pekerjakan kembali Om punya anak,” begitu bunyi ajakannya. Lanjutanya, namun jawaban saya. “Boleh, asalkan anak saya langsung permanen sebagai pekerja dan dia tidak pernah kenai aturan perusahaan, dan itu harus tertuang diatas kesepakatan ’hitam di atas putih’ serta ditandatangai pimpinan tertinggi perusahaan,” jawab Maks kepada mereka saat itu.
Selain itu, secara tegas Maks bilang, hasil dari perkebunan telah mencukupi keluarganya. Jadi, meski mereka mengancam, dia enggan untuk melepaskan lahan itu. Karena sebelumnya lahan, yang luasnya 6 hektare pernah digusur oleh perusahaan, namun sampai saat ini tak kunjung dibayar kompensasinya.
“Padahal pada lahan tersebut, di atasnya telah ditanami kelapa, cengkeh, dan pala”
Saat ini, lahan yang masih tersisah kata Maks Sigoro di Fabukelo dengan luasannya mancakup 2 hektare. Di lokasi itu, Ia telah tanam tanaman umur Panjang seperti cengkeh, pala, coklat dan kelapa. Sementara tanaman umur pendek seperti pisang, ubi-ubian dan jagung.
“Pengetahuan saya, bila warga yang ada di Desa Gamaf sudah secara menyeluruh melepaskan tanahnya ke perusahaan. Akibat dari itu, hanya untuk membeli jenis bumbu dapur seperti; rica dan tomat saja, mereka harus menunggu para paja pedagang lintas yang berasal dari jawa (transmigrasi)”
Maks bilang Ia sangat beruntung, karena kebunnya tak di lepas ke perusahaan, tapi sering kena curi oleh mereka melepaskan lahannya.
“Yang mereka curi adalah buah pisang sampai buah kelapa dikebun milik saya,” sesalnya. Padahal mask bilang saat ini belum terlalu krisis pangan, namun hasil kebunnya banyak yang hilang.
“Kelapa yang saya tanami itu cukup untuk menghasikan uang bila diolah menjadi kopra, dari pada menjual lahan kepada perusahaan tambang,” akuinya.
Alih fungsi lahan tak hanya terjadi di Desa Gemaf, namun Desa-desa lingkar tambang lainnya seperti Lelilef Sawai, Lelilef Waibulan, Desa Kobe, Desa Lukulamo.
Masri Anwar Aktivis Lingkungan di Maluku Utara jelaskan beberapa desa di Weda Tengah, antara lain desa Kobe Pante, Desa Kulo, Lelilef Sawai, Lukulamo, dan desa-desa transmigrasi seperti di Woejarana SP2 sejak tahun 2010 berhadapan dengan masalah yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan nikel oleh IWIP PT Tekindo Energi. Perusahaan ini beroperasi sejak 2009 di Desa Kobe dan Desa Lelilef, kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah.
Aktivitas perusahaan tersebut, kata Masri telah mencemari air sungai Saloi dengan limbahnya padahal sungai tersebut digunakan oleh warga di Lukulamo dan Woejerana untuk kebutuhan air bersih dan tanaman. Masyarakat pun kehilangan air bersih.
“Alternatif [mereka kini] menunggu bantuan air bersih dari perusahaan, membeli air gelon atau menunggu air hujan,” Kata Dosen Fakultas Hukum UMU ini.
Bantuan air dari perusahaan, kata dosen fakultas hukum UMU Ternate ini pun sudah dieksploitasi oleh PT TAKA sub kontraktor Weda Bay Nikel (WBN).
Dalam keadaan terpaksa ketika ketersediaan air berkurang masyarakat harus mengkomsumsi air sungai yang diduga sudah tercemar. Dari data yang Ia himpun di lapangan, kata Masri sebanyak 90 orang yang ada di dua desa menderita gatal-gatal.
Selain itu, Masri mengatakan, limbah perusahaan juga mengalir ke sawah, perkebunan kelapa, dan tambak-tambak ikan.
“Produktifitas menurun, jika tahun sebelumnya masuknya Tekindo mereka bisa memproduksi kelapa sampai satu ton. Sekarang paling banyak 500 kg. padi dan ribuan ikan mati karena limbah perusahaan tersebut mengalir bersamaan banjir dan masuk ke kebun dan tambak-tambak milik warga,” tandasnya.
Untuk ruang hidup masyarakat transmigrasi maupun masyarakat adat dan wilayah yang saat ini dikuasai oleh perusahan tambang, baik IWIP maupun Tekindo Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara juga turut mengkritik persoalan tersebut.
AMAN Maluku Utara, menurut Munadi, jauh sebelumnya telah memberikan warning kepada Pemerintah Kabupaten. Ia telah menganalisa akan terjadi konflik ketika hadirnya beberapa perusahan tambang di Halmahera tengah. Ia menambahkan pemerintah juga telah diingatkan untuk melihat potensi ancaman tersebut.
“Akan masalah yang akan terjadi itu memang sebelumnya kita sudah beriktiar, bahwa ke depan kita akan menghadapi situasi dimana terjadi perebutan ruang hidup antara masyarakat adat dengan Negara maupun koorporasi, dan realita yang terjadi seperti itu,” ungkapnya.
Bahwa, lanjutnya, masyarakat yang berada di sekitar lingkar tambang saat ini tidak memiliki apa-apa lagi, seperti dulu kala.
“Semua yang mereka miliki yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, hari ini dikuasai oleh koorporasi,” katanya.
Dengan demikian, kata Sekertaris Komisi III DPRD Kabupaten Halmahera Tengah ini, masyarakat tidak bisa lagi bekerja untuk menafkahi kehidupan mereka, akan menemui masalah baru, seperti konflik karena berkaitan dengan ruang hidup untuk nantinya bertahan hidup.
“Ikhtiar kita yang sudah disampaikan kepada Pemerintah itu tidak dihiraukan sehingga realita saat ini kita bisa lihat, apa yang kita kuatirkan benar-benar terjadi, banyak masalah terkait konflik lahan maupun ruang hidup masyarakat,” terangnya.
Munadi bercerita saat DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, menggelar rapat paripurna pandangan umum fraksi-fraksi terhadap lima rancangan peraturan daerah (Ranperda)
Munadi yang merupakan bagian dari fraksi Nasdem memberikan catatan terkait dengan lima rancangan peraturan daerah (Ranperda) di Kabupaten Halmahera Tengah.
Lima Ranperda tersebut di antaranya Ranperda Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat, Tata Ruang Wilayah 2020–2046, Pakaian Dinas PNS di Lingkup Pemkab Halteng, Perubahan Atas Perda Halteng Nomor 8 Tahun 2018 tentang RPJMD tahun 2017-2022, dan Ranperda Pelayanan Publik.
Munadi Kilkoda, yang juga merupakan Ketua Fraksi Nasdem-Gerakan Rakyat mengatakan paripurna untuk pembahasan Ranperda ini memiliki landasan konstitusional.
“Bagi Fraksi Nasdem bahwa Ranperda yang diusulkan oleh pemerintah daerah untuk dibahas dan ditetapkan harus benar-benar dipergunakan sebagai instrumen kebijakan,” jelas Munadi.
Munadi bilang, selain itu harus menjadi alat transformasi perubahan daerah, juga untuk mengharmonisasi berbagai kepentingan yang ada pada masyarakat.
“Ada sekian banyak produk perda yang tidak diimplementasikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Padahal untuk melahirkan satu produk Perda, membutuhkan sekian banyak uang rakyat yang dikeluarkan,” ungkapnya.
Menurut Munadi, harus ada evaluasi permasalahan utamanya, apakah karena kebijakan turunannya yang belum dikeluarkan, atau sumberdaya manusia yang masih rendah, atau masalah lain yang menyebabkan implementasi perda tidak berjalan.
Sementara dari Ranperda tentang Perubahan Atas Perda Halmahera Tengah Nomor 08 tahun 2018, tentang rencana kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) luas kawasan pertanian hanya 1.974 hektar.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Maluku Tengah, Yusmar Ohorella, berjanji akan mendorong para petani lokal di Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara.
Soal masuknya PT IWIP, Yusmar mengatakan akan melakukan sosialisasi dengan memberikan motivasi kepada para petani untuk tetap bekerja sama dengan perusahan tambang.
“Kami akan dorong petani lokal dengan bantuan-bantuan bibit, jadi kita dorong terus petani lokal kita,” janji Ohorela usai rapat internal di ruangan Bapati, pertengahan agustus 2022.
Berdasarkan data pusat Statistik Kabupaten Halmahera Tengah Rata-Rata Luas Lahan Pertanian Menurut Kecamatan dan Penggunaan (m2) kecamatan Weda Tengah pada tahun 2013 berada pada peringkat kedua dengan lahan terluas kedua dengan luas 2.807 m2 dibawah Kecamatan Weda Selatan dengan luas 3.587 m2. Sementara Weda tengah berada pada urutan satu kategori lahan bukan sawah dengan luas 24.392 m2. Disusul Weda Selatan diposisi kedua dengan jumlah 18.098 M2.
Mimpi untuk menjadi lumbung pangan di Indonesia Timur nyatanya telah menemui kegagalan. Saya sempat mengunjungi Desa Woejerana. Di sana terlihat kondisi petani di sana. Tak lagi ada aktifitas bertanam sawah. Yang ada hanya hamparan sawah dan saluran irigasi yang rusak.
Secara umum Produksi Padi dan Beras Menurut Kabupaten/Kota (ha) (Tahun) di Provinsi Maluku Utara sejak tahun 2019 Halmahera Tengah mulai menurun dari angka 907 Ton turun menjadi 692,60 Ton pada tahun 2020. Pada tahun 2021 produksi padi di Halmahera Tengah kembali naik menjadi 2.210,18 ton. Namun, lokasi produksi ini tak berada di Weda Tengah, khususnya Desa Woejerana. Produksi padi dan beras ini berasal dari kecamatan Weda Selatan di Desa Wairoro.
Bupati Halmahera Tengah Edi Langkara, dalam acara panen raya padi di Desa Wairoro, kecamatan Weda Selatan, sabtu, 6 maret 2021 lalu mengatakan wilayah Halmahera Tengah memiliki tiga sentra produksi di sektor pertanian diantaranya, desa Wairoro Kecamatan Weda Selatan, Desa Kube Kulo kecamatan Weda Tengah, dan Trans Wale Kecamatan Weda Utara. Namun Dia akui dalam sejarah pertanian di Halmahera Tengah, Desa Wairoro yang lebih unggul dari 2 daerah transmigrasi tersebut.
Edi menambahkan padi yang dipanen oleh petani Desa Wairoro, dari seluruh padi variatas yang ada menghasilkan 13 ton per hektar.
Panen perdana yang dihadiri Direktur Jendral Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemnaker Suhartono, itu adalah padi variates M400 dan M70 D, dengan luas lahan kurang lebih 165 hektar dari yang ditanam sekitar 300 hektar.
Sementara untuk Maluku Utara sendiri, dari data BPS Provinsi Maluku Utara, produksi padi dan beras tertinggi menurut Kabupaten/Kota (ha) tahun 2019-2021 masih di tempati oleh Kabupaten Halmahera Timur dengan capaian pada tahun 2019 sebesar 20849 ton, 2020 naik menjadi 25811.28 ton, dan tahun 2021 anjlok dan turun 11731.76 ton.
Data BPS Provinsi Maluku Utara mengeluarkan rilis Luas Panen dan Produksi Padi di Provinsi Maluku Utara 2019 diperkirakan sebesar 11.701 hektar atau mengalami penurunan sebanyak 1.712 hektar atau 12,77 persen dibandingkan tahun 2018. Produksi padi di Maluku Utara pada 2019 diperkirakan sebesar 37.946 Ton GKG atau mengalami penurunan sebanyak 11.101 Ton atau 22,63 persen dibandingkan tahun 2018. Jika produksi padi pada tahun 2019 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras di Maluku Utara pada 2019 sebesar 21.125ton atau mengalami penurunan sebanyak 6.180 Ton atau 22,63 persen dibandingkan tahun 2018.
Tata Ruang Wilayah
Dalam dokumen Pemaparan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2032, sebagai revisi Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah nomor 01 tahun 2012 tentang Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah tahun 2012-2013.
Disebutkan dalam dokumen Pemaparan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2032, untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang lestari dengan tetap mendorong potensi sektor agroindustri dan parawisata untuk masyarakat yang sejatera dan berkeadilan.
Dari perubahan rencana pola ruang perubahan luasan terjadi karena ada peruntukan baru yang ada di dalam peta lama belum tergambarkan serta penyesuaian topologi dalam pengambaran sesuai dengan peraturan terbaru.
Khusus untuk kawasan hutan mengacu SK Kawasan hutan terbaru sehingga terdapat perbedaan luasan karena ada kawasan hutan yang terkonversi statusnya.
Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda menjelaskan Fraksi Nasdem-Gerakan Rakyat memiliki catatan penting terhadap lima Ranperda ini. Ranperda Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2021-2040.
Ranperda ini, kata Munadi harus menafasi asas dan tujuan penataan ruang yang diatur dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Dari aspek kelengkapan administrasi baik dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga dokumen peninjauan kembali tata ruang dari Kementrian ATR dilengkapi dan diberikan kepada DPRD maupun kepada public.
“Pemerintah Daerah harus menjelaskan kawasan industri yang luasan sebelumnya 538,41 hektar (RTRW1/2012) menjadi 15.205 hektar itu untuk siapa?
Sebelumnya pada peta lama kawasan industri seluas 538,41 Ha. Dan diadalam peta baru telah mengakomodir kebijakan nasional terkait Pengembangan Kawasan Industri Teluk Weda yang tertera dalam RPJMN dengan usulan luasan sebesar 9.600 Ha.
Fraksi NasDem-Gerakan Rakyat kata Munadi juga meminta agar luas kawasan industri hanya 4000 hektar lebih sebagaimana menjadi usulan awal pemerintah daerah dan kedua, mereka juga setuju Ranperda dan RTRW dibahas lebih lanjut pada Pembicaraan Tingkat II setelah melalui proses pembahasan DPRD dengan Pemerintah Daerah.
Untuk Ranperda tentang Perubahan Atas Perda Halmahera Tengah Nomor 08 tahun 2018 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Halmahera Tengah Tahun 2017-2022 Munadi juga mempertanyakan tersedia Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagaimana diatur dalam UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup terhadap perubahan RPJMD yang diajukan oleh pemerintah daerah.
Alih Fungsi Lahan
Berdasarkan Penentuan Delianiasi Kawasan Industri Nikel Teluk Weda Usulan Daerah usulan Daerah dengan usulan luasan sebesar 15.205 Ha berada pada kelas kemampuan lahan tinggi, sedang, dan rendah.
Sementara itu usulan Kawasan industri di atas lahan fungsi hutan produksi lebih kurang 11,598 hektar. Tentu saja usulan Delianiasi yang dipetakan langsung bersinggungan dengan kawasan Konservasi nasional (Taman Nasional) dan kawasan perlindungan bawahan (Hutan lindung) yang tentunya akan memberikan dampak lingkungan maupun ekosistem.
Dalam dokumen Pemaparan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2032, juga disebutkan tentang peta perkembangan pengukungan kawasan Hutan Provinsi Maluku Utara yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri LHK No SK 8117/ MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018 yang mengatur tentang luas kawasan hutan di Kabupaten Halmahera Tengah, yakni Hutan Lindung (HL) seluas 33.765 ha, Taman Nasional Aketajawa seluas 16.036 ha, dan Hutan Produksi (HP) seluas 158.220 ha.
Selain itu, rancangan tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah, pasal 27 tentang Kawasan peruntukan, ayat dua (2) menyebutkan Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di kecamatan Weda Utara, Weda Selatan, Weda Tengah, Patani Barat dan Patani Utara. Sedangkan pada ayat (6) juga menjelaskan peruntukan pertanian tanaman pangan di Kecamatan Weda Utara, Weda Selatan, Weda Tengah, Patani Barat dan Patani Utara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai Kawasan pertanian pangan berkelanjutan dengan luasan kurang lebih 3.609,25 ha.
Sayangnya jumlah Kawasan untuk pertanian ini tidak menjamin para petani yang melakukan aktivitas pertanian pangan berkelanjutan.
Pada pasal 29 ayat (1) telah menyebutkan Kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 huruf f terdiri atas Kawasan pertambangan mineral dan batubara dengan luasan kurang lebih 102.717 ,04 Ha. Pada ayat (2) menyebutkan Kawasan pertambangan mineral bukan logam di kembangkan kecamatan Weda Tengah, Kecamatan Weda Selatan Utara dan Kecamatan Pulau Gebe. Sementara Kawasan pertambangan dan tambang kobalt dikembangkan di kecamatan Weda Tengah, Kecamatan Weda Utara, Kecamatan Pulau Gebe, dan Kecamatan Patani.
Izin Tambang
Saat masyarakat adat dituntut mengurus sendiri administrasi hutan adat, kawasan tempat tinggal mereka di hutan terus terdesak wilayah pertambangan. Dalam laporan JATAM tentang Daya Rusak Industri Tambang Nikel di Sawai: “Awal Yang Akan Mengakhiri Segalanya”, daratan Halmahera Tengah telah dikepung industri tambang.
Berdasarkan laporan Korsup Minerba KPK, luas wilayah Halmahera Tengah yang hanya 227.683 hektare ini diberi 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total konsesi seluruh perusahaan mencapai 142.964,79 hektare. Artinya, sekitar 60% wilayah Halmahera Tengah bakal habis oleh aktivitas industri tambang.
PT IWIP merupakan salah satu kawasan industri yang berlokasi di Weda, Halmahera Tengah. Perusahaan ini merupakan patungan dari tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham PT IWIP dimiliki oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaannya, Perlux Technology Co.Ltd. Sementara Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.5.
Data Geoportal Kementerian ESDM di wilayah Halmahera Maluku Utara menunjukan belasan perusahaan melakukan operasi produksi nikel. Mereka adalah PT Weda Bay Nikel (WBN) yang kini berganti nama menjadi PT IWIP, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT First Pacific Mining, PT Dharma Rosadi Internasional, PT Harum Sukses Mining, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, PT Position, PT Mega Haltim Mineral, PT Wana Halmahera Barat Permai, PT Forward Matriks Indonesia, PT Aneka Tambang, PT Makmur Jaya Lestari, PT Priven Lestari, PT Wana Kencana Mineral, PT Elsaday Mulia, PT Jaya Abadi Semesta, PT Fajar Bakti Lintas Nusantara, PT Arumba Jaya Perkasa, PT Mineral Trobos, PT Gebe Sentral Nickel, PT Anugrah Sukses Mining, dan PT Indo Bumi Nickel.
Data Geoportal Kementerian ESDM mencatat PT WBN memiliki izin konsesi pertambangan mencapai 45.065 hektare yang mencakup Kabupaten Halmahera timur dan Kabupaten Halmahera tengah. PT Tekindo Energi memiliki izin usaha pertambangan mencapai 1.000 ha di Halmahera Tengah. Sedangkan PT Position mengantongi IUP untuk untuk wilayah operasi 4.017 ha di Halmahera Timur.
Secara umum wilayah usaha pertambangan (WUP) di Kabupaten Halmahera Tengah terdiri atas 2 kategori. Pertama, WUP mineral logam yang tersebar di seluruh wilayah Halmahera Tengah. Kedua, WUP mineral bukan logam dan/atau WUP batuan yang tersebar di seluruh wilayah Halmahera Tengah dengan proporsi lebih kecil.
Setidaknya ada 17 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang tersebar di Halmahera Tengah. Sebagian besar berupa IUP mineral logam. Dari 17 WIUP nikel di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, hanya 10 perusahaan yang mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan dari Kementerian LHK. Mereka adalah PT Anugerah Sukses Mining, PT Bati Pertiwi Nusantara, PT Elsaday Mulia, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Gebe Sentral Nickel,PT Halmahera Sukses Mineral, PT Harum Sukses Mining, PT Mineral Trobos, PT Tekindo Energi, dan PT Weda Bay Nickel (WBN).
Deforestasi
Halmahera Tengah di Maluku Utara sedang seksi bagi pengusaha tambang. Provinsi dengan julukan Kie Raha ini dianggap sebagai primadona karena keanekaragaman hayatinya. Di dalam perut bumi, terdapat berbagai kekayaan alam seperti emas, batu bara, minyak bumi, nikel, serta pasir besi.
Ratusan Kooporasi berlomba-lomba berinvestasi di Maluku Utara, khususnya di Halmahera Tengah. Deforestasi tak terhindarkan. Deforestasi antara 2001-2020 terlihat dalam citra satelit dari Pusat Pelayanan Data dan Informasi Yayasan Auriga Nusantara Bahkan, citra satelit itu merekam terjadinya deforestasi hingga merembes ke kawasan hutan lindung dan nyaris masuk kawasan hutan konservasi.
Berdasarkan data yang diterima Mongabay Indonesia dari Direktorat Informasi dan Data Auriga Nusantara, deforestasi dari 2001 sampai 2020 terus meningkat. Pada 2001, luas hutan yang hilang akibat aktivitas hak pengusahaan hutan (HPH) dan pertambangan mencapai 2.265,48 hektare (ha). Pada 2002, luas hutan menyusut 724,05 ha menjadi 2.989,45 ha. Lalu berturut-turut pada 2003 menyusut 820,75 ha menjadi 3.810,20 ha; pada 2004 menyusut 1.643,53 ha menjadi 5.453,73 ha; hingga pada 2020 total luas hutan yang hilang mencapai 14.876,43 ha. Luas total hutan yang hilang di Halmahera Tengah itu setara 27.800 lapangan sepak bola.
Data Kementerian Lingkungan Hidup (LHK) menyebutkan luas tutupan hutan di Halmahera Tengah sebesar 166.142 hektare. Namun, berdasarkan peta MapBiomas Indonesia, luas tutupan hutan di sana tinggal 131.881 hektare. Data Auriga Nusantara menunjukkan tutupan hutan di Halmahera Tengah terus berkurang selama 2000-2022.
Luas tutupan hutan alam menyusut dari 168.433 ha pada tahun 2000 menjadi 131.881 ha pada tahun 2019. Dengan demikian, 36.552,30 ha tutupan hutan alam di Halmahera Tengah hilang selama 2000-2019. Luasan itu setara lebih dari setengah wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Sebaliknya, lahan tambang semakin meluas selama periode yang sama. Pada tahun 2000, area tambang baru seluas 39,96 ha. Namun pada tahun 2019, luas area tambang menjadi 799,18 atau menjadi 20 kali lipat daripada tahun 2000.
Kecamatan Weda Tengah mengalami deforestasi tertinggi seluas 7.827,60 hektare. Berikutnya adalah Kecamatan Weda Utara dengan hilangnya 2.402,40 hektare tutupan hutan. Di urutan berikutnya adalah Kecamatan Weda Timur dengan deforestasi seluas 914,93 hektare, Kecamatan Weda dengan deforestasi 673,92 hektare, dan Kecamatan Weda Selatan dengan deforestasi 436,20 hektare. Total deforestasi di 15 kecamatan Halmahera Tengah selama 2000-2022 mencapai 14.876,43 hektare.
Akibat tingkat deforestasi yang tinggi setiap tahun, desa-desa di Weda Tengah selalu mengalami banjir sejak 2010. Banjir terparah terakhir menurut warga terjadi pada September 2021. Saat itu, air dari sungai-sungai besar di sekitar Dusun Akelamo, Desa Lelilef Waybulen; dan Desa Lelilef Sawai, meluap ke jalan dan nyaris menenggelamkan rumah-rumah warga.
Daerah-daerah ini kerap menjadi banjir sejak hutan tergerus dalam skala besar, terutama untuk aktivitas pertambangan dan industri. Akibatnya, sejak tahun 2020, banjir selalu terjadi akibat luapan sungai-sungai besar seperti Sungai Kobe, Sungai Ake Sake, dan Ake Wosia.
Industri Nikel
Smelter PT IWIP di Tanjung Uli termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembangunan Kawasan Industri Teluk Weda akan mengolah mineral hingga memproduksi komponen baterai kendaraan listrik. Proyek dengan total investasi US$ 10 miliar ini dibangun diatas lahan seluas 2.600 hektar. PT IWIP merupakan perusahan patungan investor asal China: Tsingsan Holding Group, Huayou Cobalt Co, dan Zhenshi Holding Group berdasarkan Kontrak Karya (KK)Generasi VII tahun 1998, WBN berhak atas konsensi pertambangan seluas 76.280 hektar di sekitar Teluk Weda. Kontrak Karya WBN saat itu ditandatangani Presiden Soeharto pada 19 januari 1998.
Kawasan industri yang menelan investasi US$ 10 miliar ini merupakan realisasi dari perjanjian Eramet Group (Prancis) dan Tsingsan.
Bersama dengan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, di tahun 2018 untuk mengembangkan deposit biji nikel dan 30 kt/Ni Nikel Pig Iron smelter sebagai smelter pertama di dalam kawasan industri Weda Bay.
Data di Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral menunjukan 90 % saham Strand Mineralindo PTE Ltd (Eramet) dan 10 % PT. ANTAM. Kini tak hanya perusahan tambang, tetapi kawasan industry, dengan nama perusahan, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Sesuai akta pendirian PT IWIP yang didapatkan Mongabay, IWIP didirikan pada tanggal 9 februari 2018, oleh sejumlah pengusaha. Mereka adalah Xiang Binge yang merupakan seorang pengusaha asal Republik Rakyat Tingkok yang berasal dari Perlux Technologi Co-, Limited tercatat dalam Certificate of Incorporation selain itu dari Eternal Tsingsan Group Limited, tercatat dalam Certificate of Change of Name.
Sumber investasi dari para investor sesuai dengan akta pendirian PT IWIP berjumlah US$ 8.000.000 (delapan juta dolar Amerika Serikat) equivalen dengan Rp108. 816.000.000 (seratus delapan miliar delapan ratus enam belas juta rupiah) terbagi atas 8000 lembar saham, masing-masing bernilai nominal US$ 1.000 (seribu dolar Amerika Serikat) equivalen Rp. 13.602.000(tiga belas juta enama ratus dua ribu rupiah).
Dari modal dasar tersebut telah ditempatkan dan disetor 100 % atau sejumlah 8.000 lembar saham dengan nilai nominal seluruhnya US$ 8.000.000 (delapan juta dolar Amerika Serikat) equivalen dengan Rp108.816.000.000 (seratus delapan miliar delapan ratus enam belas juta rupiah) oleh para pendiri yang telah mengambil bagian saham dan rincian serta nilai nominal saham yang disebutkan pada akta tersebut.
Dalam akta pendirian PT IWIP juga disebutkan Perlux Technologi Co-, Limited mempunyai saham senilai 80 %, atau sebanyak 6.400 (enam ribu empat ratus) lembar saham dengan nilai nominal seluruhnya sebesar US$ 6.400.000(enam juta empat ratus ribu dolar Amerika Serikat) equivalen dengan Rp.87.052.800.000 (delapan puluh tujuh miliar lima puluh dua juta delapan ratus ribu rupiah). Sementara Eternal Tsingsan Group Limited, mempunyai saham berjumlah 20 % saham atau sebanyak 1.600 lembar saham, dengan nilai nominal seluruhnya sebesar US$ 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) Equivalen dengan Rp21.763. 200.000 (dua puluh satu miliar tujuh ratus enam puluh tiga juta dua ratus ribu rupiah).
Sejumlah nama seperti Xiang Binge disebutkan sebagai Presiden Direktur PT IWIP. Sementara Sun Jiansen berposisi sebagai Direktur. Nama lainnya adalah Wu Huadi, Ye Changqing, serta Alim Hendra yang tercatat selaku Direktur PT IWIP.
Untuk Dewan Komisaris, Xiang Jinyu tercatat selaku Presiden Komisaris. Sementara Lin Jiqun, He Xiaozhen tercatat selaku komisaris PT IWIP.
Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Desember 2020 berjudul “Rangkaian Pasok Nikel Baterei Dari Indonesia dan Persoalan Ekologi” dalam tulisannya mengatakan penggunaan kendaraan listrik diyakini sebagai salah satu stratregi menekan emisi karbon yang menjadi pemicu krisis iklim. Juga polusi udara dan kebisingan trasnportasi.
Dalam penelitian AEER mencoba menggambarkan peta actor industri baterai berbasis nikel (nickel-based battery) di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Mulai dari pemegang saham perusahan pemilik smelter hingga ke mana produk berpotensial bergerak dalam rantai pasok global.
Potensi dampak lingkungan dari rencana pembuangan tailing ke laut dalam juga ditelisik dalam penelitian AEER pada tahun 2020 di Weda, Halmahera Tengah.
Dalam tulisan AEER berjudul “Rangkaian Pasok Nikel Baterei Dari Indonesia dan Persoalan Ekologi” laporan ini mengupas hulu hilir proyek kendaraan listrik dan dampaknya pada sejumlah Daerah antara lain, Morowali Sulawesi Tengah, Pulau Obi Halmahera Selatan dan Weda di Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.
Tiongkok menjadi pasar terbesar, kendaraan listrik diikuti oleh Eropa dan Amerika Serikat. Setengah penjualan kendaraan listrik global selama 2019 terjual ke Tiongkok dengan 1,06 juta unit, turun 2% dari tahun sebelumnya. Eropa di peringkat dua menjual 561.000unit disusul Amerika Serikat dengan 327.000 unit. Selama tahun 2019, 47% kendaraan listrik di seluruh dunia berada di Tiongkok, naik dari 45% di 2018. Jumlah kendaraan Listrik di Tiongkok pada 2019 tumbuh 46% dari tahun sebelumnya, menjadi 3,4 juta buah.
Sementara di Eropa, kendaraan listrik sebanyak 1,7 juta unit, 25% total kendaraan listrik global, dan di Amerika Serikat 1,5 juta unit (20%) di tahun yang sama.
Penggunaan kendaraan listrik melepaskan emisi yang lebih rendah dibanding kendaraan konvensional internal combustion engine yang memakai bahan bakar fosil. Selain itu, pemanfaatan energy kendaraan listrik lebih efisien 3-5 kali daripada kendaraan konvensional. Kendaraan listrik menghasilkan polusi udara amat rendah dan berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.
Produksi baterai kendaraan listrik pun diperkirakan akan meningkat. Kebutuhan baterai litium-ion (li-ion) terus tumbuh dari basis produksi 19 Gigawatt hours (GWh) dengan kapasitas produksi 30 GWh pada 2010 menjadi 60GWh dengan kapasitas produksi 285 GWh pada 2019.6
Baterai li-ion terdiri dari beberapa jenis seperti LTO (lithium tithanate), LFP (lithium phosphate), LMO (Lithium Manganesse), NMC (lithium nickel mangan cobalt), LCO (lithium cobalt oxide), atau NCA (lithium nickel alumunium oxide).
Baterai li-ion jenis NMC yang mengandung nikel saat ini paling banyak digunakan kendaraan listrik dengan pertimbangan keamanan, daya simpan energi, dan harga.
Hingga tahun 2023, perusahaan-perusahaan terkemuka dunia telah mengumumkan pembangunan fasilitas pabrik baterai dengan kapasitas 252,45 GWh, tersebar di Tiongkok, USA, dan Uni Eropa. BloombergNEF memperkirakan total kapasitas produksi baterai li-ion secara global akan mencapai 1121 GWh pada 2025.
Muhammad Rushdi, peneliti AEER kepada Mongabay Indonesia mengatakan, di tahun 2019 permintaan nikel global masih didominasi oleh industri stainless Steel sebesar 74% sementara Kebutuhan baterai hanya 5-8%. Walaupun begitu, kebutuhan nikel untuk baterai diprediksi terus meningkat Seiring dengan penggunaan kendaraan listrik yang makin tinggi.
Konsultan Wood Mackenzie, dari cacatan AEER menurut Rushdi, mencatat konsumsi nikel baterai di 2019 sebesar 162 kiloton. Konsumsi ini diperkirakan meningkat ke 265 kiloton di tahun 2025. IEA memprediksi permintaan tahunan nikel kelas 1 di tahun 2030 mencapai 925 kiloton pertahun berdasarkan stated policies scenario dan 1.900 kiloton pertahun berdasarkan sustainable development scenario.
Stainless steel mampu memanfaatkan kombinasi nikel kelas 1 (>99% Ni) dan kelas 2, tetapi kebutuhan baterai hanya bisa dipenuhi oleh nikel kelas 1 yang memiliki kemurnian tinggi. Hanya 46% total produksi global yang merupakan nikel kelas 1 dengan 70% berasal dari nikel sulfida. Sisanya dihasilkan menggunakan bijih nikel laterit.
Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, yakni 23,7% dari total cadangan dunia.18 Tiga daerah dengan kandungan nikel terbesar terdistribusi di Sulawesi Tenggara (32%), Maluku Utara (27%), dan Sulawesi Tengah (26%).
Implikasi dari pengesahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba adalah diizinkannya kegiatan penambangan nikel melalui izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah lantas menerbitkan ratusan
IUP nikel di seluruh Indonesia sehingga memicu peningkatan produksi dan ekspor bijih nikel, terutama ke Tiongkok. Puncaknya terjadi di tahun 2013 dengan ekspor bijih nikel Indonesia yang mencapai 64,8 juta ton
Dengan nilai USD 1,6 milyar. Di tahun yang sama, Indonesia menjadi pemasok utama bijih nikel ke Tiongkok (50%).
Pemerintah Indonesia menerbitkan larangan ekspor nikel kadar rendah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019
Kebijakan ini mempertimbangkan pertambahan nilai nikel melalui proses pengolahan di dalam negeri serta pesatnya pembangunan smelter beberapa tahun terakhir sehingga memerlukan pasokan nikel yang cukup.
Pada Agustus 2019 Presiden Jokowi juga meneken Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Aturan ini ditujukan untuk memicu pertumbuhan industry kendaraan listrik di Indonesia, terutama berbasis baterai berbahan baku nikel.
Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia dan Tiongkok membangun kesepakatan mendirikan Kawasan industri berbasis nikel di Morowali bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Di kawasan ini, hilirisasi industri nikel dilaksanakan untuk menghasilkan berbagai jenis produk seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), stainless steel, dan ke depannya nikel komponen baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik.
Ada tiga perusahaan yang mengontrol PT IMIP. Berikut nama-nama perusahan tersebut beserta jumlah saham yang dimiliki Shanghai Decent Investment Group (49,7% saham), PT Sulawesi Mining Investment (PT SMI, 25% saham), dan PT Bintang delapan Investama (25,3% saham). Shanghai Decent adalah anak perusahaan dari raksasa stainless steel asal Tiongkok, Tsingshan Group.
Sementara saham PT SMI dikuasai Shanghai Decent (46,55%), PT Bintangdelapan Investama (25,65%), dan sisanya oleh Reed International Ltd., dan Fujian Decent Industrial Co., Ltd. Struktur kepemilikan saham ini menggambarkan Kekuasaan Tsingshan atas IMIP. Pada tahun 2019, dua perusahaan komponen baterai berbasis nikel ini memulai tahap konstruksi di IMIP.
Konstruksi dan pengembangan kawasan IMIP menerima pinjaman dari beberapa bank terutama bank asal Tiongkok, seperti China Development Bank (CDB), Export Import Bank of China, dan Bank of China. Selain itu, HSBC, bank asal Inggris, juga turut mengucurkan dana pada proyek ini.
Industri nikel juga berkembang di Pulau Obi dan Weda di Provinsi, Maluku Utara. Harita Group mengantongi izin pertambangan seluas 5.524 ha melalui dua perusahaan, PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Saat ini, Harita sedang membangun pabrik komponen baterai berbasis nikel bekerja sama dengan perusahaan asal Tiongkok, yakni Zhejiang Lygend Investment Co. Sejak tahun 2018, Harita telah mengoperasikan smelter feronikel bersama perusahaan Tiongkok lainnya, Xinxing Ductile Iron Pipes Co.
Selain itu, konstruksi kawasan industri serupa IMIP yaitu Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang berlokasi di Weda, Halmahera Tengah, masih berjalan. Proyek ini direncanakan menjadi kawasan industri yang akan mengerjakan proses smelting mineral dan memproduksi komponen baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik secara terintegrasi. IWIP menjadi 1 dari 8 kawasan industri prioritas nasional dalam Rancangan RPJMN 2020-2024. Proyek ini memulai proses konstruksi pada tahun 2018.
Pengembangan IWIP dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama fokus pada pengembangan produksi feronikel melalui smelter pirometalurgi dengan total investasi USD 2,5 miliar; tahap kedua difokuskan pada pengembangan produksi nikel dan kobalt dalam bentuk hidroksida melalui smelter hidrometalurgi dengan total investasi USD 1,5 miliar tahap ketiga pada pengembangan baterai mobil listrik dengan total investasi USD 5 miliar.
Struktur pembiayaan tahap satu berasal dari 35% pendanaan internal dan 65% dari pinjaman bank dengan durasi pengembalian 10 tahun.
Seperti IMIP, kata peneliti AEER ini, IWIP juga merupakan hasil kerja sama investasi tiga perusahaan asal Tiongkok: Tsingshan Group, Huayou Group, dan Zhenshi Group. Tsingshan lagi-lagi menjadi pemain utama dengan kepemilikan saham mayoritas (40%) melalui anak perusahaannya, Perlux Technology Co. Ltd .28 Sementara itu, Zhenshi dan Huayou menguasai kepemilikan saham masing-masing 30 persen.
Berdasarkan data yang diperoleh dari AEER, per Oktober 2020, dua smelter yang menghasilkan feronikel telah beroperasi di IWIP. Masing-masing pabrik dimiliki PT. Weda Bay Nickel, yang merupakan usaha patungan Eramet (Prancis) dan Tsingshan, dan PT Yashi Indonesia Investment yang dimiliki Tsingshan dan Zhenshi di antara pemegang saham perusahaan pabrik komponen baterai berbasis nikel di Morowali, Obi, dan Weda terdapat perusahaan pemasok baterai global. Hal ini dipahami sebagai usaha untuk memenuhi permintaan baterai kendaraan listrik yang terus bertambah seiring meningkatnya penggunaan kendaraan listrik.
Potensi kandungan nikel di tiga daerah tersebut serta kehadiran infrastruktur industri pengolahan komponen baterai dapat memangkas ongkos produksi baterai secara signifikan. Salah satunya adalah ongkos transportasi bijih nikel dari lokasi eksploitasi menuju lokasi peleburan yang murah.
Deposit nikel di Indonesia berjenis laterit dengan kadar nikel yang lebih rendah dibanding nikel sulfida. Cadangan nikel dunia saat ini terdiri dari 60% nikel laterit dan 40% nikel sulfida.
Nikel laterit biasa ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia dan Filipina sedangkan nikel sulfida banyak ditemukan di Afrika Selatan, Rusia, dan Kanada.Baterai berbasis nikel membutuhkan kemurnian tinggi sehingga pengolahan nikel laterit lebih sulit daripada sulfida. Proses peleburan (smelting) dan pemurnian (refining) membutuhkan energi yang lebih banyak serta teknologi yang lebih mahal.
Salah satu metode peleburan nikel laterit adalah proses hidrometalurgi, high pressure acid leaching (HPAL), yang dipilih banyak produsen nikel baterai di Indonesia saat ini. Dua pabrik komponen baterai nikel mulai dibangun pada tahun 2019 di IMIP.
Perusahaan PT QMB New Energy Materials (QMB) yang memulai konstruksi pabrik HPAL pertama pada Januari 2019 diperkirakan mulai memproduksi pada tahun 2021. QMB didirikan dengan modal dasar USD 998,57 juta. Produk yang akan dihasilkan adalah nikel dan kobalt setengah jadi dalam bentuk mixed hydroxide preciptate (MHP) dan produk hasil pemurnian: nikel sulfat, kobalt sulfat, dan mangan sulfat.
Di Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, salah satu tenan yang berada di kawasan IWIP adalah produsen komponen nikel baterai, PT Youshan Nickel Indonesia (Youshan). Berbeda dengan proyek di Morowali dan Obi, Youshan memanfaatkan teknologi smelter pirometalurgi rotary kiln-electric furnace (RKEF). Youshan diperkirakan akan memiliki kapasitas produksi 43.600 Ton nickel matte pertahun, dengan nilai total investasi USD 406,79 juta.
Selain Youshan, perusahaan lain yang belum diketahui namanya akan membangun pabrik nikel baterai dengan teknologi hidrometalurgi HPAL. Youshan merupakan hasil patungan Huayou Group, Chengtun Mining Group, dan Tsingshan Group.
Syahril Tahir, Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara, kepada Mongabay Indonesia menyesalkan izin prinsip IUP yang kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Menurutnya, temuan di lapangan menunjukkan banyak masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan karena lahan mereka diserobot.
“Ini problem kita itu, di wilayah kita ini kan banyak tambang sementara izin prinsip dari pada sebuah pertambangan atau IUP itu ada di pemerintah pusat. Jadi semau-maunya pemerintah pusat keluarkan. Pada akhirnya kita berkonflik dengan masyarakat. Pada akhirnya masyarakat juga yang korban.”
Dia mengatakan pemerintah pusat selalu beralasan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan negara. Hal itu menjadi dalih pemerintah pusat mengeluarkan IUP tanpa mempertimbangkan hak ulayat masyarakat dan petani puluhan tahun memiliki atau mengelola lahan.
Seharusnya, kata Syahril, pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi sebelum mengeluarkan IUP. Jika tidak, masyarakat akan menjadi korbannya.
Menurutnya, data Kementerian ESDM hingga saat ini ada sekitar 114 IUP logam dan non logam di Maluku Utara. Namun yang beroperasi saat ini, katanya sebanyak 11 perusahaan. Sementara smelter termasuk kontrak karya yaitu Weda Bay Nickel dan Nusa Halmahera Mineral. Selebihnya itu menurutnya adalah izin produksi tapi belum membangun smelter.
“Jadi baru beroperasi itu ada 11 perusahaan”
DPRD Provinsi Maluku Utara, kata Syahril dalam melakukan pengawasan sangat terbatas. Menurutnya, kewenangannya DPRD Provinsi Maluku Utara hanya mengawasi beberapa bidang seperti lingkungan hidup, hak ulayat masyarakat adat, serta ketenagakerjaan. “Penugasan di bidang itu yang sekarang kita lakukan sekarang ini.”
Terkait pertambangan, dia mengakui sulit mencampuri karena IUP melekat pada pemerintah pusat. UU No. 3/2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara belum memiliki peraturan pemerintah (PP) yang mengatur secara teknis. Pendelegasian kewenangan ke pemerintah provinsi juga belum ada sampai hari ini.
“Memang di dalam pendelegasian UU itu mencantumkan pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi tapi belum ada peraturan pemerintahnya, jadi bagaimana pelaksanaan peraturan yang mengatur tentang teknis belum ada, bagaimana kita mau maksimal dalam melakukan pengawasan,” katanya.
Dalam UU, sudah ada pembagian royalti dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Namun yang dia sesalkan adalah keengganan perusahaan-perusahaan besar itu membayar pajak, salah satunya adalah pajak kendaraan bermotor.
“Sampai saat ini perusahaan saja enggan tidak mau menyerahkan data karena tidak mau membayar pajak kendaraan bermotor,” katanya.
Yang kedua, kata dia, adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya, beberapa perusahaan besar menggunakan BBM dari luar daerah yang berpotensi merugikan pendapatan daerah dari pajak. “BBM-nya diambil dari luar Maluku Utara, ruginya kita di situ, padahal bisa jadi ratusan miliar rupiah BBM itu. Nah ini juga saat itu menjadi temuan KPK.”
Saat UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Barat masih berlaku dan kewenangan masih ada di provinsi, DPRD juga kesulitan melakukan pengawasan. Apalagi kini dengan kehadiran UU No. 3/2020 di mana semua kewenangan yang diambil alih oleh pusat. “Jadi kita nikmati saja kehancuran lingkungan daerah dengan UU No. 3/2020 yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pada akhirnya masyarakat dituntut taat kepada apa yang menjadi keputusan pemerintah pusat,” sesalnya.
Reporter: Christ Belseran
- Hasil Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial.
Discussion about this post