HUJAN lebat disertai angin kencang melanda Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, medio Januari 2024. Samadin Samalehu, terlihat mondar-mandir di bibir pantai Desa Haya. Ia tampak menenteng karung plastik. Karung ini berisi tulang belulang manusia. Wajah Samadin berkeringat bercampur pakaian yang dikenakan basah air laut. Ia harus berebutan cepat untuk memungut tulang belulang karena terseret gelombang laut di bibir Pantai. Tulang-tulang ini berserakan setelah dihantam gelombang pasang.
Karung plastik yang ditenteng Samadin penuh. Dia sudah memungut tulang belulang ini sekitar satu jam dan terisi dua karung lebih. Tulang-tulang ini sebagian ia kumpul dibawah pohon mangga yang berada ditengah-tengah tempat pemakaman umum (TPU) Tutuni. Tulang belulang ini berserakan di sekitar pantai seperti tulang pada bagian kaki, tulang rusuk, hingga tengkorak kepala.
Sudah puluhan makam yang rusak setelah diterjang gelombang ekstrim. Sebagian makam juga hilang karena tanahnya tergerus dan abrasi.
Samadin sesekali bertugas sebagai penjaga makam Tutuni Desa Haya.
Makam-makam yang berada di pantai ini, katanya, banyak yang rusak dan hilang. Kondisi ini terjadi karena gelombang ektrim menerjang pesisir pantai Desa mereka. Abrasi yang terjadi di sepanjang pantai desa haya ini menyebabkan dataran yang menjulang sejauh 20 meteran ini hilang termasuk tempat pemakaman umum.
“Ini mungkin sekitar 20-an kuburan rusak, sebagian juga hilang. Banyak makam juga katong sudah kase pindah karena sudah ombak dan abarasi. Ini terjadi sejak perusahaan PT Waragonda mengambil pasir, jadi sebelumnya akang seng seperti begini,” kata Samadin.
Sejak beroperasi 2021, katanya banyak warga yang berebutan mengeruk pasir merah untuk dijual ke perusahaan garnet ini. Alasannya, untuk penuhi kebutuhan ekonomi, padahal berdampak buruk bagi masyarakat di Desa Haya.
“Dua tahun yang lalu itu akang biasa saja, tetapi ketika perusahaan angkat pasir maka terjadi abrasi besar-besaran di Negeri Haya dan terjadi seperti ini, dan Sebagian besar makam di sini habis dan rusak terkikis gelombang laut,”
Samadin sudah banyak kumpulkan tulang belulang selama sepekan terakhir ini. Jumlahnya sudah dua karung plastik. “Yang kita ambil itu sudah dua karung dan kita kubur,” katanya.
Untuk mencegah banyak kuburan yang rusak karena dihantam gelombang ekstrim, warga setempat kata Samadin bergotong-royong untuk membuat talud pembatas dari bahan seadanya.
Sebenarnya kata Samadin, warga sudah protes kepada Pemerintah Desa maupun Perusahaan. Namun protes mereka selalu diabaikan. Mereka juga beberapa kali telah menyampaikan masalah ini ke Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Provinsi Maluku namun tak ada tindak lanjut.
“Disini itu warga rata-rata protes, mereka tidak suka dengan perusahaan garnet ini, karena abrasi terlalu cepat di Negeri ini,” imbuhnya.
Samadin dan warga desa Haya mengkhawatirkan pengerukan pasir garnet ini terus dilakukan maka Desa mereka terancam hilang dan tenggelam.
Saat ini saja menurut Samadin, pengerukan pasir garnet mengakibatkan terjadi abrasi sekitar 20-meter hingga TPU, dan rumah warga, termasuk kebun milik warga tergerus.
“Selain makam tanaman umur panjang seperti kelapa dan cengkeh juga ikut tumbang karena abrasi yang terjadi di sepanjang pantai,” katanya.
Farid Samalehu, tokoh Negeri Haya, menjelaskan Negeri Haya pernah dilanda banjir pasang laut (rob) hingga merendam rumah-rumah warga. Dia khawatir aktifitas pertambangan pasir merah yang sangat massif oleh pihak perusahaan makin memperburuk keadaan.
“Masyarakat sangat resah karena aktivitas tambang pasir garnet ini mengakibatkan terjadi abrasi besar-besaran sehingga saat ini permukiman mereka terancam,” kata Farid.
Farid sendiri pernah bertugas sebagai Penjabat Kepala Negeri (Desa) sejak mei 2022. Sebagai penjabat pemerintah desa saat itu Farid banyak tidak sejalan dengan perusahaan. Sejak masuk dan operasi pada januari 2021, perusahaan tambang garnet ini banyak melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan dan undang-undang.
“Setelah saya dilantik bulan mei 2022 saya menata ulang. Memang setelah Perusahaan ini bergerak, saya lihat belum ada kerja sama dengan pemerintah negeri dengan baik dan setelah saya dilantik saya tata ulang dan panggil perusahaan untuk menata kembali karena telah terjadi kerusakan abrasi besar-besaran di Pantai,” kata mantan PJ Kepala Desa Haya ini.
Keberadaan perusahaan pasir garnet di Negeri Haya katanya, berawal dengan modus usaha perkebunan kasbi (singkong) di lahan milik warga yang mereka beli. Usaha itu tak berjalan lama, mereka mengeruk pasir. Tempat yang sebelumnya ditanami singkong dipagari untuk menutupi aktivitas mereka.
“Mungkin beta ceritakan sedikit terkait dengan PT Waragonda ini yang pertama perusahaan ini masuk ke Desa. PT Waragonda itu modusnya adalah pembuatan kebun yang lahannya dibeli dari Masyarakat. Dan yang pertama tanaman yang ditanam adalah kasbi (singkong) mereka lalu membuat pagar,” katanya.
Dalam perjalanan karena sasarannya adalah pasir garnet, perusahaan lalu mengeruk pasir di pesisir pantai. “Setelah ketahuan masyarakat baru tahu bahwa ini adalah tambang pasir garnet”
Dia bilang, setelah ketahuan, barulah perusahaan meminta warga mengeruk pasir merah tersebut dari pantai. Namun saat itu warga masih belum mneyadari dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang pasir garnet.
“Mereka mejelaskan kegunaannya untuk kertas amplas,” imbuhnya.
Saat masih menjabat sebagai penjabat KPN Desa, tambang pasir garnet ini beberapa kali pernah ditutup langsung oleh Pemda Kabupaten Maluku Tengah. Kala itu, Wakil Bupati Marlatu Leleury langsung memimpin rombongan OPD ke Perusahaan dan menutup aktivitas perusahaan karena dianggap illegal dan tidak ada izin beroperasi.
“Mereka sempat tutup selama tiga bulan, namun perusahaan kembali dibuka dan menjalankan operasi produksinya. Masyarakat sempat resah. Kemudian Komisi I dan II DPRD Maluku Tengah mendatangi perusahaan dan memerintahkan ditutup karena illegal”
Modus berikutnya kata Farid adalah pembohongan publik oleh perusahaan, dimana manajemen perusahaan mengaku telah membuat nota kerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Haya padahal, menurutnya kala itu di desa Haya sendiri belum membentuk Bumdes. Mereka kata Farid juga berjanji angkut pasir sebatas 10 cm dari permukaan tanah, kenyataannya lebih dari 1-2 meter.
Kemudian, saat menjabat KPN, Farid mulai menata berbagai aturan mulai dari izin dari Saniri Negeri (Lembaga adat Desa) yang punya hak ulayat, menata izin lingkungan, yakni perusahaan harus datangkan tenaga ahli dampak lingkungan karena sepanjang pantai mereka rusak.
“Sampai saat ini perusahaan tidak pernah menjalankan satu pun persyararatan yang diajukan pihak Desa, dan pihak perusahaan bersikeras terus melakukan aktivitas tambang pasir. Namun, pemerintah maupun masyarakat Negeri Haya terus menolak keberadaan PT Waragonda Mineral Pratama di Negeri Haya,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (KLH) Provinsi Maluku Roy Syauta turun langsung ke Desa Haya, Kecamatan Tehoru. Di sana kata Roy menemukan sejumlah dampak seperti banjir rob dan abrasi.
“Beta pernah pimpin tim ke sana. Setelah katong (kita) ke sana, bahwa apa yan disampaikan kepada masyarakat itu berbeda. Misalnya ada tanah-tanah atau kuburan sudah terjadi sebelum perusahan masuk ke sana dan perusahan ini belum mengambil pasir di pesisir, mereka hanya membeli dari masyarakat yang mengambil di lahan lahan mereka,” katanya.
Roy pun menampik dampak kehadiran dari perusahaan. Menurutnya, pengerukan pasir oleh masyarakat telah dilakukan jauh sebelum perusahaan melakukan aktivitas tambang pasir garnet. Pasir-pasir itu kata Roy digunakan masyarakat untuk kegiatan dari perusahan lainnya, misalnya pembangunan jalan, jembatan.
“Jadi kalau katong liat kondisi yang sudah ada, maka itu terjadi sebelum perusahan pasir garnet ini berkatifitas. Karena perusahan belum menggali skop, dari lokasi, mereka baru membeli dari masyarakat, dan masyarakat yang membawa, jadi ada manfaat di situ yang dirasakan masyarakat, yang punya lahan dan pemilik roda empat,” katanya.
Dari keterangan yang disampaikan Penjabat Kepala Desa saat itu kata Roy, memang pernah ada demo dari masyarakat, tujuan bukan menutup perusahaan tapi meminta perhatian.
Roy bahkan bilang, pengerukan pasir berdampak positif kepada masyarakat Desa Haya karena selain menambah pendapatan desa, juga warga.
“Kebijakan-kebijakan selama ini perusahan telah memberikan dampak positif, dari penjualan pasir milik masyarakat, ada sekian persen yang mereka (perusahan) bayar ke Pemerintah Negeri), kemarin, kalau tidak salah 100 juta,” imbuhnya.
Yusuf Sangadji, Pegiat Lingkungan Karang Nusantara Maluku, menyesalkan aktivitas tambang pasir garnet di pesisir Desa Haya. Menurutnya, pengambilan pasir akan berdampak pada abrasi dan terumbu karang, lamun dan mangrove. Jika terus dilakukan akan berdampak pada pesisir sampai ekosistem laut.
“Adanya sedimen dari sisa-sisa pengerukan akan juga berdampak. Dalam kaitan dengan krisis iklim dengan naiknya permukaan air laut akan menciptakan abrasi dan daratan akan berkurang,” kata Sangadji.
Sangadji bilang, kerusakaan ekosistem ini juga akan berdampak pada konflik sosial.
Sangadji bilang, aktifitas perusahaan di desa Haya akan merugikan masyarakat, sebaliknya akan menguntungkan perusahaan.
“Sejak tahun 2015 abrasi pantai terjadi secara masif, seperti di daerah SBB, Maluku Tengah (pulau Ambon Lease, Pulau Pombo) dan lain lain,” bebernya.
Pengaruhi Hasil Perikanan?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tengah (2023), Kabupaten Maluku Tengah Dalam Angka 2023 (BPS Kabupaten Maluku Tengah), Desa Haya terletak di bagian selatan Pulau Seram, Provinsi Maluku yang berada pada elevasi 3 – 675 m di atas permukaan laut. Desa Haya merupakan salah satu Desa terluas di bawah Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah dengan luasan 214, 89 Kilometer bujursangkar. Berada dekat dengan laut membuat Desa dengan jumlah penduduk 6.442 jiwa ini sebagian berprofesi sebagai petani kebun. Desa Haya dari banyaknya jumlah penduduk merupakan terbesar kedua setelah Desa Tehoru yang menjadi pusat ibukota Kecamatan.
Kebanyakan hasil tanaman pangan yang diproduksi oleh para petani Desa Haya adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, sedangkan tanaman perkebunan adalah kelapa, cengkeh, pala, kakao. Selain petani kebun, penduduk Desa haya juga sebagian berprofesi sebagai nelayan ikan.
Demikian juga Rahman Ode, warga yang sudah puluhan tahun menekuni profesi sebagai nelayan. Nelayan Haya ini mulai merasakan dampak. Dia bilang hanya melaut di sekitar perairan Desa Haya saja, karena ikan mulai sulit ditemukan. Faktor cuaca juga terus berubah. Belum lagi katanya, daerah tangkapan yang jauh sehingga Ia terpaksa harus mengeluarkan ongkos bahan bakar minyak yang tak sedikit. Biasanya daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang terjauh adalah perairan pulau Banda.
“Ikan susah ditemukan di sini, baru cuaca ini kan selalu berubah, jadi katong stenga mati kalau melaut, apalagi kalau ombak tinggi,” katanya.
Cuaca laut yang terus berubah membuat Rahman dan nelayan lainnya tak jarang melaut. Kondisi ini mempengaruhi kondisi perekonomian mereka. Dulunya katanya, ikan di sekitar perairan Desa Haya sangat banyak, namun saat ini sangat sulit ditemukan.
Rahman sebut, selain ikan momar dan komu (tongkol), para nelayan juga biasanya berburu ikan tuna, cakalang, dan ikan demersal dan ikan pelagis kecil besar maupun kecil.
Namun Dia tidak tahu pasti penyebab ikan sulit di perairan Desa Haya. Usaha mencari ikan katanya pun tidak seperti dulu, hasilnya berkurang drastis. Bahkan nelayan harus melaut lebih jauh.
Rahman memiliki satu rompong (rumpon) alat penangap ikan tradisional dari bambu. Dia menerangkan dulu ikan tuna bisa ditangkap disekitar rompong namun untuk saat ini sudah sulit.
Nelayan rumpon ini menerangkan awalnya hasilnya per-musim mencapai 20 ton, namun saat ini hanya kisaran 3-5-ton. Kondisi ini mempengaruhi pendapatan mereka, belum lagi akhir-akhir ini mereka tak bisa melaut karena cuaca buruk.
“Hal ini pun berdampak pada harga jual. Ikan makin mahal harganya,” katanya.
Rahman berharap dia dan para nelayan juga bisa mendapat bantuan subsidi BBM. Selama ini katanya harus merogoh koceh untuk membeli BBM sehingga mereka kesulitan jika ingin melaut. Meski demikian Ia menampik alasan pengerukan pasir merah menyebabkan para nelayan sulit mendapatkan ikan.
“Beta juga tidak tahu apakah warga yang ambil pasir itu ikan bisa berkurang ka seng, harus ada penelitian dari dosen-dosen,” katanya.
Jika hasil tak maksimal, Rahman sesekali harus banting setir untuk berkebun, namun hasilnya tak seberapa jika dibandingkan dengan hasil melaut.
“Gara-gara abrasi juga sehingga berdampak juga ke tanaman umur panjang seperti anak pohon kelapa dan tanaman di kebun”
Dari data BPS, rata-rata sebagian besar armada yang dipakai warga di Desa Haya untuk melaut adalah jukung. Sisanya adalah armada perahu motor tempel katinting dan Yamaha. Dengan armada tradisional ini maka, daerah penangkapan nelayan hanya berada di sekitaran perairan Haya dan Tehoru.
Selain ikan, budidaya rumput laut hampir tak lagi ditemukan di perairan Desa Haya, padahal komuditas perikanan ini dulunya sangat primadona dan membantu perekonomian masayarakat.
Stany. R. Siahainenia, Dosen Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Universitas Pattimura Ambon mengatakan aktivitas pertambangan pasir garnet sudah tentu berpergaruh pada ekosistem laut.
Dia bilang, secara spesifik pengaruh tambang harus dilakukan penelitian lebih mendalam dengan menganalisis soal air lautnya agar lebih jelas spesifikasi ilmiahnya.
“Di beberapa tempat katong datangi, dari informasi masyarakat setempat itu mereka mencari tuna itu semakin jauh itu karena perubahan iklim sehingga jalur tuna itu bermigrasi lebih menjauh dari garis pantai. Makanya kenapa nelayan itu biasanya angkat tuna-tuna kecil itu biasanya di rumpon otomatis itu ada kaitannya dengan tempat berlindung dan tempat cari makan.
Namun kata Dosen Perikanan Unpatti ini, untuk tuna diatas 70 Kg, biasanya kawanan ikan ini semakin menjauh, apalagi cara menangkap dengan ikut gaya lumba-lumba.
“Nelayan-nelayan yang ada di Maluku sudah jarang karena biasanya juga tertutup biaya operasional seperti minyak BBM dan sebagainya jadi mereka itu agak kesulitan mengejar Tuna dengan lumba-lumba,” katanya.
Stany menjelaskan, tambang pasir garnet mengacu pada operasi penambangan yang bertujuan untuk mengekstrak garnet yang biasanya digunakan dalam aplikasi industri seperti abrasive untuk sandblasting dan pemotongan waterjet, serta dalam beberapa produk konsumen seperti perhiasan. Proses penambangan garnet umumnya melibatkan penggalian atau dredging, diikuti oleh pemrosesan untuk memisahkan garnet dari material lainnya. Karena garnet merupakan mineral yang relatif berat, teknik pemisahan berbasis gravitasi seringkali efektif. Setelah diisolasi, garnet kemudian dibersihkan, disortir berdasarkan ukuran atau kualitas, dan akhirnya dipersiapkan untuk dijual sebagai produk abrasive atau bahan lainnya. Menjadi hal penting untuk mengelola operasi penambangan garnet dengan cara yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, untuk meminimalkan dampak lingkungan yang terjadi.
Dia bilang, area pesisir sering kali merupakan ekosistem yang sangat sensitif dan berharga. Aktivitas penambangan di area ini harus dilakukan dengan ketat mengikuti regulasi lingkungan untuk meminimalisir dampak negatif terhadap habitat lokal, kehidupan akuatik, dan kualitas air. Bagaimana mengendalikan erosi, mengelola aliran air limbah, dan memastikan bahwa kegiatan penambangan tidak mengganggu secara langsung habitat penting seperti terumbu karang atau padang lamun. Mengelola dampak ini memerlukan perencanaan dan mitigasi yang cermat untuk memastikan kelestarian lingkungan.
Kegiatan penambangan kata Stany sering kali menyebabkan peningkatan sedimen dan partikel lain dalam air, yang membuatnya keruh. Ini bisa mengganggu kemampuan ikan untuk melihat, mencari makan, dan berinteraksi dengan lingkungannya, serta mempengaruhi rantai makanan dalam hal ini kehidupan plankton dan organisme lain yang berada di dasar rantai makanan akan terganggu. Karena plankton merupakan makanan bagi banyak spesies ikan kecil, yang kemudian dimakan oleh ikan lebih besar , gangguan ini dapat mengurangi ketersediaan makanan bagi ikan besar seperti ikan tuna dan memaksa mereka mencari makanan di daerah lain. Namun semua ini perlu dikaji secara ilmiah untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan akibat penambangan pasir.
Stany menerangkan, ikan-ikan yang berada di daerah pesisir bisa terganggu dan tidak nyaman lagi, karena kondisi fisik lingkungan sudah berubah.
“Lingkungan perairannya jika rusak maka sudah pasti juga berpengaruh ke planktonnya, makanan dari ikan kecil karena ikan akan pasti memakan planktonnya”
Dia menjelaskan jika ekosistem rantai makanan di laut itu terputus, maka sudah tentu satu sistem dari konsumen itu punah dan tidak akan bertahan lama di tempat itu. Misalnya, Fitoplankton dalam rantai makanan berperan sebagai produsen sebab ia juga mempunyai kemampuan untuk membuat makanan sendiri melalui fotosintesis dengan bantuan sinar matahari. Selanjutnya fitoplankton akan dimakan oleh zooplankton sebagai konsumen I, selanjutnya zooplankton ini akan dimakan oleh ikan kecil sebagai konsumen II. Lalu Ikan kecil akan dimakan oleh ikan besar sebagai konsumen III. Selanjutnya ikan besar akan dimakan oleh ikan yang lebih besar seperti paus bergigi yang disebutkan sebagai konsumen IV, dan setelah paus mati akan kembali terurai lalu tumbuhlah menjadi fitoplankton dan berputar seterusnya menjadi satu eksistem rantai makanan.
Menurutnya apa yang terjadi di pesisir desa Haya bisa saja terjadi karena laut yang berada di sekitar perairan itu sudah rusak sehingga plankton tidak bisa hidup lagi di sana.
Dikatakan akibat dari putusnya ekosistem rantai makanan ini, menurut Stani, akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat karena biaya operasional yang semakin tinggi akibat daerah tangkapannya jauh.
“Saat turun di Desa Haya maka kami berencana saat itu untuk membantu masyarakat nelayan Desa Haya dengan mendirikan koperasi untuk membantu hasil perikanan mereka. Jadi kalau dong sudah bentuk koperasi maka dong akan mendapat bantuan misalnya es batu dari Dinas Perikanan, karena kendalanya adalah masalah es untuk mengawet ikan-ikan yang telah ditangkap,” kata kandidat doktoral Fakultas Perikanan Unpatti ini.
Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan Fakultas Perikanan pada akhir Mei 2022 lalu bertujuan mengidentifikasi dan mendapatkan solusi permasalahan yang dialami nelayan pancing ulur tuna (mitra) di Desa Haya.
Kegiatan pengabdian masyarakat difokuskan pada sosialisasi manajemen operasi penangkapan ikan, identifikasi permasalahan usaha perikanan pancing tuna, dan pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB). Desa Haya, Kecamatan Tehoru terletak di pesisir Selatan Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah.
Kemiskinan katanya, menjadi masalah kompleks dan sering terjadi di banyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Nelayan sangat menggantungkan penghasilan pada hasil tangkapan ikan namun, sangat rentan terhadap fluktuasi musiman, perubahan iklim, keterbatasan infrastruktur, akses modal, jaminan sosial dan persaingan harga. Faktor-faktor yang dihadapi nelayan ini menyebabkan kondisi ekonomi tidak stabil dan rentan terhadap kemiskinan. Kondisi ini juga dialami nelayan pancing ulur tuna di Desa Haya Kabupaten Maluku Tengah.
Sehingga bagi Stany, permasalahan nelayan yang teridentifikasi merupakan masalah yang umumnya terjadi di wilayah pesisir. Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB) menjadi salah satu solusi pendekatan komprehensif dalam mendorong nelayan lebih inovatif dan kolaboratif bersama pemerintah dan stakeholder lainnya dalam meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat nelayan di wilayah pesisir.
Sehingga kata dosen Perikanan Unpatti ini, berbicara tentang ikan tuna sebagai salah satu ikan ekonomis penting yang biasa di tangkap oleh nelayan lokal di Desa Haya. Keluhan nelayan karena jauhnya daerah penangkapan ikan tuna ternyata, kata Stany di pengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya perubahan iklim yang mempengaruhi pola suhu air laut, sehingga mengubah distribusi spesies ikan, termasuk tuna. Perubahan iklim juga mempengaruhi rantai makanan dan habitat ikan, seperti melemahnya arus laut yang mempengaruhi penyebaran plankton, makanan utama bagi banyak spesies yang lebih besar termasuk ikan tuna. Faktor lainnya adalah Polusi, termasuk pencemaran oleh plastik, bahan kimia, dan limbah industri, bisa mempengaruhi kesehatan ekosistem laut. Polutan tertentu dapat mengakumulasi dalam rantai makanan dan berdampak negatif pada ikan tuna, memaksa mereka untuk menjauh ke daerah yang lebih bersih.
Evans Reynold Alfons, Ketua DPD Himpunan Nelayan SeIuruh Indonesia (HNSI) Maluku, mengatakan lingkungan pesisir rusak akibat penambangan pasir garnet dapat berdampak serius pada kehidupan nelayan. Dampak abrasi juga dapat mengancam mata pencaharian nelayan.
Sebagai pemimpin organisasi yang mewakili kepentingan nelayan, dia hanya berperan penting untuk membantu mengadvokasi para nelayan. Selain itu juga penyaluran nelayan untuk mendapatkan subsidi juga menjadi tugas organisasi yang ia pimpin di Maluku. Hal ini baginya, tidak hanya akan membantu meringankan beban operasional nelayan tetapi juga menjadi bagian dari upaya lebih luas untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir yang terdampak.
“Keterlibatan dan dukungan dari HNSI Maluku bisa menjadi katalisator perubahan yang positif bagi nelayan Desa Haya dan sekitarnya,” katanya.
Untuk permintaan bantuan subsidi BBM oleh kelompok nelayan Desa Haya dan sekitarnya kepada DPC HNSI Maluku merupakan langkah yang sangat penting dan mendesak agar nelayan demi keberlanjutan ekonomi mereka nantinya.
Kata Perusahaan
Mongabay Indonesia mengirimkan surat resmi melalui pesan WhatSapp kepada Direksi PT Waragonda Mineral Pratama. Surat tersebut langsung mendapat respon dari Safran Ode, yang menduduki jabatan selaku Komisaris perusahaan. Safran jelas membantah berbagai masalah dituding perusahaanya. Menurutnya, Perusahaan PT Waragonda telah memenuhi standar aturan yang berlaku, baik Izin Usaha Pertambangan, Izin Analisis Dampak Lingkungan maupun Izin Tenaga Kerja dan Keimigrasian.
Kepada Mongabay saat ditemui di Jakarta, jumat (8/3/2024), Safran mengaku aktivitas produksi yang dijalankan telah sesuai dengan mekanisme aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Dijelaskan, PT Waragonda Waragonda Mineral adalah perusahaan yang bergerak dalam Industri Pertambangan Pasir Abrasive (Pasir Garnet), merupakan perusahaan legal dengan memiliki izin usaha pertambangan (IUP) Operasi Produksi sesuai Keputusan Gubernur Maluku Nomor: 01/IUP-OP/IV/2023 tanggal 10 april 2023, yang ditandatangi oleh Gubernur Maluku sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sesuai Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 2022 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi untuk Izin usaha pertambangan jenis pasir dan batuan.
Dengan memiliki legalitas usaha tersebut, kata Safran, itu berarti perusahaan PT Waragonda Mineral Pratama telah memenuhi seluruh persyaratan yang dibutuhkan dalam hal ini, termasuk izin AMDAL yang menjadi syarat mutlak untuk diterbitkannya izin IUP operasi produksi.
“Nah, daerah sini semua itu WP non-logam. Kalau dia WP non-logam tidak boleh ajukan IUP logam. Begitupun persyaratannya. Setelah disetujui kita punya wilayah itu seharusnya wilayah keluar, kualitasnya semua keluar. Dalam jangka waktu lima hari dan kita harus memberikan jaminan ke pemerintah. Kita bayar untuk keluar namanya WIUP. Setelah keluar WIUP, kita harus ajukan lagi namanya Izin Usaha Eksplorasi. Lampirannya adalah WIUP itu,” kata Safran merincikan proses penerbitan izin usahanya itu.
Menurutnya, dalam pengoperasian tambang pasir ini PT WMP juga melakukan pelaporan pekerjaan kepada Dinas ESDM Provinsi Maluku sebagai bentuk pertanggungjawaban atas rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang dipersyaratkan oleh negara dalam hal ini Dinas ESDM Provinsi dan juga adanya pengawasan pekerjaan oleh IT (Inspektur Tambang) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku.
“Setelah diterima kita menempatkan jaminan eksplorasi di mana apabila ada kerusakan lingkungan atau dampak yang lain maka jaminan ini akan disisihkan oleh pemerintah. Makanya jaminan WIUP berupa deposito atas nama pemerintah Cq nama WP. Jadi misalkan di Ambon depositonya atas nama Gubernur Maluku Cq Waragonda Pratama dan Waragonda lain”
Soal Abrasi yang terjadi di sepandan Pantai Desa Haya, menurut Safran, dalam rencana tata ruang Kabupaten Maluku Tengah, kawasan itu telah masuk sebagai kawasan bencana di Pulau Seram. Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi bencana, maka sudah barang tentu berpengaruh Kawasan laut dan daerah pesisir Pantai.
“Itu kan ada namanya rona awal. Rona awal disana kalau belum bisa buka tentang dampak bencana dari tahun 2000. Di dalam RTRW Maluku dari 2003 sampai 2035, Seram Selatan itu Daerah Bencana. Dan jika Abrasi itu bukan karena Perusahaan datang,” Katanya.
Sehingga dengan dampak bencana kata Safran, semestinya pembangunan permukiman dan fasilitas umum di Desa Haya harus sesuai dengan RTRW. Bahkan seharusnya pembangunan Kawasan pemukiman dan fasilitas umum yang berada di pesisir Pantai harus juga sesuai dengan Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku 2019-2024.
“Yang harus memperhatikan dan mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Maluku terutama menyangkut penetapan pola dan struktur tata ruang, serta penetapan kawasan strategis sebagai acuan dalam penetapan lokasi program dan kegiatan Pembangunan,” Katanya.
Kehadiran PT. Waragonda Minerals Pratama di Kabupaten Maluku Tengah yang saat ini kata Safran telah memasuki tahun keempat, sehingga mereka akan terus berupaya memberikan manfaat yang positif terhadap Pemerintah kabupaten Maluku Tengah khususnya kepada masyarakat daerah setempat dalam hal peningkatan nilai ekonomi dan juga sumber daya manusia daerah tersebut.
Dukungan dan peningkatan kerjasama dari pemerintah daerah dan juga masyarakat setempat sangat kami butuhkan untu keberlanjutan usaha kami di daearh tersebut. Dia bilang, Isu-isu terkait lingkungan, tenaga kerja asing, atau isu lain yang berkembang saat ini terkait kehadiran kami di daerah tersebut dapat di konfirmasi langsung kepada pihak atau instansi yang bertanggung jawab mengenai hal tersebut.
“Terkait isu lingkungan bisa di konfirmasi kepada Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Daerah Malutu Tengah. Begitu juga mengenai isu proses pekerjaan atau legalitas perusahaan dapat dikonfirmasikan kepada dinas ESDM Provinsi Maluku, untuk isu terkait hal tenaga kerja lokal ataupun asing dapat dikonfirmasikan kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Maluku Tengah atau pada Dirjen Imigrasi Provinsi Maluku,”
Sebagai akhir dari Penejelasan singkat ini, Safran juga tegaskan kehadiran PT. Waragonda Minerals Pratama di Kabupaten Maluku Tengah sebagai Perusahaan yang legalitasnya jelas dan memenuhi semua persyaratan yang di syaratkan oleh Pemerintah. Mereka kata dia berharap bisa berkontribusi untuk meningkatkan ekonomi dan sumber daya manusia di Kabupaten Maluku Tengah.
“Sampai saat ini kami pun tetap berkordinasi dengan instansi/lembaga pemerintah terkait yang mempunyai kewenangan tersebut dalam menjalankan aktifitas perusahan kami di daerah tersebut,” tutupnya.
Discussion about this post