Christ Belseran, Marta Dianti (Dobo, Kepulauan Aru)
SUASANA Lapangan Yos Sudarso di Kota Dobo, Kabupaten kepulauan Aru, Maluku, tampak padat dan ramai. Ratusan masyarakat kota Dobo terlihat tumpah ruah berkumpul, pada sabtu malam, 9 September 2023.
Mereka duduk berjejer dengan rapi sambil menatap ke arah panggung kecil berukuran sekitar 14×9 Meter yang berada di sudut lapangan.
Beberapa tikar di letakan pada sisi kiri kanan panggung yang terang disinari lampu dari berbagai sudut. Meja panjang ditutup dengan kain putih, berada di tengah panggung.
Diatas meja, ditumpuk beberapa piring putih dan diatasnya tergeletak beberapa sendok. Sejumlah hidangan tersaji di piring-piring putih yang ditutup dengan plastik bening.
Malam itu adalah pagelaran Pesta Syukuran Masyarakat Adat atas Pengakuan Pemerintah Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Ursia Urlima, Kabupaten Kepulauan Aru.
Pengakuan itu tertuang lewat Peraturan Daerah (Perda) nomor 20 tahun 2022.
Festival adat dalam bentuk Doa Syukur Secara Adat di Alun-alun Kota Dobo, berkolaborasi dengan Rumah Sastra Arafura dan Majelis Adat Aru. Target acaranya ini agar diketahui oleh pimpinan adat, anak muda dan publik luas.
Selain itu, tujuan kegiatan festival adat untuk konsolidasi komunitas adat pasca penerbitan Perda, perayaan dan doa syukur dengan terbitnya Perda, dan mendorong anak muda dan publik luas untuk mengetahui urgensi Perda guna melindungi masyarakat adat.
Acara syukuran ini digelar dalam bentuk doa secara adat dan penampilan seni budaya. Doa Adat dilakukan oleh tetua adat Ursia-Urlima Kep. Aru. Penampilan seni budaya dilakukan oleh anak-anak, pemuda Aru dan Rumah Sastra Arafura. Sekitar 12 komunitas anak muda dan perorangan menampilkan orasi, tarian, modern dance, baca dan musikalisasi puisi, musik dan pantomin.
Acara syukuran dihadiri tokoh-tokoh masyarakat adat dari berbagai desa yang tersebar di Kabupaten kepulauan Aru.
Mereka datang dari berbagai desa, hadir mengenakan baju adat, duduk bersila diatas tikar yang telah tersedia.
Di pojok panggung, duduk melingkar sekelompok pemuda memainkan alat musik gong dan tifa, mengiringi lantunan lagu-lagu adat yang dinyanyikan oleh peduang (penyanyi).
Tiga wanita paruh baya terlihat menari berlenggang lenggok di atas panggung mengikuti irama gong dan tifa sambil mengibaskan saputangan putih ditangan mereka.
Sesekali suara teriakan melengking keluar dari mulut para penari mengikuti lagu, membuat suasana terasa sakral.
Kegiatan bermain alat musik, bernyanyi sambil menari ini oleh masyarakat adat Aru disebut Tambaroro.
Acara tambaroro merupakan salah satu rangkaian ritual adat yang biasanya dilaksanakan sebelum acara puncak.
Melalui tambaroro, mereka dapat menyalurkan kegembiraan dan rasa syukur kepada Jirjir Duajir Tuhan Yang Maha Esa atas apa yang telah mereka peroleh, baik itu rejeki maupun kesehatan.
Setelah menyajikan beberapa nyanyian adat, acara diawali dengan doa oleh pendeta, dan doa secara adat disampaikan oleh Rosina Gealagoy, perempuan adat dari Desa Marfenfen.
Wanita paruh baya yang tampil malam itu mengenakan bulu burung cendrawasih di atas kepalanya, dikenal ikut aktif dalam menjaga lingkungan dan mendukung perjuangan pembentukan perda adat.
Mama Oca nama panggilan Rosina ini berharap, Perda Adat mampu untuk melindungi eksistensi masyarakat adat Aru, dan tidak ada lagi masyarakat adat yang harus menangis karena kehilangan hak ulayat dan tempat tinggalnya.
Ketua Pembina adat Ursia Urlima, Elly Darakay dalam sambutannya bersyukur, bahwa Perda Adat untuk melindungi Masyarakat Hukum Adat Aru telah terbentuk.
Pesta masyarakat adat ini sebagai bentuk kegembiraan dan syukur kepada Tuhan dan Leluhur, atas diterbitkannya Perda Adat, nomor 20 tahun 2022.
“Kita harus gembira, karena saat ini Pemerintah telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat Ursia Urlima di kabupaten kepulauan Aru. Ini merupakan satu langkah maju bagi masyarakat adat dalam mempertahankan dan melindungi hak dan eksistensinya,” kata Darakay.
Menurutnya, Perjuangan panjang yang melelahkan dari semua pihak bersama masyarakat adat Aru, termasuk Forest Watch Indonesia (FWI), Papua Study Center, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan lainnya, terbayarkan dengan disahkannya Perda adat oleh DPRD.
Pengakuan masyarakat hukum adat Ursia Urlima kata Darakay, juga merupakan langkah awal untuk memperjuangkan pengakuan dan penetapan sebagai negeri/desa adat.
Diakuinya, ada banyak upaya yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk memecah belah masyarakat adat. Tagal itu, seluruh masyarakat adat harus tetap bersatu, agar dapat mempertahankan hak ulayat
Usai mendengarkan sambutan, piring berisi nasi dan lauk sederhana diedarkan kepada para tetua adat dan beberapa tamu yang hadir untuk ikut merasakan kegembiraan dalam perayaan pesta adat. Makanan ini disantap secara bersama-sama sebagai bentuk syukuran.
Acara dilanjutkan dengan pementasan musik, lagu, tarian maupun puisi oleh Rumah Sastra Arafura.
Rumah Sastra Arafura selama ini ikut aktif mendukung dan melakukan kampaye menolak investasi yang merusak hutan dan mengancam keberadaan masyarakat adat.
Protes terhadap kebijakan pemerintah yang membiarkan hutan Aru dirusak, dilakukan melalui seni dan teater.
Malam itu, ratusan anak muda Aru, tampil meneriakan protes dan kegelisahan hatinya, atas kebijakan pemerintah yang masih tidak memihak kepada masyarakat adat.
Protes atas perampasan ruang hidup masyarakat adat yang masih terus terjadi, dan ekploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan, diteriakkan oleh Semy dan kawan-kawannya lewat irama yang menghentak.
Satu kata yang diteriakan malam itu adalah “Lawan”.
Semmy Musisi asal Aru ini mengatakan, lewat musik dan lagu, dirinya mengajak pemuda dan anak-anak Aru untuk tetap menjaga nyala api dan semangat perjuangan untuk menjaga tanah Aru, karena kedepan ancaman masih mengintai bumi cendrawasih.
“Kami tidak ingin nyanyian Cendrawasih di hutan Aru terhenti, karena itu adalah idebtitas dan jati diri kami,”tukasnya.
Perjuangan Penetapan Negeri Adat
Kabupaten kepulauan Aru adalah salah satu dari 11 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Maluku dengan ibukota Dobo.
Tahun 2021, penduduk kepulauan Aru berjumlah 102.920 jiwa, dengan kepadatan 15.91 jiwa/Km2.
Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 187 pulau, dan 89 pulau dihuni oleh masyarakat adat Aru, sedangkan 98 Pulau lainnya tak berpenghuni.
Lima pulau terbesar adalah Kola, Wokam, Kobror, Maekor dan Trangan.
Memiliki luas daratan 6.426 km2, Kabupaten Kepulauan Aru masuk dalam kategori Pulau Kecil yang harus bebas dari aktivitas pertambangan maupun investasi yang membutuhkan lahan luas.
Sejatinya, tidak boleh ada ijin yang dikeluarkan bagi investasi tertentu yang dapat mengancam kerusakan hutan di Kabupaten kepulauan Aru.
Namun kenyatannya, sejumlah investasi masih tetap lolos dan diberikan ruang untuk masuk ke Aru. Sebut saja, PT Menara Grup yang berinvestasi ke Aru dengan berkedok membuka perkebunan tebu. Momentum masuknya perusahan ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya gerakan save Aru, yang secara sporadis menggalang aksi penolakan terhadap kehadiran PT Menara Grup.
Setelah itu, kembali masuk investasi peternakan sapi skala besar, yang kemudian juga mendapat penolakan.
Gerakan Save Aru hingga kini masih eksis dan menghadang setiap investasi yang mengancam keberadaan masyarakat adat dan kerusakan hutan. Apalagi, Forest Watch mencatat, 96 persen hutan Aru dikuasai oleh negara.
Demikian juga Save Marfenfen yang terbentuk sebagai aksi solidaritas terhadap penguasaan ratusan hektar tanah milik masyarakat adat desa Marafenfen oleh TNI Angkatan Laut secara sepihak.
Merasa terancam, Masyarakat Adat Marafenfen telah mengajukan gugatan hukum ke pengadilan negeri setempat.
Dari berbagai persoalan yang datang silih berganti dan mengancam eksistensi masyarakat adat, telah lahir Perda Adat nomor 20 tahun 2022, tentang pengakuan masyarakat hukum adat Ursia dan Urlima yang diprakarsai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Perjuangan masyarakat adat Ursia-Urlima Kabupaten Kepulauan Aru, untuk mendapatkan keabsahan selaku masyarakat hukum adat dalam Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kepulauan Aru telah terwujud. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru, dalam SK-nya, menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2022 tentang Penguatan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia Urlima.
Dari hasil penelitian Pusat Study Center (PSC) menjelaskan, penerbitan Perda ini setelah mengikuti tahap pengusulan yang panjang mulai dari Legalitas Kesediaan & kesiapan Masyarakat Hukum Adat (Surat Permohonan, Surat Tugas, Surat Kuasa, dll, Peta Wilayah adat (Peta Batas, Tutupan Lahan dan Peta Tata Ruang Kawasan Adat, Profil Komunitas Informasi kewilayahan, Sejarah, Hukum Adat, Kelembagaan Adat, Kearifan Lokal, Keanekaragaman Hayati, serta Berita Acara Tata Batas Wilayah Adat.
Implementasi Perda pengakuan masyarakat adat membutuhkan proses panjang. Baik di level birokratis maupun di level komunitas. Di level birokratis, implementasi Perda menunggu keluarnya Peraturan Bupati, Pembentukan Tim Pelaksana Perda, dan anggaran besar. Di level komunitas, implementasi Perda memerlukan konsolidasi antar komunitas guna mempercepat pemetaan wilayah adat dan tata batas, baik pemetaan sosial maupun wilayah. Serta memerlukan adanya tim di tiap komunitas yang terhubung dengan tim pemetaan dari berbagai NGO pendamping yang bekerja di Kepulauan Aru.
Sebelumnya, DPRD Kepulauan Aru menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia-Urlima.
Persetujuan Ranperda tersebut disetujui dalam sidang Paripurna DPRD Kepulauan Aru, Jumat (26/11/2021) dalam penyampaian kata akhir fraksi di ruang sidang utama DPRD Aru yang dipimpin oleh Ketua Udin Belsigaway didampingi Wakil Ketua I DPRD Lanurdi Senen Djabumir, dan Wakil Ketua II DPRD Peny Silvana Loy.
Dari enam fraksi yang ada di DPRD Kepulauan Aru yakni fraksi Nasdem, Kebangkitan bangsa, PDIP, Gerindra, Fraksi Keadilan Sejahtera dan fraksi Demokrat Pembangunan Indonesia, semuanya menerima dan setujui Ranperda untuk selanjutkan ditetapkan sebagai Perda.
Bupati Kepulauan Aru, dr. Johan Gonga dalam sambutannya mengatakan bahwa Ranperda tersebut merupakan sebuah hal mendasar yang terus diupayakan selama ini.
Dikatakan, Amanat Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 15, dimana pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-Iuasnya, berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagai konsekuensi dari hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, maka kepada Pemerintah Daerah perlu melengkapinya dengan produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah.
“Saya berharap seluruh pandangan dan pendapat kita, hendaklah bermuara pada sebuah dampak keadilan sosial, kepada masyarakat hukum adat dan masyarakat adat yang secara terminologi masyarakat hukum adat lebih diarahkan pada indikator hukum sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan pranata-pranata hukum dan hak-hak yang dimiliki,” ucapnya.
Sedangkan terminologi “masyarakat adat” sambung Bupati, Iebih diarahkan pada indikator sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat adat tersebut.
Ely Darakay, Pembina adat Ursia Urlima bersyukur, bahwa Perda Adat untuk melindungi Masyarakat Hukum Adat Aru telah diterbitkan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Aru. Pernyataan ini disampaikan dalam Sosialisasi dan Pelatihan Penguatan Pemahaman Perda Adat dan Implementasinya, di aula Gedung Sita Dobo, Kabupaten Aru, Sabtu, (9/9/2023) lalu.
Kegiatan ini merupakan rangkaian acara syukuran pesta adat Masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru, atas lahirnya Perda Adat nomor 20 tahun 2022, tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Ursia Urlima.
Sosialisasi menghadirkan narasumber, Bupati Kabupaten Kepulauan Aru, Dr Johan Gonga, Ketua Harian Majelis Adat Aru, E.I Darakay, Direktur Papua Study Center, Eko Cahyono.
Para peserta terdiri dari seluruh Raja, Lurah, Camat se-Kabupaten Kepulauan Aru, Kadis Perikanan, Forkopimda, Pj Sekda, BUMN/BUMD, Organisasi Kepemudaan, Paguyuban dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Kepulauan Aru.
Ely Darakay mengatakan, Pasal 18b ayat (2), Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara, yang diatur dalam UU.
Meskipun demikian, perlu ada Perda Adat untuk memperkuat perlindungan terhadap masyarakat hukum adat Ursia dan Urlima yang tersebar pada 117 negeri adat.
“Terima kasih atas dukungan dari Bupati kabupaten Kepulauan Aru, Johan Gongga dan DPRD yang telah ikut bekerja keras, sehingga Perda nomor 20 tahun 2022 tentang pengakuan MHA Ursia Urlima telah terbentuk,” ungkapnya.
Ely Darakay mengatakan, Perda ini penting dan strategi bagi masyarakat hukum adat Aru, karena menjamin dan memastikan terlaksananya penghormatan oleh semua pihak, terhadap keberadaan masyarakat hukum adat Aru dan wilayah adatnya yang diakui secara hukum.
Namun diakui Ely Darakay, Perda Adat merupakan langkah awal untuk memperjuangkan pengakuan dan penetapan sebagai negeri adat. Ia juga berharap masyarakat adat dilibatkan dalam kebijakan pemerintah, disamping adanya keberpihakan dari sisi anggaran.
Ia bersyukur, ada Permendagri 52 tahun 2014, tentang Pedoman Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Mengacu pada aturan tersebut, perjuangan masih berlanjut untuk pembentukan dan penetapan negeri/desa adat serta wilayah adatnya.
Bupati Kepulauan Aru, Johan Gonga dalam sambutannya pada pembukaan Sosialisasi dan Pelatihan Penguatan Pemahaman Perda Adat dan Implementasinya mengatakan sosialisasi ini merupakan bagian dari Upaya pemerintah daerah dalam mendukung dan mengedukasi masyarakat terkait peraturan daerah yang memiliki dampak penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat Aru Ursia-Urlima.
Gonga mengatakan, sosialisasi ini merupakan wujud kolaborasi antara Pemerintah Daerah (Pemda) bersama majelis adat Ursia-Urlima. Majelis adat ini menurutnya adalah perwakilan hukum adat di Kepulauan Aru yang memiliki kepentingan langsung dengan peraturan daerah tersebut.
Bupati berharap, pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan peraturan daerah ini akan membantu masyarakat hukum adat Ursia-Urlima dalam memahami dan mengimplementasikan peraturan daerah tersebut.
Lanjutnya, Ia berharap dengan adanya Perda ini, dapat memberikan asas manfaat untuk memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat dalam kedudukannya yang sama dalam memberi kontribusi terhadap pembangunan daerah di Kabupaten Kepulauan Aru sehingga tidak lagi menimbulkan konflik dan pertentangan terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian hukum dalam melindungi dan memberikan keadilan kepada masyarakat adat dalam wujud pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat.
Eko Cahyono dalam materinya tentang Masyarakat adat dan tanah airnya mengemukakan berbagai persoalan yang sama, juga terjadi di daerah lainnya.
Eko mengatakan, masyarakat adat saat ini harus menghadapi pembangunan dan pertambangan. Wilayah dan eksistensinya akan terancam, sebagai dampak dari pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam secara besar-besaran.
Untuk itu, penetapan negeri adat harus segera dilakukan, untuk menyelamatkan ruang hidup dan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Diakuinya, sebagian besar persoalan masyarakat adat di Indonesia belum terselesaikan, karena belum ada pengakuan pemerintah atas keberadaan masyarakat adat.
“Perlu siapkan profil dan peta wilayah negeri adat, karena putusan MK 3/PUU-X/2021, bahwa hutan adat sudah dipisahkan dari hutan negara. Dengan demikian, harus ada perda untuk pengakuan hutan adat,” ucapnya.
Selain itu Kepulauan Aru menurutnya, saat ini “digempur” perebutan politik investasi. Eko merincikan ragam masalah utama antara lain: Ancaman berulang land rabbing perkebunan tebu PT Menara Group, Pengembangan wilayah TNI AL di wilayah adat, Politik Pemekaran wilayah Aru Perbatasan, Potensi ancaman: Industri Perternakan sapi, Ekspansi Illegal Logging di Hutan Aru, Perluasan industri kehutanan: Hutan Tanaman Industri (HTI), Ketiadaan pengakuan MHA dan Marjinalisasi Masyarakat adat dari ruang hidupnya, Politik adu domba: Antar adat dan rakyat Aru.
Pasca sidang gugatan di Pengadilan Dobo, kata dosen Sosiologi IPB University ini, saat ini perjuangan masyarakat adat marafenfen- kepualuan aru di jalur hukum dan batasanya memasuki babak baru.
“Pertama Konteks lahirnya niat menggugat di jalur hukum – Perjuangan Konstitusional; Kedua Rezim hukum minus kepekaan dimensi ‘antropologis’ (Indonesia Timur)’ dan Ketiga “Amuk Rakyat Aru”: Politik Simbolik dengan Sasi Adat,” kata Eko dalam paparannya.
Mantan Direktur Sajogyo Institut ini menjelaskan makna perda adat bagi masyarakat adat di Kepulauan Aru.
Pertama, Masyarakat Adat, telah “kembali sah” sebagai “Warga Negara” NKRI atas tanah airnya sendiri;
Kedua, Eksistensi, sistem nilai, pengetahuan dan seluruh ruang hidup masyarakat adat telah legal ada “pemiliknya”: bukan ruang kosong dan tanpa penghuni;
Ketiga, Negara berkewajiban memberikan hak dasarnya pada Masyarakat Adat sebagaimana warga negara lainnya di Indonesia: hak mendapat hidup yang layak, hak atas keberlanjutan alam, hak mendapat pekerjaan, hak berserikat dan berpendapat, hak perlindungan, hak keadilan antar generasi;
Keempat, Negara dilarang melakukan diskriminasi, kriminalisasi, kekerasan dan perampasan hak Masyarakat adat, sebab itu akan melanggar hukum sebagai negara PANCASILA berdasar UUD 1945;
Kelima, Implementasi PERDA ADAT akan menjadikan Pemerintah Daerah ARU sebagai Wakil Pemerintah di Daerah melaksanakan mandat konstitusinya untuk menegakkan sila ke 2 dan 5 dari Pancasila;
Keenam, Impelentasi PERDA Adat di ARU ini akan menjadi pintu gerbang kedaulatan MA dan inspirasi bagi wilayah lain untuk belajar dari ARU.
“Negara dibentuk untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan sebaliknya, mengabaikan dan meniadakan hak-hak dasarnya,” kata Cahyono menutup paparannya di hadapan Kades dan perwakilan masyarakat adat.
96 Persen Hutan Aru Milik Negara
Forest Watch Indonesia (FWI) dalam penelitiannya menyebutkan, 96 persen hutan di Kabupaten Kepulauan Aru, adalah milik negara. Itu beratti bahwa, sebagian besar hutan di Kabupaten Kepulauan Aru, adalah milik negara. Tersisa 4 persen yang bisa dikuasai oleh pemerintah daerah dan masyarakat adat setempat. Dengan demikian, sangat penting untuk pengusulan hutan adat.
Berdasarkan data yang dimiliki Forest Watch, Hutan Lindung di Kabupaten Aru seluas 8337,25 hektar, Suaka Margasatwa: 67243,38 hektar, Hutan Produksi :194355,95 hektar, Hutan Produksi Konversi: 511094,61 hektar dan area penggunaan lain: 31535,24 hektar, dengan total: 779031,20 hektar.
Itu berarti bahwa, peluang masuknya investor ke kabuapaten kepulauan Aru masih sangat besar, lewat ijin dari pemerintah pusat, sehingga sangat penting untuk pengusulan hutan adat.
Dampaknya juga akan dirasakan oleh pemerintah kabupaten adalah terhambatnya pembangunan, karena harus mengusulkan dulu ke pemerintah pusat melalui kementerian untuk memanfaatkan kawasan yang ada. Untuk itu, harus buat pengakuan hutan adat, agar bisa keluar dari hutan negara.
“Lewat pengusulan hutan adat, maka sebagian hutan di Kabupaten Aru, masih bisa diselamatkan dari pengrusakan, karena masyarakat adat adalah sang penjaga hutan yang sejati,” kata Azis Fardhani Jata, Peneliti FWI.
Peranan Pemuda Aru Sebagai Penjaga Tanah Adat
Masyarakat adat Kabupaten Kepulauan Aru di Maluku, memiliki rekam jejak panjang dalam menghalau invasi berbagai perusahan yang masuk silih berganti untuk mengincar kekayaannya.
Masyarakat adat Aru sadar, masuknya berbagai perusahan, dapat berdampak pada Pengrusakan lingkungan dan ancaman terhadap eksistensi dan ruang hidup masyarakat setempat. Perjuangan ini masih panjang, dan peran anak muda Aru sangat dibutuhkan dalam menjaga alam Jargaria kedepannya dari berbagai ancaman.
Memperkuat peran dan meningkatkan kapasitas pemuda Aru, Rumah Sastra Aru dan Gerakan #Save Aru menggelar kegiatan Workshop dengan tema “Peran Anak Muda Aru Menjaga Alam Jargaria, melalui seni dan budaya berbasis media sosial internet”.
Kegiatan ini telah berlangsung di Aula Gereja Bethel, Dobo, Kabupaten Aru, Kamis (7/9/2023).
Kegiatan ini menghadirkan pemateri Eko Cahyono dari Papua Study Center, yang menyajikan materi Peran Orang Muda dalam Menjaga Alam Aru, Christ Belseran dari Mongabay Indonesia menyampaikan Peran Jurnalisme Warga dalam Perlindungan Alam Aru, serta musisi raper Zein Panzer, mengajak pemuda Aru untuk memperkuat kampanye, seni dan perjuangan menjaga alam dalam media internet.
Sedangkan Pengelolaan media sosial untuk perjuangan Agraria dan lingkungan dipaparkan Ari Wibowo dan Dzatmiatisari dari Papua Study Center, serta Desain Karya Seni dan Kampanye untuk Aru, oleh Semmy Sirkey, Mika Ganobal dari Rumah Sastra Aru.
Eko Cahyono dalam paparannya mengatakan, Kabupaten Kepulauan Aru memiliki kekayaan Alam yang melimpah, baik hutan, hewan endemik yang eksotis, dan kandungan mineral didalam tanah.
Kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada Kabupaten Jargaria, sejatinya dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat adat sebagai sang pemilik, bukan membawa penderitaan dan bencana.
Masyarakat adat dan pemuda Aru harus mempersiapkan diri, karena kekayaan tersebut diincar oleh para korporasi. Eko Cahyono juga memaparkan sejumlah aksi perlawanan masyarakat adat Aru dalam menghadapi ancaman tersebut. Kedepan ancaman masih besar, sehingga butuh kekuatan pemuda untuk berdiri membentengi tanah adat.
Sementara itu Zein, mengatakan Orang Aru harus lebih keras kalau untuk melawan ketidakadilan.
“Melalui seni katong bisa suarakan lebih keras dan jauh pesan ketidakadilan yg terjadi di Aru,” pesan penyanyi hip-hop asal Kepulauan Kei Maluku ini.
Zein diketahui seorang Raper membawakan lagu hip-hop berbahasa daerah Maluku dan Indonesia. Salah satu lagu ciptaan yang menginspirasi dan popular di kalangan milenial dan Gen-Z adalah “Batu Api,dan Brengksek”. Lagu-lagu lainnya
“Dia (Zein-red) bisa menambah semangat anak muda Aru apalagi ZP sebagai salah satu publik figur yg selama ini melakukan protes sosial melalui seni dan ini merupakan sesuatu yang positif,” ucap Mika Ganobal, Koordinator SaveAru.
Discussion about this post