Oleh: Edison Waas & Christ Belseran, Pulau Buru
PULUHAN orang terbaring beralas tikar di tengah hutan. langit tiada berbintang. Gegap gempita berbalas suara jangkrik di tengah malam. Cahaya api obor menerangi tenda dibawah kolong langit. Angin malam mendera. Tubuh-tubuh mereka terbaring lemas beralas tikar, setelah seharian mendaki gunung mencari tempat tinggal yang aman.
Mereka adalah warga Desa Wapsalit, Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Puluhan warga ini merupakan korban akibat aktivitas proyek panas bumi PT Ormat Geothermal (Ormat). PT Omar Geothermal warga diduga merupakan salah satu perusahaan asing.
37 jiwa ini dirundung ketakutan setelah aktivitas eksplorasi panas bumi di Desa mereka.
Dua minggu sudah warga Desa Wapsalit ini menempati tenda-tenda di hutan Walikuhat, Desa Wapsalit, Kecamatan Lolonguba, Kabupaten Buru. Mereka mengungsi karena takut, dengan lokasi pengeboran panas bumi sangat dekat dengan pemukiman. Titik sumur pengeboran diperkiarakan 700 meter.
Jurnalis titastory.id berkesempatan meliput langsung kondisi mereka di lokasi pengugsian. Kondisi mereka miris. Orang tua, bahkan umur rentah, pemuda, anak dan balita terpaksa mendiami tenda-tenda beralas tikar.
Lokasi pengungsian ini berjarak 10 Km dan hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki. Saya ditemani beberapa warga menuju lokasi ini harus melintasi hutan semak belukar, rumpun bambu, menyeberangi sungai yang dalamnya mencapai paha orang dewasa.
Sesampai di tenda, warga terlihat curiga dan was-was. Mereka nampaknya menjaga jarak. Sebenarnya, mereka khawatir ditipu oleh orang asing. Namun suasana menjadi cair setelah saya memperkenalkan diri. Disitu, senda gurau mulai terlihat. Selintas raut wajah tersenyum dan membinar.
Kebanyakan mereka yang mengungsi memiliki ikatan darah, dan punya hubungan kekerabatan satu dan lainnya.
Saya kemudian diajak ngobrol oleh para warga ini. Malam semakin larut, namun api unggun mulai membesar, menyinari gelapnya malam. Mereka mulai berani bertutur dan curahkan isi hati. Ada bisikan suara dari warga dari pojok warga soal untuk memperjuangkan tanah adat milik mereka yang dimasuki tanpa izin. Saya mulai mendengar cerita mereka sambil menyeruput kopi.
Lukas Wael, satu dari pengungsi ini bercerita keberadaan mereka di hutan karena terusik dengan aktifitas pengeboran PT Ormat Geothermal.
Eksplorasi awal perusahaan saja katanya, sudah mengusik sendi-sendi kehidupan sosial di Kawasan Desa Wapsalit dan sekitarnya.
“Pertama masyarakat awam tidak tahu proses pengeboran dan segala resiko karena tidak pernah disosialisasikan. Sehingga masyarakat sekitar dibiarkan hidup dalam ketakutan,” katanya.
Mereka, kata Lukas, ingin PT Ormat meninggalkan lokasi pengeboran karena merupakan kawasan sakral adat. Lokasi sakral ini merupakan kepercayaan masyarakat adat Soar Pito Soar Pa atau 7 Soa. Empat Soa diantaranya berada di kawasan Dataran Tinggi Petuanan Kayeli yang disebut Titar Pito, dan Air Keramat Waemkedan atau Air Tertua.
PT Ormat, tegasnya, harus angkat kaki dari tanah Titar Pito, karena merupakan lokasi sakral leluhur mereka. “Itu tempat sakral, bukan tempat biasa, dan ditempat itu adalah identitas dan culture masyarakat Buru dataran tinggi.
Di tahun 2022, perusahaan panas bumi melakukan aktivitas. Penggusuran pun dilakukan tahap melakukan sosialisasi. Tak hanya itu dampak dari penggusuran jalan untuk akses jalan kendaraan proyek menyebabkan polusi karena debu.
Tak hanya itu, akses mereka untuk melakukan aktifitas berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka pun dibatasi. Beberapa titik lokasi ada pos penjagaan. Padahal sebelumnya, mereka bebas untuk melakukan aktifitas, namun saat ini berbeda.
Di bagian pintu utama, katanya, sejumlah aparat TNI-POLRI melakukan penjagaan, dibantu sejumlah pemuda yang mengenakan seragam security. Padahal di sana juga merupakan akses jalan mereka menuju kebun.
Lice Tasane, perempuan Desa Wapsalit menceritakan kondisi mereka pasca perusahaan masuk. Ia bilang kondisi mereka memburuk dari biasanya, setelah aktifitas proyek panas bumi masuk di Desa mereka. Itu katanya turut mempengaruhi perekonomian mereka.
Sosok ibu rumah tangga menerangkan saat berada di hutan selama dua pekan lebih setiap malamnya dia bersama keluargannya harus menahan dinginya malam. Pasalnya lokasi yang mereka tinggal saat ini berada di ketinggian dan jarak dari perkampungan kurang lebih 10 Km.
Sebagian warga kata Lice, takut karena aktifitas pengeboran panas minyak bumi dekat dengan tempat tinggal mereka. Desa mereka terus diguncang gempa kecil saat operasi berlangsung. Mereka pun berinisiasi meninggalkan Desa.
“Kami takut, jadi kami lebih baik kami menyingkir ke tengah hutan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi karena kami tidak diberitahu,” katanya.
Tentu saja, kata Lice, kondisi ini berdampak pada perekonomian. Sebagian besar penduduk adalah petani kebun. Mereka terancam karena lokasi mereka masuk pada areal operasi panas bumi PT Ormat Geothermal.
Belum lagi untuk keperluan tersebut, ungkapnya, berbagai keperluan pangan yang harus dipenuhi selama di lokasi pengungsian. Biasanya untuk membeli kebutuhan pokok warga harus menempuh 10 Kilometer perjalanan dengan berjalan kaki untuk membeli keperluan. Namun jika ingin membeli keperluan yang memadai maka mereka harus ke sentral pasar ke Kota Namlea dengan jaraknya 64 Km.
Saat ini yang bisa dilakukan adalah mengais rezeki dari mengepul daun minyak kayu putih untuk dijual.
“Dua minggu sudah kami menempati tenda pengungsian, dan untuk bertahan hidup kami terpaksa harus mengumpul daun minyak kayu putih untuk disuling untuk kemudian di jual, itu pun kalau laku terjual maka kami bisa membeli keperluan makan, untuk kami makan,” ucapnya.
Lice pun berharap perusahaan panas bumi ini bisa angkat kaki dari Desa Wapsalit, agar aktivitas mereka bisa kembali normal seperti sediakala.
“Cepat sudah perusahan harus angkat kaki, kami menderita, tiap malam kami harus menahan dingin, karena kami tidur di tenda,” tegasnya.
Direktur SASI Pulau Buru, Deliana Behuku saat ditemui di lokasi pengungsian mengatakan, ada lima lokasi yang dijadikan lokasi pengungsian yakni kawasan Manumpang, Walumuha, Wakoni dan Waplahang Ngade serta Kayeli, termasuk hutan Wailhukat yang dihuni 37 jiwa dari 7 Kepala Keluarga.
Di Kayeli itu kata Deliana, juga mengungsi juga warga Dusun Sunderlale karena letaknya di bawah lokasi pengeboran.
Perempuan yang tetap konsen pada masalah hak adat dan lingkungan ini menerangkan eksplorasi oleh perusahan tanah Desa Wapsalit sejak tahun 2022. Awal kedatangan tidak diterima masyarakat.
“Entah kenapa mereka bisa menguasai tanah Adat. Sosialisasi yang kerap dilakukan perusahaan itu pun ditolak. Katong punya tanah adat yang perusahaan serobot untuk pembangunan listrik panas bumi. Waktu masuk tidak tahu izin. Sosialisasi pun Dong sosialisasi hingga eksplorasi ini ditolak warga adat sampai sekarang, “jelasnya.
Puncaknya, katanya, masyarakat adat melakukan protes ke perusahan pada, Kamis, 16 Agustus tahun lalu. Warga minta perusahan segera dicabut. Sebab, selain aktivitas perusahan menganggu, PT Ormat juga telah menyerobot tanah warga adat.
Dia berharap kepada pemerintah Provinsi Maluku juga Pemerintah Kabupaten Buru, untuk melihat persoalan ini. Dia bilang, warga selalu berkeinginan untuk dipenuhi kebutuhan listrik, namun jika aktifitas dianggap menggangu kenyamanan masyarakat, maka tentu saja terusik sehingga mereka mengungsi ke hutan.
Kehadiran Perusahaan
Sekretaris Desa Wapsalit, Agus Nacikit mengatakan agar persoalan yang terjadi tidak berdampak kepada masyarakat di Desa Wapsalit dan anak dusunnya.
“Kami ingin masyarakat tidak mendapatkan dampak apa apa,” singkatnya.
Dia bilang, operasi yang dilakukan pada tahap pengeboran ini mendapat penolakan dari warga adat setempat karena lokasi pengeboran merupakan kawasan yang dianggap sakral dan merupakan identitas dari masyarakat adat Soar Pito Soar Pa yaitu rumpun masyarakat adat dataran tinggi petuanan Kaiyeli, Pulau Buru.
Penolakan atas potensi dan dampak ini dalam sejumlah pandangan akan berimplikasi pada ruang hidup dari 227 Kepala Keluarga (KK) dan 1.613 jumlah jiwa di Desa Wapsalit termasuk Desa Darlale yang merupakan anak desa dari desa induk Wapsalit.
Pasalnya atas perusahan di bidang energi ini bakal merampas ruang hidup masyarakat, lebih khusus yang rumahnya berdekatan dengan lokasi pengeboran dengn jarak terdekat adalah 700 meter.
Medio Juli 2022, di Desa Waepsalit Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru berlangsung “Sosialisasi dan Ground Breaking” – Pelaksanaan Penugasan Survey Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) dengan proyek Eksplorasi panas bumi oleh PT. Ormat Geothermal Indoenesia dengan menggandeng CV. Bumi Namrole yang ditunjuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memulai Pelaksanaan Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) proyek Panas Bumi di wilayah adat Titar Pito.
Proyek panas bumi ini dari awal sudah ditolak oleh Masyakarakat Adat Buru Soar Pito Soar Pa, dan 24 marga lainnya di Kabupaten Buru setelah diadakan sosialisasi karena Titar Pito termasuk salah satu tempat sakral. Dalam sosialisasi tersebut tidak dihadiri atau tidak dihadiri tokoh-tokoh adat dari keterwakilan Tujuh Soa (Tujuh Marga) Soar Pito Soar Pa Petuanan Kayely.
Tentunya masyarakat adat Buru menolak penuh kehadiran PT. Ormat Geothermal karena perusahaan ini menyasar wilayah adat mereka. Tanah Adat Titar Pito yang dipercaya turun-temurun memiliki nilai-nilai sakral, masih lestari, dan bagi masyarakat setempat sudah menjadi lahan bertani, berkebun, dan menyuling minyak kayu putih sebagai mata pencaharian petani masyarakat Buru.
Pendidikan terdampak
Tak hanya mempengaruhi kondisi sosial masyarakat Desa Wapsalit, kehadiran perusahaan panas bumi ini juga mempengaruhi aktivitas pendidikan generasi anak Desa Wapsalit. Bagaimana tidak, sebagian anak yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar turut serta mengungsi ke hutan bersama orang tua mereka. Hal inilah berdampak proses belajar mengajar di sekolah.
Namun aktivitas pembangunan proyek panas bumi di desa tersebut banyak merugikan masyarakat, menggusur lahan warga tanpa ada izin, aktivitasnya pun menciptakan ketakutan hingga sejumlah warga khusus anak dan perempuan memilih untuk mengugsi ke hutan dan membangun tenda tenda darurat. Lebih dari dua pekan anak anak sekolah tidak beratifitas, sehingga sekolah libur tanpa ada perintah.
“Dalam keterbatasan, kami ingin anak-anak kami lebih pintar dari orang tuanya untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Kenyataannya salah satu sekolah di Desa Wapsalit, Lolongguba tidak melaksanakan proses belajar mengajar, karena aktivitas perusahaan itu, kata Lice Tasane yang merupakan sosok ibu rumah tangga. Tak hanya siswa, sebagian guru kata Lice juga tak berani mengajar dan pergi ke sekolah karena takut
Dia bilang kehadiran perusahaan panas bumi ini sehingga mereka menderita karena harus mengungsi ke hutan. Hal ini berdampak kea nak-anak mereka yang tidak dapat sekolah karena harus di boyong juga ke tenda pengungsian.
“Guru guru takut dan mereka memilih menghindar, anak anak juga tak diizinkan ke sekolah oleh orang tua, hingga akhirnya sekolah kosong. Ketakutan ini karena jarak areal dan bangunan sangat dekat dengan lokasi pengeboran,” tambahnya.
Popi, satu dari sekian anak juga turut mengungsi. Siswi SMP Negeri Wapsalit ini cerita kondisi yang dialaminya. Saat ditemui Mongabay, Popi tengah, duduk di pojok salah satu tenda. Saat itu Ia tengah merenung. Popi sempat mengaga dan bingung. Siswi kelas 10 SMP ini bilang, tak bisa belajar karena saat ini tinggal di hutan yang tak akses belajar mengajar.
Kadang kata Popi, Ia sempat bosan berbalut kecewa karena tidak bisa bersekolah. Remaja yang bercita-cita menjadi dokter ini pun meminta agar aktivitas perusahaan bisa dihentikan agar Ia dapat bersekolah lagi.
“Mudah-mudahan perusahaan itu bisa setop, agar Popi bisa kumpul dan belajar bersama teman-teman di Sekolah,” harapnya.
Layaknya yang terjadi di SMP Lolong Guba, kondisi yang sama juga dirasakan oleh para siswa-siswi SD Negeri 9 Lolong Guba di Desa Wapsalit.
Yusel, seorang siswi Sekolah Dasar juga mengakui hal yang sama tidak bisa ke sekolah karena harus ikut orang tuanya mengungsi ke hutan. Ia juga takut dengan aktivitas pengeboran oleh PT Geothermal Indonesia di belakang kampungnya.
“Dua minggu lebih idak kesekolah karena ada Bor,”singkatnya.
Sementara itu, titastory berkesempatan mengunjungi desa, SD Negeri 9 Lolong Guba sunyi bak bangunan kosong tanpa penghuni. Begitu juga dengan kantor desa tak ada aktifitas.
Warga Wapsalit memilih mengungsi ke hutan bahkan ke desa tetangga. Ini terjadi karena mereka takut. Warga mengakui di waktu subuh sering terjadi ledakan disertai goncangan, sehingga warga harus berlarian ke luar rumah untuk mencari lokasi terbuka. Bahkan tanpa ragu, sejumlah warga menerangkan mereka sering mencium bau seperti bau belerang di sekitar lingkungan mereka tinggal
Keramat Titar Pito Kian Terancam
Nampe Behuku, tokoh adat Kaiyeli dari Soa Matlea Gewagit, ungkapkan rasa kekecewaannya terhadap perusahaan panas bumi. Dia tegas mengatakan aktiftas pengeboran panas bumi mengakibatkan masyarakat adat di Dataran Tinggi Kaiyeli menangis.
“Katong (kita) samua menangis, pohon-pohon menangis, hewan-hewan menangis, keramat dan pamali juga menangis,” katacBehuku.
Pria paruh baya dengan khas Lestari (penutup kepala adat) ini menegaskan agar perusahaan segera angkat kaki dari wilayah adat mereka.
Dalam keyakinan dan adat istiadat mereka, Titar Pito adalah tempat pertemuan leluhur pulau Buru. Jika lokasi keramat itu dihancurkan batu pamali (keramat) dan air tua itu di usik maka siap siap menerima bencana.
“Kami protes, busu-busu kami punya tempat sendiri, perusahaan jangan merusakan tempat sakral kami, jangan merusak adat kami. Jika ini dibiarkan maka bisa ada lumpur, dan semua lokasi didekat lokasi pengeboran akan tenggelam,” Kata Behuku.
Senada dikatakan Bantu Wael, Kepala Adat Desa Lele, Lologguba. Menurutnya masuknya perusahan ke lokasi pengeboran akan mengancam eksistensi nilai-nilai adat dan budaya mereka, terutama tempat-tempat sakral masyarakat Pulau Buru.
Dia bilang, kehadiran perusahaan untuk melakukan aktifitas pun tidak diketahui oleh warga.
“Dong kasih masuk perusahaan, katong seng tahu, soalnya itu tempat keramat Pamali, kalau tempat biasa itu ya boleh,” ucap Wael dengan suara lantang.
Wael tegaskan, Titar Pito merupakan tempat keramat dan nerupakan situs adat masyarakat dataran tinggi pulau Buru. Sehingga jika ada upaya pembongkaran, maka tentu tidak akan disetujui.
“Seng boleh bongkar, kalau bongkar, pulau Buru akan hancur,” tegasnya.
Untuk diketahui menurut, Wael, masyarakat Adat Noro Pito Noro Pa atau sering disebut dengan sebutan Soar Pito Soar Pa adalah masyarakat Asli Pulau Buru atau pribumi yang mendiami Pulau Buru sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dia jelaskan, sebelum Indonesia merdeka mayoritas masyarakat pribumi di pulau ini menganut Agama Kepercayaan (Animisme) yang kepercayaannya bersandar pada para leluhur mereka, dimana kegiatan kebudayaan, pemujaan dan kegiatan adat lainnya terpusat di Titar Pito.
Sehingga Titar Pito diabadikan Sebagai tempat sakral atau keramat, sebab dari tempat inilah (Titar Pito) Lahirlah pembagian wilayah dimana Pulau Buru ini dibagi menjadi tiga bagian dengan sebutan Kayeli Petak Telo (Kayeli Tiga Bagian) diantaranya Kayeli Gunung yang dipimpin Oleh Soar Pito Soar Pa, Kayeli Rata yang dipimpin oleh Hinolon Baman, dan Kayeli Pante yang dipimpin oleh Raja.
Selain dari pembagian Wilayah kekuasaan, ditempat ini juga lahirnya pembagian Jabatan Soar Pito Soar Pa termasuk penentuan dan penunjukan Jabatan Raja oleh Noro Pito Noro Pa atau sering disebut dengan Soar Pito Soar Pa. Dari sinilah Tempat (Titar Pito) ini oleh generasi berikutnya diabadikan sebagai tempat/tanah Perjanjian dari para leluhur, yang patut dijaga dan dilestarikan Keutuhannya.
Penolakan juga datang dari, Yoseph Wael, Kepala Desa Lele, Kecamatan Lolongguba, yang diwawancarai titastory. Yoseph mengatakan, ativitas PT Ormat dilakukan sejak awal telah ditolak, hanya saja ulah beberapa oknum sehingga perusahaaan berani beraktivitas. Padahal secara kolektifitas, seluruh masyarakat pemilik petuanan tidak menginginkan perusahaan masuk.
Bahkan, katanya, kehadiran perusahaan juga tidak diketahui masyarakat, karena tidak ada tahap sosialisasi. Sehingga masyarakat bersepakat untuk melakukan penolakan.
“Disitu ada peninggalan dan situs sejarah, sehingga masyarakat menolak, sebetulnya penolakan sudah dilakukan lama, hanya karena kepentingan segelintir orang kini kawasan tersebut telah dimasuki.
Tak hanya itu, para tetua adat ini pernah dituduh bahkan dugaan fitnah menerima pemberian sejumlah uang agar perusahaan bisa melakukan aktifitas.
Bahkan tak hanya itu mereka beberapa kali sudah melakukan aksi penolakan dengan aksi unjuk rasa namun tetap saja perusahaan melakukan aktifitas pengeboran.
“Bentuk sasi adat juga tidak mempan, bahkan sejumlah pihak dengan seenaknya membuka palang dan sasi adat di lokasi yang kini sudah dimasuki pihak perusahaan,” sesalnya.
Dugaan Intimidasi
Akhir agustus 2023, sejumlah pria berseragam TNI diduga melakukan tindakan tidak terpuji. Mereka diduga melakukan intimidasi terhadap seorang tokoh adat hingga menimbulkan reaksi masyarakat setempat.
Dugaan intimidasi oleh sejumlah oknum TNI ini viral setelah direkam oleh beberapa warga di kediaman Kaksodin, tokoh adat Desa Wapsalit. Kaksodin diketahui memiliki kedudukan startegis dalam jabatan adat di tanah Buru.
Dari rekaman video terlihat, suara histeris sejumlah perempuan tak dapat dibendung. Mereka seolah olah tidak terima dengan tindakan saat sejumlah pria yang mengenakan busana loreng mirip TNI.
Terlihat tindakan tidak terpuji dilakukan oleh oknum anggota TNI dengan menendang pintu rumah milik Kaksodin. Tak hanya itu, pimpinan dataran tinggi dalam pranata adat di Pulau Buru ini diduga dipermalukan dengan melontarkan kata-kata yang tidak pantas.
Selang beberapa menit setelah masuk, adu mulut pun terjadi.
Saat itu, Kaksodin yang masih mengenakan kaos berwarna putih mencoba membela diri. Dia sempat menjelaskan bahwa tindakan oknum TNI tidak mendasar dan menyudutkan dirinya. Sehingga menurutnya akan menimbulkan gejolak karena telah mengeluarkan perkataan yang tidak pantas.
“Lebih baik perusahaan angkat kaki, karena dalam jabatan sakral dimaki, dihina,” tegas Kaksodin.
Informasi yang diperoleh, kedatangan sejumlah pria yang diduga adalah anggota TNI ini adalah untuk mengambil kunci keran air yang diamankan salah satu tokoh adat yang dihormati di Pulau Buru ini.
Sempat terjadi perdebatan antara oknum anggota TNI dan warga. Menurut tetua adat pulau Buru ini, mereka memiliki hak atas tanah.
“Kami bukan teroris,” teriak Kaksodin kepada sejumlah oknum anggota TNI di rumahnya.
Berdasarkan video yang diterima media ini, Kaksodin menyampaikan awal mula sehingga rumahnya didatangi sejumlah anggota TNI karena dirinya memegang kunci kontak air untuk tujuan pengeboran. Dia pun menyampaikan kunci yang dipegang itu berpindah ke tanggannya bukan dicuri tetapi diberikan oleh pihak perusahan setelah dirinya meminta.
“Beta terima kunci kontak air itu karena beta minta, dan saya meminta karena telah ada kesepakatan agar pekerjaan dihentikan sebelum ada penjelasan kepada masyarakat, yang tentunya kunci itu sebagai jaminan,” kata Kaksodin.
Ditegaskan pula, kehadiran perusahan diduga Ilegal dan diam-diam. Ia bingung karena tidak tahu dari mana dan siapa yang izinkan perusahaan masuk untuk melakukan aktifitas pengeboran.
“Masuknya perusahan ke wilayah milik saya, saya pun tidak tahu, mereka ini masuk dari pintu mana? siapa yang bawa masuk kami pun tidak tahu,” tegasnya. Dia pun berharap PT Ormat angkat kaki dari Desa mereka.
Penjabat Bupati Buru, Jalaludin Salampessy, kepada titastory mengatakan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan pihak Kementerian Sumber Daya Mineral (KESDM).
“Itu yang paling penting, sehingga kami berharap, harapan kami pun akan disesuaikan dengan adat masyarakat,” ucap Salampessy. Salampesy bilang, masalah yang terjadi perlu didiskusikan dengan baik untuk kepentingan masyarakat.
Dalam kajian lanjutnya, perusahaan memiliki lisensi internasional dan bukan baru dalam melakukan pekerjaan proyek pengeboran seperti yang dilakukan saat ini.
“Mereka memiliki kemampuan dan para pakar yang didatangkan dari luar negeri, itu berarti standar melakukan pekerjaan eksplorasi awal ini berstandar internasional yang memenuhi hak hak lingkungan hidup, hak hak keberlanjutan dan prinsip dasar serta SOPnya” cetus Salampessy.
Untuk itu dirinya meminta masyarakat tidak perlu khawatir, bahkan dalam komunikasi pemerintah Kabupaten telah melakukan koordinasi dalam mengupayakan rencana Mitigasi.
“Masyarakat tidak perlu khawatir, karena ini bukan pertama kali terjadi di dunia ini, tetapi mereka sudah terlibat dalam aktivitas pengeboran pengeboran besar,” ucapnya
Dia juga menegaskan, adanya saling menghargai dari pihak perusahaan, jika tidak dilakukan maka tentu ada upaya sesuai ketentuan dan aturan yang diakui dunia Internasional.
“Kami telah meminta pihak perusahaan menghargai, dan jika perusahaan tidak menghargai kami, maka kami akan menempuh jalur aturan dan adat kami, karena adat kami pun di akui dunia internasional,” terangnya.
Masalah yang terjadi katanya, perlu didiskusikan dengan baik untuk kepentingan bersama. Selain itu katanya, perlu ada keseimbangan kebutuhan masyarakat dan tuntutan dan itu harus dibicarakan bersama.
“Baik kembali ke rumah, tidurlah dengan nyenyak, ikutlah pepatah ini, rumahku surga ku,” katanya.
titastory mencoba konfirmasi PT Ormat melalui Humasnya, M. Adjie Hentihu namun tidak beri tanggapan. Hentihu sebelumnya merupakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten Buru. Jelang pensiun ia pun hijrah dan mendapat posisi sebagai Humas.
Awal ketika dihubungi, lewat telephone dirinya menyampaikan sedang rapat.
“Saya sedang rapat, maaf saya bukan lagi bagian dari ASN,” jawabnya via whatsapp. Humas PT Ormat dari informasi yang dihimpun media ini diketahui adalah mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buru.
Wapsalit Dalam Cengkraman PSN
Aktivitas PT Ormat Geothermal Indonesia di di dataran Wayapo, dekat Desa Wapsalit, Kecamatan Lololongguba, Kabupaten Buru, petuanan adat Kayeli seolah jadi alat terapi ketakutan, ditamba praktik intimidasi oleh sejumlah Anggota TNI yang keseharian melakukan pengamanan di pintu masuk dan areal perusahaan. Ancaman juga ada pada proyek pembangunan bendungan atau waduk Waepou yang berada di kawasan Desa Wapsalit.
Bendungan Waeapu, di Pulau Buru adalah salah satu Program Proyek Strategis Nasional (PSN). Bendungan Way Apu sendiri merupakan bendungan pertama di Provinsi Maluku dan memiliki kapasitas daya tampung sebesar 50,05 juta m3. Bendungan yang membendung Sungai Way Apu ini dibangun di atas lahan seluas kurang lebih 422,08 hektar, dan merupakan tipe zonal urugan inti tegak dengan tinggi mencapai 72 meter, lebar puncak 12 meter, panjang puncak 490 meter, dan luas daerah genangan mencapai 235,10 hektar.
Bendungan yang terletak di Desa Wapsalit Kecamatan Lolong Guba dan Desa Wae Flan Kecamatan Wae Lata Kabupaten Buru ini direncanakan akan mampu menyediakan kebutuhan air irigasi seluas 10.000 ha, reduksi banjir sebesar 557 m3/detik dan pembangkit listrik 8 mw atau setara dengan 8.750 pelanggan 900 watt.
Setelah rampung, diharapkan kehadiran bendungan ini akan berfungsi penuh sebagai infrastruktur yang memiliki potensi sebagai penyedia air baku, air irigasi, penyedia energi/pembangkit listrik, pengendalian banjir, serta mendukung keberlanjutan produksi pertanian dan sektor pariwisata yang akan mendorong perekonomian lokal menjadi lebih baik.
Sungai Waeapo merupakan salah satu sungai terpanjang di Pulau Buru. Aliran sungai yang membentang sejauh 47,25 km ini melintasi permukiman penduduk dan terletak di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Untuk memaksimalkan fungsi sungai Waeapo bagi masyarakat, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun Bendungan Way Apu sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Namun Pembangunan bendungan ini tidak berjalan lancar. Proyek memakan anggaran triliunan rupiah ini sempat mengalami kendala. Sebelumnya, pada Mei 2023, ratusan pekerja proyek Bendungan Waeapu yang harus dievakuasi Tim SAR Gabungan pasca ambruknya jembatan penghubung akibat diterjang banjir. Sungai Waeapo meluap dan menghancurkan jembatan penghubung di Kabupaten Buru itu.
Proyek Bendungan Diterjang Banjir Bandang, 260 Pekerja Terjebak, sejumlah alat berat juga ikut terendam. Para pekerja dievakuasi mengggunakan perahu karet yang telah diikat pada tali membentang sungai. Selain itu ada pula para pekerja yang memilih bertahan di lokasi menunggu air surut.
Berkaca dari peristiwa ini, masyarakat sekitar khawatir dan mulai was-was. Mereka takut peristiwa yang sama akan terjadi dan menimpa perkampungan mereka jika hutan telah digunduli karena aktifitas pengeboran.
Tentunya kajian atas kehendak alam inipun akan mejadi klise bertapa desa atau kampung yang dulunya aman kini sudah tidak lagi aman, sehingga hak hidup aman itu bakal sirna. Belum lagi hak hak dasar berupa pendidikan, kesehatan dan ekonomi kian tergerus sehingga ketergantungan pada tanah dan hutan kayuputih pun mulai habis.
Deliana Behuku, Direktur SASI Pulau Buru, mengatakan dampak yang terlihat dengan adanya operasi PT. Ormat, warga mengungsi dari rumah mereka karena pengoperasian energi panas bumi ini sangat dekat dengan pemukiman warga. Kehadiran perusahaan ini juga tidak menghargai masyarakat adat pemilik lahan, malah membuat konflik di tengah masyarakat.
Di satu sisi juga, katanya, ancaman lingkungan akibat pengoperasian perusahaan nantinya memporak-porandakan ruang hidup masyarakat setempat atas akses dan kontrol terhadap hutan ini, kerena aktivitas masyarakat sebagaian besar hidupnya dari bertani dan menyuling minyak kayu putih di lokasi tersebut juga terdapat beberapa sungai sebagai sumber penghidupan masyarakat setempat.
Secara geografis, kepulauan Buru merupakan pulau kecil secara Nasional yang dikelilingi lautan sehingga jika fungsi hutan ini direduksi oleh tambang akan berakibat fatal dengan kata lain Pulau Buru terancam tenggelam apalagi kondisi dunia hari ini sedang mengalami krisis iklim.
Beberapa data penelitian menurutnya, menunjukan bahwa pembangkit listrik Geothermal juga menghasilkan emisi CO2, CH4, SO2, H2S, dan NH3 yang dapat berakumulasi merusak lapisan ozon.
“Alasan esensial adalah lokasi yang digunakan oleh perusahaan ini merupakan tanah sakral yang mana di atas tanah ini lahirlah sejarah masyarakat adat Titar Pito yang masih sangat kami percayai dan kami pegang sebagai sistem nilai dari generasi ke generasi,” kata Behuku. Sehingga dengan masuknya perusahaan ini sudah barang tentu merusak situs-situs sejarah.
Selain itu, kata Behuku, masyarakat juga tidak pernah diberikan edukasi terhadap dampak lingkungan yang akan terjadi selain iming-iming tentang kesejateraan masyarakat sehingga dalam hal ini pemerintah dan perusahaan telah melanggar hak-hak masyarakat, tentang hak untuk mendapat informasi, hak untuk mendapat lingkungan yang bersih dan berbagai hak lainnya.
“Sudah banyak kasus kerusakan lingkungan di banyak tempat yang berakibat fatal pada tata kelola masyarakat adat atas hutan akibat Geothermal ini beroperasi, sehingga kami merasa perlu untuk mencegah hal yang sama terjadi di masyarakat Pulau Buru nantinya,” tegasnya.
Neraka yang ditambang
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional memakai istilah “Neraka yang ditambang”. Menurut Jamil panas bumi yaitu neraka yang Tuhan sengaja simpan di perut bumi. Sehingga penambangan panas bumi adalah praktik neraka yang dibawa naik ke permukaan.
Artinya secara alamiah, katanya, panas sudah ditetapkan untuk berada di dalam bumi. Dan ketika di tambang maka gasnya bisa membunuh manusia, seperti yang pernah terjadi di Mandelingnatal, Sumatera Utara.
“Berapa kali bocor gasnya ada manusia yang mati,”
Proses tambang panas bumi katanya, dilakukan secara diam-diam. Begitupun sosialisasi kepada warga hanyalah yang baik baik saja. Tidak pernah dijelaskan dampak bahayanya.
Padahal bahaya panas bumi itu bisa berdampak pada semua multi dimensi karena karakteristik panas bumi itu. Antara lain: Rakus Air, dimana diperlukan air yang begitu banyak untuk proses pembuatan yakni melakukan pengeboran panas dan pengeboran mata air, karena air dari sumber mata air akan pakai ke sumber panas dan akan menjadi uap untuk mengerjakan turbin sehingga menghasilkan listrik.
“Air dari sumber mata air itu disedot dalam jumlah banyak dan disuntikan ke sumber panas sehingga terciptanya uap, yang selanjutnya uap ini akan menggerakkan turbin untuk menghasilkan tenaga listrik. Pada tahap ini air akan hilang nah pada titik ini disebut rakus air,” ucap Jamil.
Selain itu kebutuhan air yang cukup luar biasa adalah untuk mendinginkan mesin. Nah saat menyiram mesin yang panas air sebagian hilang dan sebagian juga mengalir keluar dan ke sungai dalam kondisi panas. Dampaknya akan merusak tanah seperti cacing, sumber hara tanah dan jika ke sungai berdampak juga ke biota sungai yang mati.
Penyebabnya karena air yang bersentuhan dengan logam panas pun akan mengandung bahan berbahaya.
Berikutinya adalah “Rakus Lahan”. Dikatakan areal panas bumi luasan lubang bornya hanya kecil 10 x 20 meter, namun lahan izinya sudah pasti sangat dan bisa mencapai ratusan hingga ribuan hektare, sehingga penguasaan lahan akan terjadi dan akan mengganggu kalau airnya habis.
Dampak selanjutnya adalah, membunuh dengan H2S atau amoniak. Apa artinya menurutnya, gas buang ini adalah H2S (amoniak) akan membunuh manusia jika terjadi kbbocoran. Karena secanggih apa pun pengerjaan tetap ada kebocoran gas. Dimana gas ini akan bergerak sesuai arah angin dan tentunya akan berdampak kepada manusia.
“Apalagi menagenen tidak baik. Di merapi saja bocor pada hal teknologinya sangat baik,” ungkapnya.
Menurutnya, operasi terus dilanjutkan di Pulau Buru, maka tetap akan berdampak dan tidak akan terbendung, sebab penyebarannya tak terbatas karena lewat udara dan arah angin.
Hujan asal dan karat lanjut Jamil adalah dampak lain yang merugikan penduduk di sana. Misalnya rumah warga dengan atap senk, kendaraan roda dua dan empat atau peralatan dari besi.
Dikatakan, tambang panas bumi akan menciptakan hujan asap dan hujan asap menciptakan karat. Bahkan jika bahan atap rumah yang menggunakan bahan bukan dari senk tetapi menggunakan paku maka paku akan patah dan saat angin maka atap akan terangkat.
“Hal ini terjadi di NTT, (Bulukumbu) tiap tahun ganti atap gedung sekolah. Hujan asap ini juga berdampak ke manusia yaitu sakit kulit, kolam ikan tentu saja ketika ikan dikonsumsi maka berbahaya untuk tubuh,” ujarnya.
Kemudian dampak lainnya kata Jamil adalah Gempa. Panas bumi katanya dapat menyebabkan gempa tujuan yaitu gempa yang tercipta dari hasil pengeboran bumi yang memicu gempa. Selain itu terjadi penurunan tanah atau likuifasi.
“Itu kira-kira bahaya dari hasil riset JATAM di lapangan,” Jelasnya.
Untuk itu, kata Jamil, sesuai UUD 45 pasal 28 ada hak hidup. Artinya jika hal itu berbahaya maka harus ditinjau ulang, dievaluasi dan jika tidak layak maka wajib dihentikan.
Ia menambahkan, dalam setiap perancanaan proyek yang begitu besar itu wajib melibatkan masyarakat serta tidak mengesampingkan pendapat mereka. Jika itu tidak dilakukan dan diakomodir maka ada pelaggaran hukum disitu.
“Artinya itu harus dihentikan dulu, dan segera. Dan evaluasi dengan model begitu,” kata Jamil akhiri pernyataannya.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2016, yang dilansir dari http://ejurnal.ppsdmmigas.esdm.go.id, total potensi energi Panas Bumi sebesar 29.543,5 Mega Watt (MW). Uap panas bumi diperoleh dengan cara melakukan pengeboran (eksplorasi) dan eksploitasi yaitu kegiatan operasi produksi panas bumi yang telah dihasilkan.
Panas bumi dalam bentuk uap air adalah sumber energi terbarukan (renewable) yang dapat digunakan sebagai penggerak turbin untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Penggunaan energi panas bumi memiliki nilai positif karena dapat menekan penggunaan energi fosil. Namun penggunaan panas bumi sebagai sumber energi juga memiliki dampak negatif yang harus dicari jalan keluarnya.
Salah satu dampak negatif penggunaan energi panas bumi adalah menghasilkan limbah terutama limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya). Limbah yang dihasilkan industri PLTP berupa geothermal brine dan sludge, jika limbah tersebut baik berupa limbah padat, cair maupun gas ada yang dibuang ke lingkungan akan mengakibatkan masalah pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kendati limbah geothermal industri PLTP, mengandung silika yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pencampur semen, dapat dibuat untuk pencampur batako ataupun paving. Sedangkan limbah cair (brine) mengandung berbagai jenis mineral berupa silica (SiO2), kalium (K), magnesium (Mg), dijadikan pupuk multinutrien.
Meskipun menjanjikan sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, juga memiliki dampak buruk yang perlu dipertimbangkan dari sisi teknis pertambangan. Dilansir dari www.suaraburuh.com, salah satu dampak buruk aktifitas dan limba Gheotermal adalah potensi kerusakan lingkungan yang signifikan. Dijelaskan, proyek geothermal memerlukan pemboran sumur panjang yang melibatkan penggunaan bahan kimia dan air bertekanan tinggi. Proses ini dapat menyebabkan gangguan pada sistem hidrologi dan geologi di area tersebut.
Air limbah dan bahan kimia yang digunakan dalam proses pemboran dapat mencemari sumber air tanah dan permukaan, mengancam keberlanjutan sistem ekologi lokal dan mengganggu ketersediaan air bersih bagi masyarakat sekitar.
Proses ekstraksi panas bumi dari sumur geothermal dapat menyebabkan penurunan level air tanah di sekitar area proyek. Hal ini dapat berdampak negatif pada ekosistem lokal, termasuk mengganggu keseimbangan hidrologi dan mengurangi akses masyarakat terhadap sumber daya air yang penting untuk kehidupan sehari-hari.
Proyek geothermal juga dapat mengakibatkan aktivitas seismik yang lebih sering dan lebih intens.
Pemboran dan injeksi fluida tekanan tinggi dapat menyebabkan peningkatan aktivitas gempa bumi di area sekitarnya. Hal ini dapat mengancam keamanan dan kestabilan fisik bangunan serta infrastruktur di sekitar proyek, mengakibatkan kerugian materiil dan bahkan berpotensi mengancam keselamatan masyarakat setempat.
Dalam kaitan dengan aktivitas PT Ormat Geothermal di dataran Waeapo, bakal mengarah pada Pembangunan infrastruktur dan kegiatan operasional proyek sehingga berptensi pada pemindahan paksa penduduk, kehilangan lahan pertanian, dan perubahan sosial yang signifikan. Hal ini dapat merusak ikatan sosial dan budaya yang ada di komunitas tersebut.
Sekalipun proyek geothermal di Desa Wapsalit menawarkan manfaat sebagai sumber energi terbarukan, dampak buruk yang mungkin terjadi harus dipertimbangkan secara serius.
Gangguan terhadap lingkungan, kerusakan hidrologi, aktivitas seismik, dan dampak sosial dapat mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Sehingga sangat penting melakukan analisis yang komprehensif dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengambil keputusan terkait proyek geothermal dengan memprioritaskan perlindungan lingkungan dan kepentingan jangka panjang masyarakat setempat.
Artikel ini adalah project liputan kolaborasi Mongabay Indonesia bersama titastory.id
Discussion about this post