TITASTORY.ID – IZIN Usaha Perkebunan (IUP), Izin Pembukaan Lahan (land clearing) telah diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, 29 april 2009. Setidaknya ada 5 perusahan dibawah PT Nusa Ina Group yang mendapat izin tersebut.
Sejak diterbitkan Izin Usaha Perkebunan pada tahun 2009, PT Nusa Ina Group mulai mengembangkan budidaya tanaman kelapa sawit di dataran tiga kecamatan di seram utara, yakni kecamatan seram utara timur kobi, kecamatan seram utara timur seti, dan kecamatan seram utara barat.
Luas pengembangan usaha tanaman monokultur oleh PT Nusa Ina menurut data dinas perkebunan dan peternakan Maluku tengah adalah 24.000 hektar dari total izin yang diterbitkan seluas 40.000 hektar.
12 tahun mengembangkan usaha perkebunan sawit di Maluku Tengah, rupanya perusahan milik anggota DPR RI Sihar Sitorus beroperasi tanpa izin hak guna usaha (HGU).
Padahal terbitnya peraturan Mentri Pertanian nomor 05/2019 mengenai tata cara perizinan berusaha sektor pertanian akan berdampak negative kepada industri perkebunan terutama sawit. Aturan ini mengakomodir putusan MK 138/2015 mengenai pengujian undang-undang perkebunan nomor 39/2014.
Permentan yang ditandatangani oleh Arman Sulaiman, mantan mentri pertanian pada tahun 2019 semakin membuat rumit mekanisme perizinan untuk pembangunan lahan kebun. Sebab, Izin Usaha Perkebunan (IUP) Budidaya tidak akan berlaku apabila kebun belum berstatus Hak Guna Usaha (HGU).
“Setelah berlakunya aturan ini maka untuk pemberian IUP (red-Izin Usaha Perkebunan) budidaya dan pengolahan. Pengusaha diwajibkan punya HGU (Hak Guna Usaha) dulu,” ujar Prof.Dr. Agustisnus Kastanya, Ahli Kehutanan Fakultas Pertanian Unpatti Ambon, senin (3 mei 2021).
Kewajiban mengantongin izin HGU ini terdapat dalam pasal 9 yang berbunyi komitmen sebagaimana dimaksud pasal 8 huruf b, untuk usaha budidaya tanaman perkebunan berisi kesanggupan menyampaikan sejumlah persyaratan salah satunya Hak Guna Usaha.
Lewat pasal ini maka syarat memperoleh IUP-budidaya adalah HGU. Perusahan juga diwajibkan membuat pernyataan yang menyatakan setelah mengantongi HGU dalam jangka 6 tahun mengusahakan luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami untuk segera melakukan kegiatan penanaman.
Lalu bagaimana dengan kegiatan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Maluku Tengah tanpa HGU oleh perusahan PT Nusa Ina Group ?
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Maluku Tengah Erwin Terseman, membenarkan perusahan perkebunan PT Nusa Ina selama beroperasi belum memiliki Izin Hak Guna Usaha di Kabupaten Maluku Tengah.
Ia mengatakan operasi perkebunan sawit oleh PT Nusa Ina Group selama ini hanya sebatas kerja sama atau system mitra dengan masyarakat pemilik lahan.
“Jadi masalah PT Nusa Ina Group, mereka belum mempunyai Izin HGU disitu. Jadi masyarakat kerja sama dengan perusahan sepertinya. Tapi setahu BPN Maluku Tengah belum menerbitkan HGU pada lahan yang sudah ditanami kelapa sawit itu,”ujar Erwin Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Maluku Tengah, senin (17 april 2021).
Erwin menjelaskan sesuai kewenangan, dari luasan lahan yang dioperasikan PT Nusa Ina Group maka sudah barang tentu Izin Hak Guna Usaha diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional di Jakarta.
“Proses HGU itu kewenangan pada BPN Pusat, kami juga malah mengukur juga tergantung kewenangan luasan berapa BPN Kabupaten yang mengukur, dibawah 10 hektar itu kabupaten, 10 sampai 1000 hektar provinsi yang ukur Provinsi, dan 1000 hektar ke atas itu kewenangan BPN Pusat. Dan kewenangan penerbitan HGU itu kan dari kementrian pertanahan, kami Cuma membuat berkas dan antar dan berkas itu dari kementrian. Setelah penerbitan didaftar lagi diwilayah kabupaten letak tanah itu,”jelasnya.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Maluku Tengah, Syakir Latuconsina juga membenarkan perusahan milik Sihar Sitorus itu hingga kini belum memiliki Izin Hak Guna Usaha (HGU). Padahal perusahan perkebunan kelapa sawit itu telah melakukan operasi budidaya sejak tahun 2009 silam.
Akibat belum adanya HGU Kata Syakir, Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah merasa dirugikan karena tidak pernah mendapatkan pemasukan dari hasil produksi perusahan sawit tersebut.
Salah satu kendala menurut Syakir adalah belum diterbitkannya HGU sehingga perusahan tidak bisa mendaftarkan dirinya sebagai anggota ISPO atau RSPO.
“Kita sampai saat ini belum mendapatkan pemasukan apa-apa, padahal sudah hampir 12 tahun berinvestasi, kendalanya karena perusahan belum memiliki izin HGU,” kata Syakir saat memberikan keterangan di ruangan kantor wakil bupati Maluku Tengah, Marlatu Leleury.
Terkendala dengan izin HGU, membuat perusahan tidak bisa melakukan produksi minyak mentah atau CPO menjadi bahan minyak sawit jadi di Maluku Tengah. Ia mengatakan pemerintah saat ini tengah mendorong agar izin HGU perusahan dipercepat agar tidak merugikan daerah penghasil.
“Selama ini kita mau usaha ekspor dari sini tapi sampai hari ini belum. Kalau untuk CPO sendiri tahun 2020 perusahan mengekspor 19 ribu ton CPO atau bahan minyak mentah kelapa sawit dan dibawakan ke Kalimantan. Nanti Bupati buat permohonan ke lembaga untuk eksport baru dari lembaga periksa mereka punya surat-surat untuk eksport kelapa sawit ini,”ujarnya.
“Jadi dari sini diolah buah segarnya menjadi CPO setelah itu dikirim lagi ke Kalimantan. CPO untuk 2019 dan 2020 itu 19 ribu ton itu per tahun,”tambahnya.
Syarat untuk menjadi anggota ISPO menurut Kadis Pertanian Maluku Tengah ini harus melengkapi berbagai izin, salah satunya adalah izin Hak Guna Usaha.
“Ada dia punya salah satu syarat harus ada pemilihan kebunnya harus ada Hak Guna Usaha harus ada semua dan harus dilengkapi oleh perusahan itu salah satunya pemilihan kebun itu, dan syarat-sayarat itu belum ada,” jelasnya.
HRD Nusaina Group, Alhidayat Wajo dalam rilisnya menjelaskan bahwa HGU salah satunya dapat dilakukan apabila perolehan lahan tersebut adalah lahan Negara yang dapat dikelola untuk perkebunan.
“Atas dasar penyerahan lahan ulayat petuanan negeri, Nusaina Group menerima izin lokasi dan izin lokasi perkebunan (IUP) dari pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Proses permohonan HGU sedang berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku,”kata Wajo dalam hak jawab Nusaina Group.
Direktur Sawit Watch, Indah Fatinaware menyayangkan kasus penyalagunaan wewenang oleh perusahan kelapa sawit PT Nusa Ina di Maluku Tengah. Menurutnya, perlunya langkah pro-aktif dan tindakan pemerintah nasional, Kementrian Pertanian, Gubernur dan Bupati untuk melakukan pengawasan dan pemenuhan komitmen dan pemenuhan standar, sertifikasi dan pemenuhan perusahaan.
“Harusnya pemerintah daerah menertibkan, dan perusahaan tanpa HGU berati ilegal karena tidak punya hak atas tanah,”tandasnya.
Dijelaskan, soal aturan Inpres nomor 8 tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk membenahi tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
Lalu bagaimana implementasinya ?
Menurut Indah Pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Artinya pemerintah belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut, khususnya berkenaan target peningkatan produktivitas wilayah penghasil sawit.
“Kontribusi sawit terhadap daerah masih dirasa kurang berdampak. Hal ini dikarenakan belum adanya skema bagi hasil yang berimbang antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat,”cetusnya.
Ia berharap ada peningkatan transparansi dan akses public mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres moratorium serta data penggunaan lahan dan izin perusahan perkebunan sawit.
Program Palm Oil Program Officer Yayasan Madani, Trias Fetra Ramadhan, mengatakan perlu dipertanyakan izin operasi perusahan PT Nusa Ina jika sampai saat ini belum memiliki izin HGU namun sudah beroperasi.
“Sebenarnya alur perizinannya, itu izin lokasi, yang kedua izin lingkungan, IUP, SK Pelepasan kawasan hutan, kemudian proses HGU. Itu kemudian baru mereka bisa melakukan penanaman dan proses produksi,”jelasnya.
Izin perusahan kata Trias belum diproses artinya ada indikasi kerugian yang tidak dari Pemerintah Daerah terutama pendapatan daerah.
“Pengalaman kami itu dari proses pembayaran administrasi HGU saja ATR/BPN merugi kalau dari proses perizinannya. Terlebih dengan pemerintah daerah dengan adanya, struktur fiscal sendiri dari pemerintah daerah dari dana sawit atau penghasilan Negara bukan pajak itu semua larinya ke pusat, dan yang didapat pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten itu hanya PBB perkebunan itu juga sangat sedikit secara nominal,”urainya.
Baginya sangat menarik untuk dikonfirmasi, apakah perusahan sawit atau tutupan sawit di Kabupaten Maluku Tengah. Bagaimana serapan pajaknya khususnya untuk perkebunan?
Karena dijelaskan Trias, dari data KPK saat ini meskipun tutupan itu naik terus, namun kepatuhan pajak badan atau usaha selalu menurun untuk usaha kelapa sawit. “Ini yang harus dikrosek,”harapnya.
Sejumlah data Provinsi Maluku, menurut lulusan Manajemen dan Kebijakan Publik UGM ini mempunyai catatan tersendiri terkait hutan alam yang penting untuk diproteksi yang berada di bagian konsesi. “Untuk diproteksi melalui titik itu terluas ada di Maluku, dari catatan kami itu ada 1,1 juta hektar,”ujarnya.
Lalu bagaimana dengan deforestasi hutan alam jika izin HGU hingga saat ini belum dimiliki ?
Dari data KLHK menurut Program Palm Oil Program Officer Yayasan Madani ini, Provinsi Maluku merupakan penyumbang deforestasi hutan alam terbesar. Dua Kabupaten diantarannya Kabupaten Maluku tengah dan Kabupaten Seram Bagian Timur.
“Untuk Maluku sendiri ada Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Timur itu masuk ke sepuluh Kabupaten penyumbang deforestasi hutan alam terbesar di Indonesia periode 2019-2020 itu datanya melalui KLHK,”ungkapnya.
Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Ambon, Zudhan Arief Fithriyanto menjelaskan menjawab tupoksinya adalah Balai Pemantapan Kawasan Hutan mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan kawasan hutan, penyiapan bahan perencanaan kehutanan wilayah, penyiapan data perubahan fungsi serta perubahan status/peruntukan kawasan hutan, penyajian data dan informasi pemanfaatan kawasan hutan, penilaian penggunaan kawasan hutan, dan penyajian data informasi sumber daya alam.
Kalau hubungannya dengan perkebunan yang ada di hutan produksi yang dapat dikonversi itu, kata Zudhan, bisa diminta untuk pelepasan kawasan hutan. “Itu namanya perubahan produkan dari kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan dalam hal ini menuju HPK menuju APL,”katanya.
Ia menjelaskan dari data BPKH saat ini locus yang ada di daerah Akiternate sudah ada empat izin dari proses PT Nusa Ina Group.
Saat ini kata Zudhan baru satu izin yang sudah dilepaskan. “Jadi waktu pelepasan masih izin prinsip dulu dari mentri ada empat kemudian satu sudah ditindaklanjuti dengan tapal batas, hasil tapal batas itu kemudian dikirim ke Jakarta kemudian LHK untuk diproses pelepasan kawasan hutannya,”jelasnya.
Ia menambahkan proses pengajuan izin hingga penerbitan HGU memerlukan waktu yang lama. Saat ini dari empat izin, satu baru memiliki izin prinsip.
“Ketika SK pelepasan kawasan hutannya sudah terbit maka dari perusahan sebagai pemegang izin harus mengajukan HGU di kantor pertanahan. Tetapi masih ada dua izin yang diproses di Jakarta. jadi setelah itu setelah izin prinsip kemudian perusahan melakukan penataan batas izin prinsip tersebut. nah yang melakukan penataan batas yaitu dari pemegang izinnya,”
“Jadi bukan dari kantor kami. Kami hanya suvervisinya,” urai Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Ambon.
Setelah suvervisi, kata Kabalai BPKH Wilayah IX Ambon ini hasil penataan batas itu dikirim ke Jakarta untuk ditelaah. Setelah itu dijelskan, SK pelepasan kawasan hutan perubahan peruntukannya dari HPK menjadi Apda sesuai luas izin prinsip itu nanti diberikan SK-nya oleh mentri LHK.
Untuk mendapatkan penerbitan HGU menurut Zudhan, perlu ditelaah dimana lokasi yang mendapat HGU. Harusnya kalau sudah prosesnya pelepasan menurut Zudhan berarti sudah proses pelepasan.
“Kalau memang disitu sudah bisa diterbitkan HGU, tetapi yang masih SK pelepasan atau yang masih izin prinsip masih proses penataan tapal batas itu belum bisa diterbitkan HGUnya,”ujarnya.
Secara rinci ia menjelaskan proses pelepasan yang tergabung dalam tim terpadu. Tim terpadu itu sendiri yang menilai.
“Setelah izin prinsip turun terus dari perusahan mengusulkan untuk pelepasan kawasan hutan. sebelum izin prinsip itu tim terpadu yang menilai, apakah memang layak secara lingkungan atau landscape itu untuk digunakan secara berguna. Jadi seharusnya dan dari perusahan tidak boleh merubah peruntukan kalau misalnya perkebunan untuk yang lain,”urainya.
Dari data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Ambon, tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan ada empat persetujuan izin prinsip dari PT Nusa Ina Group antara lain : PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise, Nusa Ina Agro Kobi Manise, Nusa Agro Tanah Manise, Nusa Agro Aketernate Manise.
“Jadi yang sudah izin keluar pelepasan kawasan hutannya yaitu : SK.454/Menhut-II/2014 itu baru PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise pada tanggal 7 mei 2014 dengan 386,33 hektar (ha). Kemudian yang kedua Nusa Ina Agro Kobi Manise dan Nusa Agro Tanah Maniseitu sudah proses tapal batas,”jelasnya.
“Kalau proses selesai, berarti perusahan bisa menindaklanjuti dengan penerbitan HGU-nya. Jadi sementara ini khusus untuk PT Nusa InaGroup baru satu izin pelepasan kawasan hutan yakni dengan SK penerbitan pelepasan seperti PT Nusa Ina Agro Manise,”katanya.
Kemudian Ia menjelaskan sesuai dalam UU 41 tentang kawsan hutan maka penetapan hutan produksi suatu luasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) itu sudah ditentukan oleh SK Mentri.
Yang terakhir untuk provinsi Maluku SK No 854 tahun tahun 2014 mengenai peta kawasan hutan dan perairan provinsi Maluku. Menurutnya lokasi yang ditetapkan menjadi HPK sudah dari dulunya sejak tahun 1983 mengenai tata guna hutan kesepakatan.
“Jadi dari dulu itu sudah ditetapkan jadi waktu itu antara tata ruang dengan kehutanan kemudian ditindaklanjuti dengan karena ada perubahan kemajuan tata ruang dan terakhir yang kita gunakan adalah SK No 854 tahun tahun 2014, itu yang menjadi dasar kenapa wilayah tersebut menjadi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi,”terangnya.
Kawasan perkebunan milik PT Nusa Ina Group saat ini menurut Zudhan Arief Fithriyanto tidak murni kawasan hutan.
“Saya lihat itu kawasannya bercampur, ada APL dan Hutan Produksi jadi tidak murni kawasan hutan. Dan itu kami tidak tahu batas konsesi di APL itu sampai mana yang kami bisa tahu kan di mohon izin untuk pelepasan HPK,”katanya.
Saat dihubungi terpisah Guru Besar Kehutanan Universitas Pattimura, Prof Dr Agus Kastanya (56) memiliki pandangan sendiri tentang pembangunan di Provinsi Maluku berkaitan dengan pembangunan kehutanan yang mana saat ini di Seram Utara telah diizinkan ada lima perusahan untuk mengelola kelapa sawit.
Dikatakan, dari lima perusahan tersebut hanya satu perusahan yang namanya PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise yang memiliki HGU.Hal ini sesungguhnya merugikan pemerintah daerah maupun pemerintah Indonesia karena kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahan ini sesungguhnya tidak berlandaskan pada aturan.
Dampak dari pada upaya-upaya pembangunan perkebunan ini menurutnya telah menyebabkan kerusakan hutan atau deforestasi hutan yang sangat besar.
Kata guru besar Ilmu Kehutanan ini, upaya pembangunan yang di lakukan saat ini harus kemudian diteliti kembali dengan tata aturan yang berlaku untuk bagaimana hutan-hutan di pulau kecil yang sangat vital.
Selain itu menurutnya sangat penting untuk menjaga lingkungan mengendalikan perubahan iklim saat ini, tetapi hutan saat ini ditebang tanpa aturan yang jelas karena itu pemerintah harus mengambil langkah-langkah dan tindakan yang tegas untuk melihat prosedur yang berlaku sampai saat ini.“Supaya tidak ada pelanggaran-pelanggaran dan juga tidak terjadi kerugian bagi Negara,”sebutnya.
Dikatakan masalah yang terjadi di Maluku saat ini adalah soal penetapan tata ruang. Dari waktu ke waktu menurut ketua dewan kehutanan Provinsi Maluku ini sudah banyak diskusi ilmiah antara akademisi bersama pemerintah daerah bahwa tata ruang di Maluku dengan basis pada tata guna hutan, di mana hutan yang dapat dikonversikan itu ada kurang lebih satu juta tujuh ratus lebih dan itu merupakan komponen yang cukup besar sekitar 41 persen dan dimana saat ini kita sudah harus menjaga hutan ini.
Dalam tata guna hutan yang terkait juga dengan tata ruang, dijelaskan ada empat puluh satu persen fungsi hutan yang dapat dikonversikan itu. sehingga bila diabaikan akan memberikan dampak berbahaya bagi pulau-pulau ini.
“Seperti yang sudah pernah kami jelaskan tentang karakteristik pulau-pulau yang daya dukungnya rendah, DAS-nya sempit dan pendek dan kalau hutan seluas itu dikonversi itu sangat berbaya bagi lingkungan kita dan sekarang ini kita sudah merasakan itu semua, kehancuran dimana-mana, terjadi bencana-bencana alam seperti banjir, kekeringan dan juga siklon-siklon yang muncul pada akhir-akhir ini, itu mengakibatkan kehancuran yang luar biasa,”bebernya.
Bagi Akademisi Jurusan Kehutanan Unpatti ini, pemerintah daerah harus bergerak untuk merevisi tata ruang dengan mengalihkan semua fungsi-fungsi hutan yang bersifat konversi harus menjadi hutan tetap.
Sejak tahun 2009 Nusa Ina Group memang telah membangun pabrik pengolah sawit untuk memproses produksi kebun mereka. Pada tahun 2014 rencana ini terlaksana dan sudah mengasilkan keuntungan.
Jika merujuk pada data Forest Watch Indonesia (FWI) maka di Provinsi Maluku hanya ada satu izin perkebunan kelapa sawit, yaitu PT Nusa Ina Agro Hualu Manise dengan luas lahan 40.000 hektar.
FWI mencatat, adanya peningkatan laju deforestasi di area konsesi perkebunan sawit di Kabupaten Maluku dari tahun 2013 hingga 2017. Sementara saat ini dari data, baru satu izin prinsip kawasan hutan untuk perkebunan yakni PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise yang terletak di kawasan Kecamatan Seram Utara Barat.
Data tutupan sawit yang diterima dari Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukan Maluku Tengah merupakan daerah izin sawit kedua terbesar di Provinsi Maluku dengan jumlah 4.124 hektare, sementara Kabupaten Seram Bagian Barat menempati urutan satu dengan luas izin sawit 4.377 hektare. Posisi ketiga ditempati kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan jumlah izin sawit seluas 3.978 hektare. Serta Kabupaten Buru dengan izin sawit sebesar 1.803 hektare.
Merujuk data yang sama, izin sawit di Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) di Maluku Tengah seluas 191 hektar, sementara izin sawit di area penggunaan lain di sekitar perkebunan sawit Maluku Tengah 14.032 hektare. Sementara kaitan izin sawit dengan tutupan hutan alam sendiri yaitu izin sawit yang masih bertutupan hutan alam 6.103 hektar atau sekitar 42,7 % dan izin sawit yang sudah tutupan non hutan alam 8,18 hektare atau 57,3 %.
Apa Kata Nusa Ina ?
Dalam jawaban tertulis yang dikirim tanggal 19 juni 2021 oleh manajer HRD Nusa Ina Group, membenarkan Nusa Ina group memiliki 6 perusahan perkebunan, 5 diantaranya merupakan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Seram Utara.
Sementara berkaitan dengan perizinan Nusaina Group, perusahan enggan menunjukan dokumen tersebut dengan alasan tidak bisa diberikan kepada siapapun selain pemberi izin, yakni pemerintah daerah setempat dan juga kementrian terkait.
*****
Keterangan Gambar :
- Foto Utama Judul Hamparan Perkebunan sawit PT Nusa Agro Aketernate Manise di Afdeling 16
- Peta Pembangunan Kelapa Sawit PT Nusa Ina Group
- PETA TUTUPAN LAHAN
- PETA Fungsi Kawasan
- PETA DEFORESTASI
- Izin Sawit Maluku – Google Spreadsheet
- Direktur Utama PT Nusa Ina Group Sihar Sitorus terlihat memberikan bantuan kepada Raja Maneo
- Ahli Kehutanan Universitas Pattimura Ambon, Prof Dr Agus Kastanya (56)
- Kantor Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Ambon
- Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Ambon, Zudhan Arief Fithriyanto
- Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Maluku Tengah, Syakir Latuconsina
- Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Maluku Tengah, Erwin Terseman
Discussion about this post