TITASTORY.ID – WARGA Dusun Siliha, Desa Maneo, Kecamatan Seram Utara Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, mengeluh karena air sungai Siliha dan pesisir laut pantai Siliha diduga tercemar oleh pembuangan limbah pabrik PT. Nusa Ina Group. Air tersebut berubah menjadi cairan berbusa berwarna putih dan coklat kehitaman di atas permukaaan air. Bahkan ikan yang banyak dilokasi mendadak mati.
“Ikan mendadak mati, kami temukan pada 17 februari 2021 pukul 11.00 siang. Peristiwa itu membuat warga seng (tidak) mau beraktifitas untuk mencari ikan di pesisir pantai dusun Siliha, karena takut dengan cairan di sekitar muara sungai dan pesisir pantai,” kata Juliath Itihuny, kepala pemuda dusun Siliha, saat didatangi jurnalis titastory, rabu (14/4/2021).
Menurut Juliath, selain ikan mati dan air berubah menjadi cairan berbusa berwarna putih dan coklat kehitaman, Ia bersama keluarganya juga saat itu terserang penyakit gatal-gatal dan sakit perut.
Juliath menceritakan baru mengetahui adanya dugaan pencemaran limbah saat Ia bersama istri dan anaknya ditimpa dengan sakit perut dan gatal-gatal setelah memakan ikan laut di pesisir pantai Siliha.
“Jadi terkait dengan dugaan limbah, ceritannya tanggal 16 februari 2021 saya tengah menjala ikan di pesisir pantai siliha. ikan tersebut saya bawa pulang, mungkin sekitar jam 12 siang. Ikan tersebut dimasak, saya bersama keluarga saya makan siang. Setelah istirahat setengah jam, kami sekeluarga keluarga tiba-tiba perut sakit semua, mual, dan gatal-gatal,”ungkapnya.
Tak hanya Juliath dan keluarga, belasan warga di Siliha juga mengalami hal yang sama seperti gatal-gatal dan juga sakit perut. “Bapak Babinsa dan keluarganya juga mengalami gatal-gatal, anak-anak disini juga terjangkit,”ungkapnya.
Keesokan harinya lanjut Juliath, Ia langsung meninjau lokasi pesisir pantai Siliha. disana ia menemukan permukaan air laut yang telah berubah berbusa dan kecoklatan. Penasaran dengan sumber cairan tersebut, Juliath langsung mendatangi muara sungai Siliha dan menemukan cairan yang warnanya sama dengan cairan yang berada di pesisir pantai.
“Setelah peristiwa tersebut, tanggal 17 februari 2021, sekitar pukul 11 siang saya datangi lokasi untuk memastikan kondisi air tempat saya menjala ikan tadi ternyata, airnya sudah berubah berbusa seperti air sabun, putih kecoklatan,” katanya.
Ia mengungkapkan, tak hanya memantau warna permukaan air, namun ikan yang berada di muara sungai Siliha dan pesisir pantai juga ikut mati. “saya masih sempat lihat ikan seperti mabuk.Putar-putar dan langsung mati terapung diatas permukaan air. Saat itu saya langsung mengabadikan video dan juga foto,”ungkapnya.
Sepulang dari lokasi kejadian, Juliath langsung menemui warga untuk menceritakan peristiwa tersebut. warga Dusun Siliha dibuat geger dan langsung mengunjungi muara sungai dan pesisir pantai. Disana mereka juga menemukan banyak ikan yang mati dan air telah berubah warna.
Sesaat setelah melaporkan kejadian tersebut kepada kepala Dusun, Juliath langsung mengunggah peristiwa tersebut ke media sosial pribadinya, dan mendapat tanggapan dari para warga net. Rekaman video tersebut akhirnya diunggah dan diteruskan ribuan kali oleh pengguna media sosial sehingga mendapat respon dari pemerintah.
“Mungkin karena kesal, saya langsung unggah pada facebook milik saya, dan diteruskan oleh kerabat saya dan mendapat respons positif dari masyarakat. Mungkin kalau tidak diunggah difacebook pihak perusahan acuh-tahu,”tandasnya.
Mantan kariawan PT Nusa Ina Group ini membeberkan setelah peristiwa dugaan pencemaran air sungai siliha dan pesisir laut di pantai siliha, pihak perusahan kebakaran jenggot dan mencoba menutup muara sungai dengan material tanah.
“Jadi sekitar tanggal 20, saya melihat alat berat perusahan mengangkat material tanah untuk menutup batas muara sungai ke laut. Mungkin takut saat air pasang dan masuk lagi ke sungai sehingga air laut bisa ikut tercemar,”ujarnya.
Kata kepala pemuda dusun Siliha ini, selain warga petugas dari Polsek Wahai juga sudah mendatangi lokasi untuk mengabil sampel dan juga mendokumentasikan peristiwa tersebut.
“Dari berbagai instansi sudah datang ke sini setelah peristiwa tersebut, baik polisi, dinas perikanan, lingkungan hidup, tapi kami belum tahu hasil dari sampel yang mereka ambil,”tuturnya.
Jarak yang sangat dekat dengan permukiman maupun sungai, kata pria berusia 39 tahun ini membuat limbah pabrik kelapa sawit bisa langsung mencemari sungai hingga ke laut.
“Dari lokasi pabrik ke muara sungai itu sekitar 500 meter. Air itu adalah sungai Siliha, yang berasal dari gunung ke muara. Memang muara kali siliha itu berdekatan langsung dengan pabrik akhirnya mereka sudah tutup dan menggali lagi turun ke pantai ini,”jelasnya.
Juliath membeberkan fakta perusahan berusaha menghilangkan jejak ikan-ikan yang telah mati baik di sungai maupun pesisir pantai untuk dibuang dan dikubur. Dua pemuda, kata Juliath salah satunya Radias Boiratan. Ia dibayar Rp.100 ribu untuk mengangkat dan membuang ikan-ikan tersebut sehingga tidak ada jejak ikan mati di sana.
“Mungkin karena sudah diviralkan maka perusahan membayar warga. Satu orang seratus ribu untuk mengangkat ikan-ikan mati itu. Mungkin itu untuk menghilangkan jejaknya karena takut dari Pemda atau dinas terkait bahwa ada ikan mati,”paparnya.
Radias Boiratan, mengakui diperintahkan pihak perusahan PT Nusa Ina untuk mengangkat serta menguburkan ikan-ikan yang telah mati itu. “Iya betul, kami hanya tahu diperintahkan diangkat dan kuburkan. Biayanya Rp.100 per orang. Saya bersama seorang teman,”akui Radias.
HRD Nusaina Group, Alhidayat Wajo membenarkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 februari 2021 lalu. Meski begitu ia telah menemui warga dusun Siliha yang telah memposting persitiwa tersebut.
“Kami sudah bertemu saudara Juliath Itihuni tanggal 18 maret 2021 di rumah dan beliau menyampaikan kalau benar pada saat awal sebelum memposting foto dugaan pencemaran lingkungan akibat limbah setelah keluarganya mengalami sakit perut, namun mereka tidak membawa ke dokter atau rumah sakit, hanya meminum obat mual-mual yang pernah diberikan oleh seorang bidan. Dan mereka juga belum memastikan apakah sakit perut yang dialami tersebut diakibatkan oleh limbah atau bukan,”terangnya.
Berkaitan informasi bahwa masyarakat dusun Siliha mengalami gatal-gatal akibat limbah pihak perusahan kata Wajo telah mengkonfirmasi pihak puskesmas yang berada di desa Pasahari untuk mendapatkan kepastian dari pihak medis.
“Kami sudah mengirim surat resmi kepada kepala Puskesmas Pasahari B(Kobi Mukti) untuk mendapatkan informasi pasti dari pihak medis, dan puskesmas perawatan Morokay dengan surat tanggal 13 maret 2021 menyatakan bahwa data warga dusun yang berobat di Puskesmas perawatan Morokay periode januari-februari 2021 ada 3 orang dengan jenis penyakit ISK (inveksi saluran kencing), Myalgia (reaksi nyeri otot), dan kecelakaan lalu lintas. Jadi tidak ada laporan Puskesmas adanya pasien di Dusun Siliha dengan keluhan gejala gatal-gatal atau mengalami gatal-gatal akibat limbah, sebagaimana dituduhkan,”katanya.
Sementara untuk ikan yang mati kata Wajo, lantaran ikan yang berasal dari air laut tersebut terjebak dan masuk areal air tawar dalam waktu yang lama.
“Ikan yang mati hanya satu jenis ikan yaitu ikan jenis kerong-kerong dimana ikan tersebut bisa hidup pada air asin, dugaan akibat matinya ikan tersebut adalah akibat terjebak dan masuk di areal air tawar dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan ikan tersebut mati,”jelasnya.
*****
Laporan Pencemaran
Pasca peristiwa tersebut, warga Dusun Siliha langsung memberikan kuasa kepada Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku, salah satu LSM lingkungan di Maluku untuk melaporkan peristiwa tersebut ke Polda Maluku.
Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku (LKLM) setelah mendapat kuasa dari masyarakat dusun Siliha secara resmi telah mempolisikan PT. Nusa Ina di Reskrimsus Polda Maluku terkait dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah petuanan Dusun Siliha, Negeri Maneo, Kec. Kobi, Maluku Tengah oleh adanya aktivitas pembuangan limbah hasil pengolahan kelapa sawit.
Pelaporan PT.Nusa Ina dilakukan oleh Sekertaris Lembaga Kalesang Maluku, Yohanes didampingi Ketua Divisi Investigasi Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku, Callin Lepuy, senin (8/3/2021) lalu.
Ketua tim Investigasi Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku, Callin Lepuy, kepada sejumlah awak usai mengatakan sejumlah fakta dan data lapangan yang telah dikantongi memperkuat dan meyakinkan LKLM untuk melayangkan pelaporan ini. Diantaranya, terdapat sejumlah biota laut yang mati, air laut pesisir Dusun Siliha menjadi hitam, bahkan sejumlah masyarakat terpapar limbah tersebut seperti gatal-gatal dan sakit perut saat mengkonsumsi ikan yang sudah terkontaminasi dengan limbah tersebut.
Ironisnya, kata Lepuy pengakuan dari masyarakat Siliha bahwa pembuangan limbah oleh PT. Nusa Ina ini sudah sering dilakukan namun karena masyarakat enggan melaporkan dan memilih diam.
“Fakta-fakta ini membuktikan bahwa PT Nusa Ina secara jelas menabrak dan melanggar kententuan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun termasuk juga pasal 74 UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas,”ungkap Lepuy
Menurut aktivis lingkungan Maluku ini, atas dasar semangat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan sejumlah produk regulasi di atas dan dalam kaitan dengan ketentuan pidana yang diatur secara jelas dalam UU PPLH tersebut di atas, maka LKLM sebagai pemerhati isu lingkungan hidup mengambil sikap mempidanakan perusahaan tersebut.
“Tujuan LKLM mempidanakan PT. Nusa Ina tepat di hari World Woman Day, 08 Maret 2021 ini adalah untuk mengingatkan dan memberi sinyal kuat bahwa terdapat banyak sekali kaum perempuan yang sedang terpapar limbah buangan PT. Nusa Ina,”urainya.
Kalesang lingkungan Maluku juga menegaskan, meski telah memiliki persyaratan pengoperasian salah satunya analisis dampak linkungan (AMDAL) untuk pengelolaan lingkungan, namun faktanya tidak seperti yang terjadi di lapangan dengan melakukan pembuangan limbah ke sungai dan laut. Maka setidaknya AMDAL tersebut harus dipertanyakan kepada perusahan PT Nusa Ina.
Di sisi lain perusahan juga melanggar undang-undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian peraturan pemerintah (PP) 101 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya beracun (B3).
Selain pencemaran lingkungan, perusahan bagi masyarakat setempat dianggap tidak memberikan dampak signifikan bagi tingkat perekonomian di dusun Siliha. bahkan mirisnya hanya 15 masyarakat yang direkrut untuk dipekerjakan. Sementara ratusan kariawan lainnya direkrut dari daerah lain.
Mendapat kepercayaan dan kuasa masyarakat adat setempat, Kalesang Linkungan Maluku juga membawa sampel air dari sungai Siliha, yang diduga tercemar akibat limbah PT Nusa Ina. Sampel tersebut akhirnya dibawa dan diuji ke Laboratorium Kesehatan Provinsi Maluku, Karang Panjang Ambon.
Alhasil, dari hasil uji laboratorium kesehatan Provinsi Maluku, sampel tersebut mengandung bahan berbahaya dan sudah di atas ambang batas.
“Hasil uji laboratorium kesehatan provinsi maluku itu kandungan pencemaran pada wilayah sekitar lingkungan Dusun Siliha akibat pembuangan limbah perusahan Nusa Ina itu uji laboratoriumnya sudah diatas ambang batas yang berakibat pada ikan mati, penyakit perut sakit dari masyarakat jika komsumsi ikan, serta gatal-gatal,” kata Contansius Kolatfeka, ketua Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku, jumat (16/4/2021).
Dengan uji Lab beberapa waktu lalu, kata Kolatfeka menunjukan bahwa pencemaran telah di atas ambang batas. Kata ia, ini membuktikan PT Nusa Ina telah melakukan suatu langkah pembuangan bahan berbahaya beracun (B3) pada ruang-ruang hidup yang mengancam ekosistem sekitar. Itu berarti menurutnya, satu pertanggungjawaban harus terjadi dari perusahan tersebut.
“Terkait dengan itu, Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku telah melakukan laporan pidana lingkungan yang ditujukan kepada Polda Maluku melalui Reskrimsus Polda Maluku untuk menindaklanjuti suatu kejahatan linkungan yang terjadi yang dilakukan oleh PT Nusa Ina,”tuturnya.
Dalam waktu dekat kata Kolatfeka, proses-proses menuju perngadilan akan di mulai, ini sebagai sikap lembaga kalesang linkungan Maluku sebagai NgO atau oragnisasi yang benar-benar konsen pada isu-isu linkungan.
“Bahwa pencemaran yang dilakukan oleh PT Nusa Ina dan dibuktikan dengan hasil laboratorium, adalah suatu proses pengelolaan lingkungan yang kemudian merugikan ruang-ruang hidup yang ada di Pulau Seram, khususnya Dusun Siliha. itu menunjukan perusahan ini mesti menjadi suatu mosi yang dibangun, sebagai bentuk dari amanat undang-undang 32 tahun 2009, bahwa PT Nusa Ina harus bertanggungjawab mengembalikan keaslian lingkungan yang ada sebagai bentuk pertanggungjawaban ruang hidup yang ada di sekir situ,”urai Ia.
Ia mengatakan langkah hukum yang diambil oleh lembaga Kalesang Lingkungan Maluku adalah suatu langkah sebagai bentuk penegasan atas kepedulian terhadap ruang hidup. Untuk itu, Ia meminta dukungan dari berbagai pihak, baik masyarakat, baik pribadi, lembaga, maupun Negara untuk memberikan suatu sikap atau sanksi tegas terhadap PT Nusa Ina Group dalam pengelolaan linkungan.
Aktivis lingkungan Maluku ini juga tegaskan perusahan Nusa Ina harus bertanggungjawab terhadap pengelolaan lingkungan, minimal perusahan ini harus bertanggungjawab kepada linkungan sekitar karena pengelolaannya mengabaikan linkungan maka, atas nama linkungan hidup Perusahan Nusa Ina harus berhenti beroperasi.
“Perusahan harus berhenti melakukan aktivitas produksi guna melakukan suatu bentuk pertanggungjawaban terhadap ruang hidup yang telah dimusnahkan oleh aktivitas PT Nusa Ina,”tegas Kolatfeka.
Jika sampel air sungai siliha sudah mendapat pengujian dari hasil laboratorium kesehatan provinsi Maluku, dan hasilnya diatas ambang batas, lalu seperti apa reaksi pemerintah Daerah Kabupaten Maluku tengah serta dinas Lingkungan Hidup terhadap dugaan pencemaran lingkungan akibat limbah produksi PT Nusa Ina Group ?
Wakil Bupati Maluku Tengah Marlatu Leleury, mengatakan pihaknya yakni dinas Lingkungan hidup telah meninjau lokasi bersama dengan dinas terkait lainnya serta telah melakukan penelitian terhadap limbah yang ada.
“Tim langsung turun dan memeriksa lokasi, dan isu lokasi terkontaminasi hingga menimbulkan bau dan lain-lain. Namun setelah saluran air itu dibereskan tidak terjadi lagi. Dan setelah diteliti itu limbahnya dan itu masih wajar dan saya kira mudah-mudahan tidak ada masalah,”katanya.
Marlatu menambahkan, setelah dilakukan penelitian air dari sungai tersebut tidak berpengaruh atau berdampak siginifikan. “Mereka teliti memang tidak ada pengaruh yang terlalu signifikan terhadap air yang ada,”tuturnya.
Atas kejadian tersebut, Pemerintah sendri telah melakukan koordinasi dan memanggil manajemen perusahan Nusa Ina agar bisa bisa membantu pemerintah menangani maslaah tersebut.
“Untuk perusahan sendiri memang sempat pemerintah melakukan koordinasi dan perusahan juga dipanggil dan juga mereka lakukan penelitian terhadap limbah yang dibuang itu,”tandasnya.
Hal senada dikatakan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku Tengah, melalui Seksi Perencanaan dan Kajian Dampak Lingkungan, Mevianan Jayaningrum. Dikatakan dari hasil pengujian Dinas setempat terhadap sampel air sungai Dusun Siliha, ia menjelaskan masih dibawah ambang batas.
“Kita bicara karena ada hasil uji sampel air yang didapatkan, ada 3 yang melebihi yakni Klorida, Klor Bebas, sama Kadmium. Air itu Cuma genangan saja, kemudian ada intrusi dari air laut. Jadi untuk air temuan termin diatas itu kemungkinan bisa karena factor alam, dan juga intrusi air laut,”urainya.
Baku mutu air sungai berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021, Pada lokasi sampel dapat diklasifikasikan sebagai Kelas IV karena tidak ada peruntukan khusus atas air cekunangan/rawa tersebut.
Dijelaskan, sebab nama jenis sampel yang diambil adalah cekungan lantaran lokasi tersebut merupakan air yang tergenang. “Cekungan itu semacan genangan. Airnya tidak mengalir. kalau sungai kan ada hulu dan hilirnya,”cetusnya
Terkait penemuan ikan yang mati seperti diberitakan sejumlah media, Mevianan menjelaskan tidak sesuai dengan habitatnya, karena ikan yang masuk ke sungai adalah ikan laut.
“Kemudian ikan yang mati adalah ikan kecil-kecil yakni ikan kerong-kerong. Kemungkinan saat air pasang, ikan masuk ke dalam genangan air sungai itu. sebelumnya setelah kejadian perusahan menutup lokasi genangan jadi air laut maupun air payau agar tidak bertemu lagi, jadi setelah ikan masuk disitu kan dia terperangkap di situ, dugaan sementara kami ikannya terperangkap disitu, jadi istilahnya dia punya habitatnya tidak sama lagi, kemungkinan ikannya mati karena itu,”tuturnya.
Sementara air sungai yang berubah warna, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku Tengah ini menjelaskan akibat sisa bakaran dekat kolam penampungan limbah sehingga saat hujan lebat air tersebut larut dan masuk menuju sungai.
“Kemudian airnya warna coklat kemungkinan karena ada tangkos dan sisa-sisa bakaran yang ditaruh di lokasi penampungan karena hujan besar, materialnya larut masuk ke air dan menuju ke genangan tersebut, makanya air itu warnanya coklat dan sangat pekat,”tandasnya.
Ia juga mengatakan, saat ini dugaan sementara air berubah warna akibat kebocoran dari salah satu kolam atau ipal limbah produksi minyak sawit tersebut.
“Untuk saat ini dugaan sementara adalah kebocoran, setelah diteliti. Pihak GAKKUM juga sudah turun ke lokasi dan tidak ada kebocoran pada Ipalnya. Dan dari uji sampel dari Ipalnya masih dalam batas dari kadar yang diperbolehkan,”jelasnya.
Ditanya jarak antara Instalasi pengolahan air limbah (Ipal) atau kolam limbah dengan sungai Siliha, ia mengatakan dari pemantauan lokasi pembuangan limbah masih dalam jarak yang cukup jauh dari sungai maupun permukiman warga.
“Kalau dari Ipalnya itu tidak berpengaruh karena salurannya bukan ke situ. Dari Ipal sampai kea rah pencemaran itu, mungkin sekitar 1-2 kilometer, dan outlet ipalnya berlawanan dengan arah yang diduga kebocoran itu, dan untuk sementara dugaan kebocorannya seperti itu. sampel airnya bukan negative tapi masih dibawah standard an tidak berbahaya,”ujarnya.
Untuk isu ikan yang mati akibat dampak pencemaran limbah produksi kelapa sawit, menurut Kepala Seksi Perencanaan dan Kajian Dampak Lingkungan ini tidak sesuai dengan yang terjadi di lokasi pesisir pantai Dusun Siliha.
“Karena sampai disana kami juga minta uji airnya, untuk membuktikan ikan lainnya yang hidup dan ternyata ada ikan yang hidup. Karena itu harus dibuktikan,”tandasnya.
“Kalau untuk masyarakat informasinya, masyarakat juga cari ikan disana jadi saat masyarakat di lokasi tengah menjala dan juga ada masyarakat yang mandi di pantai. Jadi kalau ada informasi pada saat kita turun kita tidak temui. Kita hanya bicara pada saat kita turun saat itu,”katanya.
Juliath Itihuny membatah pernyataan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku Tengah lantaran baru tiba meninjau lokasi setelah lokasi sudah dibersihkan perusahan PT Nusa Ina.
“Mereka itu Dinas Lingkungan Hidup dan Perikanan datang semuanya sudah dibersihkan oleh pihak perusahan, airnya juga sudah tidak seperti semula. Ikan-ikannya juga sudah dibuang, ada yang dibayar untuk menguburnya. Jadi mereka tidak dapat lagi sampel air awal. Kalau mau tanya itu sama petugas polisi yang datang mengambil data sehari pasca viral di media sosial,” paparnya.
Manajemen Nusaina Group, Alhidayat Wajo melalui rilisnya mengatakan lokasi Intalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) milik perusahan yang menyebabkan terjadinya pencemaran di lokasi sungai Siliha.
“Lokasi yang viral tersebut bukan lokasi IPAL milik Nusaina Group namun lokasi yang viral adalah daerah genangan air yang disekelilinginya terdapat tanaman mangrove,”jelasnya.
Dikatakan setelah beredar informasi dugaan pencemaran limbah, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku Tengah bersama Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakum) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Maluku Papua langsung turun ke lokasi sungai Silaha untuk memeriksa dugaan pencemaran limbah. Alhasil tidak ditemukan.
“Pada tanggal 21 maret 2021, DLH Kabupaten Maluku Tengah dan Balai Gakkum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Maluku Papua pada tanggal 24 februari sampai tanggal 2 maret 2021 telah melakukan pemeriksaan lapangan pada areal yang diduga tercemar dan lokasi IPAL,tandasnya. Hasil temuan tim menyatakan tidak terjadi pencemaran yang dilakukan oleh Nusaina Group akibat dari limbah kelapa sawit.
Organisasi Ecological Observation And Wetlands Consevation (ECOTON) dalam dalam berbagai kasus pencemaran limbah sawit mencatat pengelolaan limbah sangat sederhana untuk mengurangi bahan organik yang tinggi.
“Pabrik CPO itu bahan organiknya tinggi, jadi pengelolaan limbah itu hanya untuk mengurangi. dari pengalaman saya di Kalimantan seringkali limbah itu dibuang secara illegal, tujuannya apa agar kolam-kolam limbah itu tidak ambrol atau tidak pecah,”ungkap Riska Darmawanti peneliti senior Ecological Observation And Wetlands Consevation (ECOTON).
Riska sendiri merupakan peneliti senior yang fokus mencari tahu dan meneliti berapa banyak kandungan dioksin dan klorin pada sungai. Juga penelitiannya tentang kasus pembuangan limbah bahan berbahaya (B3) seperti di Jawa Timur dan Kalimantan Barat.
Dari pengalaman melakukan penelitian, menurut Riska banyak kejadian kebocoran pada kolam-kolam limbah hingga meluber masuk kedalam sungai. Biasanya kata Ia, factor hujan deras sehingga kolam penampung sulit menampung debit limbah tersebut.
“Biasanya pembuangan limbah itu dilakukan saat musim penghujan karena mereka secara kapasitas tidak memadai, sementara permintaan limbah sebegitu besar,”jelasnya.
Soal ikan yang mati di sungai dan pesisir pantai, Peneliti ECOTON yang saat ini meneliti di Kalimantan Barat ini mengakui tingginya bahan organik limbah kelapa sawit yang mengalir ke sungai.
“Ikannya pasti mati, karena limbah organik itu tinggi bahan organik dan kalau bahan organik masuk ke sungai oksigen di dalam air itu akan turun hingga ikannya pasti mati,” ungkap perempuan yang juga menjabat Koordinator Indonesia Water Community of Practice (IndoWaterCop) tersebut.
Dari berbagai kasus, kata Riska yang fokus penelitian pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional ini banyak organisasi maupun Pemerintah melalui dinas terkait salah langkah melakukan sampling dari objek yang diambil. Misalnya waktu pengambilanya sampel, berapa lokasi yang perlu diambil, serta bahan apa yang bisa diambil sebegai sampel.
“Untuk pengalaman kami sering mendapat kasus seperti ini, beberapa hari yang lalu itu malah limbah dibuang juga. Sebenarnya yang menarik itu Dinas KLH-nya. Kira-kira mereka sampling itu berapa lokasi? karena lokasinya akan menentukan karena kalau ambil sampelnya dua hari setelah kejadian, apalagi di muara itu dipengaruhi pasang surut air laut. Lalu ketika mereka ambil sampel ketika air laut itu pasang itu berarti airnya itu dibawa ketengah laut terus limbahnya kebawa ombak,”tandasnya.
Ia menyarakan agar pabrik kelapa sawit bisa memperhatikan kolam-kolam limbah agar tidak over capacity atau bocor jika datang musim penghujan. Kolam-kolam limbah menurutnya, juga mengendapankan bahan organik supaya kalau keluar itu agak jernih.
Syarat ketinggian kolam limbah tidak cukup tebal atau cukup tinggi dijelaskan juga harus diperhatikan agar tidak bocor sehingga pihak perusahan tidak akan pompa limbahnya sendiri keluar.
“Terkadang itu kolam limbah over capacity. Seperti kami temukan sama kasusnya di Kalimantan Barat itu justru CPOnya yang mereka buang, bukan limbahnya. Jadi mereka campur dengan air, baru disemprot CPO-nya nanti mereka aliri ke kanal-kanal, karena apakah tempat mereka tidak termuat atau tidak memadai. Karena setahu saya, kasus yang kami tangani itu produksinya 60 ton per jam. Makanya harus dilihat kapasitas perusahannya itu berapa dan limbah ipalnya itu berapa,”jelas Magister Biologi Universitas Airlangga (Unair) tersebut.
Untuk kasus warga Dusun Siliha terserang gatal-gatal, Riska mengakui sering menemui kasus ini akibat pencemaran limbah pada biota sungai maupun laut.
“Kalau dengar keluarga nelayan sakit perut karena ikan yang dimasak berasal dari lokasi pencemaran itu biasa terjadi. Bisa setelah makan juga terjadi gatal-gatal,”katanya.
Anggota DPRD Maluku Tengah, Husen Alkatiri saat ditemui diruang kerjanya, senin (19/4/2021) menjelaskan akan memanggil pihak perusahan untuk menjelaskan dampak pencemaran limbah. Kata Huisein, DPRD Provinsi Maluku telah melakukan uji laboratorium dan alhasil air sungai siliha diduga tercemar karena mengandung bahan berbahaya.
“Dampak lingkungan memang kemarin dari dinas lingkungan hidup kabupaten maluku tengah dia tidak mencemari, tapi menurut hasil dari DPRD Provinsi uji laboratoriumnya itu kan berbahaya, dan perlu kajian bersama antara pemerintah daerah dan DPRD untuk membahas bersama untuk bagaimana kita memberikan rasa nyaman kepada masyarakat kita dan kepada investor,” tegasnya.
*****
Analisis Uji Sampel
LAPORAN Hasil Uji Sampel air sungai Siliha di Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Alat Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku 23 maret 2021 lalu telah diterima organisasi Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku 30 maret 2021. Hasil uji sampel itu dilakukan selama tujuh hari lamanya.
Dari laporan hasil uji Balai Laboratorium Kesehatan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2021, Baku Mutu kelas 4. Dalam keterangannya sampel uji seperti; DO (dissolved oxygen), BOD, COD, klor bebas, Klorida, Sulfat, Detergen tidak sesuai dengan kadar yang diperbolehkan.
Dari hasil uji sampel yang dikeluarkan Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Alat Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Organisasi Ecological Observation And Wetlands Consevation (ECOTON) kemudian melakukan review. Sejumlah kejanggalan ditemukan. Seperti Balai Laboratorium, Ecoton juga melakukan analisa menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2021, Baku Mutu kelas 2,3, dan 4. Alhasil disana terjadi pencemaran.
“Bila dibandingkan dengan Baku Mutu kelas 2, maka tidak memenuhi Baku Mutu karena parameter Zat Padat terlarut (TDS), Detergen total, DO (dissolved oxygen), BOD, COD, Klor bebas, Klorida, Sulfat melebihi Baku Mutu. Artinya telah terjadi pencemaran,”kata Riska Darmawanti peneliti senior Ecological Observation And Wetlands Consevation (ECOTON).
Dari hasil uji Lab, menurut Riska parameter yang penting tapi tidak diukur untuk diambil adalah kromium val. 6. “Total kromium tidak ada di parameter baku mutu dan kromium val. 6 paling beracun dari jenis kromium,”sebutnya.
Riska menguraikan parameter BOD dan COD yang tinggi menunjukkan adanya masukan limbah berupa bahan organik dan kimia yang berujung pada penurunan DO di perairan dan diduga kuat menyebabkan ikan mati.
“Minimum DO untuk ikan atau makhluk hidup untuk hidup di air itu 4 ppm (konsentrasi). DO yang mereka ukur 0,5 jelas ikannya mati,”paparnya.
Ia menyebut, Parameter Klorida dan Klorin bebas bersumber pada pemakaian pupuk dan pestisida namun bisa tersedia secara alami. “Untuk perairan payau kisaran alaminya 500-5,000 mg/L. Ini menunjukkan bahwa kadar klorida yang tinggi tidak terjadi secara alami,”tandasnya.
Parameter Sulfat dan Detergen tinggi dijelaskan bisa disebabkan karena akumulasi penggunaan detergen karena proses bersih-bersih atau pencucian peralatan yang digunakan untuk proses pemisahan olein dan steanin dari CPO. “Apakah pabrik melakukan ini? tanya Rika. “tingginya sulfat diduga berasal dari proses pemupukan sementara konsentrasi Ph (derajat kesamaan) atau timbal mendekati baku mutu yang diijinkan,”tambahnya.
Peneliti Senior ECOTON yang fokus pada Keanekaragaman hayati, kerugian lingkungan dan pertanggungjawabannya, kebijakan penataan ruang, dan akses masyarakat adat/lokal terhadap sumber daya alam menjelaskan perubahan uji sampel yang berbeda satu dengan lainnya akibat pengaruh saat pengambilan.
“Kadar BOD (Kebutuhan Oksigen biokimiawi), COD (Kebutuhan oksigen kimiawi) dan DO (dissolved oxygen/ Oksigen terlarut) juga dipengaruhi oleh proses sampling (pengambilan dan pengawetan),”jelas Magister Biologi Universitas Airlangga ini.
Sementara itu, Dinas Linkungan Hidup Kabupaten Maluku Tengah juga melakukan uji sampel dugaan pencemaran limbah pabrik kelapa sawit PT Nusa Ina di dusun Siliha.
Laporan Hasil Uji Sampel air sungai Siliha di Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Alat Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku 5 maret 2021 lalu telah diterima 10 maret 2021. Hasil uji sampel itu dilakukan selama lima hari lamanya.
Dari laporan hasil uji Balai Laboratorium Kesehatan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2021, Baku Mutu kelas 4. Dalam keterangannya sampel uji seperti klor bebas, Klorida, dan Kadmium tidak sesuai dengan kadar yang diperbolehkan.
Dari hasil uji sampel yang dikeluarkan Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Alat Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku Tengah menjelaskan tiga parameter yang melebihi kadar diperbolehkan seperti Jumlah Klor bebas dan Kadmium tinggi bisa diakibatkan karena kondisi alam yang merupakan air payau. Khlorida yang tinggi akibat dari intrusi air laut sehingga mengakibatkan tingginya kadar garam.
Sementara dari hasil uji laboratorium, parameter klorida dengan jumlah hasil mencapai 1869,72 mg/l atau melebihi kadar maksimal yang diperbolehkan yakni 600 mg/l. Parameter Kadmium dengan jumlah hasil mencapai 0,02 mg/l atau melebihi kadar maksimal yang diperbolehkan yakni 0,01 mg/l. Parameter Klor bebas dengan jumlah hasil 0,26 mg/l atau melebihi kadar maksimal yang diperbolehkan yakni 0,03 mg/l.
Terkait penjelasan Hasil Laboratoruim yang dibawa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku terkait jenis sampel cekungan, Riska Darmayanti, peneliti Senior Ecological Observation And Wetlands Consevation (ECOTON) menyatakan tidak sesuai dengan Baku mutu air sungai berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021.
Kata Riska jika dipakai kelas empat yang merupakan air dan peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratakan mutu air sama dengan kegunaan tersebut. Maka sudah barang tentu, Air cekungan yang disebutkan di dalam hasil uji laboratorium tersebut masuk dalam baku mutu air sungai dan sejenisnya kelas empat.
Ia bahkan menanyakan alasan Dinas Lingkungan Hidup Maluku Tengah menamai air cekungan. “Meskipun dimasukan ke kelas empat tetap kondisinya tercemar karena ada parameter yang melebihi baku mutu,”jelasnya.
Ia bahkan menjelaskan lokasi sampling yang dianggap sebagai cekungan atau rawa maka harusnya dipakai parameter kelas dua. “Kalau lokasi samplingnya adalah rawa termasuk badan air harusnya pakai kelas 2,”pungkasnya.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 pasal 107 butir satu, dijelaskan Riska perlindungan dan pengelolaan Mutu Air sebagaimana dimaksud dalam paal 2 hurufb dilakukan terhadap air yang berada di dalam badan air. Sementara pada butir kedua dari pasal 107 mengatakan; badan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (1). sungai,anak sungai dan sejenisnya,(2) Danau dan sejenisnya. (3).Rawa dan lahan basah lainnya.
Meski demikian berdasarkan hasil Laboratorium DLH Kabupaten Maluku Tengah, Nusaina group yakin tidak terjadi pencemaran limbah di sungai Silaha.
“Bahwa dugaan pencemaran bukan terjadi di sungai Siliha (baling III) namun pada lokasi genangan di areal sekitar pabrik dengan jarak antara pabrik dan lokasi kurang lebih 700 meter. Dan berkaitan dengan hasil pemeriksaan Laboratorium atas lokasi yang diduga tercemar dilakukan secara langsung oleh DLH Kabupaten Maluku Tengah dan hasilnya masih dalam kategori normal walau ada tiga parameter yang tinggi antara lain : Klor bebas, Klorida, dan Kadmium,” ungkap Wajo. Berdasarkan peruntukan, air untuk tiga jenis parameter ini masih dalam kategori normal oleh karena jenis air adalah air genangan”.
Sementara untuk pemeriksaan IPAL di sungai Silaha menurut Wajo, Nusaina Group melakukan secara periodik atau 3 bulan sekali untuk lokasi sungai Siliha dan tidak melebihi kadar yang telah ditentukan dan masih dalam kategori normal.
“Bahwa pembangunan kolam limbah pada tahun 2014 sudah dirancang system penampungan dan pengelolaan limbah sesuai dengan analisa dampak lingkungan yang telah disusun,”urainya.
*****
Dampak Sawit
SUASANA pantai Dusun Siliha, lokasi wisata di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Minggu (12/4/2021) nampak sepi. Pantai yang terkenal dengan pasir putihnya di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi ini, hampir sebulan terakhir jarang didatangi oleh pengunjung dari luar dusun Siliha.
Pesisir pantai dengan panjang dua kilometer ini memang kerap dikunjungi warga, pada saat akhir pekan maupun hari raya. Lokasi ini ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal mapun dari luar. Sayangnya, setelah dilanda peristiwa pencemaran limbah, bulan maret lalu, lokasi ini sepi.
Saat mendatangi lokasi ini, jurnalis titastory hanya menemukan kotes atau rumah santai yang telah masih berdiri di tepi pesisir pantai. Sebagian rumah santai ini sudah mulai rusak, karena jarang terurus. Sementara, minggu akhir pekan yang biasanya ramai tidak terlihat sedikitpun.
Pantai Siliha merupakan satu-satunya pantai di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, biasanya ramai dikunjungi karena keindahan dan juga pasir putihnya. Namun sejak peristiwa pencemaran limbah ke laut para pengunjung tak lagi mendatangi lokasi ini apalagi untuk mandi di pesisir pantai.
Yang paling parah sampai saat ini tidak ada pengunjung yang ke lokasi ini karena takut mandi di lokasi ini. Tidak sama dengan waktu pembukaan pantai kami disini pada tahun 2017 dan pengunjungnya sangat banyak.
“Untuk pemasukan dari wisata pantai ini diatas Rp.30 juta – Rp. 40 juta setiap hari raya atau hari-hari natal. Namun kalau ditahun kemarin pendapatannya 5 juta itu sudah paling besar tidak sama dengan 2 tahun sebelumnya saat pertama kali wisata pantai ini dibuka,”ucapnya.
Juliath sebagai kepala pemuda mengkuatirkan, dampak limbah pabrik kelapa sawit ini maka akan berpengaruh pada ekonomi warga Dusun Siliha. “semua sudah terjadi dan bisa lihat sekarang ini, berdampak pada pemasukan kami semua,”tuturnya.
Dusun Siliha sendiri dari data kependudukan setempat terdiri dari 52 kepala keluarga, serta terdiri dari 420 jiwa orang. Mayoritas warga Siliha bekerja sebagai petani dan juga nelayan. Dusun Siliha yang berdekatan dengan kawasan pabrik perkebunan sawit ini hanya 6 penduduknya bekerja di pabrik kelapa sawit. Selain sebagian bekerja Pekerja Harian Lepas yang bekerja di kebun sawit.
Lokasi Dusun saat ini merupakan lokasi kedua setelah beberapa tahun lalu dipindahkan akibat pembangunan pabrik kelapa sawit. Berada di daerah dataran rendah membuat lokasi ini setiap musim penghujan dilanda banjir. Warga setempat kian pasrah dengan bencana dari dataran tinggi tersebut.
Lokasi baru Dusun Siliha ini, jika dibanding dengan kampung lama berada di dataran tinggi, dekat pabrik kelapa sawit.
Selain banjir, dampak buruk dari pabrik ini adalah daerah penangkapan yang biasa bisa dijangkau sejauh 50 meter untuk mencari ikan hanya beberapa meter harus berpindah ke lokasi yang lebih jauh.
“Takutnya kami sebelum tahun kemarin air keclokatan itu ke pantai kami mencari ikan di tepian pantai saja itu sudah banyak, sudah bisa jual dan sebagian bisa makan juga, tapi sekarang 3 – 5 kilometer ikan, itupun sudah sulit,” tutur Juliath.
Selain limbah pabrik, hutan mangrove yang berada di sekitar perkampungan Siliha dan pesisir pantai juga telah dibabat habis oleh pihak perusahan PT Nusa Ina Group. Saat ini lokasi hutan mangrove telah dibabat dan dijadikan sebagai pabrik kelapa sawit PT Nusa Ina Group.
“Dulu itu banyak sekali bakau atau mangrove disini, tetapi saat perusahan itu masuk dan membuat pabrik, pohon-pohon itu dibabat semua,”ungkap kepala pemuda Siliha ini.
Sebelumnya lokasi ini ditumbuhi oleh ribuan mangrove atau bakau. Bakau yang berdiri tegak saat itu sudah ditebang habis oleh perusahan untuk membangun pabrik kelapa sawit. Akibatnya saat ini tanaman bakau yang berada di lokasi ini telah kritis.
Juliath mengatakan alih fungsi kawasan hutan mangrove di Dusun Siliha Negeri Maneo, menjadi pabrik kelapa sawit oleh PT Nusa Ina Group dilakukan sejak 2009 silam. Kondisi ini membuat, hutan mangrove di wilayah ini terus menipis.
“Sebelum perusahan masuk itu semua hutan mangrove, di lokasi pabrik pun itu hutan bakau dan semua digusur semua, jadi tinggal sedikit saja ini tinggal 4-5 pohon yang berada di muara sungai ini,” kata Juliath sambil menunjuk bekas mangrove yang ditebang oleh perusahan Nusa Ina.
Tanggapi keluhan warga tentang penebangan mangrove secara besar-besaran oleh perusahan untuk membangun pabrik maupun perkebunan sawit, Manajemen Nusaina Group mengatakan pembangunan lokasi pabrik saat ini adalah awalnya kawasan hutan HPK.
“Lokasi pabrik saat ini awalnya kawasan hutan (HPK) setelah tahun 2014 melalui kementrian kehutanan Republik Indonesia. Memang ada tanaman mangrove yang ditebang, namun setelah dikeluarkan SK pelepasan kawasan hutan dari awalnya HPK (hutan produksi yang dapat dikonversi) menjadi APL (areal penggunaan lain),”kata HRD Nusaina Group, Alhidayat Wajo.
Kepala Pusat Penelitian Wlayah Pesisir, Pulau-pulau kecil dan daerah terluar Pusat Studi Lingkungan (PSL) Unpatti Ambon Dr.Ir. Jems Abraham,S.Pi, M.Si mengatakan mangrove mempunyai beberapa fungsi dalam perubahan yang pertama fungsi secara fisik yakni memberikan perlindungan terhadap garis pantai dan kawasan pantai.
Mangrove juga dari sisi biologis maupun ekologis menurutnya memberikan manfaat sebagai tempat asupan bagi sumberdaya yang hidup dan berasosiasi di kawasan mangrove itu sendiri tetapi yang berikut tanaman mangrove mempunyai pengertian yang lain sebagai daerah tempat makan dan sebagai tempat untuk memijah atau bertelur.
Selain itu fungsi lainnya mangrove mempunyai fungsi yang besar bagi kehidupan ekologis tetapi juga bagi kehidupan masyarakat disisi lain fungsi mangrove dari sisi ekonomi memberikan manfaat bagi masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya yang ada di mangrove contohnya seperti ikan kemudian ada kepiting, tetapi juga mangrove dimanfaatkan sebagai kawasan wisata disisi lain mangrove juga sudah ditetapkan sebagai kawasan penting untuk dilindungi secara internasional global, nasional dan daerah kita lihat sebagai kawasan yang harus dilindungi.
James juga mengatakan bakau bernapas melalui pori-pori di akar. Jika akarnya tertutup lumpur, minyak, atau polutan lain bakau akan punah perlahan. Siklus hidupnya juga lambat, mencapai puluhan tahun.
Kedepan menurut ilmuan perikanan dan ilmu kelautan ini adanya pengembangan pulau-pulau pendekatan yang sifatnya komferensif dan pendekatannya lebih terpadu. Semua orang bisa memberikan kontribusi, pemerintah bisa memberikan kontribusi maka disitulah pendekatan yang selama ini kurang dikembangkan dengan baik adalah pendekatan komunikasi yang berseifat adaftif yaitu mengakomodasi masyarakat sampai dengan pemerintah. Sedangkan yang adaftif adalah bagaimana kita merubah system yang terjadi di sekitar hutan mangrove.
Saat dihubungi terpisah Guru Besar Kehutanan Universitas Pattimura, Prof Dr Agus Kastanya (56) memiliki pandangan sendiri tentang hutan mangrove. Ia mengatakan disaat ini sebagian besar mangrove berada pada wilayah areal penggunaan lain atau juga wilayah konversi yang sangat berbahaya bagi lingkungan ini. Karena itu, ia mengharapkan harus secepat mungkin dialihkan menjadi hutan lindung.
“Yang hanya kita bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu atau jasa-jasa lingkungan tidak boleh lagi kita mengkonversikan mangrove ini menjadi pembangunan untuk sektor-sektor lainnya, ini sangat luar biasa berbaya dan saya lihat perusahan-perusahan yang masih beroperasi di berbagai tempat menjadikan lahan-lahan yang dikonversikan dengan mudah saja,”sebutnya.
Guru besar ilmu kehutanan ini bahkan tidak sependapat dengan aturan-aturan yang membolehkan mengkonversi hutan mangrove, padahal hutan mangrove menurutnya adalah sebuah ekosistem yang mempunyai daya serap karbon yang sangat tinggi lebih dari pada hutan alam kita.
“Mungkin tujuh sampai sepuluh kali penyimpanan karbonnya atau daya serap karbonnya itu lebih tinggi dari hutan alam kita. Dan memang mangrove ini merupakan barier untuk menjaga seluruh pesisir pulau-pulau kecil dan saya yakin pulau-pulau kecil kita di pesisir sudah banyak yang hancur.
Ia mengambil contoh lokasi sekitar pulau ambon masih banyak isntansi yang mengkonversi untuk pembangunan pemukiman, kantor dan di dalam teluk ambon sehingga mengalami kerusakan yang luar biasa. “Saya kira itu yang harus diperhatikan dalam upaya merevisi tata ruang kita,”tandasnya.
Untuk kasus mangrove di pesisir pantai, di desa Maneo, Dusun Siliha itu ditebang sepanjang tiga kilometer pantai, menurutnya ini cukup luas. Padahal untuk pulau-pulau kecil di Maluku termasuk di Seram, meski pulau seram ukuran pulaunya besar tetapi karakter fisik DAS yang pendek itu sangat berbahaya bagi lingkungan.
“Jika ini ditebang tanpa ada perencanaan yang baik dan bisa mengamankan lingkungan. Dan untuk mangrove ini sebuah potensi yang sangat besar untuk menjaga pesisir pantai, menjaga ekosistem pantai dan laut kita terhadap sumberdaya laut yang cukup besar,”jelasnya.
Berdasarkan informasi masyarakat, kata ketua dewan kehutanan Indonesia Maluku ini, sebelumnya warga selalu melakukan aktifitas perikanan atau menangkap ikan dan sumber daya laut yang lain. Namun dikatakan saat ini mereka sangat sulit akibat dari penebangan pohon-pohon mangrove tersebut.
“Dengan perubahan iklim, ada kenaikan permukaaan laut sehingga akan terjadi kerusakan pantai tetapi juga terjadi abrasi, sehingga kerusakan di pesisir itu akan berdampak yang besar bagi masyarakat,”pungkasnya.
*****
Saat Hama Merebak
Pohon Sawit setinggi dua meter berjejeran rapih di perbukitan desa Kobi Mukti, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah. Ratusan hektar pohon-pohon sawit ini terletak kawasan afdeling IV (empat) merupakan lahan milik warga transmigrasi yang dimitrakan kepada perusahan PT Nusa Ina Group.
Sebagian besar penduduk yang besrasal dari pulau Jawa ini menjual tanah mereka dengan sistem kemitraan. Sementara lainnya tidak ikut menjual lahan mereka dan lebih memilih menggarap padi di sawah.
Jumat (9/4/2021), Sukri Temon (40) warga Desa Mukti wajahnya nampak berkerut. Ia sedikit sibuk melihat kondisi lahan sawahnya yang mulai mengering. Sudah dua bulan terakhir sawahnya tidak teraliri dengan baik. Menurutnya saluran irigasi sudah dua bulan ini rusak karena tertutup material tanah.
Kondisi ini menurut Temon berdampak bagi lahan tanaman padinya yang hasil panennya sudah semakin berkurang.
Selain kekurangan air untuk sawah, ladang sawahnya juga kerap mendapat serangan hama seperti tikus dan juga ulat daun. Tak sedikit dana yang dikeluarkan untuk membeli obat pencegah hama atau petisida.
Bagi temon, padi yang ditanamnya belakang ini tak banyak memberikan hasil yang memuaskan. Belum lagi kata Temon, pengeluaran biaya yang banyak untuk membeli obat petisida untuk hama padi.
“Dananya tidak sedikit untuk ditanam, biaya garap 6 juta, biaya tanam saja 12 juta untuk bajaknya 1 hektar, biaya cabut 6 juta sudah berapa, belum lagi obat untuk hama. Itu harus ada uang. Kalau kita usaha semuanya harga obat dan pupuk tidak bisa menutup keuntungan,”urainya.
Dikatakan warga transmigran asal jawa tengah ini, Ia sepekan 2 kali harus menyemprot tanaman padi-padinya agar terhindar dari hama tikus dan juga ulat daun.
“Kalau diisini banyak hama tikus, karena sawitnya di dekat lereng perbukitan. Kemarin,sepekan yang lalu kita semprot, tapi harus semprot lagi. Hama ulat, penggulung daun sangat banyak juga,”katanya.
Alih-alih mendapatkan hasil yang memuaskan namun, temon dan sejumlah petani di Desa Kobi Mukti harus mengurungkan kepuasan mereka itu karena hasil panen merugi.
“Obatnya dan pupuk yang mahal, namun harga padinya sangat murah. Petani ini merugi terus dan minus. Ini dalam sebulan ini 5 kali semprot. Biasanya dulu itu hanya sekali atau dua kali saja. Jadi karena hemat obat, kita semprot satu minggu sekali, karena dosis obat sedikit,”terangnya.
Tahun 2020, Temon dan kerabatnya hanya bisa memanen padi sebanyak 3 ton, jauh dari hasil panen sebelumnya yang mencapai 6-7 ton tahun.
Temon bersama warga Desa Kobi lainnya berharap Pemerintah Maluku Tengah bisa membantu mereka untuk masalah irigasi dan juga hama tanaman seperti Tikus dan ulat daun itu, agar hasil panen bisa memuaskan sesuai target pemerintah setempat.
Sebelumnya, sebagian besar warga Desa Kobi Mukti menjual sebagian lahan transmigrasi mereka untuk dimitrakan kepada PT Nusa Ina Group. Janji yang sama oleh perusahan untuk sejaterahkan penduduk setempat. Namun hingga saat ini, janji pembagian hasil 70:30 tak kunjung ditepati.
“Hampir disini rata-rata lahan diserahkan, tapi pembayarannya tidak jelas. Pembayaranya 20 ribu per bulan dari perjanjian awal 70:30. Kita juga tidak pernah tahu rinciannya dapat sekian ton per panen kan kita tidak tahu. Dulu banyak yang tergiur dengan sawit padahal kenayaataannya merugi. Dulu ceritanya sawit dulu ini bisa sejaterahkan dan banyak janji padahal kita ditipu dengan hasil pembagian itu,”bebernya.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Hortikultura Kabupaten Maluku Tengah, Arsyad Lamat mengungkapkan Kehadiran kepala sawit di Maluku Tengah sangat mengganggu tingkat produktifitas hasil panen padi terutama sebagai penghasil beras di kecamatan seram timur seti dan kecamatan seram utara timur kobi, Kabupaten Maluku tengah.
“Produktifitas kita sangat menurun dibandingkan dengan tahun 1982 sampai tahun 1985 di daerah seram utara produksi beras bisa mencapai 6-7 ton, sekarang turun sekali 2-4 ton ini diakibatkan lahan-lahan yang ditanami oleh kelapa sawit itu berdekatan dengan areal sawah sehingga hama yang ada pada kelapa sawit itu mengganggu tanaman padi terutama hama tikus banyak sekali,”ungkapnya.
Untuk masalah irigasi air, ia menjelaskan karena berdekatan dengan lahan areal sawah, maka kelapa sawit itu dipastikan akan menyerap air banyak.
“Tanaman padi ketika musim kemarau itu para petani itu tidak bisa tanam lagi karena gangguan dari pada kelapa sawit itu sendiri,”tuturnya.
Lebih parahnya, kata Kadis pertanian Maluku tengah ini, bila terjadi musim hujan, areal persawahan akan rusak akibat banjir.
Banjir yang turun dari lokasi kelapa sawit berujung terjadinya banjir sehingga merusak sawah karena kelebihan air. Menurutnya sungai disekitarnya tidak tertampung karena hutan di sekitar sudah menjadi gundul karena sudah ditanami dengan kelapa sawit.
“Kondisi ini mengakibatkan efek banyak sekali kepada petani transmigrasi di kecamatan seram utara timur seti dan kecamatan seram utara timur kobi,”katanya. Makanya harapan kita kalau bisa jangan terlalu dekat dengan areal sawah, itu kalau bisa dibilang jaraknya dekat harusnya 50 meter,”tambahnya.
Saat ini pada areal sawah, kata Arsyad Lamat lokasi tanaman padi dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit.
“Para petani setempat tidak mau tanam lagi dengan areal kelapa sawit akibat tanam terus menerus produksi rugi terus akhirnya mereka yang areal sawah sudah dicetak oleh dinas tanaman pangan dan holkikutura itu sudah tidak teratanami akibat dari kelapa sawit itu sendiri,” sesal ia.
Kadis pertanian ini menyesalkan berbagai langkah telah ditempuh untuk melakukan pendekatan dengan perusahan perkebunan sawit maupun dinas perkebunan agar tidak merugikan petani setempat dengan menanam sawit dekat dengan ladang sawit milik warga.
“Kita sudah melakukan pendekatan dengan dinas perkebunan, pendekatan dengan PT Nusa Ina. Mereka sudah diberikan arealnya oleh pemerintah daerah tapi tetap mereka tetap masuk saja, tanam dulu nanti urusannya belakangan nanti yang menjadi masalah sementara pemilik lahan itu juga kan tidak mau,”beber Kadis.
Dengan alasan lahan telah diberikan izin oleh pemiliknya, kata Ia, PT Nusa Ina dengan seenaknya menanam sawit mendekati areal sawah dan juga sungai.
“Mereka beralasan sudah mendapat izin dari tuan tanah padahal lahannya itu yang sudah dicetak oleh pemerintah daerah terutama kementrian pertanian tidak boleh masuk pada areal itu, tapi mereka tetap masuk,” ungkapnya.
Akibat sudah ditanami oleh pohon kelapa sawit, Dinas Pertanian setempat terpaksa mengembalikan dana yang cukup besar untuk pencetakan sawah bagi para petani.
“Pada tahun 2017 sekitar 130 hektar dananya dikembalikan ke kementrian pertanian karena tidak tercetak lagi karena sudah ditanami oleh kelapa sawit PT.Nusa Ina. Total nilainya 2 miliar lebih kepada kementrian pertanian. Karena lahan kita yang sudah dipasang tidak tercetak lagi karena sudah ditanami PT Nusa Ina. Nah itulah yang berdampak kepada masyarakat khususnya petani yang ada disana sangat besar kerugiannya itu bukan sangat kecil besar sekali,”ucapnya.
Ahli Pertanian Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr.Ir. Johan Riry menjelaskan dampak ilmiah akibat perkebunan monokultur kelapa sawit jadi perkebunan kelapa sawit itu dikatakan selalu monokultur karena tidak ada tanaman lain yang ditanam. “Resikonya adalah semua pohon atau semua tumbuhan yang sudah ada baik itu tumbuhan maupun tanaman yang ditanam masyarakat, kalau sudah ada pelepasan itu semua ditebang lalu untuk penanaman kelapa sawit ini,”ujarnya.
Resiko dari tanaman monokultur, dijelaskan guru besar Ilmu pertanian ini adalah sumber-sumber genetic yang ada di hutan itu menghilang, pohon-pohon tertentu yang bisa membawa manfaat bagi masyarakat dia menjadi hilang. Kemudian resiko dari pohon-pohon yang menghilang itu satwa menghilang dan banyak juga burung-burung yang ada di tengah-tengah masyarakat dia menghilang makin jauh ke tengah hutan.
Ditelah dari sisi budidaya menurutnya, bahwa tahapannya mulai dari persiapan lahan itu pastinya bongkar semua, semua tumbuhan dan tanaman yang ada di dalamnya itu dibabat semuanya, setelah itu land clearing lalu kemudian buat pengajiran, serta buat lubang tanah.
“Kalau saya lihat disana mereka pakai segilima yang mereka tanam,”sebutnya
Dijelaskan, dalam monokultur khususnya kelapa sawit lihat itu adalah pemupukan. “Memang disana saya dengar mereka pakai pupuk organik juga tetapi skalanya kecil sekali terbatas karena yang mereka buat itu adalah dari sisa-sisa olahan dari pabrik dan mereka buat sebagai pupuk dan kembalikan lagi,”terangnya.
Ia mengkuatirkan adalah kesuburan fisiknya akan terus mengalami degradasi, dan kesuburan biologi akan mengalami degradasi sehingga pada jangka panjang lahan-lahan tersebut itu tidak produktif lagi.
“Kalau sudah 30 tahun dikelola dan dikembalikan ke Negara atau masyarakat maka lahan tersebut sudah tidak bisa lagi dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam, dan butuh waktu yang panjang lagi untuk rehabilitasi,”jelasnya.
Menurut ahli pertanian Unpatti ini, ia tidak setuju dengan pemupukan jangka panjang karena dianggap kurang baik.
“Kalau memang organiknya dominan ya tidak apa-apa, tapi biasanya itu karena oragniknya mahal dan butuh organik yang banyak sekali dan berton-ton karena perkebunan sawit itu ribuan hektar itu pasti butuh ribuan ton juga dan ini juga terbatas sehingga pupuk kimia itu pasti lebih dominan dibandingkan dengan organik,”ujarnya.
Untuk pengaruh sawit terhadap tanaman lain Jhon menjelaskan tanaman sawit mempunyai tajuk yang besar sehingga sulit sekali tanaman lain tumbuh disekitarnya.
“Besarnya bisa 15 meter atau diameternya besar, sehingga tanaman lain tidak bisa tumbuh disitu karena menaungi dan sasarannya pasti monokultur dan tanaman lain sudah pasti mati sehingga tinggal kelapa sawit saja,”sebutnya.
Pengaruh sawit sendiri setelah tidak lagi berproduksi tentunya sangat berpengaruh terhadap lahan yang akan digarap petani menjadi lahan perkebunan maupun sawah.
“Kalau tanah itu dibiarkan begini tidak ada rehabilitasi perusahan maka butuh waktu panjang untuk masyarakat bisa bercocok tanam disitu lagi, dan waktu dekat tidak bisa. Mungkin usaha sayur-sayuran yang lapisan olahnya 20 centimeter lalu bisa pakai pupuk hijau yang dibuat oleh maysrakat tapi itu dalam skala yang kecil,”imbuhnya.
“Selebihnya dibiarkan begitu jadi bisa puluhan tahun lagi agar tanah itu bisa digunakan oleh masyarakat yaitu pohon-pohon kelapa sawit yang sudah tua ditebang semua lalu kasih lahannya beristirahat dalam jangka yang lama bisa 10-15 tahun baru bisa kembali seperti semula atau mungkin tidak bisa seperti semula tapi minimal warga sudah mulai berkebun disitu,”pungkasnya menambahnya pengaruh lahan sawit.
*****
Artikel ini Merupakan Fellowship Penulis Dari Mongabay Indonesia Tentang “Tata Kelola Kebun Sawit di Indonesia: Peluang dan Tantangan.”
Keterangan Gambar :
- Foto Utama Lokasi PKS dan Sungai Siliha
- Ikan yang mati terapung di sungai diduga pembuangan Limbah Perusahan PT. Nusa Ina
- Juliath Itihuny, Kepala Pemuda Dusun Siliha, Negeri Maneo sementara menunjuk lokasi ikan yang mati di Sungai Siliha
- Pencemaran Limbah Pabrik Sawit PT NUsa Ina
- Lokasi Wisata Pantai Siliha terlihat sepi setelah pengunjung mengetahui telah tercemar
- Juliath Itihuny saat diwawancarai di sebuah rumah santai yang telah rusak di lokasi Pantai Siliha
- Nusa Ina dipolisikan LSM Lingkungan Maluku
- Foto Wakil Bupati Maluku Tengah Marlatu Leleury
- Seksi Perencanaan dan Kajian Dampak Lingkungan, Mevianan Jayaningrum
- Foto Udara Tanaman mangrove yang sudah hampir punah karena dibangun Pabrik Kelapa Sawit
- Dusun Siliha, Desa Maneo Saat dirundung banjir setiap musim hujan
- Ahli Kehutanan Universitas Pattimura Ambon, Prof Dr Agus Kastanya (56)
- Ahli Pertanian Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr.Ir. Johan Riry
- Tanaman Padi terserang hama ulat
- Tanaman Padi dikelilingi Sawit
- Temon Sukri sedang (41) menunjukan Obat Pembasmi Hama tanaman Padi
- Hasil Uji Lab Sampel Sungai Siliha NgO Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku (LKLM)
- Hasil Uji Lab Sampel Cekungan Air Siliha Dinas Lingkungan Hidup Maluku Tengah
Discussion about this post