Liputan Investigasi ini atas kerja sama:
majalah tempo, tempo.co, dan titastory.id
KONFLIK antara John Kei dan Nus Kei diduga berlatar belakang perebutan uang jasa pengamanan sengketa lahan rumah sakit di Ambon, Maluku. Pekerjaan menjaga lahan masih menjadi favorit generasi baru preman asal timur Indonesia.
Beberapa hari sebelumnya, John mengirimkan beberapa anak buahnya ke salah satu rumah Nus di kawasan Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka mengintimidasi anak buah Nus. “Ini urusan dia (John Kei) dan saya, kenapa harus membawa orang lain?” ujar Nus kepada Tempo, Sabtu, 30 Mei lalu.
Nus menghitung, anak buah John mendatangi rumahnya di Kosambi dan Green Lake City, Cipondoh, Tangerang, Banten, sebanyak tiga kali. Polanya, kata Nus, selalu sama. Para pemuda itu datang dengan mengendarai mobil, lalu mengancam anak buah Nus. Mereka baru angkat kaki setelah anak buah Nus yang lain mengejar.
Seorang anak buah Nus bernama Yustus Dorwing Rahakbauw, 45 tahun, tewas. “Korban meninggal karena luka bacok,” tutur Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Nana Sujana, sehari seusai penyerangan.Sekitar satu jam kemudian, kelompok lain dengan mengendarai tiga unit mobil menyerang rumah Nus Kei di Cipondoh, Tangerang. Mereka merusak rumah Nus serta melukai seorang anggota satuan pengamanan dan seorang pengendara ojek daring (online).
Mereka tak berhasil menemui Nus Kei, yang tengah bergegas menuju Duri Kosambi untuk menengok Yustus yang terkapar berlumuran darah di jalan. Pengacara John Kei, Anton Sudanto, dalam berbagai kesempatan membantah jika kliennya disebut sebagai otak penyerangan ini. “Tidak ada bukti John Kei memerintahkan penyerangan itu,” ucap Anton kepada wartawan, Selasa, 23 Juni lalu.
Beberapa jam seusai insiden itu, petugas gabungan dari Polda Metro Jaya, Kepolisian Resor Tangerang, dan Kepolisian Sektor Medansatria menggeruduk markas John Kei di Jalan Tytyan Indah Utama X, Bekasi, Jawa Barat, Ahad malam, 21 Juni lalu. John dan puluhan anak buahnya tak melawan saat ditangkap. Penyidik menjerat John dan 37 anak buahnya dengan pasal penganiayaan dan pembunuhan berencana.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat menduga konflik yang terjadi antara John Kei dan Nus Kei adalah persoalan loyalitas di komunitas mereka. Meski berstatus paman, Nus pernah menjadi anak buah John Kei sejak 1990-an hingga 2016. “Dia (John) menganggap Nus Kei pengkhianat,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 29 Juli lalu.
Persoalan lain adalah perebutan uang jasa pengamanan dalam sengketa lahan Rumah Sakit Umum Daerah Dr M. Haulussy, Ambon, Maluku. John menuduh Nus mengingkari pembagian “uang preman” dalam sengketa itu. “Persoalan pribadi antara John dan Nus Kei terkait dengan ketidakpuasan hasil pembagian penjualan tanah,” ucap Inspektur Jenderal Nana Sujana.
Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku yang mengetahui persis kasus ini mengatakan sengketa tanah di RSUD Dr M. Haulussy berlangsung sejak 2009. Johannes Tisera mengklaim 3,1 hektare lahan RSUD merupakan tanah warisan ayahnya. Pemerintah Provinsi Maluku mengubah lahan menjadi asrama mahasiswa keperawatan, kamar mayat, dan bangunan pendukung RSUD Dr M. Haulussy.
Gugatan Johanes Tisera ke Pemerintah Provinsi Maluku kandas di pengadilan daerah. Ia menggandeng Fransiskus Refra alias Tito Kei menjadi penasihat hukum saat mendaftarkan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada masa itu, kata anggota DPRD tersebut, Tito meminjam uang Rp 1,4 miliar kepada sang kakak, John Kei. Mereka menggunakan uang itu untuk berbagai keperluan selama proses kasasi.
John Kei saat itu berada di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia dihukum 16 tahun penjara karena terlibat pembunuhan mantan bos PT Sanex Steel, Tan Hary Tantono alias Ayung, pada 26 Januari 2012. John menerima pembebasan bersyarat pada 26 Desember 2019 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
John menyetujui peminjaman uang. Ia memberikan satu syarat: jika berhasil memenangkan gugatan, uang itu berbunga menjadi Rp 3 miliar. Bunga ini diduga sekaligus upah John yang menggunakan pengaruh dan anak buahnya menjaga dan mengawasi sengketa lahan RSUD Dr M. Haulussy. Johannes Tisera menuntut ganti rugi Rp 69 miliar atas penggunaan lahan seluas 3,1 hektare itu.
Proyek ini mengalami kendala saat Tito tewas pada 31 Mei 2013. Seorang pria tak dikenal menembak kepala Tito saat mengaso di kompleks perumahan mereka di Jalan Tytyan Indah Utama X, Bekasi. Setelah kematian Tito, Johannes Tisera, sang pemilik tanah, meminta bantuan Nus Kei. “Utusannya yang mendatangi saya,” ujar Nus.
Nus dan Johannes bertemu di Jakarta. Mereka menyepakati sejumlah perjanjian, di antaranya meminjam uang Rp 1 miliar untuk mengurus proses kasasi di MA. Uang Rp 1 miliar, kata Nus, bukan berasal dari kocek John Kei. “Itu patungan bersama teman-teman lain,” ucapnya.
Nus juga berencana memanfaatkan pejabat kenalannya di Pemerintah Provinsi Maluku. Ia mengaku sudah melaporkan kesepakatan ini kepada John Kei saat keponakannya itu masih berada di LP Nusakambangan. Nus mengaku tak mengetahui soal pinjaman Tito kepada John Kei.
Sidik Latuconsina menjadi penasihat hukum Johannes Tisera saat sengketa lahan RSUD Dr M. Haulussy memasuki tahap kasasi. Sidik membantah menggunakan sejumlah uang untuk mengurus proses kasasi. Ia mengawal sendiri proses ini hingga MA mengabulkan kasasi kliennya. Ia tak mengetahui peran Nus dan John Kei dalam sengketa ini. “Saya juga baru tahu ada John dan Nus Kei dalam sengketa RSUD Halaussy,” ujarnya.
Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Johannes Tisera pada 2017. Seusai putusan kasasi, Pemerintah Provinsi Maluku dan kubu Johannes Tisera menyepakati nilai ganti rugi menjadi Rp 49 miliar. Pemerintah Provinsi Maluku mencicil pembayaran Rp 13 miliar kepada Johannes pada pertengahan 2019 dan Maret lalu.
Mendengar kabar pembayaran itu, John Kei lalu mengutus empat orang kepercayaannya menemui sejumlah pihak di Kota Ambon, Maret lalu. Mereka di sana hampir dua pekan. Utusan John melapor bahwa Johannes Tisera sudah mengirimkan sejumlah uang kepada Nus Kei. Dari sana kesumat berkobar.
John kemudian menagih pembagian uang itu kepada Nus Kei. Nus mengelak karena merasa tak memiliki kewajiban memberikan uang kepada John. Ia menduga ada kesepakatan antara Tito Kei dan Johannes Tisera soal pembagian uang. Tapi ia menolak mencampuri perjanjian itu. Ia sudah melunasi pinjaman Rp 1 miliar kepada temannya. “Urusan saya di Ambon sudah selesai,” katanya.
Polisi menyusun barang bukti dalam konferensi pers kasus premanisme oleh kelompok John Kei di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin 22 Juni 2020. Tempo/Muhammad Hidayat Nus mengaku sudah berupaya membantu John menerima “jatah” pembayaran ganti rugi lahan RSUD Dr M. Haulussy . Ia meminta John menunggu proses penganggaran di Pemerintah Provinsi Maluku. “Proses pencairan anggaran pemerintah kan ada tahapannya, tapi dia tak sabar,” ucap Nus.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat mengatakan John Kei mengakui motif kekecewaan pembagian uang sengketa RSUD Dr M. Haulussy saat menjalani pemeriksaan. Namun hal itu diduga hanya menjadi salah satu pemicu penyerangan. John, kata Tubagus, masih menganggap Nus sebagai prajurit di kelompoknya.
Kepada penyidik, John mengaku kesal saat Nus keluar dari komunitas pada 2016. Nus juga dituduh memboyong sebagian anak buah John, yang masih kerabatnya. Loyalitas, menurut Tubagus, menjadi syarat utama keanggotaan di komunitas preman. “Apalagi John menuduh Nus menjelekkan namanya,” ujar Tubagus.
Pengacara John Kei, Anton Sudanto, belum memberikan jawaban soal sengketa tanah di RSUD Dr M. Haulussy dan tudingan premanisme hingga Jumat, 31 Juli lalu. Ia berjanji menerima wawancara Tempo, Rabu, 29 Juli lalu. Setelah itu, Anton tak merespons pesan pendek dan panggilan telepon. Putri John, Melan Refra, juga tak merespons permintaan wawancara.
*****
DPRD Maluku Setuju
Sempat tertunda persetujuan proses ganti rugi oleh DPRD Maluku, tahun 2019 lalu. Yohanes Tisera akhirnya bisa bernafas lega. DPRD dalam rapat dengar pendapat di ruang komisi I DPRD Maluku, Karang Panjang, rabu 1 juli 2020 menyetujui proses ganti rugi lanjutan lahan tanah milik ahli waris Yohanes Buke Tisera.
Rapat dengar pendapat ini dihadiri oleh Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Maluku, Alwiyah F. Alaydrus, Kepala seksi Infrastruktur Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon Joseph Labery, Komisi I DPRD Maluku dan juga Ahli Waris Yohanes Buke Tisera.
Komisi I DPRD Provinsi Maluku menyetujui proses ganti rugi perluasan tanah RSUD dr. M Haulussy kepada Yohanis Tisera dapat terus dilakukan.
Wakil Ketua Komisi I, Jantje Wenno yang memimpin rapat tersebut mengatakan, pembayaran ganti rugi bukan terhadap keseluruhan tanah, tetapi hanya perluasan tanah seluas 3,1 hektar.
“Luas lahan untuk perluasan 3,1 hektar atau 31.000 meter persegi, kami kira dapat terus dilanjutkan,” tandas Wenno.
Wenno juga meminta agar setelah 80 persen ganti rugi selesai dilakukan, Buke Tisera membuat pelepasan hak, dan pemprov segera mengurus sertifikat dari tanah induk RSUD Haulussy dan perluasan tanah, sehingga aset daerah menjadi jelas.
Diakui Wenno, tanah tersebut adalah tanah sengketa, namun telah dimenangkan oleh Yohanes Tisera alias Buke. “ tanah ini memang tanah sengketa namun dimenangkan oleh saudara Yohanes Tisera dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau incract,” jelas wakil rakyat dari Fraksi Perindo ini.
Setelah dimenangkan Tisera, lanjut Wenno mereka mengajukan ke Pemda Maluku untuk melakukan ganti rugi. “ jadi sudah diajukan waktu itu. Dan kalau tidak dibayar bisa saja Tisera bisa melakukan eksekusi terhadap lahan yang dimenangkannya. Namun Pemda Bersedia membayarnya sejak tahun 2019,” kata Wenno.
Sebelumnya, kata Wenno pihak Tisera menawarkan harga ganti rugi senilai Rp.65 miliar. Namun ditawar oleh Pemerintah Provinsi Maluku.
“Pemerintah sempat melakukan negosiasi dengan saudara Buke Tisera. Dan mereka menggunakan tim appresicial dengan taksasi kurang lebih Rp.65 miliar. Tapi pemerintah hanya menyanggupi ganti rugi senilai Rp.49,9 miliar. Tapi sebelum itu, pemerintah Maluku telah meminta pendapat dari Pengadilan Negeri Ambon terhadap keputusan kasasi yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dimiliki oleh saudara Yohanes Buke Tisera,”ujar Anggota DPRD Maluku ini.
Atas ganti rugi itu, kata Wenno, Pemerintah Provinsi Maluku menyanggupi membayar Rp.13 miliar rupiah. “ Sampai tahun 2020 ini, pemerintah sudah menganggarkan sebesar Rp.13 miliar rupiah. Masih tersisa Rp. 36,9 miliar yang harus dibayar oleh Pemda Maluku kepada yang berhak dalam hal ini Yohanes Buke Tisera,” bebernya.
Akibat kemampuan keuangan daerah yang tidak memadai, Wenno mengatakan akan dibayar secara bertahap. “ akibat anggaran yang tersita karena pandemik ini, maka Pemerintah Daerah akan membayar secara cicil biaya ganti rugi lahan tersebut,”terang dia.
Sementara itu, menyinggung soal pembayaran secara keseluruhan oleh Pemerintah Provinsi Maluku dan pernyataan Nus Kei tentang anggaran lahan tanah RSUD dr. M Haulussy Ambon, Wenno mengatakan biaya ganti keseluruhan kepada ahli waris belum dicairkan, namun Pemerintah telah melakukan pembayaran secara bertahap yakni sebanyak Rp.13 miliar.
“memang secara keseluruhan belum. Karena keseluruhan itu sebesar Rp.49,9 miliar. Yang baru dibayar itu kan baru Rp.13 miliar. Baru sebagian kecil yang dibayarkan,” tambah Wenno.
Wenno juga meminta agar setelah 80 persen ganti rugi selesai dilakukan, Buke Tisera membuat pelepasan hak, dan Pemda Maluku segera mengurus sertifikat dari tanah induk RSUD Haulussy dan perluasan tanah, sehingga aset daerah menjadi jelas.
*****
Tisera Akui Sudah Dibayar
YOHANES Tisera alias Buke Tisera mengklaim lahan seluas 3,1 Hektar merupakan miliknya. Lahan yang pernah disengketakan oleh sejumlah pihak bersudara di kawasan kudamati, kecamatan nusaniwe, kota Ambon.
Buke mengklaim, tanah tersebut merupakan milik keluarganya atas pemberian saniri negeri urimesing saat ayahnya yang saat itu menjabat sebagai Raja Negeri Urimessing, pada tahun 1970-an.
Klaim Buke, tak hanya sebatas lisan semata, namun menurut pria 60-an tahun ini sudah tertuang dalam keputusan Mahkamah Agung dan juga Putusan Pengadilan Maluku.
“sudah jelas dalam putusan Nomor 38 / Pdt.G / 2009 / Pengadilan Negeri Ambon menyatakan gugatan penggugat asal, penggugat intervensi maupun penggugat rekovensi tidak dapat diterima. Selanjutnya, putusan Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 18 / Pdt / 2011/ PT menyatakan membatalkan putusan tingkat pertama Nomor 38 / Pdt.G / 2009/ Pengadilan Negeri Ambon.
Lanjut Tisera, Dalam amar putusannya juga Pengadilan Tinggi Ambon menyatakan menolak gugatan “ jadi Pengadilan tinggi Ambon menolak penggugat asal (keluarga Waas), penggugat intervensi I (Pemerintah Negeri Amahusu) dan intervensi II (Yacobus Alfons) selaku para pihak yang mengajukan banding,” urai Tisera.
Bahkan kata Buke nama panggilannya Yohanes ini, Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi dari penggugat asal, dan penggugat intervensi melalui putusan MA 1385.K/Pdt/2013. Begitupun dengan putusan Peninjauan Kembali (PK), dengan putusan PK Nomor: 512PK/Pdt/2014.
“Dalam permohonan kasasi, itu menolak seluruh permohonan mereka, dan juga PK. Jadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, itu sudah inkrah,” ujarnya.
Dengan adannya putusan kasasi maupun PK yang menolak gugatan penggugat asal dan pengugat intervensi, kata Tisera, sehingga kembali kepada putusan banding yang dimenangkan dirinya.
“Jadi gugatan melawan Pemerintah Provinsi Maluku dianggap selesai, karena kasasi dan PK mereka ditolak, maka kembali ke putusan Pengadilan Tinggi Ambon, sehingga saya selaku pihak yang berhak menerima ganti rugi,” ujarnya.
Untuk itu lanjut Tisera, berharap DPRD segera mendorong pemerintah Maluku untuk menyelesaikan sisa ganti rugi. “jadi baru dibayar Rp.13 miliar. Tadi saya sudah jelaskan dalam rapat dengar pendapat dengan komisi A DPRD Maluku. Sisanya 36,9 mliar akan dibayar setelah ini,” akui Tisera kepada awak media di Kantor DPRD Maluku, rabu (1/7/2020).
Sementara itu, Buke Tisera yang juga hadir dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi A DPRD Maluku menyayangkan dipanggil DPRD Maluku, hal ini karena pada 2 Maret 2017 lalu telah diundang Komisi A untuk membahas hal serupa.
“Saat Komisi A DPRD juga meminta untuk mengadirkan appraisal dan melakukan pengukuran atas luas tanah tersebut, tetapi permintaan itu tidak dilaksanakan oleh Pemda, padahal yang dimintakan ganti rugi bukan keseluruhan tanah RSUD, tetapi sebagian perluasan,” beber Buke Tisera.
Kemudian tahun 2018 lanjut Tisera, dirinya kembali meminta Pemda Maluku, mengajak untuk bersama ke Ketua Pengadilan Negeri Ambon meminta penjelasan tentang putusan Nomor 1385 yang dimilikinya.
“saat itu saya mengajak Kepala Biro Hukum Hendri Far-Far ke Ketua PN Ambon. Saya mengatakan jika Pemda tidak ingin membayar, saya langsung mengurus sertifikat. Saya sangat menyesal kenapa saya harus dipanggil lagi oleh Komisi A, kalau untuk minta penjelasan boleh, tapi kalau untuk menentukan putusan itu sudah jelas,” sesal Tisera.
Tisera juga sempat menyinggung soal pengesahan anggaran yang sempat tidak disetujui oleh DPRD Maluku pada bulan Desember 2019.
“bagaimana Pemda mau bayar kalau DPRD tidak mengesahkan pengajuan anggaran. Karena pada saat bulan desember itu paripurna, untuk mengajukan dana ganti rugi itu ditolak ada salah satu oknum DPRD Maluku yang keberatan karena adanya gugatan surat Ahli Waris lain yakni Yakobis Alfons,” ujar Tisera.
Diakhir pernyataannya, Tisera tak mau mau menyinggung hubungannya bersama John serta Nus Kei yang berselisih terkait pembayaran uang ganti rugi yang dibayar pemerintah kepada dirinya.
“tidak tahu. Saya hanya menjalankan undang-undang. Sudah 28 tahun saya berjuang di pengadilan dan baru mendapatkan hak saya. Tapi baru sebagian,” jelas Tisera, sambil mengakiri pernyataannya di depan awak media.
Seorang sumber yang tak mau disebutkan namanya menceritakan pernah didatangi oleh sejumlah anak buah John Kei di Ambon. Diceritakan sumber, sejumlah pemuda yang berasal dari Jakarta itu mendatangi dirinya untuk mendapatkan informasi kebenaran dana pencairan uang dari Pemerintah Provinsi Maluku.
“ada sejumlah pemuda, dan mereka mengaku anak buah John Kei. Mereka hanya menanyakan kebenaran uang yang dicairkan oleh Pemda Maluku kepada Yohanes Tisera. Hanya itu,” tutur sumber kepada titastory.id.
Dikatakan sumber ini, mereka yang berasal dari Jakarta itu, hanya menginginkan kepastian pencairan uang kepada Yohanes Tisera alias Buke ahli waris yang telah memenangkan perkara lahan RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.
Atas pinjaman Yohanes Tisera, uang yang sudah dicairkan oleh Pemda Maluku menurut sumber semenstinya harus diserahkan kepada John Kei.
“ Ya menurut anak buah John Kei, dia (Yohanes) pinjam uang dari John Kei 1,4 miliar melalui perantara istrinya. Saat itu John masih di dalam Lapas Salemba. Uang itu diserahkan kepada Tito Refra adik kandung dari John Key,” kata sumber meniru pernyataan dari anak buah John Kei.
Kata sumber, Yohanes Tisera saat itu kesulitan biaya untuk mengurus persidangan perkara lahan di Mahkamah Agung. “ya mereka bilang saat ini dia tidak punya uang. Sementara kan kalau pengurusan dan sebagainya harus ada duit. Apalagi Jakarta. terpaksa alternative dengan cara meminjam uang,” jelas sumber.
Atas dasar peminjaman uang itu, lanjut sumber maka John Kei bersikeras agar uangnya harus dikembalikan dengan jumlah pinjaman yang sama. “ jadi jumlah uangnya yang harus dikembalikan sama yakni Rp.1,4 miliar itu. Plus bunganya. Jadi sekitaran Rp.3 miliar begitu uang yang harus dikembalikan kepada John,” beber sumber meniru pernyataan anak buah John Kei kepada dia.
Karena tidak ada kejelasan, menurut sumber John langsung mengirim anak buahnya itu ke Ambon untuk menanyakan kepastian pencairan uang tersebut.
“nah diceritakan para anak buah John ini, karena tidak ada kejelasan dari Nus Kei, Pamannya itu maka mereka langsung turun ke Ambon. Mereka ingin bertemu langsung dengan Yohanes alias Buke itu. Namun saya tidak tahu apakah mereka sudah menemui buke atau belum,” jelas sumber.
Namun kata sumber yang tak mau disebutkan namanya untuk dimediakan ini, para anak buah John Kei ini mendatangi dirinya untuk mencari informasi tentang pencairan uang lahan tanah RSUD itu.
Sumber juga tak menjelaskan secara rinci pokok pertemuan antara dirinya dengan anak buah John Kei itu.
Tak hanya sumber yang didatangi oleh anak buah John Kei, perwakilan negeri (desa) Urimesing juga mengakui didatangi oleh sejumlah pemuda dari Jakarta. mereka mengakui adalah anak buah Nus Kei.
“jadi ada sekitar 4-5 pemuda yang mendatangi kantor negeri Urimesing. Kata merela dari Jakarta, meski alamatnya tidak secara lengkap disebutkan. Mereka tidak menyebutkan identitas mereka, dan utusannya dari mana. Cuma mereka menanyakan keberadaan Yohanes Tisera,” kata sekretaris Negeri Urimesing Edwin Samalelaway.
Menurut Edwin, kedatangan sejumlah pemuda yang berasal dari Jakarta itu untuk menanyakan keberadaan Yohanes Tisera. Ahli waris yang mengklaim lahannya dan telah menang di Mahkamah Agung. Selain Yohanes, para pemuda ini juga dan menanyakan terkait lokasi lahan sengketa RSUD Dr.M. Haulussy Kudamati Ambon.
“Mereka sempat bertanya tentang tanah-tanah yang berada di RSUD dr. M. Haulussy, namun kami menayakan kembali kepada mereka identitas mereka saat itu. Karena tidak dijelaskan makanya kami juga tidak memberikan data-data kepada mereka,” tutur dia.
*****
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI (JAKARTA), BELSERAN CHRIST, JAYA BARENDS (AMBON)
Baku Bacok Kerabat Tanah Kei
KONFLIK Antara John Kein dan Nus Kei diduga berlatar belakang perebutan uang jasa pengamanan sengketa lahan rumah sakit di Ambon, Maluku. Pekerjaan menjaga lahan masih menjadi favorit generasi baru preman asal timur Indonesia.
Tantangan duel maut itu bertepuk sebelah tangan. Agrapinus Rumatora, alias Nus Kei, 54 tahun, mengajak baku pukul sang keponakan, John Refra alias John Kei di suatu tempat. Nus mengirimkan tantangan itu lewat sepuluh pesan pendek kea kun aplikasi WhatsApp milik john sabtu, 23 mei lalu. Tak satupun pesan berbalas. “pengecut,” tulis Nus di salah satu pesan.
Beberapa hari sebelumnya John mengirimkan beberapa anak buahnya ke rumah Nus di kawasan Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka mengintimidasi anak buah Nus. “ ini urusan dia (John Kei) dan saya, kenapa harus membawa orang lain?” ujar Nus kepada tempo,30 mei lalu.
Nus menghitung anak buah John mendatangi rumahnya di Kosambi dan Green lake City, Cipondo, Tangerang, Bante, sebanyak tiga kali. Polanya, kata Nus, selalu sama. Para pemuda itu datang dengan mengendarai mobil, lalu mengancam anak buah Nus. Mereka baru angkat kaki setelah anak buah Nus yang lain mengejar.
Bentrokan berdarah itu terjadi dalam pertemuan keempat. Tujuh anak buah John Kei, 53 tahun, diduga menyerang dua anggota Nus Kei di Jalan Raya Kresek, Duri Kosambi pukul, 11.30 Ahad, 21 juni lalu. Mereka membacok keduanya.
Seorang anak buah Nus bernama Yustus Dorwing Rahakbauw, 45 tahun tewas. “ korban meninggal akibat luka bacok,” tutur kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jendral Nana Sujana, sehari usi penyerangan.
Bentrokan berdarah terjadi dalam pertemuan keempat. Tujuh anak buah John Kei, 53 tahun, diduga menyerang dua anggota kelompok Nus di Jalan Raya Kresek, Duri Kosambi, pukul 11.30, Ahad, 21 Juni lalu. Mereka membacok keduanya.
Seorang anak buah Nus bernama Yustus Dorwing Rakbau, 45 tahun, tewas. “Korban meninggal karena luka bacok,” tutur Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Nana Sujana, sehari seusai penyerangan.
Sekitar satu jam kemudian, kelompok lain dengan mengendarai tiga unit mobil menyerang rumah Nus Kei di Cipondoh, Tangerang. Mereka merusak rumah Nus serta melukai seorang anggota satuan pengamanan dan seorang pengendara ojek daring (online).
Mereka tak berhasil menemui Nus Kei, yang tengah bergegas menuju Duri Kosambi untuk menengok Yustus yang terkapar berlumuran darah di jalan. Pengacara John Kei, Anton Sudanto, dalam berbagai kesempatan membantah jika kliennya disebut sebagai otak penyerangan ini. “Tidak ada bukti John Kei memerintahkan penyerangan itu,” ucap Anton kepada wartawan, Selasa, 23 Juni lalu.
Beberapa jam seusai insiden itu, petugas gabungan dari Polda Metro Jaya, Kepolisian Resor Tangerang, dan Kepolisian Sektor Medansatria menggeruduk markas John Kei di Jalan Tytyan Indah Utama X, Bekasi, Jawa Barat, Ahad malam, 21 Juni lalu. John dan puluhan anak buahnya tak melawan saat ditangkap. Penyidik menjerat John dan 37 anak buahnya dengan pasal penganiayaan dan pembunuhan berencana.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat menduga konflik yang terjadi antara John Kei dan Nus Kei adalah persoalan loyalitas di komunitas mereka. Meski berstatus paman, Nus pernah menjadi anak buah John Kei sejak 1990-an hingga 2016. “Dia (John) menganggap Nus Kei pengkhianat,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 29 Juli lalu.
Persoalan lain adalah perebutan uang jasa pengamanan dalam sengketa lahan Rumah Sakit Umum Daerah Dr M. Haulussy, Ambon, Maluku. John menuduh Nus mengingkari pembagian “uang preman” dalam sengketa itu. “Persoalan pribadi antara John dan Nus Kei terkait dengan ketidakpuasan hasil pembagian penjualan tanah,” ucap Inspektur Jenderal Nana Sujana.
Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku yang mengetahui persis kasus ini mengatakan sengketa tanah di RSUD Dr M. Haulussy berlangsung sejak 2009. Johannes Tisera mengklaim 3,1 hektare lahan RSUD merupakan tanah warisan ayahnya. Pemerintah Provinsi Maluku mengubah lahan menjadi asrama mahasiswa keperawatan, kamar mayat, dan bangunan pendukung RSUD Dr M. Haulussy.
Gugatan Johannes Tisera ke Pemerintah Provinsi Maluku kandas di pengadilan daerah. Ia menggandeng Fransiskus Refra alias Tito Kei menjadi penasihat hukum saat mendaftarkan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada masa itu, kata anggota DPRD tersebut, Tito meminjam uang Rp 1,4 miliar kepada sang kakak, John Kei. Mereka menggunakan uang itu untuk berbagai keperluan selama proses kasasi.
John Kei saat itu berada di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia dihukum 16 tahun penjara karena terlibat pembunuhan mantan bos PT Sanex Steel, Tan Hary Tantono alias Ayung, pada 26 Januari 2012. John menerima pembebasan bersyarat pada 26 Desember 2019 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
John menyetujui peminjaman uang. Ia memberikan satu syarat: jika berhasil memenangkan gugatan, uang itu berbunga menjadi Rp 3 miliar. Bunga ini diduga sekaligus upah John yang menggunakan pengaruh dan anak buahnya menjaga dan mengawasi sengketa lahan RSUD Dr M. Haulussy. Johannes Tisera menuntut ganti rugi Rp 69 miliar atas penggunaan lahan seluas 3,1 hektare itu.
Proyek ini mengalami kendala saat Tito tewas pada 31 Mei 2013. Seorang pria tak dikenal menembak kepala Tito saat mengaso di kompleks perumahan mereka di Jalan Tytyan Indah Utama X, Bekasi. Setelah kematian Tito, Johannes Tisera, sang pemilik tanah, meminta bantuan Nus Kei. “Utusannya yang mendatangi saya,” ujar Nus.
Nus dan Johannes bertemu di Jakarta. Mereka menyepakati sejumlah perjanjian, di antaranya meminjam uang Rp 1 miliar untuk mengurus proses kasasi di MA. Uang Rp 1 miliar, kata Nus, bukan berasal dari kocek John Kei. “Itu patungan bersama teman-teman lain,” ucapnya.
Nus juga berencana memanfaatkan pejabat kenalannya di Pemerintah Provinsi Maluku. Ia mengaku sudah melaporkan kesepakatan ini kepada John Kei saat keponakannya itu masih berada di LP Nusakambangan. Nus mengaku tak mengetahui soal pinjaman Tito kepada John Kei.
Sidik Latuconsina menjadi penasihat hukum Johannes Tisera saat sengketa lahan RSUD Dr M. Haulussy memasuki tahap kasasi. Sidik membantah menggunakan sejumlah uang untuk mengurus proses kasasi. Ia mengawal sendiri proses ini hingga MA mengabulkan kasasi kliennya. Ia tak mengetahui peran Nus dan John Kei dalam sengketa ini. “Saya juga baru tahu ada John dan Nus Kei dalam sengketa RSUD Halaussy,” ujarnya.
Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Johannes Tisera pada 2017. Seusai putusan kasasi, Pemerintah Provinsi Maluku dan kubu Johannes Tisera menyepakati nilai ganti rugi menjadi Rp 49 miliar. Pemerintah Provinsi Maluku mencicil pembayaran Rp 13 miliar kepada Johannes pada pertengahan 2019 dan Maret lalu.
Mendengar kabar pembayaran itu, John Kei lalu mengutus empat orang kepercayaannya menemui sejumlah pihak di Kota Ambon, Maret lalu. Mereka di sana hampir dua pekan. Utusan John melapor bahwa Johannes Tisera sudah mengirimkan sejumlah uang kepada Nus Kei. Dari sana kesumat berkobar.
John kemudian menagih pembagian uang itu kepada Nus Kei. Nus mengelak karena merasa tak memiliki kewajiban memberikan uang kepada John. Ia menduga ada kesepakatan antara Tito Kei dan Johannes Tisera soal pembagian uang. Tapi ia menolak mencampuri perjanjian itu. Ia sudah melunasi pinjaman Rp 1 miliar kepada temannya. “Urusan saya di Ambon sudah selesai,” katanya.
Nus mengaku sudah berupaya membantu John menerima “jatah” pembayaran ganti rugi lahan RSUD Dr M. Haulussy . Ia meminta John menunggu proses penganggaran di Pemerintah Provinsi Maluku. “Proses pencairan anggaran pemerintah kan ada tahapannya, tapi dia tak sabar,” ucap Nus.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat mengatakan John Kei mengakui motif kekecewaan pembagian uang sengketa RSUD Dr M. Haulussy saat menjalani pemeriksaan. Namun hal itu diduga hanya menjadi salah satu pemicu penyerangan. John, kata Tubagus, masih menganggap Nus sebagai prajurit di kelompoknya.
Kepada penyidik, John mengaku kesal saat Nus keluar dari komunitas pada 2016. Nus juga dituduh memboyong sebagian anak buah John, yang masih kerabatnya. Loyalitas, menurut Tubagus, menjadi syarat utama keanggotaan di komunitas preman. “Apalagi John menuduh Nus menjelekkan namanya,” ujar Tubagus.
Pengacara John Kei, Anton Sudanto, belum memberikan jawaban soal sengketa tanah di RSUD Dr M. Haulussy dan tudingan premanisme hingga Jumat, 31 Juli lalu. Ia berjanji menerima wawancara Tempo, Rabu, 29 Juli lalu. Setelah itu, Anton tak merespons pesan pendek dan panggilan telepon. Putri John, Melan Refra, juga tak merespons permintaan wawancara.
*****
NAMA John Refra alias John Kei sudah lama menjadi legenda di dunia bawah tanah di Jakarta. Dia makin disegani setelah keluar dari penjara Nusakambangan pada Desember 2019. Salah satu anak buah John, Denny Ouw, menceritakan dengan bangga pengalamannya bersama sang bos.
Sebelum John dipenjara pada 2012, Denny bisa menerima penghasilan sekitar Rp 30 juta per bulan. Ia menjadi centeng dan penguasa lahan parkir di sepanjang wilayah Kelurahan Ujung Menteng, Jakarta Timur, hingga Harapan Baru, Bekasi. “Itu jatah dari parkiran dan kafe-kafe di sana,” tuturnya, Selasa, 28 Juli lalu.
Denny mengenang, setiap beraktivitas, ia kerap menjual nama John Kei. Meski kini sudah mandiri dengan kelompok sendiri, Denny tetap membawa nama John Kei. “Hasilnya lebih besar jika kami membawa nama John Kei,” katanya.
Denny merekrut puluhan anggota baru setelah John Kei dipenjara karena dituduh terlibat pembunuhan Tan Hary Tantono alias Ayung pada Januari 2012. Saat ini, ia menjabat Panglima Pusat Maluku Satu Rasa Salam Sarane. Wilayah “kekuasaan”-nya mencakup berbagai wilayah di DKI Jakarta.
Bersama anggotanya, Denny melakoni berbagai pekerjaan. Di antaranya, juru penagihan utang, penarik unit kendaraan yang mengalami kredit macet, dan penagih utang. Ia menyebut profesinya adalah “penagih lepas”.
Pria paruh baya ini sesekali menjadi penjaga lahan dalam sengketa. Meski mengaku tak terlalu menyukai pekerjaan menjaga lahan, Denny mengatakan penghasilan dari sana memang menggiurkan. Upah menjaga lahan paling sedikit bernilai 10 persen dari harga tanah. “Kalau tanahnya Rp 100 miliar, kami setidaknya minta bayaran Rp 10 miliar,” ujarnya.
Mereka menganggap nilai ini setimpal dengan risiko yang akan dihadapi. Kelompok Umar Ohoitenan alias Umar Kei bahkan mematok tarif 15-20 persen dari nilai tanah. “Menjaga tanah butuh orang yang lebih banyak,” kata Raul Kalila, tangan kanan Umar Kei, Selasa, 28 Juli lalu.
Raul juga menjadi pengurus Dewan Perwakilan Pusat Front Pemuda Muslim Maluku pimpinan Umar Kei. Nama Umar berkibar sebagai salah satu tokoh pemuda Ambon setidaknya dalam satu dekade terakhir. Umar tak pernah bergabung dengan kelompok John Kei. John, Nus, dan Umar berasal dari Kepulauan Kei, Maluku.
Denny Ouw mengatakan mereka harus bersiap baku bacok jika tanah yang berstatus sengketa sedang diproses di pengadilan. Itu terjadi pada 2012, ketika kelompok John Kei berhadapan dengan kelompok Rozario Marshall alias Hercules di salah satu lahan sengketa di Jakarta Barat.
Pengadilan memenangkan pengusaha yang dibela John Kei. Sementara itu, anak buah Hercules masih menguasai lahan.
“Kami masuk dengan parang,” ujarnya. Ia mengklaim peristiwa semacam ini masih kerap “meledak” di berbagai tempat. Makin banyak memenangi bentrok dengan kelompok lain, mereka akan makin disegani.
Senada dengan kelompok John, Umar Kei cs menggarap pekerjaan menagih utang dan menjadi penarik kendaraan bermotor dari perusahaan leasing. Raul Kalila mengatakan upah setiap menarik mobil yang mengalami kredit macet bisa mencapai Rp 15 juta per unit.
“Ini pekerjaan halal karena menggunakan surat kuasa dari klien kami,” katanya. Selain menggunakan surat kuasa, kelompok-kelompok pemuda ini memakai perusahaan berbadan hukum di tiap “pekerjaan”.
Raul dan Denny Ouw menganggap surat kuasa dan perusahaan resmi akan mengamankan posisi mereka dari jeratan hukum jika berkonflik dengan pihak yang akan ditagih. Mereka akan bersikap intimidatif jika mendapat perlawanan dari pihak yang menjadi target penagihan.
“Katorang (kami) bisa mengancam dorang (dia/pemilik utang) dengan menggunakan nama-nama besar seperti John Kei,” ucap Denny.
Ada pula kelompok yang lebih memanfaatkan jaringan ketimbang nama besar. Nus Kei mengatakan tak bergantung lagi pada John Kei sejak 2016. Ia sudah memiliki perusahaan sendiri. Nus enggan menjelaskan bisnis perusahaannya. Selama beraktivitas, ia menggandeng berbagai kelompok dari Nusa Tenggara Timur.
“Jika ada konflik, kami mengutamakan jalan perdamaian dengan pendekatan kedaerahan,” ujarnya.
*****
HUJAN TINJU ANAK BARU
Kelompok Maluku Mengedepankan Loyalitas. Makin dipandang jika masuk keluar penjara.
Oleh : Hussein Abri Dongoran
IMRON alias Raul Kalila masih ingat betul perkenalannya dengan Umar Ohoteinan alias Umar Kei seperempat abad lalu. Ketika itu, pada 1995, keduanya bertemu karena sama-sama menjaga sebidang tanah sengketa di suatu kawasan di Jakarta. Saat itu, Raul dan Umar belum berada dalam satu kelompok yang sama.
Belakangan, keduanya makin sering bertemu untuk urusan menjaga lahan ataupun penagihan utang. Merasa nyaman dengan temannya itu, Raul mengutarakan niatnya bergabung dengan kelompok yang sedang dibangun Umar. Kepada Raul, Umar mempersilakannya bergabung. “Tapi saya belum diterima dan diakui secara penuh,” ujar Raul ketika dihubungi Tempo, Kamis, 30 Juli lalu.
Tak seperti Umar yang berasal dari Kepulauan Kei, darah Maluku tak mengalir di tubuh Raul. Dia berasal dari Kecamatan Madapangga, Bima, Nusa Tenggara Barat. Jangankan dari daerah lain, kata Raul, orang yang berasal dari Maluku pun sulit bergabung dengan kelompok Umar. Awal bergabung dengan kelompok Umar, dia dicurigai sebagai mata-mata. “Pasukan Bang Umar menganggap saya mata-mata kelompok Flores,” ucapnya.
Ketika itu, kelompok preman memang sedang tumbuh subur di Jakarta. Kelompok Flores yang dimaksud Raul adalah regu Rozario Marshall alias Hercules, yang berasal dari Timor Timur (sekarang Timor Leste). Geng lain dipimpin oleh Basri Jala Sangaji asal Maluku. Ada pula kelompok John Refra Kei yang berasal dari Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Raul membutuhkan waktu sekitar tiga tahun hingga bisa benar-benar diterima dan diakui oleh Umar Kei serta anggota kelompoknya.
Selama waktu itu, Raul mengalami berbagai pengujian soal kesetiaan, kejujuran, dan nyali oleh Umar serta anak buahnya. Untuk kejujuran, Raul harus menyampaikan segala hal apa adanya dan dilarang mengambil keuntungan pribadi dari nama Umar. Sedangkan soal nyali, Raul tak boleh menolak tugas apa pun yang jatuh kepadanya. Ihwal kesetiaan, ia tak boleh mengkhianati kelompoknya dan selalu berada di dekat Umar dalam kondisi apa pun, termasuk saat keadaan susah. “Ketika Bang Umar sakit dan lagi tidak ada duit, saya ada di sampingnya,” katanya.
Raul tak mau hanya mengandalkan otot untuk mencari duit. Pada 2009, dia mengajak Umar kuliah di salah satu kampus di Jakarta Timur. Raul menjadi sarjana hukum dua tahun kemudian. Dia kini menempuh pendidikan doktoral hukum. Adapun Umar, yang kini berusia 44 tahun, enggan menanggapi soal persyaratan bergabung dengan kelompoknya. Namun, dalam wawancara dengan Tempo pada 2010, Umar mengaku mempersilakan siapa saja bergabung dengan kelompoknya.
Menurut Raul, kelompok Umar masih memiliki daya pikat bagi pemuda dari Maluku ataupun Indonesia bagian timur. Organisasi yang didirikan Umar pada 2010, Front Pemuda Muslim Maluku, juga dianggap menarik perhatian anak-anak muda dari daerah tersebut. Selain itu, Raul menilai Umar tak pelit. Dia mencontohkan, Umar kerap memberangkatkan anak buahnya umrah ke Arab Saudi. Begitu pula dalam pembagian duit. “Kalau dapat Rp 1 miliar, setengahnya dibagi ke anggota kelompok,” tuturnya.
Raul menuturkan, pola rekrutmen kelompok itu tak berbeda jauh dibandingkan dengan 1990-an. Pemuda dari Maluku yang datang ke Jakarta bisa langsung bergabung dengan kelompok Umar. Tapi anak-anak baru itu harus mengikuti aturan main dan pantang menolak tugas. “Kalau menolak, kena hukuman,” ujarnya. Salah satu hukumannya, kata Raul, hujan bogem dari anggota kelompok.
Mereka yang mengikuti tugas bakal mendapat ganjaran. Raul mencontohkan, seorang penagih utang bisa mendapat hingga Rp 20 juta dari mobil yang pembayaran kreditnya macet. Seorang pentolan penyedia jasa penjagaan lahan dan penagihan utang mengatakan upah untuk keroco yang menjaga lahan bisa setara dengan upah minimum Jakarta atau lebih dari Rp 4 juta per bulan. Sedangkan bos mereka bisa menerima duit hingga 30 persen harga tanah yang dijual.
Pola perekrutan yang mirip juga terjadi di kelompok Agrapinus Rumatora alias Nus Kei. Salah satu anggota Nus Kei, Jemmy Rema, menuturkan, kelompok itu menampung anak-anak muda dari Maluku yang tak punya tempat tinggal saat merantau ke Jakarta. “Tidak sampai merekrut orang dari kampung dan membawanya ke Jakarta,” ujarnya pada Kamis, 30 Juli lalu.
Nus Kei sebelumnya bergabung dengan kelompok John Refra Kei sejak 1996. Ia memilih keluar pada 2016 karena suatu perselisihan. “Kalau seseorang tidak nyaman, apakah harus bertahan? Tidak, dong,” ucapnya. Nus Kei mengatakan dia tidak merekrut anak muda untuk melakukan pekerjaan semisal menjaga tanah sengketa, menagih utang, ataupun menjadi petugas keamanan. Dia mengklaim mereka direkrut untuk bekerja di perusahaan hukum miliknya. “Bisnis saya banyak,” ujarnya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Tubagus Ade Hidayat, yang memetakan kelompok preman di Jakarta, menuturkan, kelompok dari timur Indonesia yang dikenal sebagai kelompok Ambon berkembang setelah terjadi konflik agama di Maluku pada 1999. Ketika itu, banyak orang Maluku hijrah ke Jakarta karena persoalan ekonomi. Di Ibu Kota, orang-orang dari Maluku tersebut bekerja mengamankan tempat hiburan ataupun perusahaan. “Mereka tumbuh karena ada yang memakai jasanya,” katanya pada Rabu, 29 Juli lalu.
Belakangan, pola kerja kelompok-kelompok itu mulai berubah. Tubagus mencontohkan, mereka membuat badan hukum untuk bekerja sama di sektor keamanan ataupun penjagaan lahan. Imron alias Raul Kalila mengakui kelompoknya pun sudah berbadan hukum. Meski sudah membuka kantor pengacara, Raul juga punya perusahaan penyediaan jasa penagihan dan keamanan. “Untuk kerja sama yang lebih kuat, ada hitam di atas putih,” ujarnya. Dua sumber Tempo yang merupakan pekerja bank dan leasing menyebutkan perusahaannya kini hanya bekerja sama dengan kelompok penagih yang berbadan hukum.
Menurut Tubagus, kelompok preman juga memiliki sistem kepangkatan. Biasanya yang senior menjadi koordinator dan tak lagi menjadi penagih utang atau penjaga tanah sengketa. Dalam regu itu pun ada perilaku yang membuat bangga. Misalnya, kata Tubagus, mereka yang sering melakukan kekerasan atau pembunuhan akan lebih dipandang. Derajatnya pun makin tinggi jika masuk-keluar penjara berkali-kali. “Yang tertinggi adalah masuk Nusakambangan,” ujarnya.
Tubagus mengatakan ada sejumlah pantangan di dalam kelompok Maluku. Salah satunya adalah mencuri. Kelompok Maluku lebih baik memeras daripada mencuri. Namun Nus Kei menampik pernyataan Tubagus mengenai orang yang dipenjara akan makin dipandang. “Kami suruh tobat dan pulang kampung,” tuturnya.
*****
HUSSEIN ABRI DONGORAN, MUSTAFA SILALAHI, GANGSAR PARIKESIT
Pemprov Maluku Klaim Bayar Rp.13 Miliar
Terkuak, penyerangan sadis oleh kelompok John Kei kepada pamannya Agrapinus Rumatora alias Nus Kei dipicu pembayaran masalah tanah di kawasan RSUD Dr. M. Haulussy Kudamati, Jl. Dr. Kayadoe, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Lahan Tanah RSUD dr. M. Haulussy Kudamati dan perluasannya dianggap sebagai lahan garap kedua klan Kei di Jakarta itu. Diduga, bisnis miliaran rupiah itu, merupakan imbalan jasa atas kasus yang dimenangkan oleh Yohanes Tisera alias Buke di pengadilan Mahkamah Agung (MA) Jakarta.
Sengketa lahan RSUD dr. M Haulussy bergulir di pengadilan cukup lama. Keluarga Yohanes Tisera alias Buke, Wattimena, Waas, Negeri (desa) Amahusu dan Yacobus Abner Alfons saling mengklaim berhak atas tanah itu.
Jurnalis titastory.id mendatangi Ruang Biro Hukum Setda Maluku, Kantor Gubernur Provinsi Maluku, rabu (1/7/2020).
Kepala Biro Hukum Setda Maluku, Alawiah Alaydrus menjelaskan, dalam perkara ini, penggugat asal adalah Yosepus Nikodemus Waas Cs. Mereka menggugat Pemprov Maluku (tergugat I) untuk membayar ganti rugi. Yohanes Tisera alias Buke juga digugat (tergugat II).
Alaydrus menjelaskan, Saniri Negeri Amahusu melakukan intervensi dalam perkara a quo, dan bertindak selaku penggugat intervensi I. Yakobus Alfons juga menempuh langkah yang sama, sehingga posisinya sebagi penggugat intervensi II.
“Dalam proses itu, tergugat II Yohanis Tisera mengajukan rekonvensi atau gugatan balik. Jadi dia sebagai pihak tergugat dalam perkara dengan objek sengketa tanah di RSUD Haulussy, dia melakukan gugatan balik terhadap pihak-pihak penggugat asal maupun penggugat intervensi, dan juga Pemda Maluku,” jelas Alaydrus.
Banyak dalil yang disampaikan menurut Karo Hukum Pemprov Maluku ini. “Ada yang menyebut tanah RSUD Haulussy adalah Dusun Pusaka Ijipuan. Amahusu katakan, itu petuanan Negeri Amahusu, lalu Yakobus Alfons menyatakan itu Dusun Dati Kudamati. Sementara Yohanis Tisera sebut itu Dusun Dati Pohon Katapang,” beber Karo Hukum Pemprov Maluku itu.
Alaydrus menjelaskan, dalam putusan Nomor 38/Pdt.G/2009/ di Pengadilan Negeri Ambon menyatakan gugatan penggugat asal, penggugat intervensi maupun penggugat rekovensi tidak dapat diterima.
Selanjutnya, putusan Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 18/Pdt/2011/PT menyatakan membatalkan putusan tingkat pertama Nomor 38/Pdt.G/2009/Pengadilan Negeri Ambon.
Dalam amar putusannya, Pengadilan Tinggi Ambon menyatakan menolak gugatan penggugat asal (keluarga Waas), penggugat intervensi I (Pemerintah Negeri Amahusu) dan intervensi II (Yacobus Alfons) selaku para pihak yang mengajukan banding.
Amar putusannya juga menyatakan mengabulkan gugatan penggugat rekonvensi (tergugat II) dalam hal ini Yohanis Tisera alias Buke untuk seluruhnya.
“Dua amar putusan itu yang menonjol, yang kemudian oleh penafsiran hukum, objek sengketa itu menjadi milik Yohanis Tisera,” urai Alaydrus.
Lanjut Alaydrus, Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi dari penggugat asal, dan penggugat intervensi melalui putusan MA 1385.K/Pdt/2013. Begitupun dengan putusan Peninjauan Kembali (PK), dengan putusan PK Nomor: 512PK/Pdt/2014.
“Dalam permohonan kasasi, itu menolak seluruh permohonan mereka, dan juga PK. Jadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, itu sudah inkrah,” ujarnya.
Alaydrus menambahkan, Dengan adannya putusan kasasi maupun PK yang menolak gugatan penggugat asal dan pengugat intervensi, sehingga kembali kepada putusan banding yang dimenangkan Yohanis Tisera.
“Jadi gugatan melawan Pemerintah Provinsi Maluku dianggap selesai, karena kasasi dan PK mereka ditolak, maka kembali ke putusan Pengadilan Tinggi Ambon, sehingga Yohanis Tisera selaku pihak yang berhak menerima ganti rugi,” ujarnya.
Alaydrus juga menjelaskan, putusan Pengadilan Tinggi Ambon dan Mahkamah Agung juga menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ambon itu, yang memenangkan penguggat intervensi, Jacobus Abner Alfons.
“Jadi dua obyek yang berbeda, ganti rugi yang dilakukan Pemprov Maluku kepada Yohanes Tisera adalah atas tanah perluasan RSUD seluas 3,1 hektar bukan lahan RSUD induk, karena sudah lunas,” paparnya.
Lanjutnya, perluasan tanah yang dibayar kepada Buke Tisera adalah tanah yang dibangun asrama putra/putri, kamar mayat, rumah genset, dan Bapelkes. “Itu yang menjadi obyek ganti rugi kepada Buke Tisera atas perluasan bukan, lahan RSUD induk,” katanya.
Dikatakan, sebelum pembayaran pemprov telah meminta penjelasan pengadilan, dan pengadilan telah menjelaskan yang berhak atas tanah tersebut adalah Buke Tisera.
Nilai yang harus dibayar kepada Tisera sebesar Rp.49,9 miliar. Namun yang baru diberikan Rp 13 miliar. “Ganti rugi akan dibayarkan secara bertahap dan sampai saat ini sudah diberikan ganti rugi sebanyak 13 miliar rupiah,” terang Alaydrus.
Ia menambahkan, sesuai dengan penilaian appraisal ditetapkan ganti rugi sebesar Rp 65.9 miliar, namun setelah negosiasi disepakati dengan Buke Tisera Rp 49.987 miliar.
Kesepakatan ini telah dituangkan dalam akta notaris Rostianti Nahumarury tanggal 19 Januari 2019. “Untuk sisa ganti rugi, karena masih dalam situasi pandemi, yang berakibat semua penganggaran diprioritaskan untuk percepatan penanganan Covid-19, sehingga akan dibayar tahun depan,” jelas Alaydrus.
Dan Soal keberatan keluarga Yacobus Abner Alfons, Alaydrus menjelaskan, putusan pengadilan tingkat pertama Nomor: 62 Tahun 2015 menetapkan tanah obyek sengketa seluas 99,963 meter persegi adalah milik pengugat intervensi dalam hal ini keluarga Alfons. Dan menyatakan bahwa surat penyerahan 6 potong dusun dati dari anggota Saniri Negeri Urimessing kepada Yohanes Tisera tertanggal 28 Desember 1976 adalah cacat hukum.
Alaydrus juga membantah berita miring yang disampaikan sejumlah media tentang isu bangunan RSUD dr. M. Haulussy Ambon akan diboikot karena telah kalah dalam persidangan.
“ Jadi ada berita yang menyampaikan bahwa RSUD dr. M. Haulussy Ambon akan diboikot atau ditutup, maka itu tidak benar. Karena objek ganti rugi pemerintah daerah Provinsi Maluku dengan Yohanes Buke Tisera adalah perluasan RSUD bukan lahan dimana RSUD berdiri sekarang ini atau induk,” terang dia.
Atas dasar tersebut, menurut Alaydrus sesuai akta kesepakatan Pemda Maluku dengan ahli waris Tisera, maka akan diberikan ganti rugi. Yang mana akan dibayarkan secara bertahap.
Ditanyakan realisasi pembayaran kepada Yohanes Tisera, Karo Hukum Setda Maluku ini menjelaskan pembayaran telah dilakukan sebanyak dua tahap, yakni tahun 2019 dan awal tahun 2020.
“ jadi kami telah membayar tahun 2019 itu Rp10 miliar. Awal tahun 2020 ini Rp.3 miliar. Jadi totalnya Rp.13 miliar. Namun seharusnya tahun ini Rp.13 miliar dan tetapi baru terealisasi Rp.3 miliar, karena pandemic covid-19 ini masih kami priritaskan untuk belanja untuk percepatan penanganan covid. Mungkin setelah itu kita lihat kembali keuangan daerah untuk menyelesaikan sisanya tahun 2020 ini” jelas Alaydrus.
Namun Pemerintah Maluku melalui Biro Hukum Setda Maluku membantah uang ganti rugi yang dibayar secara cicill kepada Yohanes Buke Tisera, tidak berhubungan dengan perselisihan dua klan bersaudara asal Kei Maluku Tenggara di Jakarta yakni John Kei dan Juga Nus Kei.
“ Ya kami tidak tahu persoalan di Jakarta. kami hanya tahu Yohanes Tisera, bukan diikaitkan dengan mereka,” ungkap Alaydrus.
*****
Ajukan Keberatan ke Pemda Maluku
Atas dasar putusan PK Nomor 512, penggugat intervensi II, ahli waris Jakobus Alfons menyurati Pemerintah Daerah Maluku. Mereka keberatan dengan langkah yang diambil untuk membayar ganti rugi lahan RSUD dr. Haulussy kepada Yohanis Tisera alias Buke sebesar Rp 10 miliar. Keberatan itu disampaikan langsung oleh Evant Alfons, anak dari Jacobus Alfons.
“Beta waktu itu komplein untuk tidak dilakukan pembayaran, karena dalam putusan yang dipakai oleh Buke Tisera Nomor 38 perkara di pengadilan negeri dengan PK Nomor 512,” tandas Evant.
Lanjut Evant, dalam putusan PK tidak disebutkan perintah Pemprov Maluku untuk melakukan pembayaran kepada Buke Tisera.
“Dalam putusan itu dia bersifat deklaratoir. Kami komplein, karena putusan PK Nomor 512 itu Jacobus Alfons dalam putusan itu disebut sebagai pihak termohon. Dan putusan itu memiliki cacat hukum, karena Jacobus sebagai pihak termohon, karena termohon itu adalah Pemerintah Amahusu. Dalam hal ini Josepus Nikodemus Waas,” tandasnya.
Evant menyatakan, dalam putusan itu, tidak mencatat Pemda untuk melakukan pembayaran, karena putusan itu bersifat deklaratoir atau hanya pernyataan.
“Kalau memang Buke Tisera mengatakan dia adalah yang lebih berhak, wajibnya dia menggugat ulang Pemprov Maluku untuk melakukan ganti rugi, karena dalam putusan itu tidak tertera berapa ganti rugi, berapa yang harus dibayarkan oleh Pemprov Maluku, da dalam putusan itu tidak tertera berapa besar ganti rugi yang wajib dibayarkan,” ujarnya.
Ahli waris Jocobus Alfons ini juga mengatakan saat ini mereka sementara melakukan upaya hukum dengan Pemprov Maluku, sehingga pihaknya meminta jangan dilakukan pembayaran.
“Kami keberatan karena ada putusan Mahkamah Agung dengan nomor 3410 tahun 2015 tanggal 27 agustus yang telah berkekuatan hukum tetap. Didalam putusan itu telah membatalkan atau menyatakan, surat 28 Desember sebagai dasar miliki dari Yohanis Tisera itu cacat hukum,” ungkap Evant.
Berdasarkan putusan itu, kata Evant, Buke Tisera tidak bisa mengklaim bahwa dia pemilik tanah.
“Pemprov kok bisa melakukan pembayaran, tetapi tidak ada perintah eksekusi dari pengadilan. Pembayaran sudah dilakukan bulan Februari 2019, padahal komplein yang diajukan ke pemprov sejak tahun 2018 untuk tidak melakukan pembayaran karena saat itu kami sudah mendengarkan akan membayar,” tandasnya.
Kuasa Hukum ahli waris, Ronny Samloy menyesalkan sikap acuh pemerintah provinsi Maluku, dengan melakukan pembayaran ganti rugi terhadap Yohanes Tisera alias Buke Tisera. Dikatakan, dirinya telah menyurati Pemda setempat melalui, biro hukum setda Maluku, agar proses pembayaran ditunda hingga proses saling klaim itu berakhir.
“Yang pertama kita melihat bahwa, dari putusan PK 512 tahun 2014 itu sudah dianulir surat yang digunakan oleh Buke Tisera, yakni surat nomor 28 desember tahun 1979 tentang penyerahan dusun dati di urimessing itu sudah dibatalkan oleh pengadilan Negeri Ambon dalam putusan menyangkut dati kate-kate putusan perkara nomor 62. Tahun 2015. Lucunya kemudian dari putusan itu, ahli waris dari Jakobis Abnder Alfons atau menjadi bagian dari ahli waris Josias Alfons meminta pemerintah daerah provinsi Maluku untuk meminta tidak membayar di atas lahan di mana berdiri RSUD Haulussy Kudamati. Yang kami heran Pemda Maluku melakukan ganti rugi terhadap Yohanes Tisera,” beber Samloy.
Lanjut mantan jurnalis harian rakyat maluku ini, pembayaran tersebut bertentangan dengan amar putusan putusan pengadilan negeri ambon nomor 512 tahun 2014.
“Ini yang menjadi tanda Tanya. Kami melihat bahwa, proses pembayaran ini sangat bertentangan dengan aturan karena dalam amar putusan 512 tahun 2014 dalam amarnya tidak “bersifat komdimnatoir” yang mewajibkan pemerintah provinsi Maluku melakukan ganti rugi terhadap Yohanes Buke Tisera,” tegas dia.
Menyangkut ganti rugi lahan dan dikaitkan dengan perselisihan Jhon dan Nus Kei di Jakarta, minggu 21 juni lalu, Samloy menyesalkan tindakan Pemda Maluku karena menjadi bagian dari akar permasalahan tersebut.
“Kami juga kaget ketika kasus ini di viralkan secara nasional karena ada bentrokan dari saudara-saudara kita yang ada di Jakarta. yang mana inti dari bentrokan tersebut menyangkut lahan ganti rugi RSUD Ambon. Ini menurut kami tidak fer. Tidak fer karena kami tidak menyalahkan siapa-siapa, yang kami salahkan adalah pemerintah provinsi Maluku. Bahkan tak hanya Pemda, kami juga sampaikan kepada DPRD Maluku, kita juga menyampaikan surat kepada KPK, kepada sekretariat Negara agar supaya proses pembayaran ganti rugi lahan RSUD dr. M. Haulussy Ambon tidak dilakukan oleh pemerintah,” sesal Samloy.
Ditegaskan Ronny, Pemerintah Maluku seharusnya bisa hati-hati untuk mengkaji putusan MA yang dimenangkan oleh Yohanes Tisera itu. Tapi nyatanya itu tidak dilakukan.
“Kami ingin menegaskan bahwa, sebenarnya RSUD Haulussy itu berdiri, diatas dati kudamati milik dari ahli waris Yosias Alfons. Sehingga kami meminta pemerintah provinsi Maluku, bisa menarik ahli waris dari Yosias Alfons untuk terlibat dalam proses pergantian ganti rugi tanah RSUD. Karena kami melihat telah terjadi kesalahan dalam proses ganti rugi tersebut,” harap kuasa hukum Alfons.
Sebelumnya, Pemda Maluku menurut Samloy telah menyetujui tidak membayar biaya ganti rugi kepada Yohanes Tisera. Namun perjanjian itu dilanggar oleh Pemda Maluku.
“Jadi soal pembayaran, sejak awal kita sudah mewanti-wanti pemerintah provinsi maluku bahkan di biro hukum Setda Maluku mereka sudah mengiyakan bahwa sifat dari putusan PK 512 tahun 2014 itu hanya bersifat deklaratoir tidak ada perintah untuk membayar. Tetapi kemudian dalam perjalanan kami mendengar bahwa pemerintah Provinsi Maluku melakukan pembayaran Rp.10 miliar kepada Buke Tisera. Lalu kemudian perkembangan baru sudah dibayar lagi, Rp.3 miliar. Menurut kami ini tidak fer. Dan ini perbuatan melawan hukum. Kami akan menempuh upaya hukum untuk meminta pertanggung jawaban dari pemerintah provinsi maluku atau siapapun yang diduga terlibat dalam proses pembayaran ini,” tegas Ia.
*****
Tak Bersertifikat
Kepala seksi Infrastruktur Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon Josep mengatakan tanah seluas empat puluh tiga ribu meter persegi perluasan RSUD Dr. M. Haulussy itu belum bersertifikat.
“Sampai saat ini lokasi di sana belum bersertifikat, soal sengketa lahan di sana kita belum dapat gambaran, soalnya data-data pembuatan sertifikat belum ada di BPN,” kata Josep saat ditemui titastory.id di kantor Badan Pertanahan Kota Ambon rabu (8/7/2020).
Menurutnya setiap peserta yang ingin mengajukan pendaftaran bikin sertifikat tanah disertai dengan alat-alat bukti resmi dan memenuhi persyaratan.
Ia mengaku BPN pernah melakukan pengukuran keseluruhan lahan RSUD Haulussy Ambon seluas sekitar 43.466 m2 atau 43,46 ha.
Josep pun merinci lahan yang disengketakan oleh para ahli waris adalah Bapelkes seluas 355.57 m2, jalan raya 1.97 m2, rumah Bank 721 m2, sekolah SPK 7.39 m2, dan kamar mayat lama 392 m2.
Lainnya, Bak air lama 574 m2, rumah dinas dokter 1.342 m2, tanah hibah 12 ribu m2, dan RSUD Haulussy 15.645 m2 atau 1,56 ha. “Luasan tanah di sana 43.644 m2 dan sampai saat ini tanah di sana belum bersertifikat,” kata Josep.
NUS KEI: SAYA SUDAH MAAFKAN JOHN KEI
MENJELANG akhir Juni lalu, rumah Agrapinus Rumatora alias Nus Kei diperumahan Green Lake City, Kota Tangerang, Banten, mendadak disatroni puluhan preman. Anak buah John Kei menyerbu untuk menuntut bagian duit penjualan tanah di Ambon, yang telah lama menjadi duri dalam daging keluarga Kei.
Penyerangan kelompok John Kei langsung menjadi berita besar. Bentrokan dua preman dari Ambon ini juga memantik pertanyaan soal jaminan keamanan di Ibu Kota. Pasalnya, John dan Nus Kei sama-sama memimpin kelompok preman besar yang didominasi anak muda dari Indonesia timur. Ditemui pada Kamis, 30 Juli lalu, di sebuah kafe di dekat Markas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Nus Kei menjelaskan asal-muasal konfliknya dengan gamblang.
Benarkah konflik Anda dengan John Kei dipicu perebutan duit ganti rugi lahan di Ambon?
Betul. Ada beberapa pihak yang bersengketa terkait dengan ganti rugi lahan Rumah Sakit Umum Daerah Dr M. Haulussy, Ambon. Salah satunya keluarga Yohanes Tisera. Dia menghubungi saya setelah pengacaranya, Tito Kei, meninggal.
Kami lalu bertemu di Jakarta dan membicarakan sengketa itu bersama John Kei. Kasus itu lalu diurus pengacara yang baru dan menang.
Apa yang membuat John marah?
Setelah kasus itu menang, dia tidak sabaran. Saya ditelepon terus soal pembayaran ganti rugi lahan dari Pemerintah Provinsi Maluku. Saya bilang, pemerintah itu punya mekanisme. Uang pembayaran lahan harus dianggarkan lebih dulu dan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tapi dia tidak mau tahu. Di situlah kami mulai ribut.
Itu yang membuat Anda keluar dari kelompok John Kei?
Saya keluar dari Perumahan Tytyan Indah (markas kelompok John Kei di Bekasi, Jawa Barat) pada 2016. Saya lalu pindah ke Bintara, Bekasi. Tapi John Kei makin menjadi-jadi. Dia suruh orang-orangnya meneror saya. Karena tidak nyaman, saya pindah ke perumahan Green Lake, Cipondoh, Tangerang. Semula saya kira teror itu sudah selesai, ternyata tidak….
Anda dianggap tidak loyal karena membuat kelompok baru….
Loyalitas yang mana? Emangnya dia gaji saya? Selama ini kami cari makan sendiri-sendiri, kok. Toh, sebelum masalah ini muncul, apa yang dia suruh kami kerjakan. Adik-adik itu sedari awal sudah sama saya. Mereka anak dari kakak-kakak kami. Orang-orang ini satu kampung semua. Kami ini satu. Saya tidak bikin kelompok baru.
Anda pernah meminjam Rp 1 miliar dari John Kei?
Saya ingin luruskan. Uang Rp 1 miliar itu merupakan pinjaman seorang kawan saya—dia kawan John Kei juga—untuk penyelesaian perkara di Ambon. Setelah putusan pengadilan, John suruh orangnya untuk menagih ke saya. Padahal saya sudah tidak punya urusan lagi di Ambon. Jadi cara-cara dia menyelesaikan masalah itu yang buat kami tidak nyaman.
Soal sengketa lahan di Rumah Sakit Dr M. Haulussy, Ambon, mengapa John Kei gencar menagih bagiannya?
Mungkin karena yang mengurus kasus tersebut pertama kali adalah adiknya yang meninggal itu (Tito Kei). Saya tidak tahu persis komitmen pembagian fee di antara mereka. Menurut saya, ini masalah sederhana jika diselesaikan secara sabar. Apalagi, dari total nilai kompensasi tanah sebesar Rp 49 miliar, sebesar Rp 10 miliar sudah dibayar pemerintah. Pada Agustus ini akan dicairkan lagi Rp 3 miliar.
Apa Anda sempat berusaha berdamai?
Sudah sering. Saya berulang kali menelepon dia, tapi tidak diangkat. Lalu saya kirim pesan lewat WhatsApp: “Ini masalah kita berdua, jangan libatkan orang lain.” Kalau mau ikut aturan adat, semestinya dia yang mendatangi rumah saya, karena saya paman dan lebih tua. Tapi saya mengajak dia bertemu di tempat netral, Plaza Indonesia. Itu pun tidak ditanggapi.
Apa ada kemungkinan bentrokan berlanjut?
Saya tetap memposisikan diri sebagai orang tua, sebagai seorang paman. Saya tidak mungkin berbuat onar. Apalagi dia sekarang sudah di penjara. Buat saya sudah selesai. Saya damaikan orang-orang di sini karena mereka keluarga kami juga. Kita ingin hidup damai sebagai satu keluarga. Saya sudah maafkan kejadian kemarin.
*****
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI
BENTROK TAK BERKESUDAHAN
Mei 2003
- Kelompok Hercules dan Basri Sangadji Bentrok di Kemang, Jakarta Selatan.Pertikaian menyebabkan anak buah Hercules, Samsi Tuasah, tewas akibat luka tembak di paha dan dada. Bentrok dipicu berkaitan utang-piutang.
2 Maret 2004
- Masa Jhon Kei terlibat bentrok dengan kubu Basri Sangaji di Diskotik Stadium, Taman Sari, Jakarta Barat. Dalam peritiwa itu, dua petugas keamanan diskotek tewas.
Sebelum peristiwa tersebut, Jhon Kei sempat diserang terlebih dahulu oleh massa Basri Sangadji hingga tiga jari tangannya kaku dan tak bisa direhkan.
Selasa, 8 Juni 2004
- Bentrok antara kelompok Jhon Kei dan Basri Sangaji terjadi lagi di depan pangadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam perkelahian ini, Welterus Refra terbunuh, kakak kandung Jhon Kei.
12 Oktorber 2004
- Basri Sangadji tewas di kamar Hotel Kebayoran Inn nomor 301. Dua peluru bersarang di dada Basri Sangaji. Sontak nama Jhon dikaitkan dengan pembunuhan tersebut. Di dalam kasusini, Jhon Kei lolos dari jeratan hukum karena tidak terbukti terlibat atas kematian Basri Sangaji.
Selasa, 1 Maret 2005
- Sidang kasus pembunuhan Basri Sangaji, tokoh pemuda asal Maluku di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diwarnai bentrok fisik antar massa pendukung Sangaji dan pendukung Semy Kei terdakwa dalam kasus ini.
2005
- Kelompok Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia, menyerang kelompok Jhon Kei saat menjaga lahan kosong di Perum Permata Buana, Jakarta Barat. Dalam kejadianini, seorang anggota pendekar Banten tewas, sembilan luka-luka dan 13 Mobil dirusak.
Kamis, 5 April 2007
- Saling bacok melibatkan kelompok Ongen Sangaji dan Tito Refra di PT Adi Taruna, Jalan H Agus Salim Nomor 117, Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa itu bermula dari penagihan hutang oleh kelompok Ongen. Tiba-tiba, datang kelompok Tito menggunakan enam mobil dan bus menyerang kelompok Ongen menggunakan parang saat terjadi negosiasi.
Rabu, 4 Juni 2008
- Bentrok sesame pemuda Ambon antara kubu Basri Sangaji dan Kubu Milton, diawali dengan adu mulut di Café Brew & Co, Citos, Jakarta Selatan. Dua orang kena bacok.
11 Agustus 2008
- Jhon Kei bersama adiknya, Tito Refra, ditangkap oleh aparat Brimob dan Densus 88 di Desa Ohojiang, Kota Tual, Maluku. Mereka ditangkap karena diduga menganiaya dua pemuda yakni, Charles Refra dan Remi Refra.
- Saatitu, rencana persidangan di gelar di Maluku, namun akhirnya di gelar di Pengadilan Negeri Surabaya karena ada ancaman dari loyalis Jhon Kei. Jhon dan Tito divonis delapan tahun penjara.
4 April 2010
- Kelompok Jhoi Kei dan Kelompok Thalib Makarim dari Ende, Flores bentrok di Klub Blowfish. Dua anak buah Jhon Kei tewas. Dua anggota Kelompok Thalib Makarim tewas.
Rabu, 29 September 2010
- Kelompok Ambon Kei dan Flores bentrok di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera Raya, saat berlangsung sidang lanjutan kasus Blowfish. Bentrok diawali dengan penyerangan kelompok Flores, yang datang menggunakan tiga Kopaja berjumlah ratusan orang membawa parang dan pistol. Akibatnya, satu orang dari Kelompok Jhon Kei, tewas tertembak.
Kamis, 30 Agustus2012
- Kelompok Jhon Kei dan Kelompok Hercules bentrok di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Peristiwa terjadi lantaran konflik pengamanan lahan seluas 2,1 hektar yang disengketakan oleh PT Subur Ganda dan Agung Sedayu Group.
26 Januari 2012
- Jhon Kei bunuh pengusaha Tan Harry Tantono alias Ayung di dalam kamar 2701, Swiss-Belhotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Ayung tewas dengan 32 luka tusukan di pinggang dan perut.
Jumat, 31 Mei 2013
- Tito Refra Kei, adik kandung Jhon Kei tewas ditembak orang tak kenal sekitar pukul 20.00 WIT. Dia ditembak saat sedang bermain kartu bersama tiga tetangganya tak jauh dari rumahnya di Jalan Raya Titian Indah RT 3/ RW 11 Kelurahan Kalibaru, Medansatria, Kota Bekasi.
Sabut, 16 Desember 2017
- Kelompok Jhon Kei terlibat bentrok dengan kelompok organisasi masyarakat (Ormas) Forum Betawi Rembuk (FBR) di LapanganSeroja, KelurahanHarapanjaya, KecamatanBekasi Utara, Kota Bekasi. Satu orang anggotaOrmas FBR tewas dengan luka bacok di sekujur tubuh.
Minggu, 21 Juni 2020
- Kelompok Jhon Kei menyerang rumah Nus Kei di Perumahan Green Lake Cluster Australia, Kelurahan Ketapang, KecamatanCipondoh, Kota Tangerang. Sebelum terjadi penyerangan itu, Kelompok Jhon Kei sudah menyerang kelompok Nus Kei di wilayah Cingkareng, Jakarta Barat. Kejadian ini buntut pembagian hasil pembayaran lahan perluasan RSUD dr. Haulussy di Ambon, Maluku.
Infografis Tokoh : Jhon Kei alias Jhon Refra, Basri Sangaji, Ongen Sangaji, Milton, Manaf Bogor, Umar Kei, Ongen Goro, Jimmy Tato, Ferry Lasatira dan Soleman Marasabessy
*****
Discussion about this post