Christ Belseran, Jakarta
KETIDAKADILAN berlapis dialami oleh Masyarakat Adat di Kepulauan Aru berpuluh-puluh tahun di atas tanah-air kelahirannya. Mereka menjadi korban akibat beragam tujuan atas nama Kepentingan Nasional dan Proyek Pembangunan yang tidak adil secara sosial dan ekologis.
Proyek pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi minus pemerataan dan keadilan atas sumber-sumber agraria di Kepulauan Aru telah mengabaikan eksistensi Masyarakat Adat Aru. Niat pembangunan dikumandangkan negara dengan alasan percepatan pembangunan di Aru, tetapi secara nyata ‘pembangunan’ ini justru mendegradasi kehidupan masyarakat adat Aru karena hanya mengedepankan logika eksploitasi, ekstraksi dan komodifikasi Sumber Daya Alam, baik di laut maupun darat, untuk tujuan korporasi.
Berbagai konsesi masuk ke Kep. Aru dengan menyasar kawasan hutan. Misalnya, tahun 2010, Masyarakat Adat Aru harus berhadapan dengan Konsorsium PT. Menara Group yang mendapat konsesi izin perkebunan. Perusahaan ini akan membangun perkebunan tebu. Menghadapi hal tersebut, masyarakat menggalang aksi perlawanan di bawah #SaveAru dan berhasil menjungkalkan PT. Menara Group. Keberhasilan gerakan #SaveAru ternyata tidak lantas menyelesaikan berbagai konflik agraria di Kepulauan Aru. Konsesi-konsesi lain berebut menyergap Kepulauan Aru, seperti rencana pembangunan Peternakan Sapi di bawah Perusahaan Jhonlin Group. Rencana pembangunan ini mengancam eksistensi masyarakat adat Kep. Aru dan alamnya.
Akar sistemik bagi masuknya konsesi ke Kep. Aru adalah kebijakan kehutanan. Hampir seluruh daratan Kepulauan Aru ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi konversi. Di mana kebijakan ini memudahkan izin untuk mengubahan kawasan hutan menjadi hutan tanaman industri, serta memudahkan konsesi lain masuk.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), Mufti Fathul Barri mengatakan Kebijakan tersebut membuat masalah agraria di Kepulauan Aru belum selesai hingga akarnya sehingga terus membuka peluang masuknya investasi.
“Akarnya adalah kebijakan kawasan hutan di Kep. Aru yang seperti tinggal melempar karet gelang saja dalam menentukan mana kawasan hutan produksi konversi, kawasan konservasi dan sebagainya. Kebijakan kehutanan ini tidak nyambung dengan kondisi geografis Kep. Aru,” kata Mufti dalam diskusi dengan tema “Penguatan dan Percepatan Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria melalui Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2022” yang digelar Papua Study Center (PSC) di Ruang Berkarya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (5/7/2023).
Mufti menambahkan, sebagai negara kepulauan, persepsi dalam pembangunan harusnya kembali dalam marwah kepulauan, karena saat ini terlalu bias darat. Semua kebijakan yang turun dibawa ke wilayah kepulauan.
Terhadap kebijakan yang tersebut, menurutnya konflik agraria struktural di Kepulauan Aru tak kunjung padam. Kebijakan politik pembangunan dan agraria nasional yang mengabaikan dan minus kepekaan atas hak masyarakat adat, menjadi penyebab konflik agraria di Kepulauan Aru.
Hal ini kata Mufti, dapat dilihat dari kasus paling mengemuka, yakni konflik masyarakat adat Kep. Aru dengan TNI Angkatan Laut. Sejak tahun 1990-an Masyarakat Adat Kepulauan Aru telah mengalami perampasan lahan akibat kehadiran TNI Angkatan Laut yang membangun pangkalan militer di Kep. Aru.
Kehadiran TNI Angkatan Laut baginya melahirkan kekerasan berkepanjangan dalam bentuk intimidasi, perampasan ruang hidup dan pembatasan akses masyarakat atas sumber-sumber agraria mereka seperti kawasan berburu komunal, dan kawasan hutan. Terjadi manipulasi dalam meminta persetujuan masyarakat guna melepaskan lahan, kadang disertasi dengan cara-cara intimidatif dan pendekatan keamanan lainnya. Berlandaskan bukti-bukti hak kepemilikan tanah masyarakat yang manipulatif itulah klaim atas tanah masyarakat dilakukan.
Masyarakat adat Kepulauan Aru menggugat praktik-praktik manipulasi dan klaim kepemilikan tanah ke Pengadilan Negeri 1 Dobo pada November 2021. Ironisnya, gugatan mereka dikalahkan oleh hakim dengan argumen bahwa bukti-bukti yang diajukan masyarakat sangat lemah secara hukum. Perspektif legal positivistik hukum yang dipakai pengadilan hendak menyamakan sistem tenurial di Aru dengan di Jawa.
Upaya litigasi, masyarakat selanjutnya adalah mengajukan banding, juga melakukan konsolidasi politik ke tingkat nasional.
Sepanjang September-November 2022, perwakilan masyarakat adat Kepulauan Aru mendatangi instansi pemerintah untuk melakukan audiensi demi menagih keadilan. Mereka datang ke Kantor KOMNAS HAM, Kantor Sekretariat Presiden (KSP), Kementerian ATR BPN, DPR, Kementerian Pertahanan dan mereka juga mendatangi Markas TNI Angkatan Laut di Jakarta. Satu bukti perjuangan Masyarakat Adat Kep. Aru yang menempuh jalur konstitusional.
Jalur politik lain pun juga ditempuh, yakni mendorong PERDA Pengakuan Adat. Awal Tahun 2022, PERDA Adat No. 2 Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru UrsiaUrlima pun terbit. Merespon terbitnya Perda tersebut, koalisi gerakan sipil untuk Kep. Aru merasa penting untuk mempercepat implementasinya.
Eko Cahyono, peneliti dari Papua Study Center (PSC) dalam diskusi dengan tema “Penguatan dan Percepatan Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria melalui Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2022” menjelaskan Perda pengakuan ini sebagai upaya menghalau laju bisnis ekstraktif yang makin masif di Kep. Aru memang belum tentu terbukti, tetapi Perda ini setidaknya menjadi dasar hukum bagi masyarakat ada dan hak-hak agrarianya. Sebab, menurutnya, saat ini telah ada pengakuan legal negara atas masyarakat adat di Kepulauan Aru. Baginya, ini menjadi satu hal yang sangat penting.
Lebih lanjut, dikatakan Cahyono bahwa, langkah yang kemudian menjadi penting adalah diperlukan semua pihak untuk mendorong implementasi Perda pada tingkat Pemerintah Daerah, karena pada faktanya Pemda-lah yang mempunyai peran kunci dalam implementasi Perda ini. Misalnya Pemda perlu segera membentuk tim verifikasi masyarakat hukum adat yang mengakomodir semua pihak. Pemda juga harus menyiapkan bantuan anggarannya untuk mendukung tim verifikasi Masyarakat Hukum Adat.
Menurut Cahyono Ragam masalah utama akan terus terjadi jika Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kepulauan Aru tidak dijalankan. Contohnya, ancaman berulang Land rabbing Perkebunan Tebu PT. Menara Groups, Pengembangan wilayah TNI AL di wilayah adat, Politik Pemekaran wilayah Aru Perbatasan, Potensi ancaman: Industri Perternakan sapi, Ekspansi Illegal Logging, Perluasan industri kehutanan: Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Ketiadaan pengakuan MHA dan Marjinalisasi Masyarakat adat dari ruang hidupnya.
Mahruz Ali, Peneliti Pusat Study Center divisi Hukum dan Advokasi menjabarkan beberapa Argumen Hakim dalam Putusan No.11/PDT.G/2021/PN Dobo dalam Gugatan Marga Bothmir.
Penggugat (Marga Bothmir) kata Ali tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan. Hakim menganggap klaim masyarakat atas tanah harus dibuktikan dengan surat awal misalnya bukti pembayaran pajak pada masa lalu (merujuk pada tanah girik yang jadi dasar pembayaran pajak tanah sebelum UUPA), bukan bukti Hak Milik menurut UUPA (hlm.131).
Sementara untuk Alas Hak, kata Ali, Tergugat sesuai hukum pertanahan Hakim berargumen bahwa sesuai PP Pendaftaran tanah apabila setelah 5 tahun tidak ada yang menuntut maka perolehan sertifikat sah. Selain itu juga tidak terbukti adanya tindak pidana, Hakim berargumen tuduhan penggugat bahwa tergugat telah melakukan tindak pidana kekerasan, pemalsuan belum pernah dibuktikan.
Untuk Tergugat (TNI AL, Gubernur Maluku, BPN) sendiri, Hakim menilai tergugat telah membuktikan asal usul perolehan dan penguasaan tanah yang sah berdasar bukti otentik: Surat Pelepasan HAT, Bukti kompensasi pembebasan tanah, Hak Pakai, BMN.
Untuk Pembebasan tanah sah, dijelaskan Ali, Hakim berargumen bahwa pembebasan tanah dan pemberian hak atas tanah telah sesuai UUPA, Permendagri No.6 tahun 1972, Permendagri No.5 tahun 1973, Permendagri No.15 tahun 1975 ttg tata cara pembebasan tanah (hlm.142-146).
Sedangkan untuk Pelepasan tanah adat oleh kepala desa sah, Hakim berargumen pelepasan hak atas tanah dilakukan oleh Philipus Tildjuir selaku kepala desa marafenfen dan selaku kepada persekutuan MHA Desa Marafenfen yang bertindak untuk dan atas nama MHA Marafenfen memberikan persetujuan surat pernyataan pelepasan hak tanah adat seluas 650 ha selama-lamanya untuk kepentingan nasional (hlm. 150).
Sementara itu, Mercy C. Barends, anggota DPR RI Dapil Maluku mengatakan, Landasan hukum tentang pengakuan masyarakat adat begitu banyak. Namun Ia mempertanyakan pengakuan Perda bagi masyarakat hukum adat begitu berlarut-larut.
Mercy mengatakan, kondisi ini butuh political will yang kuat dan lebih berpihak pada kelompok masyarakat terpinggirkan, khususnya di Indonesia Timur. Selain itu, kebijakan pembangunan nasional mesti lebih peka keragaman lokalitas. Bukan mengulang penyeragaman model lama. Sehingga kebijakan pembangunan, khususnya di Kepulauan Aru mesti memahami sejarah dan watak masyarakatnya.
Menurutnya, masyarakat di Kepulauan Aru berwatak nomaden laut, dengan sejarah panjang tenurial antar pulau, yang terikat dengan sejarah adat yang sama. Mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah air di kepulauan Aru menurutnya akan menimbulkan goncangan sosial yang akan berakibat pada konflik dan perlawanan seperti terjadi sekarang.
“Konflik dan krisis sosial-ekologis di Kepulauan Aru tidak bisa dilihat semata urusan daerah atau nasional namun juga bagian dari kontestasi kepentingan global. Sebab, posisi geografis dan sumber kekayaan alam di wilayah Kepulauan Aru demikian strategis dan kaya,” kata Anggota DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan ini.
Putusan MK 35 tahun 2012 kata Mercy telah dengan tegas menyebutkan bahwa wewenang hak menguasai negara (HMN) dibatasi hanya pada kewenangan negara untuk mengadaan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan, melakukan pengelolaan, melakukan pengawasan, dan wewenang hak ulayat masyarakat adat secara turun temurun dalam memanfaatkan SDA.
Selain itu, MK dalam putusan no 3/PUU-VIII/2010, juga telah menjelaskan dan memberi tolak ukur makna, “dipergunakan untuk sebesar-sebasrnya kemakmuran rakyat, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu: kemanfatan SDA bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat SDA bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan SDA, dan penghormatan terhadap hak rakyat.
Meski putusan MA telah memberikan penegasan terhadap makna HMN, namun saat ini situasi masyarakat adat tidak kunjung membaik.
Bahkan, kata Mercy, masyarakat hukum adat saat ini berhadapan dengan berbagai konflik akibat masuknya sejumlah investasi di Kepulauan Aru.
Ia membeberkan ada 4 tahapan konflik yang terjadi, pertama konflik Marfenfen yang terjadi sejak tahu 1991 hingga saat ini tak kunjung selesai.
“Tahun kemarin 4 bulan bersama tim mengadvokasi di Jakarta dan bertemu dengan berbagai pihak kecuali kita belum sempat ketemu Menkopolhukam, Machfud MD, tapi hampir sudah semua sudah kita ketemu, terakhir dengan Angkatan Laut sendiri, dan rapat resmi dalam Mabes Angkatan Laut,” jelasnya.
Yang kedua, lanjut Mercy adalah kasus PT Menara Group, 489 ribu hektar lahan hampir dikuasai, namun karena perjuangan panjang masyarakat dan juga berbagai pihak melalui save aru akhirnya keputusan Menteri LHK dan berbagai pihak membatalkan sehingga pihak Menara Group tidak melakukan project perkebunan tebu.
Yang ketiga beber Anggota DPR RI Dapil Maluku ini adalah project peternakan sapi. Project ini dijelaskan, jika dihitung secara benar, kurang lebih mencakup tahap awal ada 4 perusahaan peternakan sapi yang berelasi dengan Jhonlin Group, milik pengusaha batu bara Kalimantan Andi Syamsuddin Arsyad yang dikenal dengan Haji Isam. Perusahaan-perusahaan itu adalah, PT Kuasa Alam Gemilang (KAG), PT Bintang Kurnia Raya (BKR), PT Cakra Bumi Lestari (CBL) dan PT Ternak Indah Sejahtera (TIS).
“Siapa pemegang 4 perusahaan ini, saya jujur saja Haji Isam, yang ada di Kalimantan sana, yang pengelola batu bara itu, apa urusannya datang di Aru, tapi toh datang juga, datang dengan pesawat pribadinya demi untuk mengambil hutan-hutan di ujung perbatasan dekat Australia, itu kita advokasi juga dan runtuh juga,” beber Mercy tegas dalam acara diskusi tersebut.
Keempat lanjut Mercy adalah, Cendrawasih Aru Project, yang diinisiasi oleh Melchor Group yang mengatasnamakan karbon trading, yang ternyata menjaga hutan namun setelah ditelusuri hanya menjawab mekanisme kebutuhan pasar para Kooporat.
“Berapa yang mau dia ambil, 591.957 hektar, hambir 600 ribu. Ini saya tidak contohkan yang lain lagi. Maluku Tengah 54 ribu sekian, Kalimantan hampir 1 juta hektar, ini perusahaan akal-akalan. Tapi bisa dilihat orang-orang di dalam rata-rata pemain juga. Apa yang mereka lakukan, mereka punya dua anak perusahaan Melchor Group, satu Namanya di Muller dan satu Namanya Roxi. Hati-hati karena ini bisa di Kabupaten yang lain masuk,” paparnya.
Muller kata Mercy tugasnya untuk menjadi broker untuk mengambil konsesi-konsesi hutan baik dari koorporat yang lain, tapi dia juga bisa aneksasi hutan rakyat yang katanya atas nama hutan negara, karena ketidakjelasan itu.
Yang kedua kata Mercy adalah Roxy, menjadi market terhadap konsesi hutan tersebut. Roxi menurut Mercy akan menjual usaha tersebut di pasar-pasar karbon dengan verifikator globalnya.
“Dulu zaman orde baru pemerintah ambil tanah rakyat atas nama project-project perkebunan monokultur land grabing, sekarang land grabing, oksigen grabing, three grebing, semuanya di grabing, ini sangat menyedihkan, yang sangat menyakitkan lagi UUCK satu hal yang mesti kita waspadai adalah multi ijin, dan mereka datang dengan multi ijin mulai dari bibir pantai menggunakan hutan mangrove sampai masuk ke hutan dalam,” tukasnya.
“Saya akan lawan terus akan hal ini, dan saya percaya semua yang ada di lapangan masih bergerak untuk berjuang, kalau masyarakat adat tolak maka barang ini tidak jalan,” tegas Mercy.
Untuk rekomendasi sendiri, agar konflik agrarian tidak berkepanjangan di Kepulauan Aru, saat ini mereka telah menyiapkan Rencana dan Strategi Percepataan pemetaan Masyarakat Hukum Adat yang meliputi wilayah MHA, hukum adatnya, Lembaga adatnya, mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan hukum adat.
“RUU Pengakuan masyarakat adat sudah dari periode 2014-2019 dan 2019-2024, dan kita semua ada di sana, dan terkendala dengan terlalu banyak politik yang main dan saya percaya semua yang nanti akan membuka habis-habisan karena terlalu banyak kepentingan,” jelasnya
Mercy mengatakan, rakyat tidak dibenturkan dengan politik identitas namun rakyat dibenturkan dengan politik dengan dua hal yaitu masaf atas nama pembangunan dan yang kedua adalah kepentingan koorporat tidak ada kepentingan yang lain.
“Saya menganggap ini percontohan atau modelling untuk daerah lain, semoga kita siuman untuk kondisi yang ada saat ini”
Rekomendasi lainnya menurut Mercy adalah Pengakuan atas MHA harus dilampirkan dengan Peta wilayah MHA, dan mekanisme penyelesaian konflik’ Program dan kebijakan untuk memberdayakan dan memberikan manfaat kepada MHA terkait hutan adat yang didasarkan dan disesuaikan dengan kepentingan konservasi, ekosistem, penjagaan Kawasan hutan sesuai peraturan yang berlaku. Serta Penguatan kapasitas kepada MHA terkait Tata Kelola Hutan Adat.
“Bagaimana memastikan sehingga ada apa-apa negara bawa semua masuk dalam proses litigasi, dan rakyat kecil tidak punya kekuatan, jadi kita harus perkuat rakyat dari sisi litigasi dengan memperkuat para legal kita di mana-mana, dan juga memastikan proses non litigasi kita kuat di sana,” ujarnya.
Akselerasi penerbitan SK KLSHK berisi pengakuan terhadap hutan adat (status per maret 2020 89 SK Menteri LHK untuk 89.783 Hectare (0.65% dari 13.76 juta hectare hutan adat) dan Menegakan secara konsekuen Putusan MK No 35 termasuk Permendagri No 54/2014 tentang pengakuan MHA.
“Koordinasi dan konsultasi berjenjang secara berkesinambungan untuk menghindari kerja sectoral dan sporadic,” tutup Anggota DPR RI dapil Maluku ini.
Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina khawatir Kepulauan Aru jadi korban pertarungan pengaruh di Pasifik Selatan. Sebab, menurut Engelina, pergeseran geopolitik ke kawasan Pasifik menjadikan kawasan Kepulauan Aru menjadi ajang rebutan pengaruh antara Amerika dan China.
Diplomat Indonesia ini mengatakan, China menurutnya telah memperkuat pengaruh melalui permodalan. Amerika merespon dengan menggandeng Australia dan United Kingdom (Britania Raya) untuk membangun aliansi baru AUKUS yang merupakan singkatan dari Australia, United Kingdom dan United States pada 2021.
Dengan posisi strategis secara politik ekonomi tersebut, menurut Engelina, upaya mensejahterakan masyarakat di Kepulauan Aru khususnya, dan Maluku secara umum, maka akan berarti menjaga pertahanan dan keamanan secara nasional. Dan sebaliknya, mengabaikan pemenuhan kesejahteraan mereka, akan berakibat pada ancaman keamanan dan pertahanan nasional.
Mimin Dwi Hartono perwakilkan KOMNAS HAM yang turut hadir dalam diskusi ini mengatakan penting satu kebijakan prioritas dan strategi khusus dan serius dalam upaya perlindungan atas hak asasi manusia dan ruang hidupnya di Kepulauan Aru.
Upaya Komnas HAM melalui Inkuiri Nasional (2016-2017) untuk menyelesaikan konflik agraria, di tingkat hulu kebijakan, melampaui penyelesaian kasus-per kasus, khususnya untuk masyarakat adat masih relevan untuk dilanjutkan.
Keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. itulah ungkapan yang diutarakan Mika Ganobal, Camat kecamatan Aru Utara Timur dan Koordinator SaveAru Island dalam diskusi Penguatan dan Percepatan Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria melalui Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2022” yang digelar Papua Study Center (PSC) di Ruang Berkarya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (5/7/2023).
Pemuda adat asal Aru ini mengatakan bagi masyarakat Aru sesuai fakta-fakta dan ancaman datang silih berganti. Aru kata Mika menjadi primadona bagi para investor, sehingga bagi mereka yang di luar, sehingga bagi masyarakat Aru adalah ancaman yang nyata.
Dari diskusi yang dipaparkan oleh para pemateri, menurut Mika jika hal tersebut terjadi maka akan berdampak bagi masyarakat adat Aru, seperti dampak sosial, dampak kerusakan ekologis, bahwa Ketika hadirnya investasi dan lainnya maka secara sosial pastinya berdampak pada perubahan masyarakat setempat.
“Dari dulu masyarakat Aru yang hidupnya di laut, dan di darat menjadi nelayan dan petani pasti terjadi perubahan pola hidup, dan mungkin dipaksakan menjadi kariawan dan pekerja-pekerja yang lain dan itu berdampak secara sosial itu peralihan pekerjaan,” tuturnya.
Kemudian, untuk dampak ekologis sudah barang tentu akan terjadi kerusakan lingkungan, karena laut dan darat mempunyai hubungan yang erat. Dan jika laut atau darat terjadi perubahan struktur dan kerusakan maka akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung.
Lanjutnya, kesadaran untuk menjaga lingkungan ini telah ada, dan dalam tanggungjawab sebagai anak Aru maupun masyarakat Aru, sehingga masyarakat yang berjuang merasa masalah tersebut menjadi tanggungjawab bersama. Namun perjuangan tersebut terorganisir pada Gerakan saveAru pada tahun 2012 hingga 2015.
SaveAru menurut Mika adalah melawan suatu kebijakan yang keliru dari Pemerintah maupun Negara, karena keluarnya ijin yang diterbitkan oleh Pemerintah saat itu, dengan 28 anak perusahaan yang luasnya mencapai 450 ribu hektar, yang menjadi wilayah konsesi dari PT Menara Group. Sementara kata Mika, Kepulauan Aru masuk dalam kategori pulau-pulau kecil.
Ketika izin itu dikeluarkan, menurut Mika, ini sesuatu yang sangat keliru dikeluarkan, karena ketergantungan masyarakat adat Aru adalah laut dan hutan, dan Ketika hutan dibabat maka berdampak secara ekologis ke laut, untuk itu kata Mika menjadi dasar masyarakat Kepulauan Aru untuk melawan.
“Kalau hutan dibabat maka terjadi pergeseran peradaban, karena hubungan adat, hunbungan sosial dengan lain-lain itu sangat erat kaitannya antara masyarakat dan lingkungan setempat di mana mereka berada, baik hutan maupun di pesisir laut,” tandasnya.
“Hutan mangrove atau hutan alam menjadi tempat untuk masyarakat berinterkasi mata pencarian dan lain-lain,” tambahnya.
Mama Ocha Gealogoy, perwakilan perempuan Desa Marfenfen, Kepulauan Aru menjelaskan, secara historis tanah merupakan warisan dari pencipta alam semesta yang dianugerahkan kepada para leluhur di Kepualauan Aru, sehingga kata Mama Ocha, berbicara tentang tanah itu kita berbicara tentang jati diri, sehingga jika tanah diserobot oleh pihak tertentu maka mengganggu jati diri mereka.
Sehingga apapun yang terjadi kata perempuan adat Marfenfen ini, akan berjuang mengembalikan haka tau jati diri tersebut.
“Karena itu Ketika Menara Group mau merebut sekian banyak hektar termasuk di dalamnya termasuk Angkatan Laut, yang mengambil 689 ha, dari Desa saya sendiri Marfenfen otomatis masyarakat terganggu identitasnya dan dia tentu untuk mengembalikan hak waris yang diturunkan secara turun temurun,” katanya.
Ia bilang jauh sebelum Indonesia merdeka, orang Aru telah menempatkan tanah Aru, termasuk orang Marfenfen.
Hakim Menangkan TNI-AL
Sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Dobo, di Kepulauan Aru, Maluku, menolak gugatan masyarakat adat kepada TNI-AL, Gubermur Maluku dan BPN atas kasus lahan di Desa Marafenfen seluas 689 hektar.
Masyarakat adat di Kepulauan Aru ini pun tak bisa menahan sedih dan kecewa ketika tahu hakim tak menerima gugatan mereka. Sidang berakhir ricuh. Tetua adat menyegel Kantor Pengadilan Dobo dan beberapa fasilitas lain seperti pelabuhan dan bandara.
Dalam persidangan, bukti-bukti yang diajukan masyarakat adat melalui kuasa hukum Semuel Waileruny dianggap lemah oleh majelis hakim. Atas penolakan ini, tanah adat ratusan hektar bakal jatuh ke tangan TNI-AL.
Dia nilai, majelis hakim tak mempertimbangkan sejumlah bukti seperti surat pernyataan dan keterangan kalau tak ada pelibatan masyarakat dalam proses pembebasan lahan, namun nama mereka dicantumkan oleh TNI-AL.
“Padahal ini yang jadi landasan dari penerbitan sertifikat itu,” kata kuasa hukum Masyarakat Adat Marafenfen, Semuel Waileruny. Putusan hakim katanya tidak mencerminkan keadilan.
Aksi masyarakat adat berlanjut. Masyarakat Adat Marafenfen dibantu tetua adat Ursia dan Urlima Kabupaten Kepulauan Aru ritual adat ‘sasi’ atau penyegelan secara adat sejumlah fasilitas pemerintah seperti Bandara Udara Rar Gwamar, Pelabuhan Laut Dobo, Kantor Bupati, Kantor DPRD Dobo, dan PN Dobo.
Sebelum memasang sasi adat, tua-tua menggelar ritual dan memasang sasi yang terbuat dari daun kelapa dan kain putih.
Sasi mulai dari PN Dobo, Kepulauan Aru. Aksi ini sempat mendapat penolakan kepolisian tetapi warga tetap jalan. Ritual adat ini pun dilakukan oleh Tetua Adat Ursia dan Urlimasi.
Sasi adalah larangan dalam hukum adat. Tujuannya, agar manusia tidak melanggar larangan itu. Sasi bisa dicabut apabila para tetua adat setuju dan ada ritual adat untuk mencabutnya.
Sasi merupakan bentuk kearifan lokal yang terpelihara di Indonesia bagian timur, khusus di Kepulauan Maluku dan tanah Papua.
Mama Rosina Gaelagoy, perwakilan Masyarakat Adat Marafenfen kecewa dengan putusan hakim. Langkah hukum pun akan mereka tempuh demi pertahankan lahan mereka.
“Kami tetap semangat. Jujur sebagai anak negeri dari Marafenfen telah berjuang selama ini, ketika mendengarkan hasil putusan tadi memang sangat kecewa. Saya melihat ke depan bagaimana, nasib masyarakat adat di Desa Marfenfen setelah TNI-AL menang. Sebelum menang saja mereka sudah melakukan tindakan-tindakan kurang etis, kurang menghargai masyarakat adat,” katanya pada pertemuan daring Rabu malam.
Kalau tak mengajukan banding, katanya, Masyarakat Adat Marafenfen tak akan lagi bebas menikmati alam.
Rosina bilang, harus tetap mempertahankan tanah adat karena bagian jati diri Masyarakat Adat Marafenfen.
Dia menyerahkan langkah lanjutan kepada tim kuasa hukum.“Urusan ini belum selesai. Kami juga berharap generasi muda baik di Aru maupun luar tetap berjuang.”
Samuel Waileruny mengatakan, upaya banding akan dilakukan karena putusan tak adil. “Prinsipnya ini kebenaran, kita harus memperjuangkan secara sungguh-sungguh. Soal nanti hasil akhirnya bagaimana, tetap kita harus berjuang. Langkah hukum mesti kita ambil adalah melalui banding,” katanya.
Dalam putusan itu, katanya, majelis hakim, hanya mempertimbangkan keputusan gubernur dan sertifikat Kanwil Pertanahan. Majelis hakim, katanya, berusaha menghindar dari fakta-fakta yang membuktikan kalau keputusan gubernur atau pejabat itu harus berdasarkan pada fakta yuridis maupun faktual.
“Jadi, dia hanya bilang, karena sudah ada pelepasan hak atas tanah oleh kepala desa. Pertimbangannya ke situ. Kami sudah buktikan, pada kepala desa itu dia pernah diundang oleh camat untuk menyelesaikan masalah antara masyarakat adat Marafenfen dan TNI-AL. Tapi justru surat-surat pelepasan hak itu sudah ada sebelum ada pertemuan kepala desa dengan camat.”
Putusan hakim ini, katanya, merupakan ancaman luar biasa bagi Masyarakat Adat Marafenfen. Artinya, ke depan, bisa saja gubernur menerbitkan surat keputusan, lalu Badan Pertanahan menerbitkan sertifikat walaupun tidak ada proses pelepasan hak atas tanah dari masyarakat adat dan dianggap sah.
“Dianggap seakan-akan masyarakat adat ini tidak pernah ada. Hak-hak mereka itu tidak pernah ada.”
Hingga kini kasus ini masih bergulir. Masyarakat adat melalui kuasa hukum mereka, saat ini masih menunggu hasil kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung di Jakarta. Meski demikain, sejumlah Langkah bagik litigas maupun non litigasi terus ditempuh oleh perwakilan masyarakarat adat di Jakarta.
Kehadiran TNI AL
Duapuluh dua Januari 1992, mungkin jadi tanggal ‘sejarah kelam” bagi Masyarakat Adat Mafafenfen. Mulai hari itu, was-was terus menghantui masyarakat Desa Marafenfen ini karena kehadiran TNI Angkatan Laut di lahan adat mereka.
Selama 29 tahun lebih, Masyarakat Marafenfen berupaya mencari keadilan.
Berbagai cara telah ditempuh masyarakat adat Marafenfen untuk berjuang atas lahan seluas 6.600 hektar kepada TNI- AL, BPN, dan Pemerintah Maluku.
Oca Gaelogoy, perempuan asal Desa Marafenfen merunut perihal pembangunan bandara TNI-AL di petuanan Desa Marafenfen. Ia berawal dari kedatangan sejumlah aparat TNI-AL pakai helikopter pada 1991.
Saya dengar dari Mama Do. Kakak saya,” kata Oca Geologoy. Oca, adalah adik perempuan mediang Mama Do, pejuang perempuan adat Aru, juga dari Desa Mafafenfen, yang bernama lengkap Dolfintje Gaelogoy ini.
Dia cerita, kala itu ayahnya bersama Mama Do sedang di kusu-kusu (padang sabana), kemudian ada helikopter mendarat.
Aparat TNI bertanya soal Kampung Marafenfen. “Almarhum bapak saya menunjuk arah perkampungan, lalu mereka berbalik,” katanya.
Beberapa hari kemudian, mereka mendatangi Pusat Desa Marafenfen dan ada pertemuan. Setelah pertemuan, sejumlah aparat TNI-AL langsung ke lokasi membuat patok batas.
Setelah patok lokasi selesai, aparat TNI-AL baru memberi tahu masyarakat termasuk lapor diri di kepala desa. Setelah itu, mereka kembali ke Jakarta, lalu datang lagi membawa surat dan menyuruh kepala desa tandatangan.
“Kami (masyarakat) kaget, sudah dibuat patok di lahan itu (lokasi bandara), namun kami tidak bisa berbuat banyak,” kata pendeta ini.
Kala itu, militer berseragam lengkap dengan senjata membuat warga takut hingga mengiyakan proses pelepasan lahan.
“Ya, situasi waktu itu zaman orde baru. Masyarakat lihat loreng saja sangat takut. Akhirnya apa yang dilakukan bukan sekadar minta izin, sudah buat patok tanah sekian hektar yang katanya untuk pertahanan keamanan negara.”
Sejak saat itu, warga dilarang melintasi lokasi yang telah dikapling TNI-AL. Masyarakat, kata Oca, mulai kesulitan bertani termasuk berkebun. Mereka pun berembuk dan protes atas lahan itu.
“Sejak Angkatan Laut masuk dengan cara tidak resmi atau tidak sah, lalu ada sikap dari masyarakat membentuk tim untuk berangkat ke Jakarta,”kata Oca.
Warga pun membentuk dua tim untuk ketemu dengan pimpinan TNI AL di Jakarta. Tim pertama berangkat 1992 dan tim kedua 1994. Tak bisa bertemu.
Gagal menemui pimpinan TNI AL di Jakarta, perwakilan masyarakat bertemu Komnas HAM diterima Baharudin Loppa, selaku sekjen.
“Menurut mendiang mama Do, usai pertemuan sekjen menyurati panglima ABRI untuk minta kalau boleh diselesaikan, sebab kalau tidak akan menjadi bom waktu di kemudian hari dan membutuhkan energi yang luar besar, dan itu seperti terjadi sekarang,” katanya.
Tak ada hasil. Perjuangan masyarakat pun dilakukan hingga kini.
“Saat ini [perjuangan] di Pengadilan Negeri Dobo. Semoga negara adil terhadap kami masyarakat adat,” katanya.
Kecamatan Aru Selatan, luas 833,12 km, terbagi dalam 15 desa, Marafenfen, salah satunya. Luas Marafenfen 6.600 hektar, dengan penggunaan lahan untuk bangunan 1,6 hektar dan areal pertanian 6,598,4 hektar.
Data BPS Kepulauan Aru, Aru Selatan 2021, Desa Marafenfen berpenduduk 361 jiwa. Mayoritas warga Desa Marafenfen menggantungkan hidup sebagai petani dan nelayan.
Pertanian merupakan sektor ekonomi utama di Aru Selatan terutama pertanian palawija. Ada juga tanam padi ladang, jagung, ketela rambat, dan umbi-umbian lain. Ada juga kacang tanah dan kacang-kacangan lain.
Sektor perikanan, di Aru Selatan, mayoritas nelayan tradisional dengan perahu tak bermotor 442 unit, dan alat penangkapan ikan terutama jaring insang 83 unit.
Bermodal izin pakai lokasi, TNI-AL bangun bandara dan fasilitas lain pada 1992. Mereka mengantongi izin Pemerintah Maluku kala itu, melalui Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 tertanggal 22 Januari 1992.
Menurut TNI AL, pertimbangan pembebasan tanah melalui panitia pembebasan tanah Dati II Maluku Tenggara pada 1991. Ia terdiri dari instansi terkait diketuai Kepala BPN Kabupaten Maluku Tenggara. Saat itu Kepulauan Aru masih di bawah administrasi Maluku Tenggara.
TNI-AL mengklaim pembebasan lahan diawali pelepasan hak atas tanah oleh Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Desa Marafenfen dengan surat pernyataan pelepasan 20 Agustus 1991.
“TNI AL sudah menindaklanjuti pelepasan hak sesuai rekomendasi panitia pembebasan tanah Dati II Kabupaten Maluku Tenggara dan keinginan Persekutuan Masyarakat adat desa Marafenfen,” kata Brigjen Marinir TNI Said Latuconsina, Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) IX Ambon, dalam rilis kepada media, 16 September lalu.
Wendry Bothmir, warga Marafenfen mengatakan, bandara dan fasilitas lain TNI-AL berdampak pada kehidupan masyarakat adat. Dari ruang gerak masyarakat terbatas, satwa buruan sulit termasuk burung-burung endemik Maluku dan langka, jadi makin sulit terlihat.
“Jadi, Maranfefen sebelum Angkatan Laut masuk, rusa itu seperti hama, ribuan berkeliaran di hutan itu kadang-kadang masuk kampung. Rusa punya tempat hidup itu di padang savana,” kata Wendry.
Kicauan burung cendrawasih, kakatua hitam, kakatua merah, kakatua putih, kakatua hijau, wallet, bahkan kanguru juga sudah mulai sulit terdengar.
Tradisi adat pun sulit dilakukan. Sejak dulu, masyarakat adat tradisi tordauk, dengan padang savana jadi lokasi ritual adat. Di padang savana itu banyak rusa, dan babi.
Ritual biasa berlangsung September-November tiap tahunnya. “Tiap tahun itu acara bakar alang-alang. Ada alang-alang kecil dan alang-alang besar, yang terakhir tordauk. Nanti alang-alang di pinggir kampung selesai dulu baru puncaknya di tordauk.”.
Said Latuconsina membantah Lanudal dan Pangkalan TNI-AL Aru menutup ritual adat masyarakat Desa Marafenfen.
“Jika ada yang mengatakan demikian siapa? Kapan dan dimana agar dapat menunjukkan bukti. Kita berharap adik-adik mahasiswa tidak terprovokasi dan menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai fakta di lapangan,” katanya
Selama ini, dia klaim masyarakat hidup berdampingan dan bersosialisasi secara baik dengan Lanal Aru di Marafenfen.
“Bahkan Lanal Aru/Lanudal sering memberikan bantuan pengobatan kepada masyarakat dan dukungan truk sesuai tujuan masyarakat sekitar.”
Rebutan Pengaruh di Pasifik
Konflik pertanahan di Kepulauan Aru, Maluku tidak lepas dari pertarungan pengaruh di Pasifik Selatan yang melibatkan Amerika dan China, sehingga berbagai pihak berusaha mencari posisi strategis dan Kepualaun Aru sebagai pulau terluar menjadi target penguasaan untuk memudahkan pergerakan armada laut.
Demikian Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina dalam “Penguatan dan Percepatan Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria melalui Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2022” yang digelar Papua Study Center di Ruang Berkarya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (5/7/2023).
Selain Engelina, narasumber dalam diskusi ini, Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA (Guru Besar Kajian Politik Agraria, IPB University); Mercy Chriesty Barends, ST (DPR RI, Dapil Maluku), Mufti Fathul Barri (Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia); Saurlin Siagian (Komisioner KOMNAS HAM) dan Erasmus Cahyadi (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN).
Engelina mengatakan, pergeseran geopolitik ke kawasan Pasifik menjadikan kawasan ini menjadi ajang rebutan pengaruh antara Amerika dan China. Dia menjelaskan, China memperkuat pengaruh melalui permodalan. Hal ini, kata Engelina, menyebabkan Amerika merespon dengan menggandeng Australia dan United Kingdom (Britania Raya) untuk membangun aliansi baru AUKUS yang merupakan singkatan dari Australia, United Kingdom dan United States pada tahun 2021.
Belum lama ini atau pada Maret 2023, jelas Engelina, Amerika sudah berkomitmen untuk mengembangkan kapal selam berkekuatan nuklir di Australia sebanyak delapan armada. Keberadaan kapal selam dengan kecepatan tinggi ini, hampir mustahil untuk tidak menjadikan perairan kawasan timur sebagai jalur perlintasan. “Jadi, persaingan pengaruh di kawasan pasifik seperti itu. Tetapi, kita seperti melupakan kawasan ini,” kata Engelina yang juga mantan Anggota DPR RI ini.
Engelina mengingatkan, sebagian besar kawasan timur berada dalam gugusan pasifik, yang dapat dilihat dari kultur dari ras Melanesia. Untuk itu, katanya, Indonesia sebenarnya harus memainkan peran yang strategis di kawasan ini.
Untuk itu, kata Engelina, kunjungan Presiden Jokowi ke Australia, kemudian lanjut ke Papua Nugini tidak lepas dari situasi pasifik yang menjadi sasaran pertarungan kekuatan global. Apalagi, kata Engelina, di sekitar Kepulauan Aru ini memiliki sumber energy yang dapat dimanfaatkan dalam situasi pertempuran.
“Saya melihat apa yang terjadi Kepulauan Aru ini, tentu karena ada banyak pihak yang mau memiliki posisi strategis, karena Aru berada di sekitar Laut Arafura, dimana langsung berhadapan dengan Australia. Tidak mungkin kalau kapal Selam AUKUS itu jadi tidak beroperasi di Arafura,” tutur Engelina.
Namun, Engelina mengatakan, pemerintah harus memastikan jaminan perlindungan terhadap masyarakat lokal di Kepulauan Aru, termasuk berbagai sumber daya alam. Dia meminta agar pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten.
“Pertahanan Negara yang terbaik dengan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan dengan membangun basis militer. Apalagi, sampai mengorbankan rakyat. Masyarakat berhak untuk mempertahankan ruang kehidupannya. Berikan kesejahteraan karena itu pertahanan yang terbaik,” jelas Engelina.
Menurut Engelina, dengan pergeseran geopolitik global ke kawasan Pasifik, sudah saatnya untuk Indonesia untuk mulai membangun dari kawasan timur, tetapi kalau terus mengabaikan kawasan timur, maka Indonesia akan semakin tertinggal di Pasifik.
Dalam kesempatan itu, Engelina juga menyoroti kemiskinan yang terjadi di Maluku, seperti juga di Papua dan NTT. Menurutnya, kemiskinan itu sangat sulit untuk diatasi, karena keberadaan sistem yang membuat kawasan timur tidak bisa mengejar ketertinggalan.
“Dana alokasi umum ditetapkan dengan menggunakan kriteria jumlah penduduk, dan luas wilayah darat. Sementara Maluku jumlah penduduknya sedikit dan luas darat sangat kecil, karena terdiri dari pulau kecil. Sampai kapanpun anggaran yang ada di Maluku akan tetap kecil, karena diatur seperti itu,” tegasnya.
Menurut Engelina, dana dari pusat ke Maluku stagnan dari tahun ke tahun, karena jumlah penduduk kecil dan luas daratnya kecil. Untuk itu, katanya, kalau situasi terus seperti ini, maka akan sulit untuk keluar dari kemiskinan. Sementara investasi dari luar terus mengalir yang berpotensi menjadikan masyarakat adat dan lokal tersisih.
Engelina mengingatkan, agar persoalan tanah yang muncul di Kepulauan Aru direspon dengan cerdas, sehingga masyarakat lokal tetap memiliki ruang lingkungan yang memungkinkan kenyamanan. Sebab, kalau mengedepankan pendekatan hukum, kata Engelina, pengalaman yang ada menunjukkan masyarakat sering kalah melawan institusi Negara dan korporasi. Untuk itu, katanya, masyarakat memperkuat konsolidasi untuk melakukan perlawanan politik.
“Masyarakat berhak untuk mempertahankan ruang kehidupannya. Hal yang dialami masyarakat Kepualaun Aru ini hampir sama dengan apa yang terjadi di Sangihe,” tegasnya.
Discussion about this post