Christ Belseran dan Edison Waas
-
Kala musim penghujan, di Wilayah Kota Ambon, Provinsi Maluku tak jarang alami banjir dan longsor. Seperti kejadian Juli lalu kecemasan untuk warga kota yang mendiami kawasan tebing dan kawasan sekitar aliran sungai di Kota Ambon. Air meluap menaiki talud pembatas dan masuk ke rumah-rumah warga.
-
Ahli Pemetaan dan Infrastruktur Perkotaan, Ir. Ronny Loppies, M.Sc.Forest Trop meninginkan perlunya pembangunan berkelanjutan dengan melibatkan semua pihak dalam komando pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk menjaga kota ambon khusus waraganya
-
Kepala Dinas Penataan Ruang dan Kawasan Pemukiman menekankan pada ketegasan regulasi terkait perizinan mendirikan bangunan baik masyarakat atau pengemban di kawasan resapan dan kantong serap air.
-
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon, Alfredo Hehamahua singkat menekakan pada kolaborasi karena persoalan lingkungan dalam kaitan dengan bencana adalah persoalan kompleks yang dalam penanganan tidak bisa dilakukan sendiri sendiri
-
Guru Besar Universitas Patimura, Prof. Agustinus Kastanya menjelaskan wilayah Ambon masuk dalam kategori pulau kecil. Kota Ambon, wilayah berbukit dengan lima daerah aliran sungai (DAS) yang sempit dan pendek. Kondisi ini, katanya menjadi factor masalah kalau tidak diatur sebaik mungkin.
-
Rafael Osok mejelaskan pada kondisi tanah di Wilayah Kota Ambon yang masih labil dan mengandung zat pelapukan sehingga mudah alami longsor. Dengan keadaan ini, kalau ada tekanan atau terpaan hujan tinggi bisa berbahaya terutama di kawasan lereng.
-
Forest Watch Indonesia (FWI) mengeluarkan peta tutupan hutan dan deforestasi yang terjadi di Provinsi Maluku termasuk Kota Ambon 2013-2017, disana terlihat adanya laju pergerakan deforestasi di Pulau Ambon sejak tahun 2013. Selain itu tutupan hutan sejak tahun 2017 mulai berkurang dan nyaris habis.
-
Kepala Bidang Geologi dan Air Tanah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Maluku, Mildred M Aponno menjelaskan dari Penelitian yang dilakukan tim Laboratorium Pusat Geologi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) peristiwa pergeseran tanah dan retak di kawasan IAIN Ambon, disebabkan bangunan yang berdiri diatas lahan tersebut merupakan tanah timbunan. Selain itu juga
KALA musim penghujan, Kota Ambon, Provinsi Maluku, tak jarang alami banjir dan longsor. Seperti kejadian Juli lalu, kawasan terparah diterjang banjir adalah di Kelurahan Waihoka dan Negeri Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Ambon.
Terlihat banjir merendam ratusan rumah warga. Banjir ini berasal dari luapan kali Waihoka yang menaiki talud pembatas dan masuk ke rumah-rumah warga.
Menurut warga banjir yang terjadi ini setelah pemerintah membangun bendungan di sekitar kawasan permukiman mereka.
“Jam 11.00 air masuk di beta rumah. Ini dong (mereka) bongkar talud pembatas sehingga air masuk. Lalu dong seng (tidak) bangun got (saluran) dari pertama sudah rusak jadi kalau hujan turun dan air kali tumpah, maka rumah terendam,” kata Ita, seorang warga yang tinggal di sekitaran bantaran kali Waihoka.
Banjir menurut Ita lantaran bendungan tak mampu menampung banyaknya debit air, ditambah dengan talud pembatas yang telah sejajar dengan permukiman warga.
Dia akui, setelah melakukan pekerjaan bendungan serta pembongkaran talud pembatas, saat diguyur hujan hujan, kawasan yang mereka tinggal itu tak pernah lolos dari terjangan banjir.
“Jadi kalau hujan datang itu, kami sangat takut karena sudah tentu akan banjir di rumah kami,” terangnya.
Dia berharap pemerintah bisa membangun talud pembatas yang lebih tinggi agar air tidak meluap masuk ke rumah-rumah mereka.
Selain di kawasan kelurahan Waihoka dan Batu Merah, banjir juga melanda sejumlah permukiman warga di kota Ambon, seperti desa Nania desa Waiheru, serta kelurahan Amantelu.
Pemerintah Kota Ambon, melalui BPBD telah mengeluarkan himbauan kepada warga agar menghindari daerah bantaran sungai dan meningkatkan kewaspadaan untuk daerah yang rawan longsor.
Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Ambon, Demmy Paais, melaporkan, banjir terjadi di Desa Nania RT 006 RW 001 akibat sendimentasi Kali Waisalak yang merendam 6 (enam) rumah.
“Sedangkan longsor di Kelurahan Amantelu RT 003 RW 03 batu menimpa rumah warga sehingga dinding dapur rusak. Yang terdampak 3 (tiga) kepala keluarga,” ungkap Paais.
Selain itu, titik genangan air juga terjadi pada sejumlah kawasan dan jalan umum, antara lain Desa Waiheru-Pasar Cokro, Desa Hunut -Dusun Kate-Kate, Negeri Halong -Air Besar, Passo-Depan Mall ACC.
Bencana banjir dan tanah longsor, terjadi pula talud ambruk serta pohon tumbang di Desa Poka-Unpatti dan Passo- Air Besar.
“Sementara ini, Tim BPBD dibantu Damkar, telah turun di titik-titik lokasi bencana dan melakukan penanganan dan pendataan,” terangnya.
Dengan intensitas hujan yang terjadi saat ini, Kepala BPBD Kota Ambon ini berharap masyarakat yang bermukim di daerah bantaran sungai, dapat meningkatkan kewaspadaan karena berdasarkan pantauan CCTV debit air telah meluap.
Hujan deras juga mengguyur Ambon jumat (8/7/2022) pagi mengakibatkan sejumlah lokasi diterjang banjir dan longsor. Selain banjir yang merendam ribuan rumah warga di Ambon, namun bencana longsor juga terjadi di sejumlah titik di kota Ambon.
Lokasi yang menjadi titik longsor adalah kawasan Negeri Rumah Tiga, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, Provinsi Maluku. Longsor terjadi akibat luapan sungai Wailela, dan merembes masuk ke permukiman warga.
Berdasarkan pantauan titastory.id di lokasi kejadian, ketinggian air sungai Wailela diduga mencapai 15meter ini pun berakibat pada hanyutnya belasan makam karena areal yang menjadi lokasi pemakaman umum tersebut mengalami longsor.
Di lokasi kejadian, warga juga melihat adanya tengkorak manusia yang masih menempel di dinding tebing pasca terjadi longsor, tepatnya di kawasan RT 002/RW 01, Negeri Rumah Tiga,Kota Ambon Maluku.
Selain makam yang rusak dan jazad yang hanyut, luapan sungai ini pun juga mengakibatkan jalan poros tiga yang merupakan jalan utama untuk masyarakat di tiga RT di Negeri Rumah Tiga ini pun nyaris putus.
Jemi Silibun, tokoh masyarakat di kawasan Wailela, Negeri Rumah Tiga, Ambon, Maluku kepada media ini sejak pagi, Kota Ambon sudah diguyur hujan, sehingga berdampak pada naiknya permukaan air sungai Wailela yang merupakan salah satu sungai di wilayah Kota Ambon.
Menurutnya akibat naiknya permukaan air sungai ini, sebanyak 20 buah makam milik warga alami longsor dan 19 fisik kubur dan tengkorak hanyut terbawa arus sungai bercampur material lumpur dan sebagainya, sedangkan 1 buah tengkorak masih tersangkut di dinding longsor,” ungkapnya.
“Kejadian ini terjadi sore tadi, dan sebanyak 20 buah kuburan yang alami longsor dan 19 fisik kubur sudah hanyut , dan 1 tengkorak masih tersankut dan terlihat, “ungkap Silubun.
Terhadap kondisi yang ada, pihaknya sudah menghimbau kepada masyarakat untuk tetap berhati hati, khususnya masyarakat yang berada di RT 001, 002, dan RT 003/ RW 01 untuk tetap berhati hati.
“Saya sudah ingatkan untuk warga tetap berhati hati, karena kondisi ini tidak dapat diprediksi,” terangnya.
Sementara itu, Babinsa Negeri Rumah Tiga, Kopral Suryadi yang berada di sekitar lokasi mengatakan, kejadian naiknya permukaan air sungai dan hanyutnya kuburan dan akses jalan nyarir putus.
Dia berharap pemerintah bisa melakukan peninjauan dan bisa mengambil langkah sehingga warga tidak menjadi korban.
Tak hanya banjir yang terjadi sejak jumat (8/7/2022). Bencana longsor juga terjadi di berbagai lokasi di Kota Ambon. Hujan deras sejak jumat pagi hingga sabtu sore di Ambon Maluku lalu itu, menyebabkan terjadinya longsor yang menimpa lima buah bangunan rumah warga sabtu, 9 juli 2022.
Seluruh bangunan rumah warga di kawasan air besar Desa Passo Kecamatan Baguala Kota Ambon Maluku tertimbun material longsor. Saat kejadian, sejumlah warga ini masih berada di dalam rumah mereka dan berusaha menyelamatkan diri. Beruntung dalam peristiwa ini, tak ada korban jiwa namun seluruh harta benda tak bisa diselamatkan. akibatnya rumah mereka rusak parah. Meski demikian, warga di kawasan air besar RT 16/RW 05 saat ini masih mengungsi sementara di kerabat mereka yang tak jauh dari tempat kejadian.
Mereka berharap kepada Pemerintah Kota maupun Pemerintah Provinsi, agar meninjau tanah longsor yang menimpa rumah mereka di kawasan air besar RT 16/RW 05 serta T36/RW 08 desa Passo. Akibat peristiwa itu, para warga ini masih bertahan hidup di rumah yang tertimbun meterial longsor.
Bencana banjir dan longsor yang melanda kawasan pemukiman bukanlah hal baru untuk warga masyarakat yang ada di Kota Ambon, Provinsi Maluku. Kejadian ini telah menjadi bencana musiman bila datangnya musim penghujan. Peristiwa tanah longsor yang menimpah rumah warga rata rata terjadi di kawasan perbukitan. Sementara banjir terjadi akibat luapan sungai dan juga permukiman warga yang rendah.
Dua peristiwa bencana yang kerap terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun ini, dan dalam catatan BPBD Kota Ambon sudah terjadi sejak tahun 2012 dan terjadi di Tahun 2022, dengan eskalasi terus meningkat.
Peristiwa setiap tahun ini justru memposikan Pemerintah Kota Ambon pada posisi tertodong, mau tidak mau harus melakukan upaya penanganan dan penyelamatan yang bersifat insidentil dan hal pun memungkinkan terjadi kebocoran anggaran tidak sedikit sebab penanganannya sepenggal-sepenggal dan belum menemukan formula untuk menangani persoalan kebencanaan di Kota Ambon.
Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ambon Demmy Paais menyampaikan jika curah hujan dengan intesitas lebat terjadi dan dalam waktu lama sudah pasti di Kota Ambon akan diperhadapkan dengan insiden bencana yakni banjir dan tanah longsor. Di tahun 2022 bencana mengakibatkan anak usia empat tahun meninggal dunia karena tertimpah longsor dirumahnya sendiri, sementara satu anak berusia tujuh tahun meninggal dunia akibat terserat banjir. Dua peristiwa naas ini terjadi pada, jumat, 8 Juli 2022.
“Untuk wilayah di Kota Ambon jumlah curah hujan dengan intensitas tinggi dan lebat, dan jika hal itu berlansung lama maka sudah pasti ada masyarakat yang menjadi korban, baik rumah terendam dan lonsor terjadi di mana mana,” jelasnya.
Dia menguraikan, sejak tanggal 19 Juni 2022 sampai 11 Juli 2022 wilayah Kota Ambon diguyur hujan, dampaknya adalah terjadi banjir disemua wilayah yakni di Kecamatan Nusaniwe, Sirimau, Teluk Ambon, Teluk Ambon Baguala, dan Leitimur Selatan. Dijelaskan, tahun 2022 bencana banjir dan tanah longsor sangat berdampak, dimana 1.135 keluarga yang terdiri atas 4.706 jiwa menjadi korban. Sebanyak 831 rumah dan satu rumah sakit tergenang, 79 rumah rusak, dan 97 rumah dalam ancaman bahaya longsor. Tiga gedung sekolah, tanggul dan talud pun ambruk.
Perubahan Kota Ambon
Sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku, Kota Ambon terletak di sebelah selatan dari Pulau Ambon dengan luas keseluruhan sebesar 377 km2 atau dua per lima dari luas Pulau Ambon. Luas ini terdiri dari luas daratan sebesar 359,45 km2 dan perairan sebesar 17,55 km2 dengan garis pantai sepanjang 98 km.
Dipisah oleh Teluk Ambon, Kota Ambon berada dalam lengkungan yang berbentuk huruf U. Sisi timur kota berbatasan dengan Salahutu, Maluku Tengah, selatan dengan Laut Banda dan barat dan utara dengan Leihitu, Maluku Tengah.
Kota Ambon memiliki luas daratan 359,45 km2. Karena letaknya di pulau busur vulkanis, 73% wilayah kota merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan lereng terjal (30–45°) hingga sangat terjal (>45°) dan hanya sekitar 17% dari wilayah daratannya yang dapat dikelompokkan datar atau landai dengan kemiringan kurang dari 30°.
Secara astronomis, Kota Ambon terletak di 3° 34′ 8,40″–3° 47′ 42,00″ LS dan 128° 1′ 33,60″–128° 18′ 3,60″ BT. Kota Ambon beriklim hutan hujan tropis.
Untuk diketahui, lahirnya Kota Ambon dalam historinya dimulai dari sebuah benteng yang senantiasa menjadi pusat pertumbuhan kota.
Kota ini didirikan oleh bangsa Portugis yang menamainya dengan istilah Nossa Senhora da Anunciada. Nama ini dicetuskan pada sebuah benteng di sudut kota. Namun pada zaman VOC dan Belanda benteng ini berganti nama menjadi Victory. Kota ini kemudian berkembang cepat sebagai pusat peradaban dan perdagangan rempah. Ambon merupakan salah satu kota penting di Nusantara hingga sekarang berkedudukan sebagai ibu Kota Provinsi Maluku.
Kota Ambon dalam angka 2021 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kota Ambon, menyatakan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979 luas wilayah Kota Ambon seluruhnya 377 Km dan berdasarkan hasil Survey Tata Guna Tanah tahun 1980 luas daratan Kota Ambon tercatat 359,45 km2. Sesuai Perda Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2006, Kota Ambon memiliki lima kecamatan dengan luas masingmasing: Kecamatan Nusaniwe 88,35 km2, Kecamatan Sirimau 86,81 km2, Kecamatan Teluk Ambon 93,68 km2, Kecamatan Teluk Ambon Baguala 40,11 km2 dan Kecamatan Leitimur Selatan dengan luas 50,50 km2.
Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis dan iklim musim, karena letak pulau Ambon dikelilingi oleh laut. Oleh karena itu iklim di sini sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim, yaitu musim Barat atau Utara dan musim Timur atau Tenggara.
Pergantian musim selalu diselingi oleh musim Pancaroba yang merupakan transisi dari kedua musim tersebut. Musim Barat umumnya berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan pada bulan April merupakan masa transisi ke Musim Timur yang berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober disusul oleh masa pancaroba pada bulan Nopember yang merupakan transisi ke musim Barat.
Dengan kondisi Kota Ambon seperti ini tentunya sangat rentan terhadap potensi terjadinya bencana baik tanah longsor karena didominasi daerah perbukitan, termasuk rawan terhadap banjir karena jarak garis pantai ke kaki bukit sangat pendek menegaskan potensi bencana dengan topograsi dan iklim untuk kawasan Kota Ambon yang akhir akhir ini mengalami bencana banjir dan tanah longsor.
Perkembangan jumlah penduduk yang sangat cepat, mengakibatkan peningkatan kebutuhan hidup, baik secara kuantitas maupun kualitas, sedangkan ketersediaan sumber daya lahan/kawasan, semakin berkurang dan sangat terbatas. Dua hal yang saling bertentangan tersebut akan meningkatkan tekanan terhadap sumber daya lahan. Dipaksa untuk berproduksi setinggi-tingginya, tanpa berpikir akibat yang ditimbulkan, sehingga terjadi perubahan fungsi lahan/kawasan. Perubahan tipe penggunaan lahan hutan menjadi tipe penggunaan lahan pertanian dan pemukiman atau industri, tentu membawa perubahan terhadap fungsi hutan dan tata air (keseimbangan infiltrasi dan run off) secara cepat terutama pada pulau kecil dengan dataran pesisir yang sempit.
Berdasarkan data BPS Kota Ambon, Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun, Distribusi Persentase Penduduk, Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Ambon, 2020 maka terjadi peningkatan pertumbuhan secara signifikan selama satu dekade (2010-2020) sebanyak 0,46 %. Saat ini jumlah penduduk di Kota Ambon berjumlah 347.288 jiwa. Jumlah ini tersebar di lima kecamatan di Kota Ambon.
Di Kota Ambon sendiri dari presentase Penduduk Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Ambon, 2020 maka pada kecamatan Sirimau mengalami perningkatan pertumbuhan penduduk adalah 42,16 %, diikuti oleh Kecamatan Nusaniwe dengan jumlah 25,99 %, Teluk Ambon Baguala 16.58 %, Teluk Ambon 12,29 %, serta kecamatan Leitimur Selatan 2.78%.
Dengan laju pertumbuhan penduduk, maka tentu saja menambah laju pembangunan di lima kecamatan tersebut. Dua kawasan dari data BPS yang mengalami peningkatan pembangunan adalah kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Perubahan fungsi hutan dan tata air pada dataran pesisir tersebut, berpengaruh langsung terhadap karakteristik tanah baik fisik seperti kedangkalan tanah, kelengkapan susunan horison, struktur dan porositas, maupun karakteristik biologi (bahan organik, perakaran, organisme) dan kimia tanah serta lingkungan pesisir secara simultan dan holistik.
Untuk Kepulauan Maluku umumnya, dan pulau Ambon khususnya, alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, bukanlah pertanian monokultur tetapi sistem multikultur/polikultur (suatu kearifan lokal) yang juga disebut agroforestry atau sistem dusung termasuk di dalamnya pekarangan pada pemukiman, sehingga dapat saja menahan laju perubahan karakteristik fisik tanah dan lingkungan pesisir umumnya.
Kata Ahli
Guru Besar Universitas Patimura, Profesor.Dr. Agustinus Kastanya menjelaskan, wilayah Ambon masuk dalam kategori pulau kecil. Kota Ambon dijelaskan adalah wilayah yang memiliki kawasan yang berbukit dengan lima Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sempit dan pendek. Kondisi inilah yang kemudian menjadi faktor masalah jika tidak diatur sebaik mungkin.
“Secara global manusia kini tengah diperhadapkan dengan fenomena perubahan iklim pemanasan global dan manusia adalah penyumbangnya salah satunya adalah deforetasi atau penebangan hutan. Pada titik ini tentunya wilayah hutan di Kota Ambon kian berkurang karena ada wilayah-wilayah yang mestinya dijadikan kawasan tangkapan air harus dibuka secara resmi oleh pemerintah bahkan masyarakat untuk kepentingan pertanian dan pemukiman,” kata ahli kehutanan Universitas Pattimura ini.
Dia bilang, praktek inilah yang kemudian membuka peluang terjadi banjir dan tanah longsor karena hujan yang turun tidak terhalang dan langsung menuju ke kawasan rendah khususnya ke Daerah Aliran Sungai (DAS), dan ke laut.
Menurutnya, tidak semua warga menyadari bahwa karakateristik Pulau Ambon khususnya kawasan DAS bercirikan sempit dan pendek. Hal ini cukup berpengaruh pada siklus air atau siklus hidrologi, dimana DAS sendiri merupakan wilayah yang dibatas oleh pungung-punggung bukit, disitu ada aliran sungai utamanya tetapi juga ada daearah aliran sungai yang mati.
“Nah, dengan karakteristik DAS yang demikian tentunya berpengaruh pada wilayah tampungan yang kecil, jika dibuka sedikit saja disertai waktu turunnya hujan di kawasan tampungan yang terbatas maka tumbukan air hujan yang menyentuh permukaan bumi akan menimbulkan percikan tanah yang bisa menutupi pori-pori tanah (permukaan bumi) sehingga vegetasi mengalami gangguan tentunya berdampak pada resapan air ke dalam bumi akan lambat.” katanya.
Dijelaskan ahli Kehutanan Unpatti ini, untuk kawasan pulau Ambon dari identifikasi terdapat sebelas (11) DAS yang sempit dan pendek. Menurutnya, jika DAS mengalami kerusakan karena tertutupnya pori–pori bumi serta kerusakan vegetasi serta lahirnya lahan kritis maka disaat hujan air tidak dapat terinventrasi ke dalam tanah sehingga terciptanya aliran air permukaan yang semakin hari semakin besar dan itulah yang menjadi banjir dan erosi.
“Karena kondisi itulah maka kawasan pemukiman tidak luput dari genangan air dan banjir, sebab untuk kawasan pemukiman sendiri terus mengalami perkembangan pembangunan infrastruktur yang intensif maka air akan tertampung dan terfokus sehingga wilayah rendah dan akan tecipta genangan dan sudah pasti ada pemukiman yang terendam,” ulas Kastanya.
Sementara untuk daerah lerang perbukitan, dosen Jurusan Kehutanan Unpatti ini juga menuturkan dengan relief di pulau Ambon khsususnya di Kota Ambon yang minim wilayah datarnya tentunya bakal perkeruh kondisi saat turunnya hujan, dimana dengan kemiringan dan kawasan terjal air permukaan akan menyeret masa tanah sehigga erosi dan longsor tidak terhindarkan.
Kondisi ini kata guru besar Fakultas Pertanian ini, harus ada perubahan besar dan hal itu mesti dimulai dari penanganan serius di bangian hulu. Bahwa adanya pembangunan di kawasan hulu dan pemberian izin untuk membangun bangunan-bangunan besar baik oleh pengambil kebijakan dan warga kota, maka sudah pasti warga kota tinggal menunggu waktu karena eskalasi bencana banjir dan tanah longsor dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan itu adalah ancaman.
Selain tumbuhnya kawasan pemukiman di kawasan perbukitan dan bagian hulu dari 11 DAS di Pulau Ambon termasuk 5 DAS besar di Kota Ambon tentunya persoalan untuk tetap menjaga hutan adalah wajib. Karena keberadaan hutan adalah untuk menjaga vegetasi, sehingga ketika hujan turun di kawasan hutan maka yang disentuh awal adalah dedaunan, ranting, kemudian menyetuh daun – daun yang telah berguguran maka gerak air hujan sudah melambat, sehingga tumbukan air tidak lagi berdampak pada percikan gumpalan tanah dan pori pori bumi tetap terjaga, dan secara otomatis penyerapan air ke permukaan bumi di kawasan hutan akan terjadi dan air permukaan pasti akan minim.
“Siklusnya seperti itu, jika hutan tetap dijaga potensi banjir, erosi dan tanah longsor pun akan kecil terjadi di Kota Ambon,” Jelas Pria Kelahiran Negeri Laha Tahun 1956 ini.
Melalui data citra satelit, Forest Watch Indonesia (FWI) mengeluarkan peta tutupan hutan dan deforestasi yang terjadi di Provinsi Maluku termasuk Kota Ambon 2013-2017. Dalam peta yang dirilis oleh FWI terlihat adanya laju pergerakan deforestasi di Pulau Ambon sejak tahun 2013 sampai 2017. Selain itu dalam peta yang ditampilkan terlihat tutupan hutan sejak tahun 2017 mulai berkurang dan nyaris habis.
Ir. Ronny Loppies, M.Sc.Forest Trop, Ahli Pemetaan dan Infrastruktur Perkotaan mengungkapkan untuk memberikan rasa aman untuk warga Kota Ambon dari ancaman bencana perlu tindakan spektakuler dalam pengelolaan lingkungan, dan praktiknya harus berkelanjutan, melibatkan semua pihak di bawa komando pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Hal ini diungkapkan dengan latar belakang bahwa, Kota Ambon merupakan wilayah yang masuk dalam ekosistem rapuk atau ekoregion.
“Kota Ambon perlu sebuah gerakan konservasi lingkungan yang sebagai pembatas aktivitas manusia, yakni gerakan dalam mengadvokasi manajemen lingkungan berbasis ekoregion dalam hal penataan Daerah Aliran Sungai (DAS),” ungkap Loppies
Ditambahkan dengan struktur pulau kecil serta fakta dilapangan bahwa air hujan yang turun langsung hanyut ke laut, dan karena tidak ditunjang dengan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memadai yaitu kondisi sempit dan pendek tentunya dapat berdampak bahaya.
“Tipikalnya saat hujan menerpa terjadi pencucian permukaan tanah dengan intensitas sangat tinggi, sehingga terciptanya sedimen, namun lebih dari itu terjadi pengikisan bagian atas bumi (topsoil) di Kota Ambon yang berdampak pada tingkat keseburan yang kurang,” ungkapnya.
Topsoil sendiri merupakan lapisan tanah paling atas dengan kedalaman sekitar 5 sentimeter hingga 30 sentimeter dari permukaan Bumi. Kondisi ini pun juga membutuhkan penanganan urgen dan serius dan mesti dilakukan secara berkelanjutan.
Dalam pengamatannya, kata Loppies, ada sebuah fenomena dan terkesan para terjadinya gep, bahwa penduduk miskin yang ada di sepandan aliran sungai diduga jadi penyebab okulasi lahan dan budaya buruk membuang sampah ke sungai sehingga teluk Ambon pun seperti dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah raksasa, dan sekaligus menjadi salah satu faktor terbentuknya sedimen di sejumlah sungai besar di Kota Ambon. Sehingga perlu ada penekanan pada program bekelanjutan dan konsisten dalam sebuah sistem kerja terkontrol dalam hal perbaikan infrastruktur secara menyeluruh di Kota Ambon.
“Harus dilakukan perubahan total terhadap pemanfaatan drainase sehingga dapat menampung debit air yang tinggi, kapasitas saluran yang minim inilah sehingga banjir jadi langgganan di Kota Ambon saat musim penghujan tiba,” terang Loppies.
Menyinggung tentang program Sustainable Development Goals (SDGs), Direktur Music Office (AMO) ini pun juga mengungkapkan, bahwa di tahun 2015 bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah disahkan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) sebagai kesepakatan pembangunan global.
Mengusung tema, “Mengubah Dunia Kita”. Dia jelaskan agenda berskala intenasional berisikan 17 tujuan dan 169 target pencapaian dan merupakan rencana aksi global masa 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga 2030).
Agenda bertujuan mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs dirancang secara partisipatif dan dalam perancangan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu Pemerintah, Civil Society Organization (CSO), sektor swasta, akademisi, dan sebagainya
“Mengacu pada tujuan global, untuk menyelamatkan Kota Ambon dan segala mahluknya perlu kolaborasi khususnya dalam hal pembenahan infrastruktur secara menyeluruh yang tentunya butuh intvesnsi lansung untuk mencapai tujuan Sustainable Development Goals tadi,” ungkapnya.
“Jika hal ini tidak segera ditindaklanjuti dampak bahaya, baik banjir dan tanah longsor akan merayap ke faktor ekonomi, kesehatan dan krisis lingkungan.” tegas Loppies.
Prof.Dr.Ir Rafael.M.Osok, Guru besar Konservasi Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon, menjelaskan perubahan iklim dan tingkat curah hujan harian dengan tempaan cukup besar sementara daerah serapan kurang. Ditambah dengan pola pembangunan infrastruktur kawasan pemukiman dan pembangunan selokan mengarah pada DAS, termasuk penutupan permukaan tanah dengan rebat beton berdampak pada terfokusnya air di kawasan rendah.
Konservasi tanah, menurutnya mempunyai arti yang luas yakni penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
Dalam arti yang sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi.
Sementara Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
Dia bilang, Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya.
Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhuibungan erat sekali; berbagai tindakan konservasi tanah adalah juga tindakan konservasi air.
Menurut Guru besar Konservasi Tanah dan Air Unpatti ini, usaha-usaha pengawetan (konservasi) tanah ditujukan untuk:(1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, (3) dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakan-tindakan atau perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas (berkelanjutan). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengawetan air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ketanah seefisien mungkin, dan pengaturanwaktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yangmerusak dan terdapat cukup air padawaktu musim kemarau.
Pada tahun 2016 lalu, Osok melakukan Penelitian bersama Silwanus M Talakua, dan Ellisa J Gaspersz dengan judul “Analisis faktor-faktor erosi tanah, dan tingkat bahaya erosi dengan metode Rusle di DAS Wai Batu Merah Kota Ambon Provinsi Maluku“
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2016 di kawasan DAS Wai Batu Merah Kota Ambon Provinsi Maluku dengan luas 685.14 ha yang meliputi Negeri Batu Merah dan sebagian Negeri Soya.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan: 1) menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi; 2) menetapkan besar dan tingkat bahaya erosi; dan 3) menentuan arahan rehabilitasi lahan yang sesuai untuk mengendalikan erosi.
Dari hasil yang ditemukan adalah: 1) Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi di DAS Wai Batu Merah adalah erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), topografi (LS), vegetasi (C), tindakan konservasi tanah (P). Faktor erosivitas hujan tahunan= 2419.03 ton. m/ha/cm-hujan. Untuk erosivitas bulanan, maka erosivitas tertinggi pada bulan Juli memiliki yaitu sebesar 537.34 ton. m/ha/cm-hujan.
Rawan bencana
Dari data BNPB pada tahun 2020, menurut Osok, kota Ambon mempunyai ancaman bencana sedang dengan nilai Indeks Resiko Bencana pada tahun 2020 adalah 105,02. Selain itu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-Badan Geologi, 2018-berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Pulau Ambon meyebutkan wilayah Kota Ambon termasuk dalam zoan sedang hingga tinggi.
Menyentil pada area pemanfaatan ruang, ahli konservasi tanah dan air ini, menjelaskan adanya ketegasan dari sisi regulasi dimana Pemerintah Kota Ambon terkesan lembek dalam penegakan hukum kepada warga atau perusahan atau pihak lain yang memanfaatkan kawasan yang tidak seharusnya untuk pembangunan. Dan hal ini pun mesti dikomunikasikan dengan pemilik tanah.
“Perlu tidakan hukum untuk tiap yang pelanggar yang membangun tidak sesuai. Dan hal terpenting adalah melakukan komunikasi intes dengan pemilik tanah, sehingga kawasan yang tidak bisa dijadikan kawasan pemukiman tidak harus dibuka atau dirusak,” tegasnya.
Untuk itu, dirinya mendesak untuk regulasi terkait penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus di kontrol jika perlu harus dihentikan.
“Penerbitan IMB itu harus dikontrol, dan jika perlu dihentikan,” tegas pria kelahiran tahun 1960 ini.
Dia juga menekankan pada pola edukasi untuk masyarakat, tentang tindakan pencegahan terhadap bencana, khususnya untuk masarakat yang mendiami pemukiman pada penduduk.
Lebih fokus lagi terait bencana tanah longsor akibat curah hujan perhari yang tiap tahun alami peningkatan, Osok pun mengungkapkan kondisi tanah di Kota Ambon adalah tanah labil, tanah yang sedang berkembang dan masih banyak dipengaruhi sat pelapukan.
Tanah di bumi Kota Ambon di Ambon ini masih labil, belum stabil dan masih dalam fase berkembang sehingga banyak mengadung zat pelapuk seperti pasir dan bebatuan yang mudah retak,” terangnya.
“Dengan kondisi tanah seperti ini, dan tekanan dan terpaan hujan yang tinggi tentunya kawasan yang sangat berbahaya adalah kawasan lereng,” ucapnya.
Dia bilang aktivitas penduduk yang terus bertambah lokasi serapan air turut menjadi pemicu terjadinya longsor dan erosi.
Sementara untuk Topografi Wilayah di Kota Ambon, Osok menganalisis daerah Konservasi lahan di sekitar DAS Wai Batu Merah, Wai Tomu, Wai Batu Gajah, dan Wai Batu Gantung untuk mendukung sebagai penghalang banjir dan sedimen.
Dia menjelaskan, dapat dilihat bahwa tujuan pengelolaan DAS adalah dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan sosial-ekonomi tanpa merusak lingkungan (ramah lingkungan).
Pengelolaan DAS yang dilakukan selama ini di Indonesia lebih banyak memberikan penekanan pada aspek biofisik, terbukti telah gagal. Banjir dan kekeringan dengan frekwensi dan daya merusak yang makin besar, yang terjadi di sebagian besar DAS di Indonesia, merupakan indikator dari kegagalan itu.
Kelembagaan DAS seolah-olah, menurutnya, hanya berkaitan dengan aktifitas instansi-instansi pemerintah di berbagai level pemerintahan (pusat, provinsi, kota/kabupaten).
“Kelembagaan pengelolaan DAS dalam PP 37/2012 tentang Pengelolaan DAS pasal 40 huruf e menyebutkan pengembangan kelembagaan Pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi integrasi, sinkronisasi, dan sinergi lintas sektor dan wilayah administrasi”. terus pada pasal 41 huruf d menyebutkan peningkatan kapasitas kelembagaan Pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi integrasi, sinkronisasi, dan sinergi lintas sektor dan wilayah administrasi,”jelasnya.
Sedangkan pada penyelenggaraan konservasi tanah dan air (uu nomor 37 tahun 2014) BAB II – Pasal 4 menjelaskan tentang Ruang Lingkup KTA meliputi Perencanaan KTA, Penyelengaraan KTA, dan Pembinaan dan Pengawasan KTA.
Lanjutnya, BAB V Pasal 14 Ayat 1 juga menyebutkan tentang Penyelengaraan KTA dilaksanakan berdasarkan Unit DAS, EKOSISTEM dan Satuan Lahan ayat 2 tentang Penyelenggaraan KTA berdasarkan UNIT DAS, ekosistem dan Unit Lahan, dilakukan dengan pendekatan Pengelolaan DAS Terpadu.
Dari situ, dia mengatakan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dapat terwujud yakni terwujudnya koordinasi antar pihak dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA dan lingkungan DAS. Terwujudnya kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS. Dan Terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Tata Ruang Kota
Kota Ambon sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku, memiliki jumlah penduduk terpadat dan berdampak pada penataan Rancangan Tata Ruang dan Rancangan Wilayah (RTRW).
Peraturan Daerah Kota Ambon nomor 24 tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon tahun 2011 sampai dengan tahun 2031 BAB IV pasal 40 tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Ambon pada point satu menyebutkan memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada pasal 39 huruf a meliputi : kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dan resapan air.
Sementara itu pada poin kedua menyebutkan Kawasan Hutan Lindung meliputi Hutan Lindung Gunung Nona, Hutan Lindung Gunung Sirimau, sebagian Hutan Lindung Gunung Salahutu dan sebagian Hutan Lindung Gunung Leihitu.
Selanjutnya pada poin ketiga menjelaskan tentang Pengelolaan kawasan Hutan Lindung dilakukan guna mengembalikan fungsi tata air DAS, dan untuk pencegahan erosi, longsor dan bencana banjir serta untuk pemeliharaan kesuburan tanah.
Sementara itu dalam poin keempat dijelaskan tentang kawasan Konservasi dan Resapan Air meliputi: kawasan resapan air Kecamatan Sirimau; meliputi Kawasan Lindung dan Penyangga Gunung Sirimau; Hulu DAS Air Besar, Air Panas, Wai Niwu 1 dan Wai Niwu 2 di Negeri Soya; Hulu DAS Wairuhu; Hulu DAS Batu Merah; dan Hulu DAS Waitomu;
Kawasan resapan air Kecamatan Nusaniwe; meliputi hulu DAS Air Keluar dan Dusun Serf Negeri Urimessing, Kawasan Lindung dan Penyangga Gunung Nona, hulu DAS Wai Ila Negeri Amahusu;
Kawasan resapan air Kecamatan Teluk Ambon Baguala, meliputi Hulu DAS Wai Pompa Negeri Halong; Hulu DAS Wai Tonahitu Negeri Passo; dan Hulu DAS Waiheru, Desa Waiheru;
Kawasan resapan air Kecamatan Teluk Ambon; meliputi Hulu DAS Wailela Negeri Rumah Tiga; Hulu DAS Wai Pia Kecil, Wai Pia Besar, Wai Webi, dan Wai Wesa di Negeri H^tive Besar; Hulu DAS Wai Lawa di Negeri Tawiri, dan Hulu DAS Wai Sikula di Negeri Laha; serta kawasan resapan air Kecamatan Leitimur Selatan, meliputi Hulu Daerah Alirari Sungai-Sungai di Kecamatan Leitimur Selatan.
Untuk poin kelima pada 40 tentang perlindungan kawasan bawahannya menjelaskan juga tentang Pengeloaan kawasan konservasi dan resapan air dilakukan guna memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir pada kawasan di bawahnya maupun disekitar kawasan.
Pada pasal 41 ayat 4 tentang kawasan sekitar mata air juga disebutkan direncanakan terletak di Wai Nitu; Mata Air Dusun Seri; Air Keluar – Negeri Urimessing; Air Besar, Air Panas, Wai Niwu 1 dan Wai Niwu 2 Desa Soya; Wai Pompa Desa Halong; mata air Wai Ila Negeri Amahusu; dan mata air Sungai-Sungai di Kecamatan Leitimur Selatan.
Pasal lainnya adalah pasal 52 ayat 3 dan 4 yang menyebutkan Kawasan rawan longsor meliputi Negeri Hukurila, Negeri Soya, NegeriHatalai, Negeri Ema, Negeri Kilang, Negeri Naku, Negeri Urimessing, Negeri Amahusu,Negeri Batu Merah, Negeri Hative Besar, Negeri Nusaniwe, dan kawasan-kawasan yang topografinya rentan terhadap longsor. Sedangkan Kawasan rawan banjir meliputi sepanjang bantaran sungai Wairuhu, Wai Batu Merah, Waitomu, Wai Batu Gajah, Wai Batu Gantung, Wayame, Wailela, dan bantaran sungai lainnya yang rentan terhadap banjir.
Peraturan Daerah Kota Ambon nomor 24 tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon tahun 2011 sampai dengan tahun 2031 BAB IV pasal 40 tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Ambon telah disusun rapi sebagaimana mestinya.
Guru Besar Ilmu Konservasi Tanah dan Sungai ini menyebutkan tidak adanya ketegasan dari pemerintah soal peraturan yang diterapkan. Padahal Peraturan Daerah tersebut bisa menjadi landasan dan dasar terhadap penataan ruang di Kota Ambon. Jika demikian, maka bisa dipastikan adanya pembiaran dari aparatur pemerintah terhadap UU yang yang telah ditetapkannya.
Contoh menurutnya beberapa kawasan resapan air dan konservasi saat ini telah dibangun bangunan baik fasilitas Pemerintah, Swasta, maupun pemukiman warga.
Lebih parahnya pada pasal 60 ayat 4,5, dan 6 dalam RTRW Kota Ambon telah dijelaskan Kawasan permukiman/dan atau perumahan berkepadatan tinggi lebih diprioritaskah untuk pembangunan permukiman/perumahan dengan konstruksi bangunan bertingkat yang tahan gempa; Permukiman/dan atau Perumahan yang telah ada di kawasan hutan lindung, kawasan penyangga, kawasan resapan air dan kawasan sekitar mata air, kawasan pantai berhutan bakau tidak boleh melakukan pengembangan. Serta Rencana pengembangan kawasan untuk Pertumbuhan kawasan permukiman /dan atau perumahan perkotaan termasuk real estate, dan perumahan pedesaan harus sestiai ilengan peruntukan kawasan dalam RTRW kota dan tidak pada kawasan yang rawan terhadap becana alum dan kawasan dengan kemiringan lereng lebih dari 25% (dua puluh lima persen).
Namun sejak pengusulan Rencana Tata Ruang Wilayah diusulkan pada tahun 2012-2032, menjadi Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 24 tahun 2012 belum ada ketegasan dari apatur Pemerintah Kota Ambon terhadap masalah yang terjadi.
Dikutip dari laman berita porosmaluku.com, soal RTRW, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Ambon melakukan peninjauan kembali (PK) atas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Ambon Tahun 2011 – 2031.
PK ini telah berlangsung sejak awal Januari hingga saat ini. Setelah 10 tahun disahkan menjadi acuan perencanaan tata ruang, Penmkot Ambon menilai perlu dilakukan evaluasi sesuai dengan prosedur PK yang dapat dilakukan setelah 5 tahun.
Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kota Ambon Ronald F Pattipawaey, ST, M. Plan mengungkapkan sudah saatnya dilakukan peninjauan kembali namun proses ini masuk tahap direvisi atau tidak akan menjadi keputusan dari menteri ATR (Agraria dan Tata Ruang).
“Di Ambon kan, sudah banyak perubahan karena ada banyak perubahan dan aturan mendukung kalau memang setelah 5 tahun bisa di PK (Peninjauan Kembali) makanya ada program untuk itu” ujarnya, Rabu (19/1/2022).
Ronald bilang, salah satu hal yang menjadi fokus Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kota Ambon ialah perencanaan yang ada untuk periode 2011 sampai 2031 tersebut telah berjalan atau belum dan rencana-rencana yang tidak terealisasi ataupun dinamika baru di Tata Ruang Kota Ambon hingga tahun 2022 kini.
“Belum ada kendala, rencana tata ruang telah ada misalnya, untuk recana 2011-2031. rencanaya mau buat ini. Nantikan dievaluasi. Sudah jalan atau belum ataukah ada rencana-rencana yang tidak bisa terealisasi. Atau mungkin dinamika baru di tata ruang kota yang tidak terlalu terakodomir di tahun 2011. Nah, itulah dilakukan evaluasi dulu,” ucapnya.
Pergerakan Tanah
Sebelumnya, pergerakan tanah terjadi di kawasan Kampus IAIN Ambon, Desa Batu Merah, Sirimau Kota Ambon, sabtu (15/6/2019). Kondisi mengakibatkan sejumlah bangunan rusak antara lain, gedung Auditorium, gedung Laboratorium MIPA dan gedung Generator. Dan terparah adalah gedung pusat Perpustakaan IAIN Ambon.
Pergeseran tanah di kawasan kampus IAIN Ambon, diteliti oleh tim Pusat Geologi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Tim Pusat Geologi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat melakukan pengecekan lapisan tanah yang bergerak di kawasan kampus IAIN. Penelitian lapisan tanah tersebut dilakukan menggunakan alat Ground Penetrating Radar (GPR) guna memetakan kondisi lapisan permukaan tanah.
“GPR akan memberikan gambaran kondisi lapisan tanah di lintasan yang kita teliti. Kita ingin dapatkan data tentang indikasi perubahan yang terjadi di bawah tanah akibat gerakan tanah yang terjadi,” kata Iqbal Eras Putra, saat melakukan pengecekan di lokasi kawasan IAIN Ambon, sabtu (14/6/2019) lalu.
Dia menjelaskan akan merencanakan 4 lintas pengecekan dengan menggunakan GPR. Selanjutnya hasilnya akan dianalisis di Laboratorium Pusat Geologi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Kepala Bidang Geologi dan Air Tanah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Maluku, Mildred M Aponno menjelaskan dari Penelitian yang dilakukan tim Laboratorium Pusat Geologi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) peristiwa pergeseran tanah dan retak di kawasan IAIN Ambon, disebabkan bangunan yang berdiri diatas lahan tersebut merupakan tanah timbunan.
“Yang aslinya di sebelas kantor atas,”. Sementara lokasi tempat Kantor Perpustakaan adalah timbunan sehingga system drainase tidak baik, kata Aponno saat dikonfirmasi mongabay Indonesia, senin (5/9/22).
Seperti dijelaskan oleh Osok, Aponno juga mengatakan unsur tanah di sekitaran kawasan tersebut adalah tanah yang masih berkembang. Sehingga untuk daerah di pulau ambon sangat mudah untuk terkikis.
Soal pembukaan lahan, Dia bilang kondisi tanah di saat diteliti sudah melebar. Mitigasinya, saran Aponno agar tidak digunakan lagi.
“Drainase tidak ada, dan jenis tanah memungkinkan tanah longsor.Terus dari data meterologi lokasi terjadi longsoran bentuknya cembung,” Terus tanah dimasuki air, maka terjadi pergesaran makin besar”
Dia bilang, karena posisi di bawah sudah landai dan adanya aliran sungai sehingga ada tatatan menjadi cembung.
“Efek ada di Gedung audotorium, dan bagian bawahnya sudah hancur”
Dia menyebut, lokasi tersebut merupakan jalur resapan mata air, sehingga kondisi tanah lembek, ditambah kondisi tanah di Pulau ambon adalah tanah lapuk.
“Untuk kawasan Batu gajah harus ada relokasi, karena memang yang kita dapat penduduk yang tinggal izin tidak ada,”
Ia bilang harus ada pengawasan dari Pemerintah Kota soal perilaku membangun di kawasan yang tidak layak bahkan di kawasan lereng.
Sementara Ambang Sasongko, staf Bidang Geologi dan Air Tanah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Maluku menjelasakan beberapa kawasan lereng memang tidak ada rumah yang dibangunan, namun kondisi prihatin saat puncak dari pada lereng-lereng ini telah padat lokasi bangunan rumah warga maupun fasilitas umum lain.
“Contoh tanjakan 2000, lerangnya tidak ada bangunan, tapi bagian atasnya sudah padat dengan pemukiman,” cetusnya
Soal ini Ambang sarankan harus ada kerja sama antar BPBD dan Geologi ESDM untuk mengecek dampak dari lahan yang akan dipakai untuk izin IMB. Dan sangat mungkin terjadi bencana jika tidak koordinasi dari berbagai pihak saat membangun pada lokasi rawan.
Dispenda, kata Dia juga mesti mengetahui soal ada tidaknya daerah patahan tanah, sehingga perlu berkoordinasi dan rekomendasi dari geologi sebelum mendirikan bangunan.
“Kalau ada IMB tanyakan dengan ESDM khsusus geologi biar kita kasih warning. ini soal komunikasi dan bersinergi” Soal pembagunan yang dilakukan tanpa IMB, Dia bilang dikembalikan ke masyarakat dan tuan tanah (pemilik lahan).
Kepala Dinas Penataan Ruang dan Kawasan Pemukiman Kota Ambon, Rustam Simanjuntak, saat diwawancarai di ruang kerjanya, 29/07/2022) juga angkat suara, dimana dirinya menjelaskan pada pengelolaan RTRW perkotaan di Kota Ambon yang tentunya dalam prospek pembangunan perlu ketegasan terkait regulasi soal perizinanan sehingga baik warga kota bahkan pengemban tidak membangun di kawasan yang tidak diperuntukan.
“Jangan mengizinkan lokasi yang selama ini menjadi kantong resapan air sebagai kawasan pemukiman, karena topografi di Kota Ambon tidak menguntungkan untuk ditelanjangi. Hutan yang tersisa di kawasan dataran Kota Ambon jangan lagi digusur dan digantikan dengan gedung mewah, yang identik dengan kemajuan, namun mengambaikan dampak kerusakan lingkungan,” ungkapnya.
Simanjutak pun menekankan pada pola perizinan yang tidak mempedulikan realitas dan dampak tergerusnya hutan tropis di kawasan Kota Ambon.
Dia juga mengumbar, Kota Ambon adalah pusat ekonomi bisnis dan pendidikan di wilayah Maluku, sehingga setiap tahun terjadi penambahan penduduk, ini pun memicu berdirinya bangunan di kawasan yang dilarang.
Ironisnya, kata Rustam, laju pembangunan di Kota Ambon, demi dan untuk pengembangan kota Ambon yang lebih baik. Artinya kehadiran investor untuk berinvestasi secara tidak sadar bakal berdampak pada ancaman lingkungan jika dalam pola pengembangan mengindahkan sisi-sisi keberpihakan pada lingkungan.
“Ini persoalan, investasi itu penting, namun lingkungan juga itu penting sehingga yang mesti dilakukan adalah kajian serius,” tutupnya.
Alfredo Hehamahua, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon seolah tidak ingin berkomentar banyak, dia berharap perlu kerja sama dan kolaborasi semua pihak.
“Persoalan penanganan masalah berkaitan dengan lingkungan di Kota Ambon perlu kolaborasi semua pihak, karena ketika berbicara tentang Kota Ambon maka kita berbicara tentang semua bidang persoalan yang saling kait mengkait,” singkatnya.
Anggota Komisi III DPRD Kota Amon, Harry Far Far menegaskan pada upaya kajian terhadap kondisi bencana yang terjadi. Banjir dan tanah longsor, kata Harry merupakan bencana yang kerap kali terjadi tiap tahun dan bukan hal baru. Artinya proses penanganan tidak sebatas pada persoalan insendentil namun perlu ada langkah penanganan jangka panjang, salah satunya bagaimana memberikan keseimbangan pada alam dan lingkungan.
“Alam juga perlu perhatian serius dan harus dimulai dari sebuah kajian demi keseimbangan, dan Pemerintah Kota Ambon lewat OPD terkait mesti melakukan itu,” terang Hary.
Selain itu, Far Far juga menekankan pada ketersediaan anggaran demi peningkatan kualitas infrastruktur yang tentunya DPRD tetap berkomitmen dalam melakukan fungsi dan tupoksi sebagai wakil rakyat untuk menajdikan kota ambon sebagai rumah aman untuk warganya.
Kecepatan Curah Hujan
Berdasarkan peringatan dini dan prakiraan cuaca, yang dikeluarkan oleh Stasiun Meteorologi Pattimura Badan Meteorogi dan Klimatologi (BMKG) Provinsi Maluku, curah hujan di Kota Ambon di bulan Juli 2022 dipengaruhi oleh tiupan angin dari arah timur laut banda dan dari hasil takar BMKG jumlah curah hujan mencapai angka 108, dan angka ini masuk dalam kategori cuaca ekstrim.
Ekstrim ini pun berdampak pada sejumlah sungai meluap di Pulau Ambon khsusnya di Kota Ambon.
“Bulan Juli adalah musim hujan, dan puncak dari musim ini, normalnya mestilah curah hujan terjadi di bulan Mei, namun tahun ini mengalami pergeseran, dan akumulasinya adalah di bulan Juli dan berdampak pada curah hujan sedang hingga lebat dan terjadi di Kecamatan Teluk Ambon, Kecamatan Baguala, Kecamatan Letisel, Kecamatan Sirimau dan sekitarnya,” Terang Riob Suiab Salman Prakirawan Cuaca Stasiun Meteorologi Pattimura Badan Meteorogi dan Klimatologi (BMKG) Provinsi Maluku, rabu (27/7/2022).
Selain oleh tiupan angin timur, potensi tingginya curah hujan sedang hingga lebat dan terciptanya cuaca iklim karena adanya awak hujan dan awan colomunimbus yang menimbulkan sambaran petir.
Dampak lain dari cuaca ektrim di Ambon menurut Salman berasal dari dailok Banda dan angin bertiup dari arah timur dan bergerak ke arah timur yang membawa masa udara besar dari laut Banda sehingga menimbulkan dampak untuk pertumbuhan awan columunimbus.
Sementara curah hujan dengan intensitas tinggi sehingga mengakibatkan banjir dan longsor di berbagai tempat di Pulau Ambon, selasa 27 juli 2022 lalu, Prakirawan BMKG Maluku ini mengatakan curah hujan berada pada level kelebatan dua puluh milimeter per jam.
Data Stasiun Meteorologi Kelas I Ambon yang dirilis BPS Kota Ambon “Kota Ambon dalam angka 2020” menjelaskan berdasarkan Pengamatan Unsur Iklim Menurut Bulan di Stasiun Meteorologi Pattimura, 2020 jumlah curah hujan yang tertinggi terjadi sekitaran bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September hingga Oktober. Pada bulan-bulan itulah terjadi intensitas tertinggi. Misalnya pada bulan mei intensitas curah hujan mencapai 123 milimeter (mm); Juni 110 mm; Juli 104 mm; Agustus 68 mm; September 86 mm, serta Bulan Oktober 199 milimeter.
Sedangkan untuk jumlah hari hujan angka tertinggi intensitas hujan terjadi pada bulan Juni dengan jumlah 31 hari; disusul bulan Juni 30 hari; Mei 26 hari; September 26 hari; Agustus 20 hari; Desember 23 hari; April 22 hari, serta Bulan Oktober dan November curah hujannya 20 hari. Sementara bulan Januari, Februari, Maret, jumlah curah hujannnya pada angka 11-17 hari.
Pada level itu, dia bilang telah dikategorikan sangat lebat sehingga berdampak cuaca ekstrim sehingga mengakibatkan sejumlah sungai meluap sehingga terjadi banjir dan juga longsor. Atas dampak tersebut, BMKG langsung telah menghimbau masyarakat Maluku khususnya Kota Ambon untuk tetap waspada, khsususnya warga yang tinggal di pinggiran sungai maupun lereng gunung.
Artikel ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Christ Belseran dari Jurnalis mongabay.co.id dan Edison Waas dari Jurnalis titastory.id
Discussion about this post